RAHMAWATI
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
TASAWUF SUNNI
Tasawuf menurut
al-kattani adalah moral, barang siapa
yang diantaramu semakin bermoral, tentu jiwanya pun semakin bening.
Sedangakan menurut
Dr.Ahmad Amien, tasawuf adalah ketekunan dalam beribadah, konsentrasinya
langsung berhubungan dengan Allah, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi,
berlaku zuhud terhadap hal-hal yang diburu dan diperebutkan oleh orang banyak, seperti
kenikmatan, kekuasaan, dan kedudukan dan menghindarkan diri dari pergaulan
bebas sesama makhluq, menyepi atau berkhalwah, demi untuk beribadah.
Dari pendapat tersebut
bisa diartikan bahwa tasawuf adalah semangat islam sebab semua hukum islam berdasarkan
landasan moral, ketekunan beribadah, ketahan mental, dari berbagai macam godaan
duniawi, konsisten dalam latihan spiritual atau mujahadah dan komitmen yang
tidak terbatas untuk dapat sampai kepada Allah, Tuhan yang Maha Benar (Al-Wujud
Al-Haqq).
Sedangkan kata sunni
atau ahlussunnah wal jammah, adalah mereka yang senantiasa tegak diatas islam
berdasarkan alqur’an dan hadits, dengan pemahaman para sahabat, tabiin, dan
tabiut tabiin.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tasawuf
sunni adalah tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak, mencari hakikat
kebenaran dan mewujudkan manusia yang dapat makrifat kepada Allah, dengan
metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf sunni biasa juga disebut
dengan istilah tasawuf akhlaqi. Tasawuf model ini berusaha untuk mewujudkan
akhlak mulia dalam diri si sufi,sekaligus menghindarkan diri dari akhlak
mazmumah (tercela), 4 dengan memadukan aspek
hakekat dan syari’at dan berusaha sungguh-sugguh berpegang teguh terhadap
ajaran al-Qur’an, Sunnah dan Shirah para sahabat.
Dalam diri manusia ada
potensi untuk menjadi baik dan ada potensi untuk menjadi buruk. Tasawuf akhlaki
tentu saja berusaha mengembangkan potensi baik supaya manusia menjadi baik,
sekaligus mengendalikan potensi yang buruk supaya tidak berkembang menjadi
perilaku (akhlak) yang buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-Aql dan
al-Qalb. Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-nafs (nafsu) yang dibantu oleh syaitan.
Hal ini digambarkan dalam Al-Qur’an surat As-Syam ayat 7-8 yang artinya sebagai
berikut : “dan jiwa serta
penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikkan dan ketakwaannya.”
B.
LATAR
BELAKANG MUNCULNYA TASAWUF SUNNI
Latar
belakang kemunculan tasawuf Sunni
dipengaruhi oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal yang
menyebabkan tasawuf ini adalah sekitar masalah aqidah-aqidah yang menjadi
masalah besar, sedangkan faktor internalnya adalah kritik-kritik tasawuf yang
ada saat itu oleh tokoh-tokoh suffi yang dipandang menyimpang.
Sebenarnya tasawuf
Sunni pada abad ke-3 dan ke-4 hijriyah telah ada, namun disini belum terlihat
jelas bentuk tasawufnya, yang jelas para tokoh yang ada pada saat itu
menggunakan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedomannya. Dan pada abad ke-5 lah,
muncul masalah besar tentang aqidah dan disini banyak muncul kaum suffi yang
kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Faktor eksternal yang menjadi penyebabnya
adalah munculnya pecekcokan masalah aqidah yang
melanda para ulama’ fiqh dan tasawwuf, lebih-lebih pada abad ke-5 hijriah
aliran syi’ah al-islamiyah yang berusaha untuk mengembalikan kepemimpinan
kepada keturunan ali bin abi thalib. Dimana syi’ah lebih banyak mempengaruhi
para sufi dengan doktrin bahwa imam yang ghaib akan pindah ketangan sufi yang
layak menyandang gelar waliyullah, dipihak lain para sufi banyak
yang dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme yang memunculkan corak pemikiran
taawwuf falsafi yang tentunya sangat bertentangan dengan kehidupan para sahabat
dan tabi’in,5 dengan ketegangan inilah muncullah tokoh-tokok sufi, yang
menggunakan al-qur’an, sunnah, dan shiroh sahabat sebagai rujukan ajarannya
yang bercorakkan tasawuf Sunni.
