RANI JUNIANTI
SEJARAH DAN KONSEP ALIRAN TASAWUF AMALI.
Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris
Islam, sebagaiperwujudan dari ikhsan yang berarti kesadaran adanya
komunikasidan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Esensi tasawuf sebenarnya
telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namuntasawuf sebagai ilmu
keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yanglahir belakangan, sebagaimana
ilmu-ilmu keislaman lainnya sepertifiqih dan ilmu tauhid. Adapun tasawuf ‘amali
sendiri, dipahamisebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada
perilakuyang baik, dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah.Di
dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui
dzikir atau wirid yang terstruktur denganharapan memperoleh ridha Allah Swt.
Tasawuf ‘amali merupakantasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus
sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total
dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Swt. Sejarah dan perkembangan
tasawuf ‘amali mengalami beberapa fase, yaitu yang dimulai sejak abad kesatu
dan kedua Hijriyah, di mana tasawuf masih bersifat praktis (belum ada konsep-konsep
tasawuf secara terpadu); abad ketiga Hijriyah; abad keempat Hijriyah; abad
kelima Hijriyah; abad
keenam Hijriyah, di mana para sufi
mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang kemudian berkembang pesat
sampai sekarang.
Pendahuluan
Allah menciptakan manusia di muka bumi
adalah untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Tidak terlepas dari
fitrahnya ini, Allah SWT menganugerahkan dua potensi penting dalam diri
manusia, yaitu akal dan nafsu. Allah SWT memberikan akal kepada manusia agar mereka
mampu dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang benar dalam bertindak,
bertingkah laku, berbuat ataupun bekerja. Sementara nafsu adalah sebuah pemicu
bagi tingkat pekerjaan yang dilakukan oleh akal, sehingga nafsu ini dapat
menjadi nafsu yang baik, yakni nafsu yang dilatih untuk menghindar dari
perbuatan-perbuatan yang tercela dan membawa dosa, dan nafsu yang buruk, yakni
nafsu yang dilatih untuk melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan salah. Para
ahli sufi memiliki pendapat bahwa hawa nafsu dapat menjadi tabir penghalang
untuk dapat dekat dengan Allah Swt. Hal yang seperti ini akan terjadi ketika
diri seseorang telah dikendalikan oleh hawa nafsu. Hawa nafsu yang seperti ini
akan membawa manusia cenderung memuja kenikmatan duniawi. Hingga pada akhirnya
bukanlah kenikmatan kehidupan akhirat yang dijadikan tujuan utama dalam hidup,
melainkan kenikmatan dunialah yang dijadikan tujuan utama dalam mencapai
keberhasilan hidup. Berdasarkan alasan pentingnya membentengi diri dari hal-hal
yang munkarat itulah dibutuhkan sebuah metode yang aplikatif untuk memperoleh
ketenangan dan kebahagiaan jiwa yang bersifat batiniyah, yaitu tasawuf. Tasawuf
merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang
berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan
Tuhannya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah
Saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir
belakangan, sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu
tauhid.
Pengertian
Tasawuf ‘Amali
Istilah Tasawuf dalam Islam sebenarnya pada
masa nabi Muhammad Saw belum ada. Tidak mengherankan apabila kata sufi dan tasawuf
dikaitkan dengan kata-kata arab sebagai berikut:
1. Safa dalam arti suci
dan sufi adalah orang yang disucikan. Sebab kaum sufi banyak berusaha
menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadah, terutama shalat dan
puasa.
2. SAFF(baris). Yang
dimaksud SAFF di sini ialah baris pertama dalam shalat di masjid. SAFF pertama
ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke masjid dan banyak membaca ayat
suci al-Qur’an dan berdhikir sebelum waktu shalat datang.
3. Ahl al-Shuffah,
yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan
harta kekayaannya di Mekkah, tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku
batu dengan memakai suffah (pelana) sebagai bantal. Sungguhpun tidak memiliki
apa-apa, mereka berhati baik dan tidak mementingkan dunia.
4. Sophos (bahasa
Yunani yang masuk ke dalam filsafat Islam), yang berarti hikmah atau
kebijaksanaan.
5. Suf(kain wol). Dalam
dunia tasawuf kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan
barang mewah yang bisa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang
ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan
kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Di antara semua pendapat itu, pendapat
terakhir inilah yang banyak diterima sebagai kata asal sufi. Jadi, sufi adalah
orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan
memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang pertama yang memakai kata sufi adalah
Abu Hashim al-Kufi di Irak .
