SANTI WAHYUNI
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bagaimana
Perkembangan Tasawuf pada Masa Awal
Tasawuf paada zaman dahulu dikatakan sebagai
kehidupan rohani di karenakan ajaran ini mengandung perjuangan manusia dalam
mendapatkan kehidupan yang sempurna di mata Sang Pencipta. Kerohanian ini
berupa ikhtiar manusia dalam mengalahkan gangguan hawa nafsu dan kehidupan
kebendaan. Sejarah perkembangan kerohanian itu sendiri secara garis besar
dibagi menjadi 2 yakni zuhud dan tasawuf. Istilah ini pada dasarnya belum ada
pada zaman Rasulullah SAW dan tidak disebutkan dalam alqur’an, kecuali istilah
zuhud.
Secara etimologis, zuhud berarti raghaba ‘an
syai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan
meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan
dunia untuk ibadah. Zuhud juga tidak dapat dipisahkan dengan 2 keadaan yaitu
pertama zuhud dijadikan sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tasawuf.
Kedua zuhud dijadikan sebagai akhlak moral dari sebuah perbuatan dan gerakan
protes. Apabila zuhud ini tidak dapat dipisahkan dengan tasawuf , maka fungsi
zuhud dalam tasawuf dijadikan sebagai maqam. Namun apabila zuhud dikatakan
sebagai moral akhlak, maka fungsi zuhud disini berarti bagainmana upaya
kehidupan agar mereka dapat menatap dunia yang fana’ ini. Pandangan dunia
menurut mereka hanyalah sekedar tempat beribadah untuk menghantarkan keridhoan
kepada Allah semata. Mereka sama sekali tidak terpengaruh dengan kemewahan
dunia ini. Perbedaan pandangan zuhud disini memiliki perbedaan yang sangat kuat
yaitu bahwa zuhud yang dikatakan sebagai maqam itu bersifat individual,
sedangkan zuhud yanag kedua yang dikatakansebagai akhlak dan moral itu bersifat
individual dan sosial, dan sering dipergunakan sebagai protes dari
penyimpangan sosial. Dalam penamaan zuhud terdapat istilah [1]lain
yaitu zahid.
Pada dasarnya seseorang sebelum menjadi sufi,
seorang calon harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid,
barulah ia meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid,
tetapi sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi. Kaum zahid lebih
mengutamakan hidup kebatinan dan kerohanian dan menjuruskan perhatianya dan
kehidupanya kearah Allah.
Dalam permulaan Tarikh Islam, kehidupan zuhud
atau asketisme belum lagi merupakan suatu gerakan keagamaan yang meluas, yang
diamalkan oleh seluruh masyarakat Islam, akan tetapi ia merupakan kegiatan dan
kecendrungan pribadi, mengikuti petunjuk Islam al-Quran dan sunah Nabi.
Kegiatan yang sama sekali tidak mementingkan kehidupan di dunia. Mereka hanya
ingin mendekatkan diri kepada Allah. Mereka lebih gemar berjihad dijalan Allah
dan berdakwah untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap zuhud inilah yang sering
dikatakan sebagai ilmu pengantar dari kemunculan ilmu Tasawuf. Tahap awal
perkembangan tasawuf itu dimulai pada abad ke 1-H sampai kurang lebih abad ke
2-H. Pada masa nabi belum muncul istilah-istilah, namun praktek ilmu-ilmu
cabang sudah ada di masa nabi sebelum diangkat sebagai rasul. Kehidupan Nabi
Muhammad SAW, dapat dijadikan sebagai suri tauladan. Perkembangan tasawuf
pada masa klasik itu berkisar pada masa Nabi Muhammad SAW, para Sahabat
(Khulafaur Rasyidin), Tabi’in, masa Bani Umayah, dan masa Bani Abbasiya
tasawuf
Beliau ber’uzlah dengan menyatukan pikiran dan perasaan dalam merenungi alam
dan beliau telah tenggelam dalam kebesaran Allah SWT. Aktifitas uzlah inilah
yang banyak diambil pelajaranya, karena penyakit jiwa tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan ber ‘uzlah. Sifat sombong , ujub, hasud, riya,dan cinta terhadap dunia,
merupakan penyakit yang merusak jiwa dan hati nurani, meskipun secara lahiriyah
manusia itu terlihat melakukan amalan shaleh. Didalam Gua Hira beliau terus
mengingat Allah dan memuja-Nya, sehingga putuslah hubungan beliau dengan
makhluk yang lainya. Beliau membersihkan diri dari noda-noda hati yang yang
mengotori jiwa. Menurut Ibnu Atha’illah al-Iskandariyah bahwa “tiada lebih
berguna bagi hati selain ‘uzlah. Dengan ‘uzlah hati memasuki lapangan
tafakkur.”
