Monday, September 25, 2023

Adab Istri Terhadap Suami

 


ADAB ISTRI TERHADAP SUAMI


Di Antara Adab istri terhadap suami,

yaitu :


1. Selalu merasa malu, terhadap suaminya

2. Tidak banyak mendebat, 

3. Senantiasa taat atas perintahnya, 

4. Diam ketika suami sedang berbicara,  

5. Menjaga kehormatan suami ketika ia sedang pergi,

6. Tidak berkhianat dalam menjaga harta suami, 

7. Menjaga badan tetap berbau harum, 

8. Mulut berbau harum 

9. Berpakaian bersih, 

10. Menampakkan qana’ah, 

11.Menampilkan sikap belas kasih, 

12. Selalu berhias, 

13. Memuliakan kerabat dan keluarga suami, 

14. Melihat kenyataan suami dengan keutamaan, 

15. Menerima hasil kerja suami dengan rasa syukur, 

16. Menampakkan rasa cinta kepada suami kala berada di dekatnya, Dan menampakkan rasa gembira di kala melihat suami.” 


📚SUMBER:

KITAB Imam Al-Ghazali  Al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al-Ghazali


📿اَللَّٰہُمَّ صَلِّ عَلَیٰ سَیِّدِنَا مُحَمَّدِِ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد✈️

🖋️Pena📖Dakwah🌎Tusudan📡Aceh

Monday, September 18, 2023

DUA BAIT MISTERI DALAM NADZOM ALFIYAH IBN MALIK

 الفيۃ ابن مالك

DUA BAIT MISTERI DALAM NADZOM ALFIYAH IBN MALIK 


Nadhom Alfiyah Ibn Malik karya Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Malik, merupakan sebuah karya yang sangat fenomenal, yang tidak akan pernah terhapus dalam khazanah intelektualitas pesantren. Khususnya pesantren salaf.


Kitab ini bertemakan tentang qaidah-qaidah gramatika bahasa arab, seputar nahwu shorof, dan di antara keunikan dari kitab ini adalah penempatan kata-kata dan contoh dalam nadzhom yang tidak sembarangan, melainkan mempunyai maksud dan isyaroh tersendiri. Semisal kalam-kalam hikmah, falsafah dan nasehat hidup.


Beliau menamai nadzhom tersebut dengan nama Alfiyah, diambil dari jumlah bait dalam nadzom tersebut yakni seribu, (baca dalam bahasa arab; alfun).


Namun pada kenyataannya, jumlah bait dari nadzhom alfiyah itu sendiri adalah 1002 bait, ada tambahan 2 bait di muqoddimah, dan juga ada cerita menarik di balik penambahan 2 bait tersebut.


Tentang arti dari sebuah rasa bangga, tentang ta’dzim kepada sang guru, tentang tulusnya sebuah karya, juga tentang adab terhadap orang yang sudah meninggal.


Diceritakan bahwa Syaikh Ibnu Malik dalam menyusun nazhom Alfiyah ini terinspirasi dari almarhum sang guru yang sudah terlebih dahulu menyusun sebuah nadzhom yang berjumlah 500 bait. Beliau adalah Syaikh Ibn Mu’thiy. Karyanya tersebut diberi nama Alkaafiyah, namun mashur juga disebut dengan Alfiyah Ibn Mu’thiy. 

(Disebut Alfiyah, karena terdiri dari 1000 satar, adapun satar, adalah setengah bagian dari satu bait).


Ketika beliau sudah mantap menyimpan semua gambaran nadzhom alfiyah dalam memori otaknya, beliaupun memulai untuk menulis untaian nadzom-nadzom indah tersebut.


Hingga pada saat beliau menulis bait ke lima, bagian satar ke sepuluh yang berbunyi;


وتَقتضِى رضًا بغير سخطٍ  #  فائقةً ألفيّةً ابن معطى

(Dan kitab alfiyah itu akan menarik keridhoan yang tanpa didasari kemarahan

Dan kitab alfiyah ini lebih unggul dari kitab alfiyahnya ibnu mu’thiy)


Seketika semua hafalan yang sudah tersimpan rapi dalam memori otak beliaupun lenyap. Beliau tidak ingat satu hurufpun.

