Monday, November 9, 2020

SEJARAH DAN KONSEP ALIRAN TASAWUF AMALI

 RANI JUNIANTI

                   SEJARAH DAN KONSEP ALIRAN TASAWUF AMALI.

  Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagaiperwujudan dari ikhsan yang berarti kesadaran adanya komunikasidan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namuntasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yanglahir belakangan, sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya sepertifiqih dan ilmu tauhid. Adapun tasawuf ‘amali sendiri, dipahamisebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilakuyang baik, dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah.Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dzikir atau wirid yang terstruktur denganharapan memperoleh ridha Allah Swt. Tasawuf ‘amali merupakantasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Swt. Sejarah dan perkembangan tasawuf ‘amali mengalami beberapa fase, yaitu yang dimulai sejak abad kesatu dan kedua Hijriyah, di mana tasawuf masih bersifat praktis (belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu); abad ketiga Hijriyah; abad keempat Hijriyah; abad kelima Hijriyah; abad

 keenam Hijriyah, di mana para sufi mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang kemudian berkembang pesat sampai sekarang.

 

                                                        Pendahuluan

   Allah menciptakan manusia di muka bumi adalah untuk menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Tidak terlepas dari fitrahnya ini, Allah SWT menganugerahkan dua potensi penting dalam diri manusia, yaitu akal dan nafsu. Allah SWT memberikan akal kepada manusia agar mereka mampu dan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang benar dalam bertindak, bertingkah laku, berbuat ataupun bekerja. Sementara nafsu adalah sebuah pemicu bagi tingkat pekerjaan yang dilakukan oleh akal, sehingga nafsu ini dapat menjadi nafsu yang baik, yakni nafsu yang dilatih untuk menghindar dari perbuatan-perbuatan yang tercela dan membawa dosa, dan nafsu yang buruk, yakni nafsu yang dilatih untuk melakukan perbuatan-perbuatan dosa dan salah. Para ahli sufi memiliki pendapat bahwa hawa nafsu dapat menjadi tabir penghalang untuk dapat dekat dengan Allah Swt. Hal yang seperti ini akan terjadi ketika diri seseorang telah dikendalikan oleh hawa nafsu. Hawa nafsu yang seperti ini akan membawa manusia cenderung memuja kenikmatan duniawi. Hingga pada akhirnya bukanlah kenikmatan kehidupan akhirat yang dijadikan tujuan utama dalam hidup, melainkan kenikmatan dunialah yang dijadikan tujuan utama dalam mencapai keberhasilan hidup. Berdasarkan alasan pentingnya membentengi diri dari hal-hal yang munkarat itulah dibutuhkan sebuah metode yang aplikatif untuk memperoleh ketenangan dan kebahagiaan jiwa yang bersifat batiniyah, yaitu tasawuf. Tasawuf merupakan salah satu aspek esoteris Islam, sebagai perwujudan dari ihsan yang berarti kesadaran adanya komunikasi dan dialog langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Esensi tasawuf sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah Saw, namun tasawuf sebagai ilmu keislaman adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir belakangan, sebagaimana ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti fiqih dan ilmu tauhid.

 

 

     Pengertian Tasawuf ‘Amali

   Istilah Tasawuf dalam Islam sebenarnya pada masa nabi Muhammad Saw belum ada. Tidak mengherankan apabila kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata arab sebagai berikut:

1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Sebab kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadah, terutama shalat dan puasa.

2. SAFF(baris). Yang dimaksud SAFF di sini ialah baris pertama dalam shalat di masjid. SAFF pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke masjid dan banyak membaca ayat suci al-Qur’an dan berdhikir sebelum waktu shalat datang.

3. Ahl al-Shuffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah, tinggal di masjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah (pelana) sebagai bantal. Sungguhpun tidak memiliki apa-apa, mereka berhati baik dan tidak mementingkan dunia.

4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk ke dalam filsafat Islam), yang berarti hikmah atau kebijaksanaan.

5. Suf(kain wol). Dalam dunia tasawuf kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan barang mewah yang bisa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

  Di antara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai kata asal sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang pertama yang memakai kata sufi adalah Abu Hashim al-Kufi di Irak .

