BAB II
PEMBAHASAN
Dari banyak ulama di Aceh, ternyata
ada empat ulama besar yang sangat berpengaruh. Riwayat empat ulama ini
bersumber dari Buku “Paham Wujudiah” karya Abuya Syeikh Prof Dr Tgk H
Muhibbuddin Muhammad Waly yang dirangkum ‘Sejarah Aceh’. Berikut nama dan kisah
singkat empat ulama masyhur tersebut:
1. Syeikh Hamzah Fansuri
Syeikh Hamzah Fansuri adalah tokoh
sufi terkenal di Aceh. Beliau lahir di Fansur Singkil, Aceh. Beliau hidup pada
zaman pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah IV (1589 -1604 atau 997-1011
Hijriyah) hingga awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam.
Beliau merantau untuk menuntut ilmu
hingga ke Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Parsi dan Semenanjung Arab.
Beliau ahli dalam ilmu fiqh, tasawuf, falsafah, sastra, mantiq, sejarah dan
lain-lain, serta fasih berbahasa Arab, Urdu, Parsi di samping bahasa Melayu dan
Jawa.
Syeikh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
Sumatrani merupakan dua tokoh sufi yang sepaham dan hidup lebih dahulu dari dua
ulama terkemuka lainnya yang pernah hidup di Aceh, yakni Abdurrauf Singkil
Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry.
Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia diperkirakan telah menjadi penulis
pada masa kesultanan Aceh Sultan Alaiddin Riayatsyah IV. Beliau menyebutkan
Sultan Alaiddin selaku sultan yang ke-4 dengan Sayyid Mukammil sebagai
gelarnya. Syahr Nawi mengisyaratkan beliau lahir di tanah Aceh. Konon saudara
Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri yakni ayah dari Abdurrauf Singkil Fansuri.
Ketika pengembaraannya selesai dari
Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Makkah dan Madinah, untuk
mencari ilmu makrifat terhadap Allah SWT. Ia kembali ke Aceh dan mengajarkan
ilmunya. Mula-mula ia berdiam di Barus, lalu di Banda Aceh yang kemudian ia
mendirikan Dayah (pesantren) di Oboh Simpang Kanan Singkil. Di pesantren itulah
(ada yang mengatakan antara Singkil dengan Rundeng) beliau dimakamkan tepatnya
di sebuah pekuburan di desa itu.
2. Syeikh Syamsuddin
As-Sumatrani
Beliau adalah tokoh ulama besar dan
pengarang di Aceh. Nama lengkapnya ialah Syeikh Syamsuddin bin Abdillah
As-Sumatrani. Sering juga disebut Syamsuddin Pasee. Dia adalah ulama besar yang
hidup di Aceh pada beberapa dasa warsa (sepuluh tahun) terakhir abad ke-16 dan
tiga dasa warsa pertama abad ke-17.
Gurunya ialah Hamzah Fansuri dan
pernah belajar dengan Pangeran Sunan Bonang di Jawa. Beliau menguasai bahasa
Melayu-Jawa, Parsi dan Arab. Antara cabang ilmu yang dikuasainya ialah ilmu
tasawuf, fiqh, sejarah, mantiq, tauhid, dan lain-lain.
Pada masa pemerintahan Sultan
Alaiddin Riayatsyah IV dan Sultan Iskandar Muda, beliau memegang jabatan yang
tinggi dalam Kerajaan Kesultanan Aceh. Beliau dilantik sebagai penasehat kepada
kedua sultan tersebut.
Beliau juga pernah diangkat menjadi qadi malikul adil yaitu satu jabatan yang
terdiri dalam Kerajaan Aceh (orang yang kedua penting dalam kerajaan). Beliau
mengetuai Balai Gading (balai khusus yang di anggotai oleh tujuh orang ulama
dan delapan orang ulee balang), di samping menjadi Syekh pusat pengajaran
Baiturrahman.
Sekalipun mengikut faham aliran
tasawuf wahdatul wujud, namun beliau berlaku adil dalam menjalankan hukum-hukum
yang difatwakannya. Keahliannya diakui oleh semua pihak termasuk Syeikh
Nuruddin. Beliau meninggal dunia pada tahun 1630 M di zaman Sultan Iskandar
Muda. Banyak karangan-karangan beliau dan fatwa-fatwa beliau. Di antaranya
Syarah Ruba’i Fansuri (uraian terhadap puisi Hamzah Fansuri), dan lain-lain.
Beliau adalah seorang ulama besar
fiqh dan tasawuf. Seorang pelaut Belanda bernama Frederick de Houtman (1599
M/1008 H) yang ditawan di Banda Aceh, menyebutkan dalam bukunya tentang
Syamsuddin Sumatrani adalah seorang Syeikh, penasehat agung raja.
3. Syeikh Nuruddin Ar-Raniry
Nama lengkapnya ialah Nuruddin
Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniry Al Quraisyi Asy
Syafi’ie. Ia wafat pada 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M di kota
kelahirannya di kota pelabuhan Ranir (Rander) Gujarat India. Sayang, tahun kelahirannya
tidak diketahui secara pasti.
Beliau seorang ulama besar, penulis,
ahli fikir, dan Syekh Thariqat Rifa’iyyah di India yang merantau dan menetap di
Aceh. Ia lahir sekitar pertengahan ke dua abad ke-16. Pendidikan awalnya dalam
masalah keagamaan ia peroleh di tempat kelahirannya sendiri.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan
ke Tarim, Yaman. Tarim adalah pusat studi ilmu agama pada masa itu. Setelah
menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi SAW pada 1621 M (1030 H), ia
kembali ke India.
