Wednesday, November 4, 2020

TOKOH-TOKOH TAREKAT DI ACEH DAN BIOGRAFINYA

 VINNA SYUKRA MULYA PUTRI 

BAB II

PEMBAHASAN


Tokoh-tokoh Tarekat di Aceh dan Biografinya

A.    Hamzah Fansuri


         Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah penulis produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya tentang tasawuf pada paruh ke dua abad ke- 16. dan menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi, disamping juga menguasai bahasa Urdu. Paham tasawuf yang dibawanya adalah Wujudiyah.     
        Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi, banyak pakar telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat popular lewat karya-karyanya yang monumental. Namun mengenai dimana dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat ini masih menjadi pertanyaan dan perbedaan pendapat para ahli sejarah. Hal itu disebabkan karena belum terdapat catatan yang pasti tentang hal tersebut.

        Bersama dengan muridnya ini Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran sesat oleh Nuruddin Ar-Raniry pada ketika Nuruddin Ar-Raniry menjadi mufti kerajaan yang berpengaruh di istana Sultan Iskandar Tsani, pada hal karya Hamzah Fansuri musnah dibakar pada zaman Sultanah Safiatuddin. Kebanyakan dari karangan beliau menulis tentang ilmu tauhid, ilmu suluk, ilmu thariqat, ilmu tasawuf dan ilmu syara’.Beliau adalah anak dari seorang ulama besar terkemuka di Barus, dan Fansuri di negeri Barus terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang letaknya di selatan Aceh.

Karya-karya Hamzah Fansuri

    Syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat buku-buku syairnya antara lain :

·         Syair burung pingai

·         Syair dagang

·         Syair pungguk

·         Syair sidang faqir

·         Syair ikan tongkol

·         Syair perahu

Karangan-karangan Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :

·         Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis suluki wa tauhid

·         Syarbul ‘asyiqiin

·         Al-Muhtadi

·         Ruba’i Hamzah al-Fansuri

        Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun sarjana tanah air.Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong dalam Syi’r al- Kasyaf wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan (kasyafi yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi).

B. Syamsudin al-Sumatrani
    Sufi besar yang muncul di Aceh sesudah Hamzah Fansuri ialah Syamsudin Al-Sumatrani, atau yang juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai karena berasal dari Pasai. Sebagai penulis risalah tasawuf dia lebih produktif daripada pendahulunya itu. Banyak mengarang kitabnya dalam bahasa Melayu dan Arab. Syamsudin Pasai ini seorang ulama dan sangat disayangi sultan Iskandar Muda, sehingga ia diangkat sebagai pembantu dekatnya, Seorang pelawat Eropa yang berkunjung ke Aceh mengatakan bahwa Syamsudin sebagai bishop yang berarti seseorang mempunyai kedudukan tinggi di istana Aceh. Di samping itu ia seorang ahli politik dan ketatanegaraan seperti Bukhari al-Jauhari pengarang kitab Tajul al-Salatin (T. Iskandar, 1987).

Karya Syamsudin al-Sumatrani
    Karya-karyanya antara lain adalah:
-. Mir’at al-Mukminin (Cermin orang beriman),
– Jauhar al-Haqaiq (Permata Kebenaran),
– Kitab al-Haraka,
– Mir’at al-Iman,
– Kitab al-Martaba (Martabat manusia),
– Mir’at al- Muhaqqiqin,
– Syarah Ruba’I Hamzah fansuri,
– Thariq al-Salihin, dan lain-lain.


      Ajaran yang dibawa Syamsudin ini berakar pada pada ajaran Ibnu ‘Arabi dan menganut faham martabat tujuh yang diperoleh dari Al-Tufah al- Mursalah ila Ruhin Nabi, karya Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri dari India. Sultan Iskandar Muda sangat tertarik dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh Syamsudin Pasai sehingga beliau termasuk salah seorang pengikut faham wujudiyah. Sejumlah karyanya yang dipersembahkan untuk sultan Iskandar Muda antara lain Kitab Thariq al-Salihin dan Nur al-Daqaiq. Syamsudin Pasai meninggal dunia pada tahun 1630 M. bertepatan dengan Armada Aceh mengalami kekalahan di Malaka.