Para
sufi, yang menjadi pelopor munculnya tasawuf sunni, sekaligus mengembangkan
dengan ajaran-ajarannya antara lain : Hassan Al-Bashri (21 H-110 H) dalam kitab
ihya ulumuddin, Al-Ghazali berkata “Hassan Al-Bashri merupakan orang yang
kata-katanya paling mirip dengan sabda para nabi, dan paling dekat petunjuknya
dari sahabat”6, Al-Muhasibi (165H-243H) dengan pemikiran tasawufnya
tertuang dalam kitab “Ar-Riayah li Huquqillah” tentang Hak-Hak Allah Dan
Pengaruh Egoisme Terhadapnya, Al-Qusyiari (376 H-465 H)
dengan salah satu pemikiran tasawufnya
yaitu Al-Ma’rifat (pengetahuan tentangTuhan secara dekat), Hujjatul Islam Abu
Hamid Al-Ghazali (450 H-505H) dengan konsep tasawuf yang dapat dicapai melalui
dua pendekatan yakni “pendekatan ilmu
pengetahuan dan pendekatan amal perbuatan” , Syekh Al-Islam Sultan Al-Auliya
Abdul Qadir Al-Jilani (470 H-561 H) yang melihat ajaran islam dari dua aspek
(lahir dan batin), Rabiah Al-Adhawiyah (-), yang terkenal dengan konsep mahabbahnya.
C. BENTUK-BENTUK
TASAWUF SUNNI
Bentuk tasawuf
sunni, tidak terlepas dari tokoh yang membawa dan juga mengembangkannya. Dari hal tersebut
terdapat perbedaan-perbedaan unsur pemikiran antara tokoh satu dengan tokoh
lain yang lebih ditonjolkan, namun semua itu mempunyai persamaan syariat dan
hakikat, selian itu dari segi sumber ajarannya, yaitu alqur’an dan hadits,
dengan pemahaman para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.
1)
TOKOH-TOKOH
TASAWWUF SUNNI DAN BENTUK AJARANNYA
1. HASAN AL-BASRI DAN BENTUK TASAWUFNYA
A. Biografi
Nama
lengkap beliau adalah Abu Sa’id al-Hasan binYasar. Tokoh ini lahir diMadinah
tahun 21 H. (642 M), meninggal di Basrah pada tahun 110 H. (728 M). Ayahnya
seorang budak yang menjadi sekretaris nabi , yaitu Za’id bin Tsabit.
Ia
dinisbatkan ke kota Basrah, karena ia lama belajar di Basrah dan mengembangkan
kepakarannya hingga kepuncaknya dikota
yang sama. Dari segi keilmuan, ia sangat unggul dan sangat dalam ilmunya,
sehingga ia digelari Syekh al-Bashrah. Ia seorang faqih ,muhadis, muffasir, sekaligus
seorang suffi. Nasihat-nasihatnya tersebar dalam berbagai kitab,demikian
hadist-hadist yang diriwayatkannya banyak menghiasi kitab-kitab.
B.
Bentuk
Ajaran Tasawuf Hasan Basri
1.
Perasaan takutmu
sehingga bertemu dengan hati tenteram lebih baik daripada perasaan tenterammu
yang kemudian menimbulkan rasa takut.
2.
Dunia adalah
negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dengan dunia dengan rasa benci dan zuhud,
maka bahagialah dia dan ia mendapat faidah dalam persahabatan itu. Tetapi
barang siapa yang tinggal dalam dunia, lalu hatinya rindu dan perasaannya
tersangkut kepada dunia maka akhirnya ia akan sengsara. Dia akn terbawa pada
suatu masa yang tidak dapat dideritanya.
3. Tafakur
membawa kita pada keaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan
jahat dan meninggalkannya. Barang yang fana walau bagaimana banyaknya tidaklah
dapat menyamai barang yang baqa’ walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari
negeri yang cepat datang dan cept pergi juga karena tipuan.
4.
Dunia ini
laksana seorang nenek tua yang telah bungkuk dan telah banyak kematian
laki-laki.
5.