Setelah kembali ke India dan
mengajar di samping sebagai Syekh Thariqat Rifa’iyyah ia merantau ke Nusantara
dan memilih Aceh sebagai tempat menetap. Ia datang ke Aceh karena mengetahui
Aceh menjadi pusat perdagangan, kebudayaan dan politik serta pusat studi agama Islam
di kawasan Asia Tenggara menggantikan Melaka yang jatuh ke penguasaan Portugis.
Berkat kesungguhannya ia berhasil
menjadi ulama besar yang berpengatahuan luas dan tercatat sebagai Syeikh
Thariqat Rifa’iyyah dan bermazhab Syafi’i. Hubungan baik Syeikh Nuruddin dengan
Sultan Iskandar Tsani di Aceh memberi peluang kepadanya untuk mengembangkan
ajaran yang dibawanya.
Beliau pernah menentang faham
wujudiyah yang berkembang di Aceh pada masa itu. Untuk menyanggah faham
wujudiyah yang dinilainya sesat itu ia sengaja menulis beberapa kitab.
Al Quraisyi pada laqab namanya
menunjukkan ia dari kabilah terhormat yaitu Quraisy. Beliau Ia berthariqat
dengan thariqat Rifa’iyyah menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara Beliau
dengan Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani dan Abdurrauf Al-Fansuri. Sebab,
semaunya sama-sama pengikut thariqat suffiyah dan bermazhab Imam Syafi’i.
4. Syeikh Abdurrauf As-Singkili
Beliau adalah salah satu dari empat
ulama terkemuka yang pernah lahir di Aceh pada abad ke-17. Sedangkan tiga ulama
lainnya adalah Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Sumatrani dan Syeikh
Nuruddin Ar-Raniry. Para ahli sejarah memperkirakan bahwa ia lahir sekitar 1615
M (1035 H) di Singkil yang terletak di ujung paling selatan pantai barat Aceh,
sekampung dengan Syekh Hamzah Fansuri dan juga putera dari saudara Syeikh
Hamzah Fansuri sendiri.
Ia tumbuh dan berkembang sebagai
calon ulama di Aceh pada masa negeri itu sedang berada dalam puncak kejayaan di
bawah pimpinan sultannya yang terbesar, Sultan Iskandar Muda. Untuk memperdalam
pengetahuan agamanya, ia berangkat ke Saudi Arabia sekitar tahun 1643 M (1064
H) pada saat negeri Aceh dipimpin oleh Sultanah Safiatuddin yang berada dalam
kekacauan politik dan pertentangan paham keagamaan.
Syeikh Abdurrauf tidak segera langsung
menuju Mekkah, tapi terlebih dahulu bermukim pada banyak tempat yang menjadi
pusat-pusat pendidikan agama di sepanjang jalur perjalanan haji. Setelah beliau
sampai di Mekkah dan Madinah beliau melengkapi ilmu lahir (ilmu Al-Qur’an,
tafsir, hadits, fiqh) yang telah dimilikinya dan dilengkapi pula dengan ilmu,
yakni tasawuf dan thariqat.
Setelah belajar di Madinah pada
Syeikh Thariqat Syatthariyah Ahmad Al Qusyasyi (wafat 1661 M/ 1082 H) dan
kemudian pada khalifah atau penggantinya IbrahimAlqur’ani, beliau memperoleh
ijazah dari pimpinan thariqat tersebut. Banyak guru-guru besar yang memberikan
ijazah ilmu pengetahuan kepada Beliau selama 19 tahun menuntut ilmu. Ketika
pulang ke Aceh, Syeikh Abdurrauf menjadi ulama besar yang memiliki ilmu yang
luas. Menurut perkiraan para ahli sekitar tahun 1662 M (1083 H), peranannya
sebagai pengajar thariqat Syatthariah telah dimulainya di Madinah, menjelang
pulang ke Aceh.
Beliau mengajar di Kuala atau Muara
Krueng Aceh sampai wafat di daerah tersebut pada tahun 1693 M (1105 H). Karena
mengajar dan wafat di Kuala Aceh ia kemudian dikenal oleh masyarakat Aceh
dengan sebutan Syiah Kuala. Selain mengajar ia juga menjalankan tugasnya
sebagai mufti kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultanah
Safiatuddin (1641-1675 M). Banyak karangan beliau baik dalam ilmu tafsir dan
kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dan ilmu-ilmu lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ada empat ulama besar yang sangat
berpengaruh. Riwayat empat ulama ini bersumber dari Buku “Paham Wujudiah” karya
Abuya Syeikh Prof Dr Tgk H Muhibbuddin Muhammad Waly yang dirangkum ‘Sejarah
Aceh’. Syeikh Hamzah Fansuri adalah tokoh sufi terkenal di Aceh,, Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani, Syeikh
Nuruddin Ar-Raniry, dan Syeikh Abdurrauf As-Singkili
DAFTAR PUSTAKA
Nur Syam, Tarekat Petani: Fenomena Tarekat Syattariyah lokal,
(LKis: Yogyakarta), 2013, cet 1, hal 25
Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di
Nusantara (Surabaya: Al-Ikhlas), 1980
0 komentar:
Post a Comment