Thursday, November 5, 2020

Konsep Baik dan Buruk Menurut Aliran Naturelisme

 Mhd Yoga Pratama

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     Pengertian Baik Dan Buruk

 

Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam kitabnya, Munjid, mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. Sementara itu, dalam Webster’s New Twentieth Century Dictionary, dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian, dan seterusnya. Selanjutnya yang baik itu juga adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan. Yang baik itu dapat juga berarti sesuatu yang sesuai dengan keinginan.

 

 Dan yang disebut baik dapat pula berarti sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa secara umum yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan disebut nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang konkret. Sedangkan pengertian buruk merupakan sesuatu yang tidak berharga, tidak berguna untuk tujuan, apabila yang merugikan, atau yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan adalah “buruk”.

 

Pengertian baik dan buruk juga ada yang subyektif dan relatif, baik bagi seseorang belum tentu baik bagi orang lain. Sesuatu itu baik bagi seseorang apabila hal ini sesuai dan berguna untuk tujuannya. Hal yang sama adalah mungkin buruk bagi orang lain, karena hal tersebut tidak akan berguna bagi tujuannya. Masing-masing orang mempunyai tujuannya yang berbeda-beda, bahkan ada yang bertentangan, sehingga yang berharga untuk seseorang atau untuk sesuatu golongan berbeda dengan yang berharga untuk orang atau golongan lainnya.

 

Akan tetapi secara obyektif, walaupun tujuan orang atau golongan di dunia ini berbeda-beda, sesungguhnya pada akhirnya semuanya mempunyai tujuan yang sama, sebagai tujuan akhir tiap-tiap sesuatu, bukan saja manusia bahkan binatang pun mempunyai tujuan. Dan tujuan akhir dari semuanya itu sama, yaitu bahwa semuanya ingin bahagia. Tak ada seorangpun dan sesuatupun yang tidak ingin bahagia.

 

B.     Konsep Baik dan Buruk Menurut Aliran Naturalisme

 

Yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia menurut

aliran ini adalah perbuatan yang sesuai dengan ftrah / naluri manusia itu sendiri,

baik mengenai fitrah lahir maupun fitrah batin. Aliran ini berpendirian bahwa

segala sesuatu dalam dunia ini menuju kepada suatu tujuan tertentu. Dengan

memenuhi panggilan nature setiap sesuatu akan dapat sampai kepda

kesempurnaan. Karena akal pikiran itulah yang menjadi wasilah bagi manusia

untuk mencapai tujuan kesempurnaan, maka manusia harus melakukan

kewajibannya dengan berpedoman kepada akal.

 

 

Aliran ini berpandangan bahwa dalam dunia ini segala sesuatu menuju satu tujuan saja. Dengan memahami panggilan natur, akhirnya masing-masing mereka menuju ke kebahagiaannya yang sempurna. Benda dan tumbuh-tumbuhan menuju pada tujuan itu secara otomatis yakni tanpa pertimbangan atau perasaan. Kalau hewan-hewan menunuju tujuannya dengan instink (naluri)-nya, maka manusia menuju tujuannya dengan akalnya.

 

Karena itu kewajiban manusia ialah mencapai kesanggupan akal yang stinggi-tingginya dan melakukan segala amal perbuatan dengan berpedoman pada akal. Alam telah memberikan pada manusia keinginan untuk hidup terus. Dan dengan dasar mengingini kelangsungan hidup itulah manusia membeda-bedakan beberapa macam pekerjaan, mana yang membahagiakan dan mana yang mengganggu kelangsungan hidup itu. Kebahagiaan manusia terletak pada tidak terganggunya kelangsungan hidup itu. Adanya ancaman terhadap kelangsungan hidup manusia merupakan halangan kebahagiaan manusia.