Syaikh Ibnu Malik pun merasa cemas, sedih, juga bingung, entah apa yang harus beliau lakukan. Hingga akhirnya beliaupun tertidur pulas.


Dalam mimpinya, beliau dibangunkan oleh seorang kakek yang memakai pakaian serba putih, jubahnya hampir menutupi sebagian kepalanya sehingga wajahnya tidak nampak secara jelas. Kakek itu menepuk pundak Syaikh Ibnu Malik sambil berkata;


“Wahai anak muda, bangunlah! Bukankah kamu sedang menyusun sebuah kitab?”


“Iya Kek,” seketika Ibnu Malik terbangun.


“Namun aku lupa semua hafalanku, sehingga aku tak mampu untuk melanjutkanya” lanjutnya.


Kakek itu pun bertanya, “Sudah sampai mana kamu menulisnya?”


“Baru sampai bait kelima”,  beliau menjawab sambil membacakan bait yang terakhir.


“bolehkah aku melanjutkan hafalanmu,?” tanya kakek tersebut.


“Tentu saja”.


Kakek itupun membacakan sepasang bait;


فائقةً من نحو ألف بيتي  #  والحيّ قد يغلب ألف ميّتي

(Seperti halnya mengungguli dalam seribu bait #

Orang yang masih hidup, terkadang mengalahkan 1000 orang yang sudah meninggal)


Seketika setelah mendengar satu bait yang diucapkan oleh kakek tersebut, Syaikh Ibnu Malik pun terbangun. Dan beliaupun menyadari satu hal, bahwa kakek dalam mimpinya itu tidak lain adalah sang guru, yakni Syaikh Ibnu Mu’thiy yang dengan jelas menegur Syaikh Ibnu Malik dengan sindiran di bait tersebut.

Beliau juga sadar, bahwa ungkapan bangga yang beliau ungkapkan dalam bait kelima tersebut ternyata merupakan perasaan takabbur yang timbul dari nafsunya, perasaan yang secara tidak langsung telah menerobos sebuah adab, akhlaqul karimah seorang murid  kepada gurunya.


Sadar akan hal itu, Ibnu Malik pun bertaubat kepada Sang Pencipta atas rasa takabburnya. Beliau juga hendak meminta maaf kepada Ibnu Mu’thiy, beliau berziarah ke makam Syaikh Ibnu Mu’thiy.


Selepas berziarah, beliaupun hendak melanjutkan karangan tersebut dengan menambahkan 2 bait di bagian Muqoddimah yang pada awalnya tidak masuk dalam rencana, dengan harapan bahwa hafalannya akan pulih kembali.


2 bait tersebut berbunyi seperti ini :


وهو بسبق حائز تفضيلا # مستوجب ثنائي الجميلا

Dan dia (Ibnu Mu’thiy) memang lebih dahulu dan mendapatkan keunggulan

Dia juga pantas mendapatkan pujian (legitimasi) yang sangat baik dariku


والله يقضي بهبات وافرة # لي وله في درجات الآخرة

Semoga Alloh memberikan anugerah yang sempurna

Untukku dan juga beliau dalam derajat yang tinggi di akhirat kelak


Secara ajaib, semua memori hafalan nadzom yang ingin beliau tulis itupun kembali tergambar jelas di otak dan hatinya. Beliaupun sangat bersyukur dan kemudian melanjutkan karangannya.


Hingga akhirnya terciptalah sebuah mahakarya yang terkenal di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Nadhoman yang sangat populer di kalangan santri, khususnya santri salaf. Dan sampai saat ini pun, masih banyak santri-santri yang menghafalnya.


Konon katanya, hafalan Alfiyah itu sendiri lebih cepat hilang dibanding Al-Qur’an apabila si penghafalnya berbuat maksiat. Dan juga orang yang hafal Alfiyah itu punya daya tarik tersendiri. Wallahu a’lam.