Adapun pengertian tasawuf secara istilah,
banyak para ahli yang berbeda pendapat sesuai seleranya masing-masing. Menurut
al-Jurairi, “Tasawuf adalah masuk ke dalam segala budi (akhlaq) yang mulia dan keluar
dari budi pekerti yang rendah”. Menurut Ma’ruf al-Khurki, “Tasawuf adalah
mengambil hakikat dan tidak berharap terhadap apa yang ada di tangan makhluk”.
Sedangkan menurut al-Junaidi, “Tasawuf adalah membersihkan hati dari dari apa
saja yang mengganggu perasaan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang
asal (insting) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia,
menjauhi segala seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kesucian rohani, bergantung
pada ilmu-ilmu hakikat, menaburkan nasihat kepada semua orang, memegang teguh
janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal
syariat”3 Adapun tasawuf ‘amal sendiri, maka dapat dipahami sebagai ajaran
tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik, dalam kaitannya dengan
amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan
dengan Allah melalui dzikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan
memperoleh Rida Allah Swt. Tasawuf
‘amali merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus
sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total
dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Swt.
Sejarah Perkembangan Tasawuf ‘Amali
Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan
dari pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan
tabiin, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis
mulai muncul. Ajaran Islam mereka dapat dipandang dari dua aspek, yaitu
jahiriah (seremonial) dan aspek batiniah (spiritual), atau apek luar dan aspek
dalam. Pendalaman dan pengamalan aspek “dalamnya” mulai terlihat sebagai hal
yang paling utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek ‘luarnya” yang
dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih
berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa,
lebih mementingkan keagungan Tuhan dan bebas dari egoisme. Sejarah dan
perkembangan tasawuf mengalami beberapa fase sebagai berikut :
1. Abad
Kesatu dan Kedua Hijriyah
Benih-benih tasawuf
sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi Saw. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku
dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad Saw. Sebelum
diangkat menjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di gua Hira’ terutama pada
bulan Ramadan Di sana Nabi banyak zikir dan bertafakur untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Pengasingan Nabi di gua H{ira’ merupakan acuan utama para sufi dalam
berkhalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat
Nabi yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi
pekerti luhur. Oleh sebab itu, setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian
dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang
menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad sesudahnya. Setelah periode sahabat
berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad I dan II H). Pada masa itu
kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya.
Konflik-konflik sosial politik yang bermula dari masa Uthman bin Affan
berkepanjangan sampai masa- masa sesudahnya. Konflik politik tersebut ternyata
mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok
Bani Umayyah, Shi’ah, Khawarij, dan Murjiah.6 Pada masa kekuasaan Bani Umayyah,
kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki,
khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat kezaliman-kezaliman,
terutama terhadap kelompok Shi’ah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling
gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya
Husein bin Ali bin Abi Talib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai
pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah
yang tak henti-hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kafah merasa menyesal
karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang
melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabin (orang-orang
yang bertaubat). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka
mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwabin itu
dipimpin oleh Mukhtar. bin Ubaid al-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68
H. Di samping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosial pun
terjadi. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan
beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat, secara
umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang
tampuk kekuasaan, hidup mewah mulai
meracuni masyarakat,
terutama terjadi di kalangan istana. Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah
tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi Saw dan sahabat utama, dan semakin
dekat dengan tradisi kehidupan raja-raja Romawi. Dalam situasi demikian kaum
muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk
hidup zuhud8 sederhana, saleh,dan tidak tenggelam
dalam buaian hawa nafsu. Di antara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar
al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang
tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam
Islam. Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat
mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi Saw dan para
sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat
itu kehidupan zuhud menyebar luas di kalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu
disebut zahid, atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid atau
nasik. Zuhud yang tersebar luas pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah
terdiri atas berbagai aliran yaitu:
a.
Aliran Madinah
Sejak masa yang dini,
di Madinah telah muncul para zahid. Mereka kuat berpegang teguh kepada
al-Qur’an dan al-Sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan
kezuhudannya. Di antara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah
al-Jarrah , Abu Dzar al-Ghiffari , Salman al-Farisi , Abd Allah ibn Mas’ud ,
Hudzaifah ibn Yaman. Sementara itu dari kalangan tabi’in di antaranya adalah
Sa’id ibn al- Musayyad.dan Salim ibn Abdullah Aliran Madinah ini lebih
cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf), dan berpegang
teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu
terpengaruh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti
Umayyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari
Bani Umayyah. Dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan
konsisten pada ajaran-ajaran Islam.
b.
