Monday, November 9, 2020

SEJARAH DAN KONSEP ALIRAN TASAUF AKHLAQI (SUNNI)

 RAHMAWATI

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    PENGERTIAN TASAWUF SUNNI

Tasawuf menurut al-kattani adalah moral, barang siapa yang diantaramu semakin bermoral, tentu jiwanya pun semakin bening.

Sedangakan menurut Dr.Ahmad Amien, tasawuf adalah ketekunan dalam beribadah, konsentrasinya langsung berhubungan dengan Allah, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, berlaku zuhud terhadap hal-hal yang diburu dan diperebutkan oleh orang banyak, seperti kenikmatan, kekuasaan, dan kedudukan dan menghindarkan diri dari pergaulan bebas sesama makhluq, menyepi atau berkhalwah, demi untuk beribadah.

Dari pendapat tersebut bisa diartikan bahwa tasawuf adalah semangat islam sebab semua hukum islam berdasarkan landasan moral, ketekunan beribadah, ketahan mental, dari berbagai macam godaan duniawi, konsisten dalam latihan spiritual atau mujahadah dan komitmen yang tidak terbatas untuk dapat sampai kepada Allah, Tuhan yang Maha Benar (Al-Wujud Al-Haqq).

Sedangkan kata sunni atau ahlussunnah wal jammah, adalah mereka yang senantiasa tegak diatas islam berdasarkan alqur’an dan hadits, dengan pemahaman para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tasawuf sunni adalah tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak, mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan manusia yang dapat makrifat kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf sunni biasa juga disebut dengan istilah tasawuf akhlaqi. Tasawuf model ini berusaha untuk mewujudkan akhlak mulia dalam diri si sufi,sekaligus menghindarkan diri dari akhlak mazmumah (tercela), 4 dengan memadukan aspek hakekat dan syari’at dan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap ajaran al-Qur’an, Sunnah dan Shirah para sahabat.

Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan ada potensi untuk menjadi buruk. Tasawuf akhlaki tentu saja berusaha mengembangkan potensi baik supaya manusia menjadi baik, sekaligus mengendalikan potensi yang buruk supaya tidak berkembang menjadi perilaku (akhlak) yang buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-Aql dan al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah  an-nafs (nafsu) yang dibantu oleh syaitan. Hal ini digambarkan dalam Al-Qur’an surat As-Syam ayat 7-8 yang artinya sebagai berikut : “dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikkan dan ketakwaannya.”

B.     LATAR BELAKANG MUNCULNYA TASAWUF  SUNNI

            Latar belakang kemunculan tasawuf  Sunni dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun  internal. Faktor eksternal yang menyebabkan tasawuf ini adalah sekitar masalah aqidah-aqidah yang menjadi masalah besar, sedangkan faktor internalnya adalah kritik-kritik tasawuf yang ada saat itu oleh tokoh-tokoh suffi yang dipandang menyimpang.

Sebenarnya tasawuf Sunni pada abad ke-3 dan ke-4 hijriyah telah ada, namun disini belum terlihat jelas bentuk tasawufnya, yang jelas para tokoh yang ada pada saat itu menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedomannya. Dan pada abad ke-5 lah, muncul masalah besar tentang aqidah dan disini banyak muncul kaum suffi yang kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Faktor eksternal yang menjadi penyebabnya adalah munculnya pecekcokan masalah aqidah yang  melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf, lebih-lebih pada abad  ke-5 hijriah aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk mengembalikan kepemimpinan kepada keturunan ali bin abi thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat dan tabi’in,5 dengan ketegangan inilah muncullah tokoh-tokok sufi, yang menggunakan al-qur’an, sunnah, dan shiroh sahabat sebagai rujukan ajarannya yang bercorakkan tasawuf Sunni.