Orang yang
beriman berduka cita pagi-pagi dan berduka cita diwaktu sore, karena ia hidp
dalam dua ketakutan, takut mengenang dosa yang telah lampau dan takut
memikirkan ajal yang masih tinggal dan tahu bahaya apakah yang sedang
mengancam.
6.
Patutlah orang
insaf bahwa mati sedang mengancamnya, dan kiamat menagih janjinya, dan ia mesti
berdiri dihadapan Allah akan dihisab (dihitung amalnya).
7.
Banyak duka cita
didunia memperteguh amal sholeh.
2. AL-MUHASIBI
(W.243 H/857 M)
A. Biografi
Nama lengkapnya adalah
Adul Abdillah al-Haris al-Muhasibi, dilahirkan di Basrah dan menghabiska
sebagian hidupnya di Bagdad. Pemikiran tasawuf tercover dalam kitab utamanya ”Ar-Ri’ayah
li huquqillah” ( Hak-hak Allah dan pengaruh egoisme terhadapnya). Misi
utama kitab itu adalah mengembangkan psikologi moral dengan sangat ketat, dan
ternyata karyanya ini berpengaruh kuat pada tradisi tasawuf. Buku al-Muhasibi
disusun dalam bentuk dialog antara guru dan muridnya sendiri. Murid bertanya
kepada guru secara singkat kemudian guru menjawab dengan jawaban yang
luas,rinci dan detail.
B.
Bentuk
Ajaran Tasawuf Al-Muhasibi
Bentuk utama egoisme
yang dianalisis al-Muhasibi adalah (1) riya yang biasa disebut
narsisisme; (2) kibr didefinisikan oleh al-Muhasibi sebagai tindakan
hamba yang menempatkan dirinya pada kedudukan Tuhan, dalam istilah kontemporer
biasa disebut megalomania, yakni seorang melihat dirinya sebagai pusat realitas
(3) ujub, maknanya seorang memperdaya dirinya sendiri dengan
melebih-lebihkan penilaiannya atas segala tindakannya,serta melupakan
kesalahan-kesalahan dirinya. (4)ghirrah, dengannya seseorang berkhayal
bahwa penolakannya untuk merubah perangi buruknya dibenarkan oleh harapannya
akan sifat rahmat rahim Allah.
Setiap
bentuk egoisme ini berhubungan satu sama lain dan masing-masing melahirkan sub
bentuk egoisme baru, sepertipersaingan, permusuhan, ketamakan serta
tafakhur(membangga-banggakan diri) . masing-masing sub bentuk tersebut memiliki
suatu modalitas dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk prinsipal. Oleh sebabitu,
terdapat persaingan yang berladaskan pada kecongkakan dan bentuk persaingan
yang berbeda berlandaskan pada kibr dan ‘ujb.
3.
AL-QUSYAIRI
A. Biografi
Al-Qusyairi
nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim ibn Hawazim, lahir tahun 376 H. Di Istiwa,
kawasan Nishapur. Dia berdarah Arab, dan tumbuh dewasa di Nishapur, salah satu
pusat ilmu pengetahuan pada masanya. Disinilah dia bertemu dengan gurunya, Abu
Ali Al-Daqaq, seorang sufi terkenal.
B.
Bentuk
Ajaran Tasawwuf Al-Qusyairi
Beliau
adalah tokoh sufi yang mampu mengkompromikan syariat dan hakikat. Dan
rujukannya pada doktrin Ahlussunnah Waljamaah, yang dalam hal ini ialah dengan
mengikuti tokoh-tokoh sufi Sunni pada abad ketiga-keempat Hijriyah yang
sebagaiman diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
Adapun beberapa ajarannya yaitu :
·
Membina prinsip
tasawuf atas landasan tauhid yang benar, agar jauh dari adanya penyimpangan.
·
Menolak tasawwuf
Syathoiyyah, yaitu tasawwuf yang mengungkapkan adanya penyatuan dengan Tuhan.
·
Tidak setuju dengan
pakaian sufi yang compang-camping, karna baginya tasawuf bukanlah masalah
pakaian namun masalah batin.