Aliran Basrah
Louis Massignon
mengemukakan dalam artikelnya “Tasawuf”dalam Ensiklopedie de Islam, bahwa pada
abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah
satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kafah. Menurut Massignon orang-orang
Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Bani Tamim. Mereka terkenal dengan
sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang riil. Merekapun terkenal
menyukai hal-hal logis dalam nahwu, hal-hal nyata dalam puisi dan kritis dalam
hal hadith. Mereka adalah penganut aliran Ahl al-Sunnah, tapi cenderung pada
aliran- aliran Mu’tazilah dan Qadariyyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan
al-Basri, Malik ibn Dinar, Fadl al-Raqqashi, Rabbah ibn ‘Amru al-Qishi, Salih
al-Murni atau Abd al-Wahid ibn Zaid, seorang pendiri kelompok asketis di
Abadan. Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut
yang berlebih-lebihan.
c.
Aliran Kufah
Aliran Kufah menurut
Louis Massignon, berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak idealistis, menyukai
hal-hal aneh dalam nahwu, imajinasi dalam puisi, dan harfiah dalam hal hadith.
Dalam akidah mereka cenderung pada aliran Shi’ah, sebab aliran Shi’ah pertama kali
muncul di Kufah. Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama
Hijriyah ialah al-Rabi’
ibn Khathim sedangkan pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair ,
Thawus ibn Kisan , Sufyan al-Thauri.
d.
Aliran Mesir
Pada abad-abad pertama
dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran
zuhud lain, yaitu aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir,
sejumlah para sahabat telah memasuki
kawasan itu, misalnya Amr ibn al-As, Abd Allah ibn Amr ibn al-As yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad. Tokoh-tokoh zahid
Mesir pada abad pertama Hijriyah di
antaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Dia pernah menjabat sebagai hakim di Mesir, dan meninggal di Dimyati tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abd Al-Rahman
ibn Hujairah menjabat sebagai hakim
agung Mesir tahun 69 H. Sementara tokoh
zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyah adalah al-Laits ibnsanad. Kezuhudan dan kehidupannya yan sederhana sangat
terkenal. Menurut ibn Khallikan dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan. Dari uraian tentang zuhud dengan
berbagai alirannya, baik dari aliran
Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik
sebagai berikut:
1. Zuhud ini
berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan
memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran al-Qur’an
dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang
berkembang
dalam masyarakat Islam
ketika itu.
2. Bercorak praktis,
dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip
teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.
3. Motivasi zuhud ini
ialah khauf, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara
sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyyah,
muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap
adzab-Nya.
4. Menjelang akhir abad
II Hijriyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah
ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase
pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat
Hijriyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’ dan
nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah
tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid
ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.
e.
Abad Ketiga Hijriyah
Sejak abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai
menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku.
Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya
menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi yang berkembang ketika itu,
sehingga di tangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan
atau ilmu akhlak keagamaan. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini
menjadikan tasawuf
terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan semua orang.
Kesederhanaannya dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau alur
berpikirnya. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam
dalam praktik yang lebih menekankan keterpujian akhlaq manusia. Mereka
melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlak-akhlak atau moral
yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang
mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak terpuji. Kondisi
ini mulai berkembang di tengah kehidupan jahiriyah yang sangat formal dan
cenderung kurang diterima oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan
ajaran Islam sampai pada aspek mendalam. Oleh karena itu, ketika menyaksikan
ketidak beresan perilaku (akhlak) di sekitarnya, mereka menanamkan kembali
akhlak mulia.
Pada abad ketiga terlihat perkembangan
tasawuf yang pesat, ditandai dengan adanya se golongan ahli tasawuf yang
mencoba menyelidiki ajaran tasawuf yang berkembang masa itu. Mereka membaginya
menjadi tiga macam, yaitu:
a. Tasawuf yang
berintikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi suatu metode yang lengkap
tentang pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan manusia kepada
kha>liq-nya,
sehingga ketegangan
kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan baik.
b. Tasawuf yang
berintikan ilmu akhlak; yaitu di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang
cara berbuat baik serta cara menghindarkan keburukan, yang dilengkapi dengan
riwayat dari kasus yang pernah dialami oleh para sahabat Nabi.
c. Tasawuf yang
berintikan metafisika; yaitu di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan
hakikat Ilahi, yang merupakan satu- satunya yang ada dalam pengertian yang
mutlak serta melukiskan sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi orang-orang
yang tajalli kepadanya.
f.