C. Tahapan Perkembangan
Tasawuf Masa Awal sampai Masa Pertengahan
1. Tasawuf
Abad Pertama dan Kedua Hijriyah
Menurut para ahli sejarah tasawuf, zuhud atau
asketisime merupakan fase yang mendahului lahirnya tasawuf pada abad pertama
dan kedua Hijriyah. Dalam Islam, asketisisme mempunyai pengertian khusus.
Asketisisme bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan dunia, tetapi
asketisme ini adalah tidak ada keterikatan nafsu dengan dunia. Istilah yang
populer digunakan pada masa awal tersebut adalah nussaak, zuhhaad dan ‘ubbaad.
Nussaak merupakan bentuk jamak dari nasik, yang berarti orang-orang yang telah
menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Tuhan. Zuhhaad adalah
bentuk plural dari zahid, yang berarti “tidak ingin” kepada dunia, kemegahan,
harta benda dan pangkat. Sedangkan ‘ubbaad merupakan bentuk jamak dari abid
yakni orang-orang yang telah mengabdikan dirinya semata-mata kepada Tuhan.
Pada dasarnya zuhud adalah permulaan
dari munculnya tasawuf. Di masa ini belum muncul istilah tasawuf namun
prakteknya sudah ada sejak itu, seperti lahirnya hasan bashri yang
memperkenalkan ajaran Khauf dan Raja’. Rasa takut dan berharap
kepada Allah lah yang sering di ajarkan bagi para mursyid terhadap muridnya.
Sedangkan pengamalannya dari kehidupan rohani
yaitu dengan mengurangi makan, menjauhkan diri dari keramaian duniawi dan
mencela dunia seperti harta, keluarga, dan kedudukan. Abu al- Wafa menyimpulkan
zuhud salah satunya yaitu menjauhkan diri dari kehidupan dunia untuk menuju kee
kehidupan akherat, dengan melakukan sesuatu yang bersifat sederhana, praktis,
dan bertujuan untuk [2]meningkatkan
moral.
2. Tasawuf
Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah
Pada abad yang ketiga dan keempat ini, tawasuf
mulai mengalami pengembangan . istilah zuhud sudah diganti dengan istilah
tasawuf . Bahkan penamaan tasawuf di sinipun sudah hampir punah. Mereka
lebih menggunakan tasawuf dengan istilah sufi. Corak-coraknya pun sudah berbeda
sekali dengan yang dulu. Abad ini menggunakan tasawuf yang bersifat kefana’an
yang fokus dengan persatuan hamba dan hubunganya dengan sang Khaliq(ittishal).
Metode yang dikenal dengan istilah tingkatan (maqam) serta keadaan (hal),
ma’rifat, tauhid, penyatuan atau hulul. Bahkan mereka menyusun aturan-aturan
praktis bagi tarekat mereka dan mempunyai bahasa simbolis khusus yang hanya
dikenal dalam kalangan mereka sendiri, yang asing bagi kalangan luar. Sejak
saat itu muncul karya-karya tentang tasawuf, dengan para pengarang seperti
Al-Muhasibi (w. 243 H), Al-Kharraz (w. 277 H), Al-Hakim Al-Tirmidzi (w. 285 H),
dan Al-Junaid (w. 297 H). Sehingga dapat dikatakan bahwa abad ketiga Hijriyah
merupakan tasawuf yang mencapai peringkat terjernih dan tertinggi, karena
tokoh-tokoh sufi inilah yang kemudian di jadikan panutan para sufi yang hidup
setelahnya.