4. AL-GHAZALI DAN
BENTUK TASAWUFNYA
A. Biografi Dan
Sejarah Ketasawufannya
Al-Ghazali
nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad ibn Ahmad, karena
kedudukan tingginya dalam Islam, di digelari Hujjatul Islam. Ayahnya, menurut
sebagian penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari latar itulah sufi
kita ini terkenal dengan Al-Ghazali (yang pemintal wol), sekalipun dia terkenal
pula dengan Al-Ghazali, sebagaimana halnya diriwayatkan Al-Sam’ani dalam
karyanya, Al-Anshab, yang dinisbatkan pada satu kawasan yang disebut Ghazalah.
Selama
periode kehidupannya Al-Ghazali menimba dan mempelajari banyak cabang ilmu
pengetahuan, dan juga filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali,
untuk menghilangkan keraguan sejak dia mengajar. Tetapi ternyata ilmu –ilmu itu
tidak memberinya ketenangan jiwa. Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelira
sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis.
Periode awal kehidupan
spiritualnya tersebut merupakan persiapan psikis bagi beliau untuk menempuh
jalan tasawuf. Periode spiritualya itu sendiri ditandai dengan berbagai kondisi
intuitif, seperti keraguan, kegelisahan, rasa bosan, rasa sedih yang mendalam,
rasa takut kepada sesuatu yang tidak diketahui, upaya memahami realitas alam
dan menyingkapkan yang dibaliknya, dan perasaan-perasaan samar lainnya, yang
kesemua itu akhirnya menuju Allah.
Dalam
tasawuf, pilihan Al-Ghazali jatuh pada tasawuf Sunni yang berdasarkan doktrin
Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dari paham tasawufnya itu dia menjauhkan semua
kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, sekte Islamiyyah
dan aliran Syiah, Ikhwanus Shafa, dan lain-lainnya. Juga beliau menjauhkan
tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles, antara lain dari
teori emanasi dan penyatuan. Sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali
benar-benar bercorak Islam.
Dan
akhirnya, sekalipun Al-Ghazali dalam tasawufnya mengarah pada aliran murni,
namun pengetahuannya yang luas dalam bidang filsafat membuatnya mampu
menguraikan, menganalisa, bahkan memperbandingkan masalah-masalah tasawuf yang
dikajinya. Disamping itu beliau mempunyai kecakapan dalam mengkritik
aliran-aliran yang bertentangan dengan tasawuf Sunni, serta memancangkan
persoalan-persoalan yang beliau kemukakan. Atas upayanya tersebut, seperti
dikatakan Macdonald, “ Beliau membuat tasawuf mempunyai posisi terhormat dalam
kalangan kaum muslimin yang Sunni”
B.
Bentuk
Tasawuf Al-Ghazali
Al-Ghazali
setelah mengkaji aliran-aliran para teolog, filosof, dan batiniyah tersebut,
akhirnya memilih jalan tasawuf. Menurut beliau, para sufilah pencari kebenaran
yang paling haqiqi. Lebih jauh lagi, menurutnya jaln para sufi adalah paduan
ilmu dengan amal, smentara sebagai buahnya adalah moralitas. Juga tampak
olehnya, bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata
lebih mudah tinimbang mengamalkannya. Bahkan ternyata pula bahwa keistimewaan khusus milik
para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tapi harus dengan
ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta penggantian tabiat-tabiat. Dengan
demikian, menurutnya, tasawuf adalah semacam pengalaman maupun penderitaan yang
riil.
Karena
itu, sebagaimana yang dinyatakan Al-Ghazali,para sufi adalah “orang-orang yang
lebih mengutamakan keadaan rohaniah tinimbang ucapannya”.
Ringkasnya,
Al-Ghazali patut disebut telah berhasil mendeskripsikan jalan menuju Allah
sejak permulaan dalam bentuk latihan jiwa, lalu menempuh fase-fase pencapaian
rohaniah dalam tingkatan serta keadaan menurut jalan tersebut, yang akhirnya
sampai pada kefanaan, tauhid, ma’rifat, dan kebahagiaan.
Dalam
perinciannya sebagai berikut :
a. Jalan
(At-Thoriq)
Al-Ghazali
berpendapat bahwa yang dimaksud jalan para sufi adalah “ penyucian diri,
pembersihannya, serta pencerahannya, lalu persiapan dan penantian (ma’rifat)”
Jadi tujuan
jalan para sufi adalah penempuhan fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta
penggantian moral yang tercela dengan moral yang terpuji. Sehingga dengan ini,
penempuh jalan sufi tersebut akan mencapai pengenalan Allah. Dengan kata lain, poros penempuh jalan sufi adalah moralitas.
b.
