Friday, November 27, 2020

Resume Aliran-Aliran Tashawuf Unit 2

 1. Apakah yang dimaksud dengan tashawuf falsafi?

2. Siapakah tokoh-tokoh tashawuf falsafi?

3. Apa yang anda ketahui tentang tashawuf falsafi?

4. Kenapa tashawuf falsafi sangat dipertentangkan di khalayak ramai?

Resume Aliran-Aliran Tashawuf Unit 1

 1. Apa yang anda ketahui tentang tashawuf akhlaqi dan amali?

2. Siapakah tokoh² tashawuf akhlaqi dan amali?

3. Apa tanggapan anda tentang tashawuf akhlaqi dan amali?

Thursday, November 26, 2020

Ittihad dan Hulul Dalam Tashawuf

 ¨ Ittihad

          Ittihad adalah suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan; suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satunya lagi dengan katakata: Hai Aku.

(Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 43)

Pencetus konsep al-ittihad adalah Abu Yazid al-Busthami.  Nama lengkapnya adalah Thaifur Ibn Isa ibnu Sarusyan. Dia berasal dari Bustham. Kakeknya, Sarusyan sebelum masuk Islam adalah seorang pemeluk agama Majusi yang selanjutnya masuk Islam. Abu Yazid meninggal tahun 261 H (ada juga yang berpendapat dia meninggal th. 264 H).

(A.R. Badawi, Syathahat al-Sufiyah, an-Nahdhah al-Misriyah 1949)

Untuk  sampai ke Ittihad, seorang Sufi harus sampai pada tahap fana dan baqa.

Fana berarti hancur, sirna dan lenyap, sedangkan baqa keadaan dari sesuatu yang tidak berakhir.

Untuk sampai ketahap fana harus memiliki  4 ini:

1.   Al Sukr

2.   Al Syathahat

3.   Zawal al Hujab

4.   Glalbat al Syuhud

5.   Al Sukr

          Al Sukar didahului oleh fase Ghaibah yaitu suatu keadaan pertengahan antara hubb dan fana‟. Al-Sukkar tidak bisa dicapai kecuali orang yang dalam keadaan “mencintai” (“mawajid”).

          (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 244)

q Al Syathahat

¨ Al Syathahat adalah gerakan yaitu: gerakan rahasia dari orang yang sangat cinta, lalu mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang aneh bagi pendengarnya, sehingga tidak ada orang yang dapat memahami ungkapan itu kecuali orang yang diberikan kemuliaan dan pemahaman yang luas.

¨ (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 246)

¨ Zawal al Hujab

          Zawal al Hujab adalah suatu keadaan seorang sufi tidak ada lagi yang diinginkan kecuali Allah.

          (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 248)

q Ghalbat al Syuhud

          Ghalbat al Syuhud Ini merupakan tempat di atas tempat, dan waktu diatas waktu, disini tidak  lagi menanyakan kenapa dan bagaimana. Hal ini terjadi ketika perasaan, kesadaran dan penyaksian seorang sufi sampai kepada puncak fana‟, lalu dia lupa dirinya dan tidak ada selain Allah, sekiranya ditanya: dari mana? Dan hendak kemaan? Tidak ada jawaban kecuali “Allah.

          (Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 257)

¨ Ungkapan Abu Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.

          (Fariduddin al-Aththar, hal. 140 dala  Abu at-wafa at-Ghanimi, haL.116 )

¨ Ungkapan Abu Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.

          (Fariduddin al-Aththar, hal. 140 dala  Abu at-wafa at-Ghanimi, haL.116 )

¨ Ungkapan Abu Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.

          (Fariduddin al-Aththar, hal. 140 dala  Abu at-wafa at-Ghanimi, haL.116 )

¨ Ungkapan Abu Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.

          (Fariduddin al-Aththar, hal. 140 dala  Abu at-wafa at-Ghanimi, haL.116 )

Yang perlu diingat:

Fana itu adalah sifatnya makhluk, sedangkan baqa itu merupakan sifatnya Khaliq.

