VINNA SYUKRA MULYA PUTRI
BAB II
PEMBAHASAN
Tokoh-tokoh Tarekat di Aceh dan Biografinya
A.
Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri adalah seorang ulama
dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah penulis produktif yang
menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide
mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya tentang tasawuf pada paruh ke dua
abad ke- 16. dan menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi, disamping juga menguasai
bahasa Urdu. Paham tasawuf yang dibawanya adalah Wujudiyah.
Kepopuleran nama Hamzah Fansuri
tidak diragukan lagi, banyak pakar telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat
popular lewat karya-karyanya yang monumental. Namun mengenai dimana dan kapan
persisnya Hamzah lahir, sampai saat ini masih menjadi pertanyaan dan perbedaan
pendapat para ahli sejarah. Hal itu disebabkan karena belum terdapat catatan
yang pasti tentang hal tersebut.
Bersama dengan muridnya ini Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan
ajaran sesat oleh Nuruddin Ar-Raniry pada ketika Nuruddin Ar-Raniry menjadi
mufti kerajaan yang berpengaruh di istana Sultan Iskandar Tsani, pada hal karya
Hamzah Fansuri musnah dibakar pada zaman Sultanah Safiatuddin. Kebanyakan dari
karangan beliau menulis tentang ilmu tauhid, ilmu suluk, ilmu thariqat, ilmu
tasawuf dan ilmu syara’.Beliau adalah anak dari seorang ulama besar terkemuka
di Barus, dan Fansuri di negeri Barus terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan
yang letaknya di selatan Aceh.
Karya-karya Hamzah Fansuri
Syair-syair Syeikh Hamzah Fansuri terkumpul
dalam buku-buku yang terkenal, dalam kesusasteraan Melayu / Indonesia tercatat
buku-buku syairnya antara lain :
·
Syair dagang
·
Syair pungguk
·
Syair sidang faqir
·
Syair ikan tongkol
·
Syair perahu
Karangan-karangan
Syeikh Hamzah Fansuri yang berbentuk kitab ilmiah antara lain :
·
Asfarul ‘arifin fi bayaani ‘ilmis
suluki wa tauhid
·
Syarbul ‘asyiqiin
·
Al-Muhtadi
·
Ruba’i Hamzah al-Fansuri
Karya-karya Syeikh Hamzah Fansuri baik yang berbentuk syair maupun berbentuk prosa banyak
menarik perhatian para sarjana baik sarjana barat atau orientalis barat maupun
sarjana tanah air.Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak
Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong dalam Syi’r al- Kasyaf
wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan (kasyafi
yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi).
B. Syamsudin al-Sumatrani
Sufi besar yang muncul di Aceh
sesudah Hamzah Fansuri ialah Syamsudin Al-Sumatrani, atau yang juga dikenal
sebagai Syamsudin Pasai karena berasal dari Pasai. Sebagai penulis risalah
tasawuf dia lebih produktif daripada pendahulunya itu. Banyak mengarang
kitabnya dalam bahasa Melayu dan Arab. Syamsudin Pasai ini seorang ulama dan
sangat disayangi sultan Iskandar Muda, sehingga ia diangkat sebagai pembantu
dekatnya, Seorang pelawat Eropa yang berkunjung ke Aceh mengatakan bahwa
Syamsudin sebagai bishop yang berarti seseorang mempunyai kedudukan tinggi di
istana Aceh. Di samping itu ia seorang ahli politik dan ketatanegaraan seperti
Bukhari al-Jauhari pengarang kitab Tajul al-Salatin (T. Iskandar, 1987).
Karya Syamsudin al-Sumatrani
Karya-karyanya antara lain adalah:
-. Mir’at al-Mukminin (Cermin orang beriman),
– Jauhar al-Haqaiq (Permata Kebenaran),
– Kitab al-Haraka,
– Mir’at al-Iman,
– Kitab al-Martaba (Martabat manusia),
– Mir’at al- Muhaqqiqin,
– Syarah Ruba’I Hamzah fansuri,
– Thariq al-Salihin, dan lain-lain.
Ajaran yang dibawa Syamsudin ini
berakar pada pada ajaran Ibnu ‘Arabi dan menganut faham martabat tujuh yang
diperoleh dari Al-Tufah al- Mursalah ila Ruhin Nabi, karya Muhammad Fadhlullah
al-Burhanpuri dari India. Sultan Iskandar Muda sangat tertarik dengan ajaran
tasawuf yang dibawa oleh Syamsudin Pasai sehingga beliau termasuk salah seorang
pengikut faham wujudiyah. Sejumlah karyanya yang dipersembahkan untuk sultan
Iskandar Muda antara lain Kitab Thariq al-Salihin dan Nur al-Daqaiq. Syamsudin
Pasai meninggal dunia pada tahun 1630 M. bertepatan dengan Armada Aceh
mengalami kekalahan di Malaka.
C. Nuruddi Ar-Raniri
Ulama dan sastrawan ini berasal dari
Ranir, lahir pada tahun 1568 M. di sebuah kota pelabuhan di pantai
Gujarat.(Windstedt, 1968: 145; Ahmad Daudy, 1983: 49). Ayahnya berasal dari
keluarga imigran Hadhramaut. Sedangkan ibuya adalah seorang Melayu. Ar-Raniri
lebih dikenal sbagai ulama besar Melayu-Indonesia daripada India dan Arab.