            Para sufi, yang menjadi pelopor munculnya tasawuf sunni, sekaligus mengembangkan dengan ajaran-ajarannya antara lain : Hassan Al-Bashri (21 H-110 H) dalam kitab ihya ulumuddin, Al-Ghazali berkata “Hassan Al-Bashri merupakan orang yang kata-katanya paling mirip dengan sabda para nabi, dan paling dekat petunjuknya dari sahabat”6, Al-Muhasibi (165H-243H) dengan pemikiran tasawufnya tertuang dalam kitab “Ar-Riayah li Huquqillah” tentang Hak-Hak Allah Dan Pengaruh Egoisme Terhadapnya, Al-Qusyiari (376 H-465 H)

dengan salah satu pemikiran tasawufnya yaitu Al-Ma’rifat (pengetahuan tentangTuhan secara dekat), Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali (450 H-505H) dengan konsep tasawuf yang dapat dicapai melalui dua pendekatan yakni  “pendekatan ilmu pengetahuan dan pendekatan amal perbuatan” , Syekh Al-Islam Sultan Al-Auliya Abdul Qadir Al-Jilani (470 H-561 H) yang melihat ajaran islam dari dua aspek (lahir dan batin), Rabiah Al-Adhawiyah (-), yang  terkenal dengan konsep mahabbahnya.

C.    BENTUK-BENTUK TASAWUF SUNNI

            Bentuk tasawuf sunni, tidak terlepas dari tokoh yang membawa dan  juga mengembangkannya. Dari hal tersebut terdapat perbedaan-perbedaan unsur pemikiran antara tokoh satu dengan tokoh lain yang lebih ditonjolkan, namun semua itu mempunyai persamaan syariat dan hakikat, selian itu dari segi sumber ajarannya, yaitu alqur’an dan hadits, dengan pemahaman para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.

1)      TOKOH-TOKOH TASAWWUF SUNNI  DAN BENTUK AJARANNYA

1.      HASAN AL-BASRI  DAN BENTUK TASAWUFNYA

A.    Biografi

            Nama lengkap beliau adalah Abu Sa’id al-Hasan binYasar. Tokoh ini lahir diMadinah tahun 21 H. (642 M), meninggal di Basrah pada tahun 110 H. (728 M). Ayahnya seorang budak yang menjadi sekretaris nabi , yaitu Za’id bin Tsabit.

            Ia dinisbatkan ke kota Basrah, karena ia lama belajar di Basrah dan mengembangkan kepakarannya hingga kepuncaknya dikota yang sama. Dari segi keilmuan, ia sangat unggul dan sangat dalam ilmunya, sehingga ia digelari Syekh al-Bashrah. Ia seorang faqih ,muhadis, muffasir, sekaligus seorang suffi. Nasihat-nasihatnya tersebar dalam berbagai kitab,demikian hadist-hadist yang diriwayatkannya banyak menghiasi kitab-kitab.

B.     Bentuk Ajaran Tasawuf Hasan Basri

1.      Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati tenteram lebih baik daripada perasaan tenterammu yang kemudian menimbulkan rasa takut.

2.      Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dengan dunia dengan rasa benci dan zuhud, maka bahagialah dia dan ia mendapat faidah dalam persahabatan itu. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan perasaannya tersangkut kepada dunia maka akhirnya ia akan sengsara. Dia akn terbawa pada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.

3.      Tafakur membawa kita pada keaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat dan meninggalkannya. Barang yang fana walau bagaimana banyaknya tidaklah dapat menyamai barang yang baqa’ walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari negeri yang cepat datang dan cept pergi juga karena tipuan.

4.      Dunia ini laksana seorang nenek tua yang telah bungkuk dan telah banyak kematian laki-laki.

5.      Orang yang beriman berduka cita pagi-pagi dan berduka cita diwaktu sore, karena ia hidp dalam dua ketakutan, takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan tahu bahaya apakah yang sedang mengancam.

6.      Patutlah orang insaf bahwa mati sedang mengancamnya, dan kiamat menagih janjinya, dan ia mesti berdiri dihadapan Allah akan dihisab (dihitung amalnya).