Jadi sungguh berlebihan ketika mengatakan makhluk itu telah baqa sepertinya baqanya Khaliq, karena Khaliq itu bersalahan dengan makhluk.

ليس كمثله شيء

Junaid al Banghdadi mengatakan :

          “Abu Yazid sekalipun agung kondisinya dan tinggi isyaratnnya, tidaklah keluar dari kondisi permulaannya, dan darinya belum pernah aku mendengar sepatah kata pun yang menunjukkan pada kesempurnaan dan akhir.

          (al-Sarraj al-Thusi hal .479 dalam Abu al-Wafa 2003  hal. 119)

          Menurut Abu al Wafa, pendapat Junaid ini mempunyai makna bahwa al Busthami termasuk para sufi yang tidak bisa mengendalikan diri, serta orang yang tunduk pada intuisi. Dengan sendirinya hal itu membuat mereka tetap dalam keadaan permulaan, dan tidak bisa menjadi panutan bagi sufi-sufi lain.

          (al-Sarraj al-Thusi hal .479 dalam Abu al-Wafa 2003  hal. 119)

 

¨ Hulul

          Kata Hulul berasal dari halla, yahullu, hululan. Kata ini memiliki arti menempati, mistis, berinkarnasi.

(Depag RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1993, hal. 339)

¨ Hulul juga bermakna penitisan Tuhan ke makhluk atau benda.

          (lhsan Ilahi Dhahir, Sejarah Hitam Tasawuf (terjemah), Jakarta, 2001, hal. 242)

¨ Secara harfiah hulul mengandung arti bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu yang telah lenyap sifat kemanusiaannya melalui fana.

         

          (Abdu Qadir Mahmud, al-falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, hal.337)

¨ Abu Nasr al-Tusi

          Hulul adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan

          (Abu Nasr al-Tusi, al-Luma‟, al-Qahirah, Dar al-Kitabah alHaditsah, 1960)

¨ AI-Hallaj adalah ulama tasawuf yang pertama kali  mencetuskan konsep Hulul. Ia berpendapat bahwa Allah mempunyai dua sifat dasar (nature), yaitu ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut). Teorinya ini dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul at-Tawasin

          (Harun Nasution, Filsafat dan mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang 2006, hal. 71)

¨ Kalangan ahli Sufi berbeda pendapat dalam menyikapi  fenomena al-Hallaj, ada yang pro ada yang kontra. Yang pro diantaranya abul abbad bin atha‟, Abu abdillah Muhammad Khafif, Abul qasim al-Junaid dan Ibrahim Nashru Abadzy.

¨ Sedangkan yang kontra diantaranya yang pernah menjadi gurunya seperti al-Junaid al-baghdadi. abul-Husain an-Nury, Amr al-Makky, abu baker al-Fuwathi.

          (Ali Ibnu Anjab al-Sal, Akhbar al-Hallaj (Kairo tt. Tanpa penerbit), hal 10-11. Lihat Abu at-Wafa, hal. 122)

 

 

Maqamat dan Ahwal Dalam Tashawuf

 ¨ Pengertian Maqam

¨ Maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban (Al Qusyairi).

          (Al Qusyairi, Risalah Al Qusyairiyah Fi ‘Ilmi at Tashawuf))

مقام العبد يدى الله فيما يقام فيه من العبادات والمجاهدات والرياضات والنقطاع الى الله

“Kedudukan hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada Nya ().

