Mhd Yoga Pratama
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Baik Dan Buruk
Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari
kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam
bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam kitabnya, Munjid, mengatakan
bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan.
Sementara itu, dalam Webster’s New Twentieth Century Dictionary, dikatakan
bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan,
kesenangan, persesuaian, dan seterusnya. Selanjutnya yang baik itu juga adalah
sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang
memberikan kepuasan. Yang baik itu dapat juga berarti sesuatu yang sesuai
dengan keinginan.
Dan yang
disebut baik dapat pula berarti sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan
perasaan senang atau bahagia. Dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa
secara umum yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan,
yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik,
jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan disebut nilai
(value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang
konkret. Sedangkan pengertian buruk merupakan sesuatu yang tidak berharga,
tidak berguna untuk tujuan, apabila yang merugikan, atau yang menyebabkan tidak
tercapainya tujuan adalah “buruk”.
Pengertian baik dan buruk juga ada yang subyektif dan
relatif, baik bagi seseorang belum tentu baik bagi orang lain. Sesuatu itu baik
bagi seseorang apabila hal ini sesuai dan berguna untuk tujuannya. Hal yang
sama adalah mungkin buruk bagi orang lain, karena hal tersebut tidak akan
berguna bagi tujuannya. Masing-masing orang mempunyai tujuannya yang
berbeda-beda, bahkan ada yang bertentangan, sehingga yang berharga untuk
seseorang atau untuk sesuatu golongan berbeda dengan yang berharga untuk orang
atau golongan lainnya.
Akan tetapi secara obyektif, walaupun tujuan orang
atau golongan di dunia ini berbeda-beda, sesungguhnya pada akhirnya semuanya
mempunyai tujuan yang sama, sebagai tujuan akhir tiap-tiap sesuatu, bukan saja
manusia bahkan binatang pun mempunyai tujuan. Dan tujuan akhir dari semuanya
itu sama, yaitu bahwa semuanya ingin bahagia. Tak ada seorangpun dan sesuatupun
yang tidak ingin bahagia.
B. Konsep
Baik dan Buruk Menurut Aliran Naturalisme
Yang menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan
manusia menurut
aliran
ini adalah perbuatan yang sesuai dengan ftrah / naluri manusia itu sendiri,
baik
mengenai fitrah lahir maupun fitrah batin. Aliran ini berpendirian bahwa
segala
sesuatu dalam dunia ini menuju kepada suatu tujuan tertentu. Dengan
memenuhi
panggilan nature setiap sesuatu akan dapat sampai kepda
kesempurnaan.
Karena akal pikiran itulah yang menjadi wasilah bagi manusia
untuk
mencapai tujuan kesempurnaan, maka manusia harus melakukan
kewajibannya dengan
berpedoman kepada akal.
Aliran ini berpandangan bahwa dalam dunia ini segala
sesuatu menuju satu tujuan saja. Dengan memahami panggilan natur, akhirnya
masing-masing mereka menuju ke kebahagiaannya yang sempurna. Benda dan
tumbuh-tumbuhan menuju pada tujuan itu secara otomatis yakni tanpa pertimbangan
atau perasaan. Kalau hewan-hewan menunuju tujuannya dengan instink
(naluri)-nya, maka manusia menuju tujuannya dengan akalnya.
Karena itu kewajiban manusia ialah mencapai
kesanggupan akal yang stinggi-tingginya dan melakukan segala amal perbuatan
dengan berpedoman pada akal. Alam telah memberikan pada manusia keinginan untuk
hidup terus. Dan dengan dasar mengingini kelangsungan hidup itulah manusia
membeda-bedakan beberapa macam pekerjaan, mana yang membahagiakan dan mana yang
mengganggu kelangsungan hidup itu. Kebahagiaan manusia terletak pada tidak
terganggunya kelangsungan hidup itu. Adanya ancaman terhadap kelangsungan hidup
manusia merupakan halangan kebahagiaan manusia.
Terganggunya kelangsungan hidup dan hilangnya
kebahagiaan itu merupakan faktor yang saling berhubungan, seperti hubungan
antara lahir dan batin pada diri manusia. Jadi hilangnya kebahagiaan berarti
gangguan bagi keinginan berlangsungnya kehidupan. Karena itu pula banyak
terjadi orang-orang yang tidak merasa berbahagia lalu mengambil keputusan untuk
membunuh dirinya sendiri, menghabisi kelangsungan hidupnya.