Abad Keempat Hijriyah
Abad ini ditandai
dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan abad ketiga
Hijriyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran
tasawufnya masing-masing. Akibatnya kota Baghdad yang hanya satu-satunya kota
yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa
itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya. Upaya untuk mengembangkan ajaran
tasawuf di luar kota Baghdad, dipelopori oleh beberapa ulama tasawuf yang
terkenal kealimannya, antara lain:
a. Musa al-Ansary;
mengajarkan tasawuf di Khurasan (Persia atau Iran), ia wafat di sana tahun 320
H.
b. Abu Hamid bin
Muhammad al-Rubazy; mengajarkannya di salah satu kota Mesir, ia wafat di sana
tahun 322 H.
c. Abu Zaid al-Adamy;
mengajarkannya di Semenanjung Arabiyah, ia wafat di sana tahun 314 H.
d. Abu Ali Muhammad bin
Abd al-Wahhab al-Saqafy mengajarkannya di Naisabur dan kota Sharaz, hingga ia
wafat tahun 328 H.
Dalam pengajaran tasawuf di berbagai negeri
dan kota, para ulama tersebut menggunakan sistem tarekat (tariqah), sebagaimana
yang dirintis oleh ulama tasawuf pendahulunya. Sistem tersebut berupa pengajaran
dari seorang guru terhadap murid-muridnya yang bersifat teoretis serta
bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya yang disebut “suluk” dalam
ajaran tasawuf. Sistem pengajaran tasawuf yang sering disebut tarekat, diberi
nama yang sering dinisbatkan kepada nama penciptanya (gurunya), atau sering
pula di nisbatka kepada lahirnya kegiatan tarekat tersebut. Ciri-ciri lain yang
terdapat pada abad ini, ditandai dengan semakin kuatnya unsur filsafat yang
memengaruhi corak tasawuf, karena banyaknya buku filsafat yang tersebar di
kalangan umat Islam dari hasil terjemahan orang-orang muslim sejak zaman
permulaan Dinasti Abbasiyah. Pada abad ini pula mulai dijelaskannya perbedaan
ilmu zahir dan ilmu batin, yang dapat dibagi oleh ahli tasawuf menjadi
empat macam, yaitu;
a. Ilmu shari’ah
b. Ilmu tariqah
c. Ilmu haqiqah
d. Ilmu ma’rifah
Shariah adalah segala ketentuan agama yang
sudah ditetapkan oleh Allah untuk hamba-Nya. Bagi orang-orang Sufi, Shariah
adalah kualitas amal lahir-formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui
al-Qur’an dan Sunnah. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa Shariah adalah ilmu
ibadah yang cenderung hanya menyentuh aspek lahir manusia dan tidak menyentuh
aspek batin manusia. 18 Tariqah menurut istilah tasawuf adalah jalan yang harus
ditempuh oleh seorang Sufi dalam mencapai tujuan, berada sedekat mungkin dengan
Tuhan. Tariqah adalah jalan yang ditempuh para Sufi dan digambarkan sebagai
jalan yang berpangkal dari shari’at, sebab jalan utama disebut shar’, sedangkan
anak jalan disebut dengan t}ariq. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa
Tariqah adalah cabang dari Shari’ah yang merupakan pangkal dari suatu ibadah. 19
Haqiqah adalah kebenaran yang bersifat esensial. Makna haqiqah menunjukkan kebenaran
esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis.
H{aqiqah merupakan unsur ketiga setelah Shari’ah (hukum) yang merupakan kenyataan
eksoteris, Tar’qah (jalan) sebagai tahapan esoterisme, dan yang ketiga adalah
Haqiqah, yakni kebenaran yang essensial. 20 Ma’rifah adalah pengetahuan yang
sangat jelas dan pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. al-
Ghazali secara terperinci mengemukakan pengertian ma’rifat ke dalam hal-hal
berikut: 1) Ma’rifat adalah mengenal rahasia-rahasia Allah dan
aturan-aturan-Nya yang melingkupi seluruh yang ada; 2) Seseorang yang sudah sampai
pada ma’rifat berada dekat dengan Allah, bahkan ia dapat memandang wajah.
g. Abad Kelima Hijriyah
Pada abad kelima ini
muncullah Imam al-Ghazali , yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang
berdasar al-Quran dan al-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana,
pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya
dengan begitu mendalam. Di sisi lain, Ia melancarkan kritikan tajam terhadap para
filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. al-Ghazali lah yang berhasil
memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf al-Halla j dan Abu Yazi d al-Bust
ami. Tasawuf pada abad kelima Hijriyah cenderung mengadakan pembaharuan,
yakni dengan mengembalikannya kepada landasan al- Quran dan al-Sunnah.