7.      Banyak duka cita didunia memperteguh amal sholeh.

 

2.      AL-MUHASIBI  (W.243 H/857 M)

A.    Biografi

Nama lengkapnya adalah Adul Abdillah al-Haris al-Muhasibi, dilahirkan di Basrah dan menghabiska sebagian hidupnya di Bagdad. Pemikiran tasawuf tercover dalam kitab utamanya ”Ar-Ri’ayah li huquqillah” ( Hak-hak Allah dan pengaruh egoisme terhadapnya). Misi utama kitab itu adalah mengembangkan psikologi moral dengan sangat ketat, dan ternyata karyanya ini berpengaruh kuat pada tradisi tasawuf. Buku al-Muhasibi disusun dalam bentuk dialog antara guru dan muridnya sendiri. Murid bertanya kepada guru secara singkat kemudian guru menjawab dengan jawaban yang luas,rinci dan detail.

B.     Bentuk Ajaran Tasawuf Al-Muhasibi

Bentuk utama egoisme yang dianalisis al-Muhasibi adalah (1) riya yang biasa disebut narsisisme; (2) kibr didefinisikan oleh al-Muhasibi sebagai tindakan hamba yang menempatkan dirinya pada kedudukan Tuhan, dalam istilah kontemporer biasa disebut megalomania, yakni seorang melihat dirinya sebagai pusat realitas (3) ujub, maknanya seorang memperdaya dirinya sendiri dengan melebih-lebihkan penilaiannya atas segala tindakannya,serta melupakan kesalahan-kesalahan dirinya. (4)ghirrah, dengannya seseorang berkhayal bahwa penolakannya untuk merubah perangi buruknya dibenarkan oleh harapannya akan sifat rahmat rahim Allah.

            Setiap bentuk egoisme ini berhubungan satu sama lain dan masing-masing melahirkan sub bentuk egoisme baru, sepertipersaingan, permusuhan, ketamakan serta tafakhur(membangga-banggakan diri) . masing-masing sub bentuk tersebut memiliki suatu modalitas dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk prinsipal. Oleh sebabitu, terdapat persaingan yang berladaskan pada kecongkakan dan bentuk persaingan yang berbeda berlandaskan pada kibr dan ‘ujb.

 

3.      AL-QUSYAIRI

A.    Biografi

            Al-Qusyairi nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim ibn Hawazim, lahir tahun 376 H. Di Istiwa, kawasan Nishapur. Dia berdarah Arab, dan tumbuh dewasa di Nishapur, salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah dia bertemu dengan gurunya, Abu Ali Al-Daqaq, seorang sufi terkenal.

B.     Bentuk Ajaran Tasawwuf Al-Qusyairi

            Beliau adalah tokoh sufi yang mampu mengkompromikan syariat dan hakikat. Dan rujukannya pada doktrin Ahlussunnah Waljamaah, yang dalam hal ini ialah dengan mengikuti tokoh-tokoh sufi Sunni pada abad ketiga-keempat Hijriyah yang sebagaiman diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.

 Adapun beberapa ajarannya yaitu :

·         Membina prinsip tasawuf atas landasan tauhid yang benar, agar jauh dari adanya penyimpangan.

·         Menolak tasawwuf Syathoiyyah, yaitu tasawwuf yang mengungkapkan adanya penyatuan dengan Tuhan.

·         Tidak setuju dengan pakaian sufi yang compang-camping, karna baginya tasawuf bukanlah masalah pakaian namun masalah batin.

 

4.      AL-GHAZALI DAN BENTUK TASAWUFNYA

A.    Biografi Dan Sejarah Ketasawufannya

            Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad ibn Ahmad, karena kedudukan tingginya dalam Islam, di digelari Hujjatul Islam. Ayahnya, menurut sebagian penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari latar itulah sufi kita ini terkenal dengan Al-Ghazali (yang pemintal wol), sekalipun dia terkenal pula dengan Al-Ghazali, sebagaimana halnya diriwayatkan Al-Sam’ani dalam karyanya, Al-Anshab, yang dinisbatkan pada satu kawasan yang disebut Ghazalah.