Ringkasnya aliran ini berpendapat bahwa kebahagiaan
itu didapatkan ketika manusia melakukan hal yang cocok dengan naturnya dan
melangsungkan kehidupannya. Salah satu contoh dari aliran naturalisme ialah
aliran filsafat Stoa.
Aliran Stoa menganggap bahwa manusia yang bijaksana
ialah yang dapat merasakan bahwa dirinya adalah bagian dari alam fitrah
(natur). Karena itu yang dinamakan kebijaksanaan dan kebaikan itu adalah
penyesuaian seseorang kepada natur yang umum itu. Orang yang hanya menilai
manfaat bagi dirinya sendiri atau mudharat bagi sepihak saja adalah bersusila
rendah. Yang pokok menurut aliran Stoa ialah adanya kemauan yang baik untuk
seluruh alam. Hanya saja karena bagi kaum Stoa semua alam itu adalah Tuhan
juga, maka kaum Stoa selanjutnya mengatakan, seseorang yang bijaksana ialah seseorang
yang insaf bahwa tiap-tiap sesuatu hal di alam ini terjadinya menurut akal umum
yakni menurut kemauan Tuhan dan Qadar. Seperti ditulis Seneca, “ducunt volentem
fata, nolentem trahunt: apabila engkau setuju, takdir membimbingmu; apabila
tidak, takdir memaksa”. Ini menandaskan bahwa sesungguhnya, menurut aliran
Stoa, manusia tidak dapat lepas dari takdir semesta.
C. Sifat Dari Baik Dan Buruk
Sifat dan corak baik buruk yang didasarkan pada
pandangan filsafat sebagaimana disebutkan di atas adalah sesuai dengan sifat
dari filsafat itu sendiri, yakni berubah, relatif nisbi, dan tidak universal.
Dengan demikian sifat baik atau buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran
filsafat tersebut menjadi relatif dan nisbi pula, yakni baik dan buruk yang
dapat terus berubah. Sifat baik buruk yang dikemukakan berdasarkan pandangan
tersebut sifatnya objektif, lokal, dan temporal. Dan oleh karenanya nilai baik
dan buruk itu sifatnya relatif.
Untuk itu perlu ada suatu ketentuan baik dan buruk
yang didasarkan pada nilai-nilai yang universal. Uraian tersebut diatas
sebagian ada yang menunjukkan keuniversalan, yaitu penentuan baik dan buruk
yang didasarkan pada pandangan intuisisme sebagaimana telah diuraikan diatas.
Namun demikian, bagaimanapun intuisi itu tetap saja tidak semutlak wahyu yang
datang dari Allah SWT.
D. Baik Dan Buruk Menurut Ajaran
Islam
Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu
Allah SWT, Al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadist Nabi
Muhammad SAW. Masalah akhlak dan ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang
begitu besar sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu.
Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus
didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan al-Hadist. Jika kita perhatikan
Al-Qur’an maupun hadist dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada
baik, dan adapula istilah yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang
mengacu kepada yang baik misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah,
karimah, mahmudah, azizah, dan al-birr.
Al-hasanah sebagaimana
dikemukakan oleh Al-Raghib al-Asfahani adalah suatu istilah yang digunakan
untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Al-hasanah selanjutnya
dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama hasanah dari segi akal, kedua dari
segi hawa nafsu atau keinginan dan hasanah dari segi pancaindera. Lawan
dari al-hasanah adalah al-sayyiah. Yang
termasuk al-hasanah misalnya keuntungan, kelapangan rezeki, dan kemenangan.
Sedangkan yang termasuk al-sayyiah misalnya kesempitan,
kelaparan, dan keterbelakangan. Pemakaian kata al-hasanah yang
demikian itu misalnya kita jumpai pada ayat yang berbunyi:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ
وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik.” (QS Al-Nahl [16]:
125).
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا
“Barangsiapa yang mendatangkan kebaikan, maka baginya
kebaikan.” (QS Al-Qashash [28]:
84).
Adapun kata al-thayyibah khusus
digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada
pancaindra dan jiwa, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya.
Lawannya adalah al-qabihah artinya buruk. Hal ini misalnya
terdapat pada ayat yang berbunyi:
وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ ۖ
كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah
dari makanan yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 57).
Selanjutnya kata al-khair digunakan
untuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal,
adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat. Lawannya adalah al-syarr. Hal
ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi.
وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ
عَلِيمٌ
“Barangsiapa yang melakukan sesuatu kebaikan
dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi
Maha Mengetahui.”(QS Al-Baqarah [2]: 158).