Pemikiran mereka yang sangat cakap dalam
bidang apapun. Maka terkenal pulalah ilmu mereka sebagai ilmu Batin, ilmu
Hakikat, ilmu Wiratsah dan ilmu Dirayah. Semua istilah tersebut merupakan
kebalikan dari ilmu Lahir, ilmu Syariah, ilmu Dirasah, dan ilmu Riwayah
Pada abad III dan IV hijriyah, terdapat dua
aliran tasawuf, yaitu aliran Tasawuf Sunni. Tasawuf sunni adalah tasawuf yang
pokok ajaranya sangat terikat dengan al-Qur’an dan Hadits serta mengkaitkan
antara ahwal dengan maqamat mereka terhadap kedua sumber tersebut. Sedangkan
yang kedua adalah aliran tasawuf “semi falsafi”. Para pengikut tasawuf
ini cenderung dengana ungkapan-ungkapan yang ganjil(syathahiyat ) serta
bertolak dengan keadaan fana’ menuju pernyataan tentang terjadinya pen[3]yatuan
( ittihad atau hulul).
3. Tasawuf
Abad Kelima Hijriyah
Aliran tasawuf moderat
atau sunni terus tumbuh dan berkembang pada abad kelima Hijriyah. Sementara
aliran kedua yang bercorak semi-filosofis , mulai tenggelam dan kelak akan
muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang juga filosof
pada abad kelima Hijriyah dan setelahnya.
Tenggelamnya aliran kedua pada abad kelima
Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh berjayanya aliran teologi Ahlus Sunnah
wal Jama’ah melalui keunggulan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari atas aliran-aliran
lainnya. Tasawuf pada masa ini cenderung melakukan pembaruan dengan
mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya yang
sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan Al-Ghazali. Di sini akan
dibahas pandangan atau kritik mereka terhadap penyimpangan tasawuf.
Abu Al-Qasim Al-Qusyairi merupakan tokoh yang
sangat terkenal pada abad kelima Hijriyah terutama karena karya beliau yang
sangat terkenal, al-Risalah al-Qusyairiyyah, yang sangat berpedoman pada
Al-Quran dan Sunnah. Di awal mukadimahnya, Qusyairi melukiskan bahwa saat itu
sudah amat langka para sufi sejati. Karena itu, Qusyairi menulis kitab
yang ia menguraikan konsep-konsep tasawuf, maqamat wal ahwal, kondisi
ruhaniah dan karamah para wali, serta diakhiri dengan biografi singkat mengenai
para tokoh sufi ternama.
Tokoh sufi lain yang tasawufnya berasaskan
doktrin Ahlus Sunnah ialah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad Al-Anshari atau
yang lebih dikenal dengan Al-Hawari. Ia dipandang sebagai penggagas aliran
pembaruan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan
ungkapan-ungkapannya, seperti Al-Busthami dan Al-Hallaj.
Karya Al-Harawi yang paling terkenal adalah
Manazil al-Sairin ila Rabb al-Alamin. Dalam karya ringkas tersebut, ia
memaparkan tingkat-tingkat ruhaniah yang mempunyai awal dan akhir.
Ketingkatan ini menurut al-Qusyairi dianalogikan dengan sebuah bangunan yang
didalamnya harus ada pondasinya agar bangunan itu menjadi kokoh .oleh karena
itu tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta
mengikuti Sunnah.
Al-Harawi juga dikenal dengan teori fana’ dalam
kesatuan, namun fana’nya berbeda dengan fana’ para sufi semi falsafi
sebelumnya. Baginya fana’ bukanlah fana wujud sesuatu yang selain Allah, tetapi
dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri atau dengan kata lain,
ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang disaksikan.
Al-Harawi menganggap bahwa orang yang suka
mengeluarkan ungkapan-ungkapan ganjil, maka hatinya tidak bisa tenteram, atau
dengan kata lain ungkapan tersebut muncul dari ketidaktenangan. Sebab apabila
ketenangan itu terpaku dalam kalbu mereka, maka akan membuat mereka terhindar
dari keganjilan ucapan atau pun segala penyebabnya.
Setelah mendalami berbagai ilmu, seperti ilmu
Fikih, Kalam, Filsafat dan Tasawuf, maka ia berkeyakinan bahwa jalan sufi
adalah jalan terbaik.
4.Tasawuf Abad Keenam Hijriyah
Tasawuf filosofis merupakan tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan
secara rasional filosofis. Terminologi filosofis tersebut berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi para tokoh-tokohnya.