Abu Nashr al Sarraj al Thusi, Al Luma’)

Al Qusyairi membagi maqam kepada 7 maqam, yaitu:

1.   Taubat

2.   Wara’

3.   Zuhud

4.   Tawakkal

5.   Sabar

6.   Ridha

At Thusi maqam kepada 7 maqam, yaitu:

1.   Taubat

2.   Wara’

3.   Zuhud

4.   Faqir

5.   Sabar

6.   Tawakal

7.   Ridha

Al Ghazali membagi maqam kepada 10 maqam, yaitu:

1.   Taubat

2.   Sabar

3.   Syukur

4.   Raja’

5.   Khauf

6.   Zuhud

7.   Mahabbah

8.   Asyiq (Pecinta)

9.   Unas

10.                     Ridha


  Ahwal

ما يحل به القلوب او تحل به القلوب من صفاء الاذكار وليس الحال من طريق المجاهدات والعبادات والرياضات كالمقامات التى ذكرنا وهي مثل المراقبة والقرب والحب والخوف والرجاء والشوق والانس والطماءنينة والمشاهد واليقين وغير ذلك

Hal kondisi jiwa yang diperoleh dari kesucian jiwa.

(At Thusi)

q Yang Meliputi ahwal

المراقبة والقرب والمحبة والخوف والرجاء والشوق والانس والطماءنينة والمشاهدة واليقين

(At Thusi)

¨ Perbedaan Maqamat dan Ahwal

¨ Maqamat merupakan tingkat seorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan laitihan-latihan jiwa yang dilakukannya.

¨ Ahwal suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba tanpa adanya usaha atau latihan jiwa.

¨ Perbedaan Maqamat dan Ahwal

¨ Maqamat merupakan tingkat seorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan laitihan-latihan jiwa yang dilakukannya.

¨ Ahwal suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba tanpa adanya usaha atau latihan jiwa.

¨ Dalam Thariqat Naqsyabandi dari Mursyid Abu Matang Perlak yang bersanad kepada Abuya Muhibuddin Wali dan ayah beliau Abuya Muda Wali, maka latihan yang dilakukan oleh si Salik itu ada beberapa tahapan, yaitu:

¨ Zikir Ismu Zat (Qalb)

¨ Zikir Lathaif Sembilan (Qalb, Ruh, Sir, Khafi, Akhfi)

¨ Zikir Lathaif Sebelas (Qalb, Ruh, Sir, Khafi, Akhfa, Nafsun Nathiqah, Jami’ul A’dha)

¨ Zikir Nafi dan Itsbat

¨ Zikir Wuquf (Mengingat Zat Allah yang Wajib Wujud yang bersifat dengan kesempurnaa)

¨ Zikir Muraqabah Muthlak (Mengingat bahwa Allah Swt menilik kita selamanya)

¨ Zikir Nafi dan Itsbat

¨ Zikir Wuquf (Mengingat Zat Allah yang Wajib Wujud yang bersifat dengan kesempurnaa)

¨ Zikir Muraqabah Muthlak (Mengingat bahwa Allah Swt menilik kita selamanya)

 

Friday, November 20, 2020

SEJARAH DAN KONSEP ALIRAN TASAWUF FALSAFI

 CHAIRINA ULFA

BAB   II  PEMBAHASAN

PENGERTIAN TASAWUF FALSAFI

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya.[1]

Tasawuf falsafi secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam Islam untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf  bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.[2]

 

 

 

 

 

 

 

 

SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF FALSAFI

Tasawuf falsafi, disebut pula dengan tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf ssalafi (akhlaqi), tasawuf filosofis menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya bbaru dikenal seabad kemudian. Sejak itu tsaswuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.

Pemaduan antara tasawuf dan filsafat telah membuat ajaran-ajaran tasawuf filosofis bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan agama Nashrani. Namun, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya ̶ meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda sejalan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu ̶ tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran-ajarannya, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjawab pertanyaan mengapa para tokoh tasawuf filosofis begitu gigih mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam kedalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi filsafat yang maknnya telah disesuaikan dengan ajaran-ajaran tasawuf yang mereka anut.

Para sufi yang juga filosof pendiri aliran tasawuf filosofis mengenal dengan baik filsafat Yunani serta berbagai alirannya misalnya Socrates, Plato, Aristoteles, aliran Stoa, dan aliran Neo Platonisme. Bahkan, mereka cukup akrab dengan filsafat yang seringkali disebut Hermetisme, yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke dalam bahsa arab, dan filsafat-filasafat Timur Kuno, baik dari persia maupun India, serta menelaah filsafat-filsafat para filosof muslim, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lain.