            Selama periode kehidupannya Al-Ghazali menimba dan mempelajari banyak cabang ilmu pengetahuan, dan juga filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali, untuk menghilangkan keraguan sejak dia mengajar. Tetapi ternyata ilmu –ilmu itu tidak memberinya ketenangan jiwa. Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelira sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis.

Periode awal kehidupan spiritualnya tersebut merupakan persiapan psikis bagi beliau untuk menempuh jalan tasawuf. Periode spiritualya itu sendiri ditandai dengan berbagai kondisi intuitif, seperti keraguan, kegelisahan, rasa bosan, rasa sedih yang mendalam, rasa takut kepada sesuatu yang tidak diketahui, upaya memahami realitas alam dan menyingkapkan yang dibaliknya, dan perasaan-perasaan samar lainnya, yang kesemua itu akhirnya menuju Allah.

            Dalam tasawuf, pilihan Al-Ghazali jatuh pada tasawuf Sunni yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu dia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Islamiyyah dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan lain-lainnya. Juga beliau menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles, antara lain dari teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam.

            Dan akhirnya, sekalipun Al-Ghazali dalam tasawufnya mengarah pada aliran murni, namun pengetahuannya yang luas dalam bidang filsafat membuatnya mampu menguraikan, menganalisa, bahkan memperbandingkan masalah-masalah tasawuf yang dikajinya. Disamping itu beliau mempunyai kecakapan dalam mengkritik aliran-aliran yang bertentangan dengan tasawuf Sunni, serta memancangkan persoalan-persoalan yang beliau kemukakan. Atas upayanya tersebut, seperti dikatakan Macdonald, “ Beliau membuat tasawuf mempunyai posisi terhormat dalam kalangan kaum muslimin yang Sunni”

B.     Bentuk Tasawuf Al-Ghazali

Al-Ghazali setelah mengkaji aliran-aliran para teolog, filosof, dan batiniyah tersebut, akhirnya memilih jalan tasawuf. Menurut beliau, para sufilah pencari kebenaran yang paling haqiqi. Lebih jauh lagi, menurutnya jaln para sufi adalah paduan ilmu dengan amal, smentara sebagai buahnya adalah moralitas. Juga tampak olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah tinimbang mengamalkannya. Bahkan ternyata pula bahwa keistimewaan khusus milik para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tapi harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta penggantian tabiat-tabiat. Dengan demikian, menurutnya, tasawuf adalah semacam pengalaman maupun penderitaan yang riil.

Karena itu, sebagaimana yang dinyatakan Al-Ghazali,para sufi adalah “orang-orang yang lebih mengutamakan keadaan rohaniah tinimbang ucapannya”.

Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut telah berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah sejak permulaan dalam bentuk latihan jiwa, lalu menempuh fase-fase pencapaian rohaniah dalam tingkatan serta keadaan menurut jalan tersebut, yang akhirnya sampai pada kefanaan, tauhid, ma’rifat, dan kebahagiaan.

Dalam perinciannya sebagai berikut :

a.      Jalan (At-Thoriq)

Al-Ghazali berpendapat bahwa yang dimaksud jalan para sufi adalah “ penyucian diri, pembersihannya, serta pencerahannya, lalu persiapan dan penantian (ma’rifat)”

Jadi tujuan jalan para sufi adalah penempuhan fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta penggantian moral yang tercela dengan moral yang terpuji. Sehingga dengan ini, penempuh jalan sufi tersebut akan mencapai pengenalan Allah. Dengan kata lain, poros penempuh jalan sufi adalah moralitas.

b.      Ma’rifat

            Ma’rifah adalah penyaksian hati yang mendapatkan pencerahan nur Illahi sehingga mampu mendekat dan mendapat kasyaf/ keterbukaan kepada Allah. Menurut Al-Ghazali, “ sarana ma’rifat seorang sufi adalah kalbu”, bukan perasaan

dan bukan pula akal budi.