Al-Qushairi dan al-Harawi dipandang sebagai tokoh sufi yang paling menonjol
pada abad ini, yang memberi bentuk tasawuf Sunni. Kitab al-Risalah
al-Qushairiyyah memperlihatkan dengan jelas bagaimana al-Qushairi mengembalikan
tasawuf ke atas landasan doktrin Ahl al-Sunnah. Dalam penilaiannya ia
menegaskan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsip-prinsip tasawuf di atas
landasan-landasan tauhid yang benar, sehingga doktrin mereka terpelihara dari
berbagai bentuk penyimpangan. Tokoh lainnya yang seirama dengan al-Qushairi
adalah Abu Isma’il al-Ansari, yang sering disebut al-Harawi. Ia mendasarkan tasawufnya
pada doktrin Ahl-Sunnah. Ia bahkan dipandang sebagai penggagas aliran
pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan
keganjilan ungkapan-ungkapannya (shat} ahat), seperti al-Hallaj dan AbuYazid
al-Bust}ami. Dengan demikian, abad kelima Hijriyah merupakan tonggak yang
menentukan bagi kejayaan tasawuf ‘amali> (sunni). Pada abad tersebut,
tasawuf ini tersebar luas di kalangan dunia Islam. Pondasinya begitu dalam terpancang
untuk jangka waktu lama pada berbagai lapisan masyarakat Islam.
h.
Abad Keenam Hijriyah
Sejak abad keenan Hijriyah, sebagai akibat
pengaruh kepribadian al Ghaza>li> yang begitu besar, pengaruh tasawuf
‘amali semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi
peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam
rangka mendidik para muridnya, seperti Sayyid Ah}mad al- Rifa’i dan Sayyid Abd
al-Qadir al-Jailani Sesudah abad ini tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang
membawa ide tersendiri dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau memang ada hal itu
hanyalah sebagai seorang pengembang ide para tokoh pendahulunya. Tasawuf ‘amali
sebagaimana dituturkan al-Qushairi dalam al- Risalah-nya, diwakili para tokoh
sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriyah, Imam al-Ghazali dan para pemimpin
tarekat yang mengikutinya. al-Ghazali dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf
‘amali, yang seiring dengan al-Qushairi dan al-Harawi. Namun dari segi
kepribadian, keluasan pengetahuan dan kedalaman tasawuf al-Ghazali lebih besar
dibanding semua tokoh-tokoh tasawuf yang ada. Ia sering diklaim sebagai seorang
sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khasanah ketasawufan di dunia
Islam.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang sejarah
perkembangan tasawuf amali pada makalah ini, ada beberapa hal yang dapat
disimpulkan, antara lain:
1. Tasawuf ‘amali
dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik
dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan
tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dzikir atau wirid
yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridha Allah Swt. Tasawuf ‘amali
merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah, menghapus sifat-sifat yang tercela,
melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri
hanya kepada Allah Swt.
2. Sejarah dan
perkembangan tasawuf ‘amali> mengalami beberapa fase ya itu: Abad kesatu dan kedua Hijriyah, tasawuf masih
berupa perilaku zuhud yang didasari rasa khauf dan masih bersifat praktis
(belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu).
b. Abad ketiga
Hijriyah, kata tasawuf mulai digunakan. Orang ahli ibadah sebelumnya disebut
‘abid atau nasik, pada abad ini disebut sebagai sufi.
c. Abad keempat
Hijriyah, perkembangan tasawuf semakin pesat dan munculnya istilah shari’at,
tarekat, hakikat dan ma’rifat, sebagai penjelasan perbedaan ilmu lahir dan ilmu
batin.
d. Abad kelima
Hijriyah, adanya pemancangan ajaran tasawuf sesuai dengan prinsip-prinsip Ahl
al-Sunnahwa al-Jama’ah oleh Imam al-Ghazali. e. Abad keenam Hijriyah, munculnya
para sufi yang mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang kemudian
berkembang pesat sampai sekarang.
Aqib, Kharisudin, Al-Hikmah: Memahami Teosofi
Tarekat Qadiriyah wa
Naqsabandiyah.
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2004.
Ghanimi al, Abd
al-Wafa, al-Taftazani. Madkhal Ila al-Tashawwuf alIslami. al-Qahirah: Dar
al-Thaqafah, 1976.
Hakim al, Abd, Abd
al-Ghani Qasim. Al-Madzahib Al-Shufiyah Wa
Madarisuha. t.t:
Maktabah Madbuli, 1989.
Hawazin, Abd al-Karim
al-Qushairi. Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian
Ilmu Tasawuf, Cet. I.
Jakarta: Pustaka Amani, 1998.
Jumantoro Totok, Munir
Amin Samsul. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo
AMZAH, 2005. Nur
Syaifan, Alim Roswantoro. Peta Kecenderungan Kajian Agama-Agama Dan Filsafat
Islam Pada Program Pascasarjana. Jogjakarta:
Sukses Offset, 2007.
Sholihin M, Rosihan
Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia,
0 komentar:
Post a Comment