Banyak sekali versi yang tersebar tentang 2 bait tambahan dalam nadzom Alfiyah Ibnu Malik, salah satunya diceritakan dengan jelas dalam Syarah Alfiyah itu sendiri, yakni dalam kitab Qodhi al-Qudhot. 


Namun intinya sama, yakni cerita yang mengandung pesan tentang adab kita kepada seorang guru yang harus tetap dilakukan, meskipun kemampuan kita telah melebihi sang guru tersebut. Atau meskipun guru kita telah meninggal dunia.


Karena tidak ada yang namanya “mantan guru”…


Sumber : Sabilul Huda Media


🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹


Ketika Pengarang Alfiyah Dihinggapi Rasa Ujub


Siapa tak kenal kitab Alfiyah? Seolah memancarkan berkah tak kunjung habis, nahdham seribu bait yang mengulas ilmu nahwu ini dipelajari terus di berbagai majelis ilmu hingga kini.


Pengarangnya, Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî atau tersohor dengan sebutan Ibnu Malik, merupakan pakar gramatika Arab ternama dari Andalusia (Spanyol). Alfiyah yang merupakan ringkasan karya sebelumnya, al-Kafiyah asy-Syafiyah, pun dipuji banyak cendekiawan, dan melahirkan berjilid-jilid kitab syarah dan karya komentar yang sudah tak terbilang.


Namun demikian, ada cerita menarik di sela proses penulisan muqaddimah nadham luar biasa yang masih dilantunkan di berbagai pesantren dan madrasah ini.


………………


وَأسْتَـعِيْنُ اللهَ فِيْ ألْفِــيَّهْ ¤ مَقَاصِدُ الْنَّحْوِ بِهَا مَحْوِيَّهْ


(Dan aku memohon kepada Allah untuk kitab Alfiyah, yang dengannya dapat mencakup seluruh materi Ilmu Nahwu)


تُقَرِّبُ الأَقْصَى بِلَفْظٍ مُوْجَزِ ¤ وَتَبْسُـطُ الْبَذْلَ بِوَعْدٍ مُنْجَزِ


(Mendekatkan pengertian yang jauh dengan lafadz yang ringkas serta dapat memberi penjelasan rinci dengan waktu yang singkat)


وَتَقْتَضِي رِضَاً بِغَيْرِ سُخْطِ ¤ فَـائِقَةً أَلْفِــــيَّةَ ابْنِ مُعْطِي


(Kitab ini menuntut kerelaan tanpa kemarahan, melebihi kitab Alfiyah-nya Ibnu Mu’thi)


Sampai di sini Ibnu Malik hendak menjelaskan kepada pembaca bahwa kitabnya lebih unggul dan komprehensif dari kitab karya ulama sebelumnya, yakni Ibnu Mu'thi. Dalam kitab Hasyiyah al-'Allâmah Ibnu Hamdûn 'ala Syarhil Makûdî li Alfiyati ibn Mâlik, dikisahkan, setelah itu Ibnu Malik meneruskannya dengan bait:


فَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ ¤ ................ 


(Mengunggulinya [karya Ibnu Mu’thi] dengan seribu bait,…....)


Belum sempurna bait ini dibuat, tiba-tiba saja Imam Ibnu Malik terhenti. Inspirasinya lenyap, tak mampu menulis apa yang hendak dilanjutkan. Suasana pikiran kosong semacam ini bahkan berlangsung sampai beberapa hari. Hingga kemudian ia bertemu seseorang dalam mimpi.


“Aku mendengar kau sedang mengarang Alfiyah tentang ilmu nahwu?”


“Betul,” sahut Ibnu Malik.


“Sampai di mana?”


“Fâiqatan lahâ bi alfi baitin…”


“Apa yang membuatmu berhenti menuntaskan bait ini?”


“Aku lesu tak berdaya selama beberapa hari,” jawabnya lagi.


“Kau ingin menuntaskannya?”


“Ya.”