Adapun kata al-mahmudah digunakan
untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang
disukai oleh Allah SWT. Dengan demikian kata al-mahmudah lebih
menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual. Hal ini misalnya
dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ
عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud
mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji.” (QS Al-Isra’ [17]: 79).
Selanjutnya kata al-karimah digunakan
untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam
kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-karimah ini
biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang skalanya besar,
seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik pada kedua orang tua dan
lain sebagainya. Allah SWT berfirman:
فلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل
لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Dan janganlah kamu mengucapkan kata “uf-cis” kepada
kedua orang tua, dan janganlah membentaknya dan ucapkanlah pada keduanya ucapan
yang mulia.” (QS Al-Isra’ [17]:
23).
Adapun
kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas
atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut terkadang
digunakan sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika
kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah
memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia, maka
yang dimaksud adalah ketaatannya. Misalnya terlihat pada ayat yang berbunyi:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ
الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ
حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah
kebaikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan.” (QS Al-Baqarah [2]: 177).
Kata al-birr dihubungkan dengan
ketenangan jiwa dan akhlak yang baik dan merupakan lawan dari dosa. Ini
menunjukkan bahwa al-birr dekat artinya dengan akhlak yang
mulia, atau al-sbirr ini termasuk salah satu akhlak yang
mulia. Berbagai istilah yang mengacu kepada kebaikan itu menunjukkan bahwa
kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik,
akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat serta
akhlak yang mulia.
Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu Islam
memberikan tolok ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu
ditujukkan untuk mendapatkan keridhaan Allah yang dalam pelaksanaannya
dilakukan dengan ikhlas. Perbuatan akhlak dalam Islam baru dikatakan baik
apabila perbuatan yang dilakukan dengan sebenarnya dan dengan kehendak sendiri
itu dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah. Untuk itu peranan ikhlas sangat
penting. Allah berfirman:
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ
“padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]:
5).
Berdasarkan petunjuk tersebut, maka penentuan baik dan
buruk dalam Islam tidak semata-mata ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang
nyata saja, tetapi lebih dari itu adalah niatnya. Hal yang dinyatakan oleh
Ahmad Amin dengan mengatakan bahwa hukum akhlak ialah memberi nilai suatu
perbuatan bahwa ia baik atau buruk menurut niatnya.
Selanjutnya dalam menentukan perbuatan yang baik dan
buruk itu, Islam memerhatikan kriteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan
perbuatan itu. Seseorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh
cara yang salah, maka perbuatan tersebut dipandang tercela. Allah berfirman:
قَوْلٌ
مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَآ أَذًى وَٱللَّهُ
غَنِىٌّ حَلِيمٌ
“perbuatan yang baik dan pemberian maaf
lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan
si penerima). Allah Maha Kaya Lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Baqarah
[2]: 263).
Dengan demikian, ketentuan baik dan buruk yang
terdapat dalam etika dan moral dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk
menjabarkan ketentuan baik dan buruk menurut ajaran Islam yang ada dalam Al-Qur’an
dan Al-Sunnah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa :
Dari segi bahasa baik
adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab,
atau good dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Arab, yang buruk
itu dikenal dengan istilah syarr, dan diartikan sebagai sesuatu
yang tidak baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam
kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat,
tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat
diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang
bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.
Sifat baik atau buruk yang
dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relatif dan nisbi
pula, yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah. Sifat baik buruk yang
dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya objektif, lokal, dan
temporal. Dan oleh karenanya nilai baik dan buruk itu sifatnya relatif.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca
mengetahui Baik dan Buruk dalam Pembelajaran Akhlak Tasawuf. Kami
menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik, saran, dan masukan yang sifatnya membangun sangatlah kami
harapkan untuk baiknya makalah ini kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Baqir, Muhammad. 1994. Membentuk Akhlak
Mulia. Bandung: Karisma.
Mustofa, Akhmad. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Nata, Abidin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Amin,
Ahmad, Etika (ilmu ahlak),(ter.) Farid Ma’ruf,dari judul asli al- Akhlaq,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1983),cet.III.
Asfahani,al-Raghib,Mu’jam
Mufradat Alfadz Al-Qur’an,(Beirut:Dar al-Fikr,t,t.).
Charis
Zubair, Ahmad, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990)cet II.
http://ahmadthoriqulmuna.blogspot.co.id/2011/09/pengertian-baik-dan-buruk-ukuran-dan.html
0 komentar:
Post a Comment