Ma’rifat
Ma’rifah adalah penyaksian hati yang
mendapatkan pencerahan nur Illahi sehingga mampu mendekat dan mendapat kasyaf/
keterbukaan kepada Allah. Menurut Al-Ghazali, “ sarana ma’rifat
seorang sufi adalah kalbu”, bukan perasaan
dan bukan pula
akal budi.
Untuk
mencapai tingkat ma’rifah, para sufi berusaha melakukan beberapa tahap
perjalanan rohani (suluk), antara lain yang dipandang sangat mendasar :
1) At-Taubah
At-Taubah
atau yang sering kita sebut dengan tobat terbagi menjadi 3 jenjang dalam
penempuhannya, yang pertama At-Taubah,
merupakan taubatnya orang yang takut akan siksaan dan hukuman Tuhan. Yang kedua
Al-Inabah, yaitu taubatnya orang yang
mengiginkan pahala. Dan yang ketiga adalah Al-Aubah,
yaitu taubatnya orag yang mematuhi perintah Tuhannya, bukan karena takut
disiksa ataupun menginginkan pahala.
2) Az-Zuhd
Zuhud
adalah meninggalkan kesenangan duniawi dan mengharapkan kesenangan ukhrowi.
Sifat dan sikap zuhud telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW kepada
sahabat-sahabatnya. Mereka menganggap harta dan kenikmatan duniawi ini sebagai
hal yang tidak penting, terlalu kecil dibanding kenikmatan akhirat, terlalu
rendah nilainya dibanding kekayaan akhirat.
Menurut
Al-Ghazali Zuhud memunyai 3 tingkatan, pertama zuhud terhadap dunia (barang-barang duniawi), dia merasakan hal
yang berat, karena sesungguhnya dia masih menginginkan namun berusaha untuk
melawan. Orang ini disebut “Al-Mutazahid” (belajar zuhud), yang kedua orang
yang siap meninggalkan barang duniawi
dengan sukarela, orang ini disebut dengan “Az-Zahid”. Dan yang ketiga
adalah orang yang tidak merasakan adanya
keberatan apapun meninggalkan masalah dunia, karena memang dia sudah tidak
lagi tertarik dengan hal dunia. Orang ini disebut “Az-Zahid Al-Kamil” (orang
yang sempurna kezuhudannya).
3) Al-Wara’
Kata
ini asalnya mempunyai arti “menahan diri” atan “pengendalian diri”. Wara’ ada
tiga tingkatan, pertama wara’nya orang awam
(wara’al awam), yang menahan diri dari melakukan segala hal yang tidak
layak dilakukun meskipun itu bukan barang maksiat, termasuk menjauhkan diri
dari semua barang syubhat (Yang tidak jelas hukumnya). Kedua, wara’nya orang khas (wara’al khusus),
yakni menjauhkan diri dari segala apa saja yang dapat mengganggu hati-hatinya,
atau mengganggu hak orang lain. Ketiga, wara’nya
orang yang sangat khusus (wara’ khushusi al-khusus) yang menjauhi segala
hal selain Allah dengan menjelaskan bahwa Al-Wara’ itu menjauhkan diri dari
segala hal berbau syubhat
dan Az-Zuhd adalah meninggalkan
hal-hal yang melebihi kebutuhan pokok.
4) At-Tawadlu
At-Tawadlu
makksudnya dalah berlaku sopan terhadap semua manusia apalagi terhadap Allah,
sebab tawadlu merupakan penjaban dari akhlaq luhur (khusnu al-khuluq/makarimal
akhlaq) yag menjadi indikasi kualitas agama seseorang maka sifat dan sikap
serta perilaku yang dinilai menjadi sumber segala dosa yakni: Al-Kibr, Al-Hisr,
Al-Hasad, Ro’su kulli khati’ah, Al-Kidzb, Al-Hibah, Fitnah, An-Namimah
5) Al-Muroqobah
Adalah kesadaran
yang intens bahwa Allah selalu memantau dan mengawasi segala niat, sikap dan
perilaku manusia dalam segala situasi di semua tempat dan waktu.