   Adapun pengertian tasawuf secara istilah, banyak para ahli yang berbeda pendapat sesuai seleranya masing-masing. Menurut al-Jurairi, “Tasawuf adalah masuk ke dalam segala budi (akhlaq) yang mulia dan keluar dari budi pekerti yang rendah”. Menurut Ma’ruf al-Khurki, “Tasawuf adalah mengambil hakikat dan tidak berharap terhadap apa yang ada di tangan makhluk”. Sedangkan menurut al-Junaidi, “Tasawuf adalah membersihkan hati dari dari apa saja yang mengganggu perasaan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (insting) kita, memadamkan sifat-sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat kesucian rohani, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat, menaburkan nasihat kepada semua orang, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syariat”3 Adapun tasawuf ‘amal sendiri, maka dapat dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik, dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dzikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh Rida  Allah Swt. Tasawuf ‘amali merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah, dengan menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Swt.

 

 

      Sejarah Perkembangan Tasawuf ‘Amali

  Pada mulanya, tasawuf merupakan perkembangan dari pemahaman tentang makna institusi-institusi Islam. Sejak zaman sahabat dan tabiin, kecenderungan pandangan orang terhadap ajaran Islam secara lebih analitis mulai muncul. Ajaran Islam mereka dapat dipandang dari dua aspek, yaitu jahiriah (seremonial) dan aspek batiniah (spiritual), atau apek luar dan aspek dalam. Pendalaman dan pengamalan aspek “dalamnya” mulai terlihat sebagai hal yang paling utama, tentunya tanpa mengabaikan aspek ‘luarnya” yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Tanggapan perenungan mereka lebih berorientasi pada aspek dalam, yaitu cara hidup yang lebih mengutamakan rasa, lebih mementingkan keagungan Tuhan dan bebas dari egoisme. Sejarah dan perkembangan tasawuf mengalami beberapa fase sebagai berikut :

 1. Abad Kesatu dan Kedua Hijriyah

Benih-benih tasawuf sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi Saw. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad Saw. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di gua Hira’ terutama pada bulan Ramadan Di sana Nabi banyak zikir dan bertafakur untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan Nabi di gua H{ira’ merupakan acuan utama para sufi dalam berkhalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteguhan iman, ketakwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu, setiap orang yang meneliti kehidupan kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad-abad sesudahnya. Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode tabiin (sekitar abad I dan II H). Pada masa itu kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. Konflik-konflik sosial politik yang bermula dari masa Uthman bin Affan berkepanjangan sampai masa- masa sesudahnya. Konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani Umayyah, Shi’ah, Khawarij, dan Murjiah.6 Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat kezaliman-kezaliman, terutama terhadap kelompok Shi’ah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Talib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti-hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kafah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabin (orang-orang yang bertaubat). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwabin itu dipimpin oleh Mukhtar. bin Ubaid al-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H. Di samping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosial pun terjadi. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat, secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan, hidup mewah mulai

 

 

meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalangan istana. Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi Saw dan sahabat utama, dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja-raja Romawi. Dalam situasi demikian kaum muslimin yang saleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup zuhud8  sederhana, saleh,dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Di antara para penyeru tersebut ialah Abu Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam. Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi Saw dan para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupan zuhud menyebar luas di kalangan masyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid, atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid atau nasik. Zuhud yang tersebar luas pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu:

a. Aliran Madinah

Sejak masa yang dini, di Madinah telah muncul para zahid. Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan kezuhudannya. Di antara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-Jarrah , Abu Dzar al-Ghiffari , Salman al-Farisi , Abd Allah ibn Mas’ud , Hudzaifah ibn Yaman. Sementara itu dari kalangan tabi’in di antaranya adalah Sa’id ibn al- Musayyad.dan Salim ibn Abdullah Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf), dan berpegang teguh pada zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak begitu terpengaruh perubahan-perubahan sosial yang berlangsung pada masa dinasti Umayyah, dan prinsip-prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat tekanan dari Bani Umayyah. Dengan begitu, zuhud aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada ajaran-ajaran Islam.

b. Aliran Basrah

Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya “Tasawuf”dalam Ensiklopedie de Islam, bahwa pada abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kafah. Menurut Massignon orang-orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Bani Tamim. Mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada  hal-hal yang riil. Merekapun terkenal menyukai hal-hal logis dalam nahwu, hal-hal nyata dalam puisi dan kritis dalam hal hadith. Mereka adalah penganut aliran Ahl al-Sunnah, tapi cenderung pada aliran- aliran Mu’tazilah dan Qadariyyah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan al-Basri, Malik ibn Dinar, Fadl al-Raqqashi, Rabbah ibn ‘Amru al-Qishi, Salih al-Murni atau Abd al-Wahid ibn Zaid, seorang pendiri kelompok asketis di Abadan. Corak yang menonjol dari para zahid Bashrah ialah zuhud dan rasa takut yang berlebih-lebihan.