Lalu orang dalam mimpi itu menyambung baitفَائِقَةً لَهَا بِأَلْفِ بَيْتٍ yang terpotong dengan وَ اْلحَيُّ قَدْ يَغْلِبُ أَلْفَ مَيِّتٍ (Orang hidup memang terkadang bisa menaklukkan seribu orang mati). Terang saja, orang hidup meski cuma seorang dijamin sanggup mengalahkan berapa pun banyaknya orang yang tak punya kuasa pembelaan lantaran sudah mati.


Kalimat ini merupakan sindiran kepada Ibnu Malik atas rasa bangganya (‘ujub) terhadap kitab Alfiyah yang dianggap lebih bagus dari pengarang sebelumnya yang sudah wafat. Sebuah tamparan keras menghantam perasaan sang pengarang Alfiyah


Segera Ibnu Malik mengonfirmasi, “Apakah kau Ibnu Mu’thi?”


“Betul.”


Ibnu Malik insaf dan malu luar biasa. Pagi harinya seketika ia membuang potongan bait yang belum tuntas itu dan menggantinya dengan dua bait muqaddimah yang lebih sempurna:


وَهْوَ بِسَبْقٍ حَائِزٌ تَفْضِيْلاً ¤ مُسْـتَوْجِبٌ ثَنَائِيَ الْجَمِيْلاَ


(Beliau [Ibnu Mu’thi] lebih istimewa karena lebih awal. Beliau berhak atas sanjunganku yang indah)


وَاللَّهُ يَقْضِي بِهِبَـاتٍ وَافِرَهْ ¤ لِي وَلَهُ فِي دَرَجَاتِ الآخِرَهْ


(Semoga Allah melimpahkan karunianya yang luas untukku dan untuk beliau pada derajat-derajat tinggi akhirat)


Kisah di atas mengungkap pesan bahwa tak ada seorang pun yang bisa beranggapan keilmuannya secara mutlak lebih unggul dari ulama sebelumnya. Uraian Ibnu Malik dalamAlfiyah-nya mungkin lebih lengkap dan detail dari karya Ibnu Mu’thi, tapi karya pendahulu tetap lebih penting karena memberi dasar-dasar rintisan bagi karangan ulama berikutnya. Dalam sebuah hadits disebutkan: âbâukum khairun min abnâikum ilâ yaumil qiyâmah (para pendahulu [pelopor] lebih baik dari generasi penerus hingga hari kiamat).


Cerita tersebut juga mengingatkan kita tentang pentingnya tetap dalam ketawadukan. Capaian puncak prestasi tertentu, sehebat apapun, menjadi rendah ketika disikapi dengan kecongkakan. Ibnu Malik sempat sedikit tergelincir ke arah itu, lantas segera berbenah. Alhasil, karyanya terus mengalirkan pengetahuan dan berkah, bak mata air yang tak kunjung padam hingga sekarang.


Semoga Bermanfaat

By: MN Sholihun

Yuk Gabung Grup: Cinta NU & Indonesia

Wednesday, September 13, 2023

Tempat Arwah Setelah Keluar Dari Jasad

Arwah orang yang mukmin ditempatkan di 'Illiyin dan arwah orang kafir ditempatkan di Sijjin.

Arwah dengan jasadnya saling terhubung dan saling merasakan nikmat atau azab.

Kata Quryhubi: arwah syuhada di dalam surga.

Ada yang mengatakan : arwah orang mukmin fi dalam surga.

Arawah orang mukmin setelah dicabut oleh malaikat Malik Maut maka akan disambut oleh malaikat Rahmat.

(Furu' Masail, h. 6)

Arwah Orang Mukmin Seperti Orang Hidup

Arwah orang mukmin yang mendapat nikmat saling berkenalan dan saling menziarahi di barzakh.

Orang tua memgenali anaknya, anak mengenalu orang tuanya, suami mengenali istrinya dan istrinya mengenali suami, juga para sahabat saling mengenali.

Setiap fahala yang dikirimkan akan sampai kepadanya, yaitu berupa sedekah yang disedekahkan.