 

Terganggunya kelangsungan hidup dan hilangnya kebahagiaan itu merupakan faktor yang saling berhubungan, seperti hubungan antara lahir dan batin pada diri manusia. Jadi hilangnya kebahagiaan berarti gangguan bagi keinginan berlangsungnya kehidupan. Karena itu pula banyak terjadi orang-orang yang tidak merasa berbahagia lalu mengambil keputusan untuk membunuh dirinya sendiri, menghabisi kelangsungan hidupnya.

Ringkasnya aliran ini berpendapat bahwa kebahagiaan itu didapatkan ketika manusia melakukan hal yang cocok dengan naturnya dan melangsungkan kehidupannya. Salah satu contoh dari aliran naturalisme ialah aliran filsafat Stoa.

 

Aliran Stoa menganggap bahwa manusia yang bijaksana ialah yang dapat merasakan bahwa dirinya adalah bagian dari alam fitrah (natur). Karena itu yang dinamakan kebijaksanaan dan kebaikan itu adalah penyesuaian seseorang kepada natur yang umum itu. Orang yang hanya menilai manfaat bagi dirinya sendiri atau mudharat bagi sepihak saja adalah bersusila rendah. Yang pokok menurut aliran Stoa ialah adanya kemauan yang baik untuk seluruh alam. Hanya saja karena bagi kaum Stoa semua alam itu adalah Tuhan juga, maka kaum Stoa selanjutnya mengatakan, seseorang yang bijaksana ialah seseorang yang insaf bahwa tiap-tiap sesuatu hal di alam ini terjadinya menurut akal umum yakni menurut kemauan Tuhan dan Qadar. Seperti ditulis Seneca, “ducunt volentem fata, nolentem trahunt: apabila engkau setuju, takdir membimbingmu; apabila tidak, takdir memaksa”. Ini menandaskan bahwa sesungguhnya, menurut aliran Stoa, manusia tidak dapat lepas dari takdir semesta.

 

C.    Sifat Dari Baik Dan Buruk

 

Sifat dan corak baik buruk yang didasarkan pada pandangan filsafat sebagaimana disebutkan di atas adalah sesuai dengan sifat dari filsafat itu sendiri, yakni berubah, relatif nisbi, dan tidak universal. Dengan demikian sifat baik atau buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relatif dan nisbi pula, yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah. Sifat baik buruk yang dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya objektif, lokal, dan temporal. Dan oleh karenanya nilai baik dan buruk itu sifatnya relatif.

Untuk itu perlu ada suatu ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada nilai-nilai yang universal. Uraian tersebut diatas sebagian ada yang menunjukkan keuniversalan, yaitu penentuan baik dan buruk yang didasarkan pada pandangan intuisisme sebagaimana telah diuraikan diatas. Namun demikian, bagaimanapun intuisi itu tetap saja tidak semutlak wahyu yang datang dari Allah SWT.

 

D.    Baik Dan Buruk Menurut Ajaran Islam

Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT, Al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadist Nabi Muhammad SAW. Masalah akhlak dan ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu.

Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan al-Hadist. Jika kita perhatikan Al-Qur’an maupun hadist dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada baik, dan adapula istilah yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, azizah, dan al-birr.

Al-hasanah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Raghib al-Asfahani adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Al-hasanah selanjutnya dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama hasanah dari segi akal, kedua dari segi hawa nafsu atau keinginan dan hasanah dari segi pancaindera. Lawan dari al-hasanah adalah al-sayyiah. Yang termasuk al-hasanah misalnya keuntungan, kelapangan rezeki, dan kemenangan. Sedangkan yang termasuk al-sayyiah misalnya kesempitan, kelaparan, dan keterbelakangan. Pemakaian kata al-hasanah yang demikian itu misalnya kita jumpai pada ayat yang berbunyi:

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

“Ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS Al-Nahl [16]: 125).

 

 

 

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا

“Barangsiapa yang mendatangkan kebaikan, maka baginya kebaikan.” (QS Al-Qashash [28]: 84).

Adapun kata al-thayyibah khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada pancaindra dan jiwa, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Lawannya adalah al-qabihah artinya buruk. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:

وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ ۖ كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

“Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 57).

