Friday, December 30, 2022

Memukul Istri Yang Masih Kecil

             Isteri yang masih kecil yaitu isteri yang belum balighah (sampai umur 9 tahun atau telah keluar haidh), apabila masih mempunyai orang tua, maka kewajiban mengajari ilmu syar’i, memerintahkan untuk menutup aurat, bersuci dan mengerjakan shalat adalah kedua orang tuanya, kamudian bila kedua orang tuanya telah meninggal dunia maka baru kewajiban suami untuk memerintahkannya.

ذكر السمعاني فى زوجة صغيرة ذات ابوين ان وجوب ما مر عليهما فالزوج, وقضيته وجوب ضربها وبه ولو فى الكبيرة صرح جمال الاسلام البزري قال شيخنا وهو ظاهر ان لم يخش نشوزا واطلق الزركشي الندب

“As-Sam’ani menyebutkan tentang isteri yang kecil yang masih memiliki orang tua bahwa sesungguhnya kewajiban memerintahkan yang telah lalu (mengajari dan memerintahkan shalat) merupakan kewajiban orang tua, bila orang tua telah meninggal dunia maka kewajiban tersebut berpindah kepada suami. Dan qadhiyahnya kalam As-Sam’ani kepada wajib memukul isteri yang kecil tersebut (bila tidak mengerjakan apa yang diperintahkan). Tentang pendapat wajib memukul isteri yang kecil, ini juga berlaku kepada isteri yang besar, sebagaimana yang diperjelaskan oleh Jamalul Islam Al-Barzi. Syaikhuna Ibnu Hajar mengatakan bahwa syarahnya Jamalul Islam Al-Razi itu dhahir bila tidak ditakutkan nusyuz (ingkar kepada suami) dengan memukul. Az-Zarkasyi mengitlakkan bahwa memukul isteri itu sunat, baik isteri yang masih kecil atau pun yang sudah besar”.[1]

     Dalam hal mengajari ilmu agama, menyuruh melaksanakan shalat dan memukul apabila tidak mau melaksakan shalat bagi isteri yang kecil merupakan kewajiban orang tuanya.

      Didalam kitab Tufhah dalam pasal Ta’zir disebutkan bahwa Ibnu Al-Bazri menjelaskan bahwa suami wajib memerintahkan isterinya untuk melaksankan shalat pada waktunya shalat dan memukulnya bila meninggalkan shalat, namun dalam hal memukul terjadi banyak pendapat.

    Syaikh Muhammad bin Umar Nawawi di dalam kitab Syarah ‘Uqudul Lijain menjelaskan tentang tata cara memukul isteri bagi pendapat yang boleh memukul, yaitu memukul yang tidak melukai, yakni tidak boleh patah tulang, tidak boleh memar di bagian anggota tubuh serta tidak boleh memukul kuat-kuat[2] serta tidak boleh memukul dimuka dan dibagian yang fatal.



[1] Ibid, h. 34.

[2] Muhammad bin Umar Nawawi, Syarah ‘Uqudul Lijain, Indonesia: Haramain, h. 4.

Thursday, December 29, 2022

Orang Yang Meninggal dan Meninggalkan Shalat

             Shalat fardhu merupakan shalat yang diwajibkan kepada setiap orang mukallaf (baligh dan berakal) dalam sehari semalam 5 waktu atau 17 rakaat, jadi tidak ada suatu alasan pun untuk meninggalkannya, walau dalam keadaan sakit parah sekalipun, selama orang tersebut masih memiliki sifat mukallaf.

Barangsiapa yang meninggal dan ada baginya shalat fardhu yang belum dikerjakan semasa hidupnya, niscaya ahli waris tidak wajib mengkadhakannya dan tidak wajib membayar fidiyahnya.

من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه

“Barangsiapa yang meninggal dan kepadanya ada shalat fardhu yang tinggal, niscaya tidak diqadhakan dan tidak dibayar fidiyahkan”.[1]

 - 1

    Namun dalam satu pendapat yang dipegang oleh satu Jama’ah Mujtahidin bahwa shalat fardhu almarhum/almarhumah yang tidak dikerjakan semasa hidupnya maka diqadha oleh keluarganya, ini berdasarkan hadits Bukhari dan lainnya.

      Pendapat Jama’ah Mujtahidin ini juga diambil oleh salah satu jamaah didalam mazhab Syafi’i dan ini pernah dikerjakan oleh Subki untuk sebagian kerabatnya.

     Ibnu Burhan menaqal dari Al-Qadim bahwa sesungguhnya wajib bagi wali untuk mengerjakan shalat almarhum/almarhumah yang tinggal selama hidupnya bila almarhum/almarhumah meninggalkan harta dan ini sama berlaku pada puasa Ramadhan juga.

       Dalam suatu wajah yang berpegang oleh kebanyakan dari sahabat kita bahwa dalam setiap waktu shalat yang ditinggalkan oleh almarhum/almarhumah diberikan makanan kepada fakir atau miskin dalam setiap satu shalat satu mud (7 ons).

     Muhibuthabri mengatakan bahwa setiap ibadah yang dikerjakan oleh keluarga kepada almarhum/almarhumah itu sampai fahalanya, baik itu ibadah wajib atau ibadah sunat.

    Didalam kitab Syarah Al-Mukhtar yang bermazhab ahlisunnah bahwa disebutkan sesungguhnya setiap manusia yang menjadikan semua fahala amalannya dan fahala shalatnya untuk orang lain, niscaya sampai semua fahala tersebut untuk orang lain.

       Didalam hal ini, Imam Hanafi berpendapat bahwa diberikan fidiyah atas shalat almarhum/almarhumah yang tinggal selama hidupnya, apabila almarhum/almarhumah berwasiat demikian sebelum ia meninggal, dan pun Imam Hanafi mengatakan tidak wajib diqadhakan shalat itu.

     Didalam Syarah Dar dan asalnya disebutkan bahwa jikalau seseorang meninggal dan meninggalkan shalat, ia telah berwasiat untuk dibayarkan kafarah shalat, maka pihak keluarga wajib memberikan makanan kepada fakir dan miskin dalam setiap satu shalat itu setengah sha’ (1,4 Kg) dari pada beras seperti pada zakat fitrah.

     Hanyasanya setengah sha’ itu diambilkan dari sepertiga harta peninggalannya. Jikalau almarhum/almarhumah tidak meninggalkan harta, maka untuk membayar kafarah setengah sha’ ini pihak keluarga berhutang, kemudian diserahkan kepada fakir, kemudian fakir menyerahkan kembali kepada keluarga dan keluarga pun menyerahkan kembali kepada fakir, hingga sampailah takaran jumlah sha’ sesuai shalat yang ditinggalkan oleh almarhum/almarhumah.

       Didalam pendapat ini, tidak dibenarkan pihak keluarga untuk mengqadha shalat fardhu almarhum/almarhumah, walau almarhum/almarhumah telah memerintahkan qadha sebelum meninggal. Sebab tidak dibenarkan qadha karena shalat itu merupakan ibadah badaniyah.


[1] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’in, Beirut: Darul Fikr, Juz. I, h. 33.