c. Aliran Kufah

Aliran Kufah menurut Louis Massignon, berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam nahwu, imajinasi dalam puisi, dan harfiah dalam hal hadith. Dalam akidah mereka cenderung pada aliran Shi’ah, sebab aliran Shi’ah pertama kali muncul di Kufah. Para tokoh zahid Kufah pada abad pertama

 

Hijriyah ialah al-Rabi’ ibn Khathim sedangkan pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair , Thawus ibn Kisan , Sufyan al-Thauri.

d. Aliran Mesir

Pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat suatu aliran zuhud lain, yaitu aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya Amr ibn al-As, Abd Allah ibn Amr ibn al-As yang terkenal kezuhudannya, al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad. Tokoh-tokoh zahid Mesir pada abad pertama Hijriyah di antaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Dia pernah menjabat sebagai hakim di Mesir, dan meninggal di Dimyati tahun 75 H. Tokoh lainnya adalah Abd Al-Rahman ibn Hujairah menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 H. Sementara tokoh zahid yang paling menonjol pada abad II Hijriyah adalah al-Laits ibnsanad. Kezuhudan dan kehidupannya yan sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan dia seorang zahid yang hartawan dan dermawan. Dari uraian tentang zuhud dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyah dapat disimpulkan bahwa zuhud pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Zuhud ini berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang

dalam masyarakat Islam ketika itu.

2. Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.

3. Motivasi zuhud ini ialah khauf, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir abad kedua Hijriyah, di tangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah, yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya.

4. Menjelang akhir abad II Hijriyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi abad ketiga dan keempat Hijriyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang bahwa zuhud ini adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberi atribut pada para zahid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.

e. Abad Ketiga Hijriyah

   Sejak abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi ditandai dengan upaya menegakkan moral di tengah terjadinya dekadensi yang berkembang ketika itu, sehingga di tangan mereka, tasawuf pun berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan. Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini

 

 

menjadikan tasawuf terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktikkan semua orang. Kesederhanaannya dapat dilihat dari kemudahan landasan-landasan atau alur berpikirnya. Perhatian mereka lebih tertuju pada realitas pengamalan Islam dalam praktik yang lebih menekankan keterpujian akhlaq manusia. Mereka melaksanakan amalan-amalan tasawuf dengan menampilkan akhlak-akhlak atau moral yang terpuji, dengan maksud memahami kandungan batiniah ajaran Islam yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran untuk berakhlak terpuji. Kondisi ini mulai berkembang di tengah kehidupan jahiriyah yang sangat formal dan cenderung kurang diterima oleh mereka yang mendambakan konsistensi pengamalan ajaran Islam sampai pada aspek mendalam. Oleh karena itu, ketika menyaksikan ketidak beresan perilaku (akhlak) di sekitarnya, mereka menanamkan kembali akhlak mulia.

   Pada abad ketiga terlihat perkembangan tasawuf yang pesat, ditandai dengan adanya se golongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki ajaran tasawuf yang berkembang masa itu. Mereka membaginya menjadi tiga macam, yaitu:

a. Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi suatu metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan manusia kepada kha>liq-nya,

sehingga ketegangan kejiwaan akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan baik.

b. Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak; yaitu di dalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang cara berbuat baik serta cara menghindarkan keburukan, yang dilengkapi dengan riwayat dari kasus yang pernah dialami oleh para sahabat Nabi.

c. Tasawuf yang berintikan metafisika; yaitu di dalamnya terkandung ajaran yang melukiskan hakikat Ilahi, yang merupakan satu- satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak serta melukiskan sifat-sifat Tuhan, yang menjadi alamat bagi orang-orang yang tajalli kepadanya.

f. Abad Keempat Hijriyah

Abad ini ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dibandingkan dengan abad ketiga Hijriyah, karena usaha maksimal para ulama tasawuf untuk mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya kota Baghdad yang hanya satu-satunya kota yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya. Upaya untuk mengembangkan ajaran tasawuf di luar kota Baghdad, dipelopori oleh beberapa ulama tasawuf yang terkenal kealimannya, antara lain:

a. Musa al-Ansary; mengajarkan tasawuf di Khurasan (Persia atau Iran), ia wafat di sana tahun 320 H.

b. Abu Hamid bin Muhammad al-Rubazy; mengajarkannya di salah satu kota Mesir, ia wafat di sana tahun 322 H.

c. Abu Zaid al-Adamy; mengajarkannya di Semenanjung Arabiyah, ia wafat di sana tahun 314 H.

d. Abu Ali Muhammad bin Abd al-Wahhab al-Saqafy mengajarkannya di Naisabur dan kota Sharaz, hingga ia wafat tahun 328 H.