6) Adz-Dzikr
Adalah mengingat
Allah baik dengan lisan maupun dengan hati.
7) Al-Istiqomah
Prinsip
istiqomah menuntut perpaduan ketat antara menjalankan ketaatan, dan menjauhi
kemaksiatan yang hakikatnya hanya dapan dilakukan secara sempurna oleh para
nabi dan auliya. Syech
Abu Ali Ad-Daqaq mengatakan bahwa istiqamah itu dimulai dari At-Taqwim
(mendisiplinkan diri), kemudian Al-Iqomah (meluruskan hati), dan setelah itu
baru Al-Istiqomah (mendekatkan hati nurani terus menerus kepada Allah. Dan itulah yang sering disebut
dengan maqamat-maqamat yang harus ditempuh para sufi menurut Al-Ghazali.
5. SYEKH ABDUL QADIR AL-JILANI
A. Biografi
Nama lengkap beliau
adalah as-Syaikh al-iman az-Zahid al-Arif al-Qudwah, Syekh al-Islam, Sultan
al-Auliya, Imam al-Asfiya , Muhyid-din wa as-Sunah wa Mumit al-Bid’ah , Abu
Muhammad Abdul Qadir bin Abu Salih Abdullah bin Janki Ddus in Yahya bin
Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib,
al-Jaili, Asy-Syafi’i , al-Hanbali, Syekh Baghdad.
Ibunya
adalah Um al-Khair (induk kebaikian) , amat al-Jabbar (khadam Tuhan yang Maha
Perkasa), Fatimah binti Abdul Abdillah as-Suma’i, seorang ibu yang banyak
memiliki karamat dan ahwal.
Sultan al-Auliya
dilahirkan pada pertengahan bulan ramadhan pada tahun 471 H di kampung Jilan.
Di Jilan beliau hidup hingga berusia delapan belas tahun. Pada tahun 488 H ia
pindah ke Bagdad dan menetap disana hingga akhir hayatnya.
Pada masa studi Sultan
al-Auliya tahu bahwa mencari ilmu itu hukumnya wajib kepada setiap muslim dan
muslimat. Oleh karena itu, dalam usia yang masih muda ia belajar berbagai
disiplin ilmu daripada ulama yang mumpuni dizamannya. Ia mulai belajar
al-Qur’an dibawah bimbingan Abual-Wafa ‘Ali bin ‘Uqail al-Hanbani dan ulama
yang lainnya. Ia belajar hadist melalui banyak tangan para ahli hadist yang
masyhur di zamannya, seperti Abu Ghalib Muhammad bin Hasan al-Balaqalani dan
yang lainnya. Ia mempelajari fiqih melalui tangan ulama-ulama fiqih yang
masyhur dizamannya seperti Abu Zaid al-Muhrimi yang darinya ia mengambil hirqah
yang mulia. Bahasa dan sastra dipelajari juga dari Abu Zakaria Yahya bin Ali at-Tabrizi, Shahib Hammad
Ad-Dabbas dan dari yang tersebut terakhir ia juga mengambil tarekat.
Latar belakang studinya
yang amat sistematis mengantarkan ia keposisi yang amat tinggi, ia mumpuni
dalam ilmu aqidah syariah, tariqah, lugah dan sastra. Ia menjadi tokoh utama
dalam mazhab Hanbali dan tempat orang bertanya dalam mazhab ini. Allah
memasukkan kedalam hatinya hikmah yang nampak dalam lisannya setiap kali ia
memberi tausiyah majelis-majelis pengajian.
Pada bulan syawal tahun
521 H, Sultan al-Auliya memberikan ceramah di madrasah Abu Said Al- Mukhrimi
bab al-Ujaj Bagdad, dan setiap kali pengajian banyak ulama yang hadir sekitar
tujuh puluh ribu orang.baik ahli kalam, fikih, hadist, para sufi dan para
cerdik cendikiawan lainnya.
B.
Bentuk
Ajaran Tasawuf Syekh Abdul Qodir Al-Jilani
Seperti halnya sufi
yang lain Syekh Abdul Qadir al-Jilani melihat ajaran islam dari dua aspek.