Tasawuf filosofis ini mulai muncul dengan jelas sejak abad keenam Hijriyah,
meskipun para tokohnya baru dikenal setelah seabad kemudian
Adapun tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Suhrawardi dan Ibn
Arabi. Di sini akan dielaborasi sekilas pandangan ketiga tokoh tersebut agar
dapat memperjelas konsep tasawuf filosofis yaitu Al-Suhrawardi Al-Maqtul
dikenal sebagai Shaykh , guru filsafat cahaya. Walaupun ia meninggalkan banyak
karya, namun karyanya yang paling terkenal dan mengantarkannya dirinya sebagai
tokoh tasawuf filosofis adalah Hikmah al-Isyraq. Kitab tersebut menguraikan
pandangan-pandangannya tentang filsafat isyraqi atau tasawuf isyraqi
(iluminatif),
“Hakikat dari Cahaya Mutlak, Tuhan, memberi
terang terus menerus, yang merupakan pengejawantahan dan menyebabkan segala
sesuatu ada, memberikan kehidupan kepada segala sesuatu dengan sinarnya.
Segalanya di dunia berasal dari Cahaya hakikat-Nya dan segala keindahan dan
kesempurnaan adalah karunia dari kemurahan-Nya, dan mencapai terang ini
sepenuhnya berarti keselamatan”.
5. Tasawuf Abad Ketujuh Hijriyah dan
Sesudahnya
Periode abad keenam dan ketujuh Hijriyah tidak
kalah penting dengan periode-periode sebelumnya. Sebab pada periode ini justru
tasawuf telah menjadi semacam filsafat hidup bagi sebagian besar masyarakat
Islam. Tasawuf menjadi memiliki aturan-aturan, prinsip, dan sistem khusus; di
mana sebelumnya ia hanya dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi dalam
dunia Islam tanpa adanya ikatan satu sama lain. Periode inilah kata “tarekat”
pada para sufi mutakhir dinisbatkan bagi sejumlah pribadi sufi yang bergabung
dengan seorang guru (syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam
jalan ruhani. Mereka hidup secara kolektif di berbagai zawiah, rabath, dan
khanaqah (tempat-tempat latihan), atau berkumpul secara periodik dalam
acara-acara tertentu, serta mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun ruhaniah
yang teratur.
tasawuf
mempunyai metode spiritual yang praktis,
tarekat memiliki metode yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Ada
yang menggunakan program penyucian jiwa, zikir, tafakur, meditasi, mendengar
musik dan menari, qiyamul lail dan lain-lain. Tetapi tujuan mereka semuanya
sama yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah semata (taqarrub ila Allah).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehidupan kerohanian pada masa masa dengan masa
pertengahan sangat berbeda. Bersamaan dengan muncul beberapa pendapat
tentang penamaan kata “Tasawuf ”. Sumber-sumber ajaran tasawuf
mereka juga masih di perdebatkan. Dari masa ke masa tasawuf mengalami
perkembangan dalam ajaranya, begitu juga para tokoh dalam mengajarkan
pemahaman kepada para pengikutnya. Tahapan tasawuf itulah yang dapat
membedakan antara tasawuf yang murni dengan tasawuf yang sudah tercampur
dengan ajaran yang lain.
Hidup kerohanian yang sangat terkenal apalagi di
setiap tokoh mempunyai sikap kezuhudanya masing-masing. Kezuhudan mereka
yang membuat kehidupan mereka lebih berarti dengan hadirnya allah dalam
benaknya. Ajaran yang tidak pernah hilang dari tasawuf adalah
kewara’anya, sabar, dan qanaah. Harta, pakaian, kebutuhan sehari-hari,
keluarga, dan kekuasaan bukanlah hal yang dijadikan sebagai penghalang mereka
untuk tetap mendekatkan diri kepada Allah SWT.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah
ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis
mengharapkan krtik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini di
masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
HAMKA. Tasauf
Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1981
Khoiri,Alwan. Akhlak dan Tasawuf. Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005
Rohim,abdur. Bahan Ajar Akhlak. Mojokerto:
CV.Sinar Mulia. 2008
Syukur,Amin. Menggugat Tasawuf Sufisme dan
Tanggung jawab Sosial Abad 21.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999
0 komentar:
Post a Comment