 

   Dalam pengajaran tasawuf di berbagai negeri dan kota, para ulama tersebut menggunakan sistem tarekat (tariqah), sebagaimana yang dirintis oleh ulama tasawuf pendahulunya. Sistem tersebut berupa pengajaran dari seorang guru terhadap murid-muridnya yang bersifat teoretis serta bimbingan langsung mengenai cara pelaksanaannya yang disebut “suluk” dalam ajaran tasawuf. Sistem pengajaran tasawuf yang sering disebut tarekat, diberi nama yang sering dinisbatkan kepada nama penciptanya (gurunya), atau sering pula di nisbatka kepada lahirnya kegiatan tarekat tersebut. Ciri-ciri lain yang terdapat pada abad ini, ditandai dengan semakin kuatnya unsur filsafat yang memengaruhi corak tasawuf, karena banyaknya buku filsafat yang tersebar di kalangan umat Islam dari hasil terjemahan orang-orang muslim sejak zaman permulaan Dinasti Abbasiyah. Pada abad ini pula mulai dijelaskannya perbedaan ilmu zahir dan ilmu batin, yang dapat dibagi oleh ahli tasawuf menjadi

empat macam, yaitu;

a. Ilmu shari’ah

b. Ilmu tariqah

c. Ilmu haqiqah

d. Ilmu ma’rifah

 

    Shariah adalah segala ketentuan agama yang sudah ditetapkan oleh Allah untuk hamba-Nya. Bagi orang-orang Sufi, Shariah adalah kualitas amal lahir-formal yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui al-Qur’an dan Sunnah. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa Shariah adalah ilmu ibadah yang cenderung hanya menyentuh aspek lahir manusia dan tidak menyentuh aspek batin manusia. 18 Tariqah menurut istilah tasawuf adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang Sufi dalam mencapai tujuan, berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Tariqah adalah jalan yang ditempuh para Sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari shari’at, sebab jalan utama disebut shar’, sedangkan anak jalan disebut dengan t}ariq. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa Tariqah adalah cabang dari Shari’ah yang merupakan pangkal dari suatu ibadah. 19 Haqiqah adalah kebenaran yang bersifat esensial. Makna haqiqah menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. H{aqiqah merupakan unsur ketiga setelah Shari’ah (hukum) yang merupakan kenyataan eksoteris, Tar’qah (jalan) sebagai tahapan esoterisme, dan yang ketiga adalah Haqiqah, yakni kebenaran yang essensial. 20 Ma’rifah adalah pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang Tuhan yang diperoleh melalui sanubari. al- Ghazali secara terperinci mengemukakan pengertian ma’rifat ke dalam hal-hal berikut: 1) Ma’rifat adalah mengenal rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan-Nya yang melingkupi seluruh yang ada; 2) Seseorang yang sudah sampai pada ma’rifat berada dekat dengan Allah, bahkan ia dapat memandang wajah.

 

      g. Abad Kelima Hijriyah

Pada abad kelima ini muncullah Imam al-Ghazali , yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf yang berdasar al-Quran dan al-Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikajinya dengan begitu mendalam. Di sisi lain, Ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof, kaum Mu’tazilah dan Batiniyah. al-Ghazali lah yang berhasil memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat, yang seiring dengan aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan bertentangan dengan tasawuf al-Halla  j dan Abu Yazi  d al-Bust  ami. Tasawuf pada abad kelima Hijriyah cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikannya kepada landasan al- Quran dan al-Sunnah. Al-Qushairi dan al-Harawi dipandang sebagai tokoh sufi yang paling menonjol pada abad ini, yang memberi bentuk tasawuf Sunni. Kitab al-Risalah al-Qushairiyyah memperlihatkan dengan jelas bagaimana al-Qushairi mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahl al-Sunnah. Dalam penilaiannya ia menegaskan bahwa para tokoh sufi aliran ini membina prinsip-prinsip tasawuf di atas landasan-landasan tauhid yang benar, sehingga doktrin mereka terpelihara dari berbagai bentuk penyimpangan. Tokoh lainnya yang seirama dengan al-Qushairi adalah Abu Isma’il al-Ansari, yang sering disebut al-Harawi. Ia mendasarkan tasawufnya pada doktrin Ahl-Sunnah. Ia bahkan dipandang sebagai penggagas aliran pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya (shat} ahat), seperti al-Hallaj dan AbuYazid al-Bust}ami. Dengan demikian, abad kelima Hijriyah merupakan tonggak yang menentukan bagi kejayaan tasawuf ‘amali> (sunni). Pada abad tersebut, tasawuf ini tersebar luas di kalangan dunia Islam. Pondasinya begitu dalam terpancang untuk jangka waktu lama pada berbagai lapisan masyarakat Islam.