Untuk mencapai tingkat ma’rifah, para sufi berusaha melakukan beberapa tahap perjalanan rohani (suluk), antara lain yang dipandang sangat mendasar :

1)      At-Taubah

At-Taubah atau yang sering kita sebut dengan tobat terbagi menjadi 3 jenjang dalam penempuhannya, yang pertama At-Taubah, merupakan taubatnya orang yang takut akan siksaan dan hukuman Tuhan. Yang kedua Al-Inabah, yaitu taubatnya orang yang mengiginkan pahala. Dan yang ketiga adalah Al-Aubah, yaitu taubatnya orag yang mematuhi perintah Tuhannya, bukan karena takut disiksa ataupun menginginkan pahala.

2)      Az-Zuhd

Zuhud adalah meninggalkan kesenangan duniawi dan mengharapkan kesenangan ukhrowi. Sifat dan sikap zuhud telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW kepada sahabat-sahabatnya. Mereka menganggap harta dan kenikmatan duniawi ini sebagai hal yang tidak penting, terlalu kecil dibanding kenikmatan akhirat, terlalu rendah nilainya dibanding kekayaan akhirat.

Menurut Al-Ghazali Zuhud memunyai 3 tingkatan, pertama zuhud terhadap dunia (barang-barang duniawi), dia merasakan hal yang berat, karena sesungguhnya dia masih menginginkan namun berusaha untuk melawan. Orang ini disebut “Al-Mutazahid” (belajar zuhud), yang kedua orang yang siap meninggalkan barang duniawi dengan sukarela, orang ini disebut dengan “Az-Zahid”. Dan yang ketiga adalah orang yang tidak merasakan adanya keberatan apapun meninggalkan masalah dunia, karena memang dia sudah tidak lagi tertarik dengan hal dunia. Orang ini disebut “Az-Zahid Al-Kamil” (orang yang sempurna kezuhudannya).

3)      Al-Wara’

Kata ini asalnya mempunyai arti “menahan diri” atan “pengendalian diri”. Wara’ ada tiga tingkatan, pertama wara’nya orang awam (wara’al awam), yang menahan diri dari melakukan segala hal yang tidak layak dilakukun meskipun itu bukan barang maksiat, termasuk menjauhkan diri dari semua barang syubhat (Yang tidak jelas hukumnya). Kedua, wara’nya orang khas (wara’al khusus), yakni menjauhkan diri dari segala apa saja yang dapat mengganggu hati-hatinya, atau mengganggu hak orang lain. Ketiga, wara’nya orang yang sangat khusus (wara’ khushusi al-khusus) yang menjauhi segala hal selain Allah dengan menjelaskan bahwa Al-Wara’ itu menjauhkan diri dari segala hal berbau syubhat

dan Az-Zuhd adalah meninggalkan hal-hal yang melebihi kebutuhan pokok.

4)      At-Tawadlu

At-Tawadlu makksudnya dalah berlaku sopan terhadap semua manusia apalagi terhadap Allah, sebab tawadlu merupakan penjaban dari akhlaq luhur (khusnu al-khuluq/makarimal akhlaq) yag menjadi indikasi kualitas agama seseorang maka sifat dan sikap serta perilaku yang dinilai menjadi sumber segala dosa yakni: Al-Kibr, Al-Hisr, Al-Hasad, Ro’su kulli khati’ah, Al-Kidzb, Al-Hibah, Fitnah, An-Namimah

5)      Al-Muroqobah

Adalah kesadaran yang intens bahwa Allah selalu memantau dan mengawasi segala niat, sikap dan perilaku manusia dalam segala situasi di semua tempat dan waktu.

 

6)      Adz-Dzikr

Adalah mengingat Allah baik dengan lisan maupun dengan hati.