2.3  TOKOH DALAM ALIRAN  TASAWUF FALSAFI

Diantara tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah Ibnu Arabi, al-Jili, Ibnu Sab’in, dan Ibnu Masarrah.

1. Ibnu Arabi

Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin

Abdullah ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara,

Spanyol, tahun 560 H. Setelah berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan Islam bagian barat. Diantara deretan guru-gurunya, tercatat nama-nama, seperti Abu Madyanal-Ghautsat-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita).

Ajaran-ajaran Tasawufnya

Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdad al-wujud (kesatuan wujud).

Meskipun demikian, istilah wahdad al-wujud yang dipakai untuk menyebut

ajaran sentralnya, tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah,

tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya

tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang telah berjasa dalam

mempopulerkannya ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif.

Di samping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdad

al-wujud  untuk menyebut ajaran sentral Ibnu Arabi, mereka berbeda pendapat

dalam menformulasikan pengertian wahdad al-wujud.[3]

 

2. Abdul Karim  Al-Jili

Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili. Ia lahir pada tahun

1365 M di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafat

pada tahun 1417 M. Nama al-Jili diambil dari tempat kelahiranya di Gilan.  Ia

adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak

banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan

bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. Kemudian

belajar tasawuf dibawah bimbingan Abdul Qadir al-Jailani, seorang pendiri

dan pemimpin Tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Disamping itu,

berguru pula pada Syekh Syarafddin Isma’il bin Ibrahim al-Jabarti di Zabith

(Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[4]

Ajaran-ajaran Tasawufnya

Ajaran tasawuf al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia

sempurna). Menurut al-Jili, insan kamil adalah nuskhah,

seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:

“Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”

Hadits lain menyebutkan yang artinya:

“Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya”

Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat  seperti hidup, pandai,

mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun

memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses-proses yang terjadi setelah ini ada

setelah Tuhan menciptakan substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan dengan

huwiyah Adam, aniyah-Nya disandingkan dengan aniyah Adam, dan Dzat

Nya dihadapkan pada Dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan

Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa

Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil

dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama

ilahiah.

 

 3. Ibnu Sab’in

Nama lengkap Ibnu Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn

Nashr, seorang sufi dan juga filsuf dari Andalusia. Dia terenal di Eropa karena

jawaban-jawabannya atas pernyataan Frederik II, penguasa Sicilia. Dia

dipanggil Ibnu Sab’in dan diberi gelar Quthbuddin, tetapi kadang-kadang, ia

dikenal pula dengan Abu Muhammad. Dia dilahirkan tahun 614 H (1217-

1218M) di kawasan Murcia.[5]

Ajaran-ajaran Tasawufnya

Ibnu Sab’in adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf

filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial

pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata.

BAB  III  PENUTUP

3.1  KESIMPULAN

Tasawuf falsafi secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam islam untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf  bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.

 

DAFTAR PUSTAKA

http://ahlaktasawuf2017.blogspot.com/2017/12/tasawuf-falsafi-konsep-dan-tokohnya.html

https://abdulmanap.wordpress.com/2012/06/20/sejarah-perkembangan-tasawuf-salafi-akhlaqi-falsafi-dan-syii/

https://dalamislam.com/landasan-agama/tauhid/tasawuf-falsafi



[1] Rosihun Anwar, Akhlak Tasawuf, Terj.  (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 277.

 

[2] Mohammad  Muchlis Solihin, Akhlak & Tasawuf Dalam Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila, 2014),  hlm. 131.

[3] ]Mohammad  Muchlis Solihin, Akhlak & Tasawuf Dalam Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila, 2014),  hlm. 131.

[4] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal 281-285

[5]  Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 268-289