h. Abad Keenam Hijriyah

   Sejak abad keenan Hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian al Ghaza>li> yang begitu besar, pengaruh tasawuf ‘amali semakin meluas ke seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik para muridnya, seperti Sayyid Ah}mad al- Rifa’i dan Sayyid Abd al-Qadir al-Jailani Sesudah abad ini tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau memang ada hal itu hanyalah sebagai seorang pengembang ide para tokoh pendahulunya. Tasawuf ‘amali sebagaimana dituturkan al-Qushairi dalam al- Risalah-nya, diwakili para tokoh sufi dari abad ketiga dan keempat Hijriyah, Imam al-Ghazali dan para pemimpin tarekat yang mengikutinya. al-Ghazali dipandang sebagai pembela terbesar tasawuf ‘amali, yang seiring dengan al-Qushairi dan al-Harawi. Namun dari segi kepribadian, keluasan pengetahuan dan kedalaman tasawuf al-Ghazali lebih besar dibanding semua tokoh-tokoh tasawuf yang ada. Ia sering diklaim sebagai seorang sufi terbesar dan terkuat pengaruhnya dalam khasanah ketasawufan di dunia Islam.

 

       Kesimpulan

   Berdasarkan pembahasan tentang sejarah perkembangan tasawuf amali pada makalah ini, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, antara lain:

1. Tasawuf ‘amali dipahami sebagai ajaran tasawuf yang lebih menekankan kepada perilaku yang baik dalam kaitannya dengan amalan ibadah kepada Allah. Di dalamnya ditekankan tentang bagaimana melakukan hubungan dengan Allah melalui dzikir atau wirid yang terstruktur dengan harapan memperoleh ridha Allah Swt. Tasawuf ‘amali merupakan tasawuf yang mengedepankan mujahadah,   menghapus sifat-sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu, dan menghadap total dengan segenap esensi diri hanya kepada Allah Swt.

2. Sejarah dan perkembangan tasawuf ‘amali> mengalami beberapa fase ya itu:  Abad kesatu dan kedua Hijriyah, tasawuf masih berupa perilaku zuhud yang didasari rasa khauf dan masih bersifat praktis (belum ada konsep-konsep tasawuf secara terpadu).

b. Abad ketiga Hijriyah, kata tasawuf mulai digunakan. Orang ahli ibadah sebelumnya disebut ‘abid atau nasik, pada abad ini disebut sebagai sufi.

c. Abad keempat Hijriyah, perkembangan tasawuf semakin pesat dan munculnya istilah shari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat, sebagai penjelasan perbedaan ilmu lahir dan ilmu batin.

d. Abad kelima Hijriyah, adanya pemancangan ajaran tasawuf sesuai dengan prinsip-prinsip Ahl al-Sunnahwa al-Jama’ah oleh Imam al-Ghazali. e. Abad keenam Hijriyah, munculnya para sufi yang mengembangkan tasawuf dalam bentuk institusi tarekat, yang kemudian berkembang pesat sampai sekarang.

   

                                         Daftar Pustaka

  Aqib, Kharisudin, Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa

Naqsabandiyah. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2004.

Ghanimi al, Abd al-Wafa, al-Taftazani. Madkhal Ila al-Tashawwuf alIslami. al-Qahirah: Dar al-Thaqafah, 1976.

Hakim al, Abd, Abd al-Ghani Qasim. Al-Madzahib Al-Shufiyah Wa

Madarisuha. t.t: Maktabah Madbuli, 1989.

Hawazin, Abd al-Karim al-Qushairi. Risalah Qusyairiyah Sumber Kajian

Ilmu Tasawuf, Cet. I. Jakarta: Pustaka Amani, 1998.

Jumantoro Totok, Munir Amin Samsul. Kamus Ilmu Tasawuf. Wonosobo

AMZAH, 2005. Nur Syaifan, Alim Roswantoro. Peta Kecenderungan Kajian Agama-Agama Dan Filsafat Islam Pada Program Pascasarjana. Jogjakarta:

Sukses Offset, 2007.

Sholihin M, Rosihan Anwar. Ilmu Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia,

0 komentar:

Post a Comment