Selanjutnya kata al-khair digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat. Lawannya adalah al-syarr. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi.

وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

 “Barangsiapa yang melakukan sesuatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”(QS Al-Baqarah [2]: 158).

Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT. Dengan demikian kata al-mahmudah lebih menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual. Hal ini misalnya dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji.” (QS Al-Isra’ [17]: 79).

Selanjutnya kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-karimah ini biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang skalanya besar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik pada kedua orang tua dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman:

فلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا

“Dan janganlah kamu mengucapkan kata “uf-cis” kepada kedua orang tua, dan janganlah membentaknya dan ucapkanlah pada keduanya ucapan yang mulia.” (QS Al-Isra’ [17]: 23).

Adapun kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut terkadang digunakan sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia, maka yang dimaksud adalah ketaatannya. Misalnya terlihat pada ayat yang berbunyi:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ

 “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah kebaikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.” (QS Al-Baqarah [2]: 177).

Kata al-birr dihubungkan dengan ketenangan jiwa dan akhlak yang baik dan merupakan lawan dari dosa. Ini menunjukkan bahwa al-birr dekat artinya dengan akhlak yang mulia, atau al-sbirr ini termasuk salah satu akhlak yang mulia. Berbagai istilah yang mengacu kepada kebaikan itu menunjukkan bahwa kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat serta akhlak yang mulia.

 

Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu Islam memberikan tolok ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukkan untuk mendapatkan keridhaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas. Perbuatan akhlak dalam Islam baru dikatakan baik apabila perbuatan yang dilakukan dengan sebenarnya dan dengan kehendak sendiri itu dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah. Untuk itu peranan ikhlas sangat penting. Allah berfirman:

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ

“padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5).

Berdasarkan petunjuk tersebut, maka penentuan baik dan buruk dalam Islam tidak semata-mata ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang nyata saja, tetapi lebih dari itu adalah niatnya. Hal yang dinyatakan oleh Ahmad Amin dengan mengatakan bahwa hukum akhlak ialah memberi nilai suatu perbuatan bahwa ia baik atau buruk menurut niatnya.

Selanjutnya dalam menentukan perbuatan yang baik dan buruk itu, Islam memerhatikan kriteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan itu. Seseorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh cara yang salah, maka perbuatan tersebut dipandang tercela. Allah berfirman:

                        قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَآ أَذًى وَٱللَّهُ غَنِىٌّ حَلِيمٌ

  “perbuatan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya Lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Baqarah [2]: 263).

Dengan demikian, ketentuan baik dan buruk yang terdapat dalam etika dan moral dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menjabarkan ketentuan baik dan buruk menurut ajaran Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

 

Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa :

                                          

 Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Arab, yang buruk itu dikenal dengan istilah syarr, dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.

 

Sifat baik atau buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relatif dan nisbi pula, yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah. Sifat baik buruk yang dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya objektif, lokal, dan temporal. Dan oleh karenanya nilai baik dan buruk itu sifatnya relatif.

 

B.     Saran

 

Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca mengetahui Baik dan Buruk dalam Pembelajaran Akhlak Tasawuf. Kami menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik, saran, dan masukan yang sifatnya membangun sangatlah kami harapkan untuk baiknya makalah ini kedepannya.

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al Baqir, Muhammad. 1994. Membentuk Akhlak Mulia. Bandung: Karisma.

Mustofa, Akhmad. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.

Nata, Abidin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Amin, Ahmad, Etika (ilmu ahlak),(ter.) Farid Ma’ruf,dari judul asli al- Akhlaq, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983),cet.III.

Asfahani,al-Raghib,Mu’jam Mufradat Alfadz Al-Qur’an,(Beirut:Dar al-Fikr,t,t.).

Charis Zubair, Ahmad, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990)cet II.

http://ahmadthoriqulmuna.blogspot.co.id/2011/09/pengertian-baik-dan-buruk-ukuran-dan.html

 

0 komentar:

Post a Comment