7)      Al-Istiqomah

Prinsip istiqomah menuntut perpaduan ketat antara menjalankan ketaatan, dan menjauhi kemaksiatan yang hakikatnya hanya dapan dilakukan secara sempurna oleh para nabi dan auliya. Syech Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan bahwa istiqamah itu dimulai dari At-Taqwim (mendisiplinkan diri), kemudian Al-Iqomah (meluruskan hati), dan setelah itu baru Al-Istiqomah (mendekatkan hati nurani terus menerus kepada Allah. Dan itulah yang sering disebut dengan maqamat-maqamat yang harus ditempuh para sufi menurut Al-Ghazali.

 

5.      SYEKH ABDUL QADIR AL-JILANI

A.    Biografi

Nama lengkap beliau adalah as-Syaikh al-iman az-Zahid al-Arif al-Qudwah, Syekh al-Islam, Sultan al-Auliya, Imam al-Asfiya , Muhyid-din wa as-Sunah wa Mumit al-Bid’ah , Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abu Salih Abdullah bin Janki Ddus in Yahya bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, al-Jaili, Asy-Syafi’i , al-Hanbali, Syekh Baghdad.

            Ibunya adalah Um al-Khair (induk kebaikian) , amat al-Jabbar (khadam Tuhan yang Maha Perkasa), Fatimah binti Abdul Abdillah as-Suma’i, seorang ibu yang banyak memiliki karamat dan ahwal.

Sultan al-Auliya dilahirkan pada pertengahan bulan ramadhan pada tahun 471 H di kampung Jilan. Di Jilan beliau hidup hingga berusia delapan belas tahun. Pada tahun 488 H ia pindah ke Bagdad dan menetap disana hingga akhir hayatnya.

Pada masa studi Sultan al-Auliya tahu bahwa mencari ilmu itu hukumnya wajib kepada setiap muslim dan muslimat. Oleh karena itu, dalam usia yang masih muda ia belajar berbagai disiplin ilmu daripada ulama yang mumpuni dizamannya. Ia mulai belajar al-Qur’an dibawah bimbingan Abual-Wafa ‘Ali bin ‘Uqail al-Hanbani dan ulama yang lainnya. Ia belajar hadist melalui banyak tangan para ahli hadist yang masyhur di zamannya, seperti Abu Ghalib Muhammad bin Hasan al-Balaqalani dan yang lainnya. Ia mempelajari fiqih melalui tangan ulama-ulama fiqih yang masyhur dizamannya seperti Abu Zaid al-Muhrimi yang darinya ia mengambil hirqah yang mulia. Bahasa dan sastra dipelajari juga dari Abu Zakaria  Yahya bin Ali at-Tabrizi, Shahib Hammad Ad-Dabbas dan dari yang tersebut terakhir ia juga mengambil tarekat.

Latar belakang studinya yang amat sistematis mengantarkan ia keposisi yang amat tinggi, ia mumpuni dalam ilmu aqidah syariah, tariqah, lugah dan sastra. Ia menjadi tokoh utama dalam mazhab Hanbali dan tempat orang bertanya dalam mazhab ini. Allah memasukkan kedalam hatinya hikmah yang nampak dalam lisannya setiap kali ia memberi tausiyah majelis-majelis pengajian.

Pada bulan syawal tahun 521 H, Sultan al-Auliya memberikan ceramah di madrasah Abu Said Al- Mukhrimi bab al-Ujaj Bagdad, dan setiap kali pengajian banyak ulama yang hadir sekitar tujuh puluh ribu orang.baik ahli kalam, fikih, hadist, para sufi dan para cerdik cendikiawan lainnya.