Yaitu lahir dan batin, demikian juga setiap ayat dalam al-
Qur’an bagi nya ada yang mengandung
makna lahir dan batin. Sebagai contoh, taharah yang berarti bersuci terbagi
pada dua bagian, Pertama, penyucian diri secara lahiriah. Hal ini
diperintahkan oleh agama dan caranya dengan mencuci anggota badab atau tubuh
dengan air suci, dalam bentuk wudhu maupun mandi. Nabi SAW bersabda:
“Barang siapa yang memperbaharui
wudhu maka Allah memperbaharui imannya”
Kedua, penyucian
diri secara batiniah diawali dengan adanya kesadaran akan adanya kotorandalam
wujud diri seseorang sehingga menjadi sadar terhadap dosa-dosanya dan secara sungguh-sungguh
menyesalidosa-dosa tersebut. Cara penyucian batiniah ini harus mengambil jalan
spiritual dan diajarkan serta dibimbing oleh guru spiritual, yaitu dengan taubat,
talqin az-Dzikir, tasfiah, dan suluk.
D.PENGARUH MUNCULNYA
TASAWUF SUNNI
Adanya
tasawuf sunni membuat manusia sadar akan pentingnya mendekatkan diri pada
Allah. Dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan sunnah, akan meminimalisir
bahkan menjauhkan dari adanya penyelewengan dalam bertasawwuf.
Tasawwuf
sunni juga mengajakan akan kesederhanaan, bukan berarti seorang sufi harus
berpakaian compang-camping karena tasawwuf bukan hanya mengemukakan dalam hal
berpakaian tetapi juga dalam kesehatan batin. Dari sisi kehidupan pun manusia
bisa belajar menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi, atau dikenal
dengan nama istilah zuhud. Atau dapat mengikuti proses pendekatan diri pada
Allah sesuai maqamat-maqamat yang dituliskan oleh Al-Ghazali.
Dengan
hal ini akan berpengaruh besar terhadap manusia yang akan membawanya menuju
ketentraman hati, pikiran, dan kebahagiaan dunia maupun akhirat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tasawwuf Sunni adalah
salah satu tasawwuf yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah,
hingga konsep ma’rifat, yang meniadakan hijab antara Allah dengan seorang sufi.
Dengan berbagai tokoh
dan ajarannya yang berbeda, namun tasawwuf sunni berpegang pada Al-Qur’an dan
Sunnah yang menjadikan ajaran itu menjadi satu kesatuan. Tergantung seorang
penempuh jalan tasawwuf akan menggunakan ajaran dari siapa.
Pengambilan jalan
tasawwuf, akan membuat manusia semakin tinggi tingkat spiritualitasnya, dan
tidak tertarik dengan dunia yang fana.
B.
Saran
Dalam bertasawwuf
sebaiknya melihat dulu ajaran yang ada dalam tasawwuf tersebut, guna
mencocokkan akan kemampuan diri kita dan kenyamanan dalam menjalaninya. Karena
banyak tasawwuf, yang menggunakan ungkapan-ungkapan ganjil, seperti halnya
tasawwuf falsafi.
DAFTAR
PUSTAKA
Alba,
Cecep, Tasawuf dan Tarekat, Bandung :
PT.Remaja Rosdakarya, 2012
Al-Hujwairi, Kasyful
Mahjub, terj. Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM,
Bandung: Mizan,1993
Hamka,
Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya,
Jakarta : Panjimas, 1984
Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1973
Hasan,
Muhammad Tholhah, Ahlussunnah Wal Jamaah,
Jakarta : Lantabora
Press, 2003
Isaid
bin Musfir, Qahthani, Al-,Buku Putih
Syaikh ‘Abd Qadir Jilani terj, cv.Darul
Falah, Jakarta
Michael
A.Sells, Terbakar Cinta Tuhan Kajian Ekslusif
Spiritualisme Islam
Awal , judul asli, Early Islamic
Mysicam:sufi, Al-Qur’an , Mi’raj , oeticand
Theological Writings,
Bandung: Mizan, 2004
Romli,
Muhammad Guntur, Syahadat Cinta Rabi’ah
Adhawiyah, Rehal Pustaka,
2012
Syihab,
Alwi, Akar Tasawuf Di Indonesia,
Bandung: Pustaka II Man, 2009
Taftazani,
Abu Alwafa’ Al-Ghanimi Al-, Sufi Dari
Zaman Ke Zaman, Bandung:
Pustaka, 1985
0 komentar:
Post a Comment