(Furu' Masail, h. 6)

Lebih Tua Mana Antara Ruh Dan Jasad?

Allah menjadikan ruh lebih tua dari jasad dengan jarak 4000 tahun.

Ruh setelah dijadikan tidak lagi dibinasakan dan hanya yang dlbinasa adalah jasad.

Sedangkan ketika diberi nikmat atau diazab, maka ruh dan jasad yang menerima keduanya.

(Furu' Masail, h. 6)

Tuesday, September 12, 2023

Makruh dan Khilaf Aula

 MAKRUH LARANGAN YANG  DIKHUSUSKAN PADA SESUATU KHILAFUL AULA LARANGAN YANG TIDAK DIKHUSUSKAN DENGAN SESUATU


MAKRUH (LARANGAN TIDAK KERAS TIDAK DISERTAI ANCAMAN DSB) semisal jangan duduk sebelum shalat tahiyyatal masjid ketika akan masuk masjid


KHILAFUL AULA (ANTARA DILARANG DAN DIPERBOLEHKAN) semisal berbuka puasa ketika safar tanpa adanya kedaruratan atau musafir meninggalkan shalat dluha


Perbedaan antara pencarian yang  spesifik (bimakhshus) dan pencarian lainnya (bighoiri makhshus) adalah : Tuntutan  terhadap apa yang dibutuhkan dengan spesifik LEBIH KUAT  dibandingkan dengan apa yang dibutuhkan untuk apa yang tidak spesifik.


قال الجلال المحلي رحمه الله في شرحه على جمع الجوامع:


(أَوْ) اقْتِضَاءً غَيْرَ جَازِمٍ (بِنَهْيٍ مَخْصُوصٍ) بِالشَّيْءِ كَالنَّهْيِ فِي حَدِيثِ الصَّحِيحَيْنِ {إذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسُ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ} وَفِي حَدِيثِ ابْنِ مَاجَهْ وَغَيْرِهِ {فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ مِنْ الشَّيَاطِينَ} (فَكَرَاهَةٌ) أَيْ فَالْخِطَابُ الْمَدْلُولُ عَلَيْهِ بِالْمَخْصُوصِ يُسَمَّى كَرَاهَةً وَلَا يَخْرُجُ عَنْ الْمَخْصُوصِ دَلِيلُ الْمَكْرُوهِ إجْمَاعًا أَوْ قِيَاسًا لِأَنَّهُ فِي الْحَقِيقَةِ مُسْتَنَدُ الْإِجْمَاعِ أَوْ دَلِيلُ الْمَقِيسِ عَلَيْهِ وَذَلِكَ مِنْ الْمَخْصُوصِ (أَوْ بِغَيْرِ مَخْصُوصٍ) بِالشَّيْءِ فَإِنَّ الْأَمْرَ بِالشَّيْءِ يُفِيدُ النَّهْيَ عَنْ تَرْكِهِ 