   C. Nuruddi Ar-Raniri

      Ulama dan sastrawan ini berasal dari Ranir, lahir pada tahun 1568 M. di sebuah kota pelabuhan di pantai Gujarat.(Windstedt, 1968: 145; Ahmad Daudy, 1983: 49). Ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut. Sedangkan ibuya adalah seorang Melayu. Ar-Raniri lebih dikenal sbagai ulama besar Melayu-Indonesia daripada India dan Arab. Karena sejak kecil sudah tertarik dan senang mempelajari bahasa melayu, sehingga tumbuhlah ia menjadi seorang yang sangat mencintai dunia Melayu. Iapun telah mengabdikan dirinya demi kepentingan Islam di Nusantara dengan mendapat kepercayaan dari seorang sultan pada kesultanan Aceh. Hatinya sangat tertarik dengan dunia Melayu. Setelah beberapa lama menimba ilmu ke Timur Tengah, ia berangkat ke Aceh pada tahun 1637 M. dan mendapat kepercayaan dari sultan Iskandar Thani, sebagai Syaikhul Islam. Setelah mendapat posisi yang kuat di Aceh, Ar-Raniri kemudian melancarkan pembaharuan Islam dengan radikal. Ia menentang paham Wujudiyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin Al-Sumatrani. Ar-Raniri menuduh mereka berdua telah sesat dan menyimpang dari ajaran Islam. Orang-orang yang menolak melepaskan keyakinannya yang sesat akan dibunuh, dan banyak buku/kitab-kitab Hamzah Fansuri dibakar.

         Dalam pembaharuannya, Ar-Raniri memperkenalkan corak keilmuan dan wacana keagamaan yang baru. Meskipun ia juga seorang penganut Wujudiah dan pengikut Ibnu ‘Arabi, namun dalam menafsirkan ajaran wujudiyah ia ketat bertolak pada syariat dan fikih. Paham wujudiyah yang dianutnya tidak hanya penekanan pada tasawuf saja, tetapi juga menjelaskan kepada kaum Muslim Nusantara dasar-dasar keimanan, aturan-aturan fikih, perbandingan agama, pentingnya hadis, serta sejarah. Untuk menjelaskan semua itu, ia menerjemahkan dan menyusun kitab-kitab yang membahas berbagai macam pengetahuan dan sastra sesuai dengan kondisi umat Islam-pada saat itu.

2. Karya Nuruddi Ar-Raniri.

Karya-karyanya cukup banyak lebih dari 40 kitab antara lain :
1. Sirat- al-Mustaqim (Jalan Lurus), merupakan kitab fikih yang pertama dan lengkap ditulis dalam bahasa melayu.
2. Daral al- Faraid, membahas tentang tauhid dan falsafah keimanan.
3. Lata’ih al-Asrar,
4. Hall al-Dzill ma’a Sahabihi,
5. Umdat al- I’tiqad,
6. Hujaj al-Sidiq,
7. Jauhar al-‘Ulum,
8. Ma’al Hayat
,
9. Bustanus al-Salatin, (Taman Para Raja)

       Ada beberapa kitab tasawuf yang dikarangnya berisi hujatan dan kecaman pada Hamzah Fansuri dan Syamsudin al-Sumatrani. Peranan Ar-Raniri cukup besar dalam pembentukan tardisi keilmuan yang bercorak ortodoksi di Nusantara. Usaha pembaharuan Ar-Raniri tidak berlangsung lama karena reputasinya tergusur oleh murid dan pengikut Hamzah dan Syamsudin. Setelah Sultan Iskandar Thani wafat Nuruddin Ar-Raniri meninggalkan Aceh dan kembali ke tanah airnya. Namanya kini diabadikan pada sebuah Perguruan Tinggi Islam yaitu “Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniri”.

   D. Abdul Rauf al-Singkili
       Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili adalah seorang ulama besar Aceh yang terakhir. Ia lahir di Fansur, dibesarkan di Singkel, wilayah pantai Barat-Laut Aceh. Diperkirakan lahir tahun 1615 M. Ayahnya Syech Ali Fansuri masih bersaudara dengan Syech Hamzah Fansuri. Beliau menghabiskan waktunya selama 19 tahun untuk menuntut berbagai cabang ilmu Islam di Haramayn. Setelah selesai belajar berbagai macam ilmu agama ia kembali ke Aceh dan membaktikan dirinya di Kesultanan Aceh. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin Abdul Rauf ini diangkat sebagai Mufti kesultanan Aceh menjadi Qadhi Malikul Adil. Dalam kiprahnya beliau melanjutkan usaha pembaharuan yang pernah dirintis oleh Ar-Raniri. Tema sentral pembaharuannya diutamakan pada rekonsiliasi, dengan memadukan secara simponi tasawuf dan syariah. Kegagalan Ar-Raniri menentang menentang paham wujudiyah dilanjutkan oleh Abdul Rauf, tetapi tidak dengan jalan radikal. Beliau sangat bijaksana dalam menyikapi dua hal yang bertentangan dan tidak bersikap kejam terhadap mereka yang menganut paham lain. Beliau juga mengecam sikap radikal yang dijalani Ar-Raniri. Dengan bijaksana mengingatkan kaum Muslimin Nusantara bahwa jangan tergesa-gesa dan bahayanya menuduh orang lain sesat atau kafir.

