APA BEDANYA “MAKRUH” DENGAN “KHILAFUL AULA”?
Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Istilah “makruh” sedikit berbeda dengan istilah “khilaful aula” (خلاف الأولى). Makruh adalah status hukum yang muncul jika orang melanggar sebuah larangan yang dinyatakan oleh dalil dengan larangan yang lugas dan definitif , tetapi bukan larangan yang bersifat keras/ disertai ancaman siksa/murka Allah.
Contohnya makan dengan tangan kiri. Rasulullah ﷺ melarang makan dengan tangan kiri sebagaimana dinyatakan dalam hadis ini,
عَنْ جَابِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَأْكُلُوا بِالشِّمَالِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِالشِّمَالِ
“Dari Jabir, dari Rasulullah , beliau bersabda, ‘Janganlah kalian makan dengan tangan kiri karena setan itu makan dengan tangan kiri’” (H.R.Muslim).
Dalam hadis di atas, cukup jelas dan lugas bahwa Rasulullah ﷺ melarang makan dengan tangan kiri. Hanya saja, larangan ini tidak disertai keterangan larangan yang bersifat keras dan tegas, baik dalam hadis ini maupun yang lain.
Oleh karena itu, jika larangan tersebut dilanggar, yakni makan dengan tangan kiri, para ulama memfatwakan hukumnya makruh. Hal ini bereda dengan haram, karena haram itu adalah status hukum yang muncul jika orang melanggar sebuah larangan yang dinyatakan oleh dalil dengan larangan yang bersifat keras nan tegas. Contohnya Allah melarang zina. Perbuatan melanggar larangan ini , yakni melakukan zina status hukumnya haram karena ada ancaman siksa yang jelas dalam hadis terhadap pelaku zina.
Adapun “khilaful aula”, maka pengertiannya adalah status hukum yang muncul jika orang melanggar hal yang disunnahkan. Semua hal yang sifatnya bertentangan dengan yang disunnahkan maka disebut “khilaful aula” tanpa membedakan apakah bersifat “positif” (melakukan aksi) maupun “negatif” (meninggalkan aksi).
Contoh yang melakukan aksi adalah sebagai berikut.
Rasulullah ﷺ mencontohkan saat berhaji beliau tidak berpuasa Arofah. Dengan demikian, orang yang berhaji dan wukuf di Arofah disunnahkan tidak berpuasa untuk mencontoh Rasulullah ﷺ. Jika ada yang melanggar dan malah berpuasa di hari itu, maka status perbuatannya adalah “khilaful aula”, bukan makruh.
Contoh yang meninggalkan aksi adalah sebagai berikut.
Rasulullah ﷺ memerintahkan dan menganjurkan salat dhuha dan qiyamul lail. Jika orang tidak melakukan salat dhuha dan tidak qiyamul lail, maka status hukumnya ini dinamakan “khilaful aula”, bukan makruh.
Baik “makruh” maupun “khilaful aula” jika dilakukan maka tidak ada ancaman siksa, hanya saja makruh lebih berat, sementara “khilaful aula” lebih ringan.
Az-Zarkasyi memberi contoh pembedaan istilah antara makruh dan “khilaful aula” sebagai berikut,
وَالصَّحِيحُ: أَنَّ صَوْمَ عَرَفَةَ لِلْحَاجِّ خِلَافُ الْأَوْلَى لَا مَكْرُوهٌ
“Pendapat yang paling kuat adalah, berpuasa Arofah bagi orang yang berhaji adalah khilaful aula, bukan makruh” (Al-Bahru Al-Muhith fi Ushul Al-Fiqh, juz 1 hlm 231).
Posisi “khilaful aula” itu terletak di antara makruh dengan mubah. Kata Az-Zarkasyi, “khilaful aula” itu masih masuk rincian makruh, jadi bukan kategori baru dari “ahkam khomsah” (الأحكام الخمسة) yang telah dikenal (wajib, sunnah, mubah makruh, dan haram).
Istilah lain “khilaful aula” adalah “tarkul aula” (ترك الأولى) atau “la yanbaghi” (لا ينبغي). Kata Al-Juwaini, istilah ini diciptakan oleh ulama mutaakhirin.
- As-Suyuthi dalam “Al-Hawi li Al-Fatawi” juga menulis yang memberi kesan bahwa istilah ini diciptakan pertama kali di zaman Al-Juwaini atau sebelumnya sedikit, kemudian diikuti oleh ulama belakangan.
- Taqiyyuddin As-Subki malah menegaskan bahwa Al-Juwaini-lah yang pertama kali menciptakannya. Dalam catatan terdahulu saya sempat menyinggung bahwa An-Nawawi juga menggunakan istilah “khilaful aula” ini saat menulis hukum mengelap air setelah wudhu. Kata Al-‘Abbadi, ulama mutaqoddimin tidak pernah memakai istilah “khilaful aula”.
رحم الله علماءنا رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي اعلماء الصالحين
0 komentar:
Post a Comment