(فَخِلَافُ الْأَوْلَى) أَيْ فَالْخِطَابُ الْمَدْلُولُ عَلَيْهِ بِغَيْرِ الْمَخْصُوصِ يُسَمَّى خِلَافَ الْأَوْلَى كَمَا يُسَمَّى مُتَعَلِّقُهُ بِذَلِكَ فِعْلًا كَانَ كَفِطْرِ مُسَافِرٍ لَا يَتَضَرَّرُ بِالصَّوْمِ كَمَا سَيَأْتِي أَوْ تَرْكًا كَتَرْكِ صَلَاةِ الضُّحَى وَالْفَرْقُ بَيْنَ قِسْمِي الْمَخْصُوصِ وَغَيْرِهِ أَنَّ الطَّلَبَ فِي الْمَطْلُوبِ بِالْمَخْصُوصِ أَشَدُّ مِنْهُ فِي الْمَطْلُوبِ بِغَيْرِ الْمَخْصُوصِ فَالِاخْتِلَافُ فِي شَيْءٍ أَمَكْرُوهٌ هُوَ أَمْ خِلَافُ الْأَوْلَى اخْتِلَافٌ فِي وُجُودِ الْمَخْصُوصِ فِيهِ كَصَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ لِلْحَاجِّ خِلَافَ الْأَوْلَى وَقِيلَ مَكْرُوهٌ لِحَدِيثِ أَبِي دَاوُد وَغَيْرِهِ {أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَةَ} وَأُجِيبَ بِضَعْفِهِ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيثِ وَتَقْسِيمُ خِلَافِ الْأَوْلَى زَادَهُ الْمُصَنِّفُ عَلَى الْأُصُولِيِّينَ أَخْذًا مِنْ مُتَأَخِّرِي الْفُقَهَاءِ حَيْثُ قَابَلُوا الْمَكْرُوهَ بِخِلَافِ الْأَوْلَى فِي مَسَائِلَ عَدِيدَةٍ وَفَرَّقُوا بَيْنَهُمَا وَمِنْهُمْ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ فِي النِّهَايَةِ بِالنَّهْيِ الْمَقْصُودِ وَغَيْرِ الْمَقْصُودِ وَهُوَ الْمُسْتَفَادُ مِنْ الْأَمْرِ وَعَدَلَ الْمُصَنِّفُ إلَى الْمَخْصُوصِ وَغَيْرِ الْمَخْصُوصِ أَيْ الْعَامِّ نَظَرًا إلَى جَمِيعِ الْأَوَامِرِ النَّدْبِيَّةِ وَأَمَّا الْمُتَقَدِّمُونَ فَيُطْلِقُونَ الْمَكْرُوهَ عَلَى ذِي النَّهْيِ الْمَخْصُوصِ وَغَيْرِ الْمَخْصُوصِ وَقَدْ يَقُولُونَ فِي الْأَوَّلِ مَكْرُوهٌ كَرَاهَةً شَدِيدَةً كَمَا يُقَالُ فِي قِسْمِ الْمَنْدُوبِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ وَعَلَى هَذَا الَّذِي هُوَ مَبْنَى الْأُصُولِيِّينَ يُقَالُ أَوْ غَيْرُ جَازِمٍ فَكَرَاهَةٌ.


وذكر الفرق السبكي في الإبهاج شرح المنهاج عند كلامه على المكروه.فقال في ضابط التفريق بينهما:"والضابط: أن ما ورد فيه نهي مقصود يقال فيه: مكروهوما لم يرد فيه نهي مقصود يقال: 


ترك الأولى، ولا يقال مكروه.وقولنا: (مقصود) احتراز من النهي التزاما، فإن الأمر بالشيء ليس إلا نهيا عن ضده التزاما، فالأولى مأمور به، وتركه منهي عنه التزاما، لا مقصوداً" 

الإبهاج في شرح المنهاج 1/ 142.


يقول الزركشي في ذلك"والتحقيق أن خلاف الأولى قسم من المكروه، ودرجات المكروه تتفاوت، كما في السنة، ... 

"البحر المحيط1/ 303

Perbedaan Khilaf Aula dan Makruh

 APA BEDANYA “MAKRUH” DENGAN “KHILAFUL AULA”?


Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)


Istilah “makruh” sedikit berbeda dengan istilah “khilaful aula” (خلاف الأولى). Makruh adalah status hukum yang muncul jika orang melanggar sebuah larangan yang dinyatakan oleh dalil dengan larangan yang lugas dan definitif , tetapi bukan larangan yang bersifat keras/ disertai ancaman siksa/murka Allah. 


Contohnya makan dengan tangan kiri. Rasulullah ﷺ melarang makan dengan tangan kiri sebagaimana dinyatakan dalam hadis ini,


عَنْ جَابِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَأْكُلُوا بِالشِّمَالِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِالشِّمَالِ


“Dari Jabir, dari Rasulullah , beliau bersabda, ‘Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena setan itu makan dengan tangan kiri’” (H.R.Muslim).