     Tarekat yang dijalankan Abdul Rauf adalah tarekat Syatariyah karena mengikuti dan telah mendapat ijazah dari gurunya Ahmad Al-Qusyasyi, sehingga nama beliau tercantum pada silsilah Syatariyah di Aceh. Bahkan nama Qusyasyi begitu dikenal dan melekat di daerah Sumatera dan Jawa, bahkan tarekat Syatariyah ini dalam naskah-naskah tertentu disebut tarekat Qusyasyiyah.
     Abdul-rauf ini aktif menulis karya-karya keagamaan yang membahas masalah fikih, ilmu kalam, tasawuf dan tafsir.
Karya-karyanya antara lain:
–   Mir’atu ath-Thullab fi Tashil Ma’rifatil ahkam wasy-syar’iyah
–   Umdatul Muhtajin ila suluki Maslah al-Mufridin
–   Kifayat al- Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Tahbir
–   Li’l Malik al-Wahhab
–   Turjumun al- Muwahhidin al-qaili bi Wahdah al- Wujud

       Ulama Abdul Rauf ini seorang yang giat mengembangkan pemikiran dan penyebaran Islam dan banyak mencetak murid-murid yang juga memainkan peranan penting dalam penyebaran islam di berbagai daerah, sehingga menyebabkan jangkauan pengaruh Aceh sangat luas. Di dalam kiprahnya mengajarkan dan mengembangkan agama Islam terus dilakukan, di dayahnya bernama Rangkang Teunku Syiah Kuala di Pantai Kuala, yang merupakan salah satu dayah/rangkang yang banyak menghasilkan ulama-ulama yang berkwalitas sebagai penerusnya. Antara lain muridnya yang terkenal adalah Syech Burhanuddin dari Minangkabau yang turut berkiprah menyebarkan agama Islam di Minangkabau. Syech Abdul Rauf meninggal dan dimakamkan di kuala raya Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh.

       Ketika terjadi bencana gempa dan tsunami di Aceh, makam ini rusak ringan dan kedua nisannya dalam keadaan patah lelah. Kemudian oleh pihak Yayasan Yamsika telah melakukan perbaikan dengan cara mengecor nisan tersebut lalu dipasangkan pada jirat makam. Hal itu dilakukan secara sepihak tanpa ada koordinasi sebelumnya dengan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh dan instansi terkait lainnya. Sehingga tindakan ini telah menyalahi dari prinsip teknis pemugaran, dan perlindungan cagar budaya sebagaimana telah diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 2011 tentang cagar budaya.

BAB III

PENUTUP


       Beberapa tokoh ulama telah memainkan peranan penting dalam Penyebaran Islam masa awal di Aceh dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam dunia Islam. Mereka telah berjuang dan berkiprah dalam usaha memperkenalkan nilai-nilai Islam dan benar-benar mengajak masyarakat untuk melakukan syariat Islam dengan menyampaikan ajaran-ajaran ortodoksi (ajaran yang berpeganghanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunah). Dengan melalui karya-karya kitab yang disusunnya, dan dalam bahasa sastra yang indah sehingga pengamalan nilai-nilai ajarannya dengan mudah dipahami oleh masyarakat pada saat itu.

       Bukti kejayaan dan kebesaran ulama- ulama besar tersebut kini dapat disaksikan sebagai saksi sejarah dengan masih adanya pusara/makam-makam di Banda Aceh dan di Kota Subulussalam. Tinggalan-tinggalan sejarah tersebut harus tetap dilindungi, dijaga dan dirawat agar dapat dilestarikan kepada generasi mendatang, sebagai cagar budaya.

 

DAFTAR PUSTAKA

· Bobbi Aidi Rahman, “Sastra Arab dan Pengaruh-pengaruhnya Terhadap Syair-syair Hamzah al-Fansuri“. Tsaqofah & Tarikh Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016)

· https://www.slideshare.net/mobile/rinanurjanah1/biografi-syeikh-hamzah-fansuri  Diakses pada 17 Januari 2018

· http://dedewiami17.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-tasawuf-di-aceh.html

http://guzzaairulhaq.wordpress.com/samudera-tasawuf/sejarah-dan-pemikiran-tasawuf-di-aceh/

0 komentar:

Post a Comment