B.     Bentuk Ajaran Tasawuf Syekh Abdul Qodir Al-Jilani

Seperti halnya sufi yang lain Syekh Abdul Qadir al-Jilani melihat ajaran islam dari dua aspek. Yaitu lahir dan batin, demikian juga setiap ayat dalam al-

Qur’an bagi nya ada yang mengandung makna lahir dan batin. Sebagai contoh, taharah yang berarti bersuci terbagi pada dua bagian, Pertama, penyucian diri secara lahiriah. Hal ini diperintahkan oleh agama dan caranya dengan mencuci anggota badab atau tubuh dengan air suci, dalam bentuk wudhu maupun mandi. Nabi SAW bersabda:

Barang siapa yang memperbaharui wudhu maka Allah memperbaharui imannya”

Kedua, penyucian diri secara batiniah diawali dengan adanya kesadaran akan adanya kotorandalam wujud diri seseorang sehingga menjadi sadar terhadap dosa-dosanya dan secara sungguh-sungguh menyesalidosa-dosa tersebut. Cara penyucian batiniah ini harus mengambil jalan spiritual dan diajarkan serta dibimbing oleh guru spiritual, yaitu dengan taubat, talqin az-Dzikir, tasfiah, dan suluk.

D.PENGARUH MUNCULNYA TASAWUF SUNNI

            Adanya tasawuf sunni membuat manusia sadar akan pentingnya mendekatkan diri pada Allah. Dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah, akan meminimalisir bahkan menjauhkan dari adanya penyelewengan dalam bertasawwuf.

            Tasawwuf sunni juga mengajakan akan kesederhanaan, bukan berarti seorang sufi harus berpakaian compang-camping karena tasawwuf bukan hanya mengemukakan dalam hal berpakaian tetapi juga dalam kesehatan batin. Dari sisi kehidupan pun manusia bisa belajar menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi, atau dikenal dengan nama istilah zuhud. Atau dapat mengikuti proses pendekatan diri pada Allah sesuai maqamat-maqamat yang dituliskan oleh Al-Ghazali.

            Dengan hal ini akan berpengaruh besar terhadap manusia yang akan membawanya menuju ketentraman hati, pikiran, dan kebahagiaan dunia maupun akhirat.

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Tasawwuf Sunni adalah salah satu tasawwuf yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, hingga konsep ma’rifat, yang meniadakan hijab antara Allah dengan seorang sufi.

Dengan berbagai tokoh dan ajarannya yang berbeda, namun tasawwuf sunni berpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah yang menjadikan ajaran itu menjadi satu kesatuan. Tergantung seorang penempuh jalan tasawwuf akan menggunakan ajaran dari siapa.

Pengambilan jalan tasawwuf, akan membuat manusia semakin tinggi tingkat spiritualitasnya, dan tidak tertarik dengan dunia yang fana.

 

B.     Saran

Dalam bertasawwuf sebaiknya melihat dulu ajaran yang ada dalam tasawwuf tersebut, guna mencocokkan akan kemampuan diri kita dan kenyamanan dalam menjalaninya. Karena banyak tasawwuf, yang menggunakan ungkapan-ungkapan ganjil, seperti halnya tasawwuf falsafi.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alba, Cecep, Tasawuf dan Tarekat, Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 2012

Al-Hujwairi, Kasyful Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM,

     Bandung: Mizan,1993

Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta : Panjimas, 1984

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,

     1973

Hasan, Muhammad Tholhah, Ahlussunnah Wal Jamaah, Jakarta : Lantabora

     Press, 2003

Isaid bin Musfir, Qahthani, Al-,Buku Putih Syaikh ‘Abd Qadir Jilani terj, cv.Darul

     Falah, Jakarta

Michael A.Sells,  Terbakar Cinta Tuhan Kajian Ekslusif  Spiritualisme Islam

     Awal , judul asli, Early Islamic Mysicam:sufi, Al-Qur’an , Mi’raj , oeticand

     Theological Writings, Bandung: Mizan, 2004

Romli, Muhammad Guntur, Syahadat Cinta Rabi’ah Adhawiyah, Rehal Pustaka,

     2012

Syihab, Alwi, Akar Tasawuf Di Indonesia, Bandung: Pustaka II Man, 2009

Taftazani, Abu Alwafa’ Al-Ghanimi Al-, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Bandung:

     Pustaka, 1985

0 komentar:

Post a Comment