Dalam hadis di atas, cukup jelas dan lugas bahwa Rasulullah ﷺ melarang makan dengan tangan kiri. Hanya saja, larangan ini tidak disertai keterangan larangan yang bersifat keras dan tegas, baik dalam hadis ini maupun yang lain. 


Oleh karena itu, jika larangan tersebut dilanggar, yakni makan dengan tangan kiri, para ulama memfatwakan hukumnya makruh. Hal ini bereda dengan haram, karena haram itu adalah status hukum yang muncul jika orang melanggar sebuah larangan yang dinyatakan oleh dalil dengan larangan yang bersifat keras nan tegas. Contohnya Allah melarang zina. Perbuatan melanggar larangan ini , yakni melakukan zina status hukumnya haram karena ada ancaman siksa yang jelas dalam hadis terhadap pelaku zina.


Adapun “khilaful aula”, maka pengertiannya adalah status hukum yang muncul jika orang melanggar hal yang disunnahkan. Semua hal yang sifatnya bertentangan dengan yang disunnahkan maka disebut “khilaful aula” tanpa membedakan apakah bersifat “positif” (melakukan aksi) maupun “negatif” (meninggalkan aksi).


Contoh yang melakukan aksi adalah sebagai berikut.


Rasulullah ﷺ mencontohkan saat berhaji beliau tidak berpuasa Arofah. Dengan demikian, orang yang berhaji dan wukuf di Arofah disunnahkan tidak berpuasa untuk mencontoh Rasulullah ﷺ. Jika ada yang melanggar dan malah berpuasa di hari itu, maka status perbuatannya adalah “khilaful aula”, bukan makruh.


Contoh yang meninggalkan aksi adalah sebagai berikut.


Rasulullah ﷺ memerintahkan dan menganjurkan salat dhuha dan qiyamul lail. Jika orang tidak melakukan salat dhuha dan tidak qiyamul lail, maka status hukumnya ini dinamakan “khilaful aula”, bukan makruh.


Baik “makruh” maupun “khilaful aula” jika dilakukan maka tidak ada ancaman siksa, hanya saja makruh lebih berat, sementara “khilaful aula” lebih ringan. 


Az-Zarkasyi memberi contoh pembedaan istilah antara makruh dan “khilaful aula” sebagai berikut,


وَالصَّحِيحُ: أَنَّ صَوْمَ عَرَفَةَ لِلْحَاجِّ خِلَافُ الْأَوْلَى لَا مَكْرُوهٌ

“Pendapat yang paling kuat adalah, berpuasa Arofah bagi orang yang berhaji adalah khilaful aula, bukan makruh” (Al-Bahru Al-Muhith fi Ushul Al-Fiqh, juz 1 hlm 231).


Posisi “khilaful aula” itu terletak di antara makruh dengan mubah. Kata Az-Zarkasyi, “khilaful aula” itu masih masuk rincian makruh, jadi bukan kategori baru dari “ahkam khomsah” (الأحكام الخمسة) yang telah dikenal (wajib, sunnah, mubah makruh, dan haram).


Istilah lain “khilaful aula” adalah “tarkul aula” (ترك الأولى) atau “la yanbaghi” (لا ينبغي). Kata Al-Juwaini, istilah ini diciptakan oleh ulama mutaakhirin. 


- As-Suyuthi dalam “Al-Hawi li Al-Fatawi” juga menulis yang memberi kesan bahwa istilah ini diciptakan pertama kali di zaman Al-Juwaini atau sebelumnya sedikit, kemudian diikuti oleh ulama belakangan.


- Taqiyyuddin As-Subki malah menegaskan bahwa Al-Juwaini-lah yang pertama kali menciptakannya. Dalam catatan terdahulu saya sempat menyinggung bahwa An-Nawawi juga menggunakan istilah “khilaful aula” ini saat menulis hukum mengelap air setelah wudhu. Kata Al-‘Abbadi, ulama mutaqoddimin tidak pernah memakai istilah “khilaful aula”.


رحم الله علماءنا رحمة واسعة

اللهم اجعلنا من محبي اعلماء الصالحين