Karena sejak kecil sudah tertarik dan senang mempelajari bahasa melayu,
sehingga tumbuhlah ia menjadi seorang yang sangat mencintai dunia Melayu. Iapun
telah mengabdikan dirinya demi kepentingan Islam di Nusantara dengan mendapat
kepercayaan dari seorang sultan pada kesultanan Aceh. Hatinya sangat tertarik
dengan dunia Melayu. Setelah beberapa lama menimba ilmu ke Timur Tengah, ia
berangkat ke Aceh pada tahun 1637 M. dan mendapat kepercayaan dari sultan
Iskandar Thani, sebagai Syaikhul Islam. Setelah mendapat posisi yang kuat di
Aceh, Ar-Raniri kemudian melancarkan pembaharuan Islam dengan radikal. Ia
menentang paham Wujudiyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin
Al-Sumatrani. Ar-Raniri menuduh mereka berdua telah sesat dan menyimpang dari
ajaran Islam. Orang-orang yang menolak melepaskan keyakinannya yang sesat akan
dibunuh, dan banyak buku/kitab-kitab Hamzah Fansuri dibakar.
Dalam pembaharuannya, Ar-Raniri
memperkenalkan corak keilmuan dan wacana keagamaan yang baru. Meskipun ia juga
seorang penganut Wujudiah dan pengikut Ibnu ‘Arabi, namun dalam menafsirkan
ajaran wujudiyah ia ketat bertolak pada syariat dan fikih. Paham wujudiyah yang
dianutnya tidak hanya penekanan pada tasawuf saja, tetapi juga menjelaskan
kepada kaum Muslim Nusantara dasar-dasar keimanan, aturan-aturan fikih,
perbandingan agama, pentingnya hadis, serta sejarah. Untuk menjelaskan semua
itu, ia menerjemahkan dan menyusun kitab-kitab yang membahas berbagai macam
pengetahuan dan sastra sesuai dengan kondisi umat Islam-pada saat itu.
2. Karya Nuruddi Ar-Raniri.
Karya-karyanya
cukup banyak lebih dari 40 kitab antara lain :
1. Sirat- al-Mustaqim (Jalan Lurus), merupakan kitab fikih yang pertama dan
lengkap ditulis dalam bahasa melayu.
2. Daral al- Faraid, membahas tentang tauhid dan falsafah keimanan.
3. Lata’ih al-Asrar,
4. Hall al-Dzill ma’a Sahabihi,
5. Umdat al- I’tiqad,
6. Hujaj al-Sidiq,
7. Jauhar al-‘Ulum,
8. Ma’al Hayat,
9. Bustanus al-Salatin, (Taman Para Raja)
Ada beberapa kitab tasawuf yang
dikarangnya berisi hujatan dan kecaman pada Hamzah Fansuri dan Syamsudin
al-Sumatrani. Peranan Ar-Raniri cukup besar dalam pembentukan tardisi keilmuan
yang bercorak ortodoksi di Nusantara. Usaha pembaharuan Ar-Raniri tidak
berlangsung lama karena reputasinya tergusur oleh murid dan pengikut Hamzah dan
Syamsudin. Setelah Sultan Iskandar Thani wafat Nuruddin Ar-Raniri meninggalkan
Aceh dan kembali ke tanah airnya. Namanya kini diabadikan pada sebuah Perguruan
Tinggi Islam yaitu “Institut Agama Islam
Negeri Ar-Raniri”.
D. Abdul Rauf al-Singkili
Abdul Rauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Singkili adalah seorang
ulama besar Aceh yang terakhir. Ia lahir di Fansur, dibesarkan di Singkel,
wilayah pantai Barat-Laut Aceh. Diperkirakan lahir tahun 1615 M. Ayahnya Syech
Ali Fansuri masih bersaudara dengan Syech Hamzah Fansuri. Beliau menghabiskan
waktunya selama 19 tahun untuk menuntut berbagai cabang ilmu Islam di Haramayn.
Setelah selesai belajar berbagai macam ilmu agama ia kembali ke Aceh dan
membaktikan dirinya di Kesultanan Aceh. Pada masa pemerintahan Ratu Safiatuddin
Abdul Rauf ini diangkat sebagai Mufti kesultanan Aceh menjadi Qadhi Malikul
Adil. Dalam kiprahnya beliau melanjutkan usaha pembaharuan yang pernah dirintis
oleh Ar-Raniri. Tema sentral pembaharuannya diutamakan pada rekonsiliasi,
dengan memadukan secara simponi tasawuf dan syariah. Kegagalan Ar-Raniri
menentang menentang paham wujudiyah dilanjutkan oleh Abdul Rauf, tetapi tidak
dengan jalan radikal. Beliau sangat bijaksana dalam menyikapi dua hal yang
bertentangan dan tidak bersikap kejam terhadap mereka yang menganut paham lain.
Beliau juga mengecam sikap radikal yang dijalani Ar-Raniri. Dengan bijaksana
mengingatkan kaum Muslimin Nusantara bahwa jangan tergesa-gesa dan bahayanya
menuduh orang lain sesat atau kafir.
Tarekat yang dijalankan Abdul Rauf adalah
tarekat Syatariyah karena mengikuti dan telah mendapat ijazah dari gurunya
Ahmad Al-Qusyasyi, sehingga nama beliau tercantum pada silsilah Syatariyah di
Aceh. Bahkan nama Qusyasyi begitu dikenal dan melekat di daerah Sumatera dan
Jawa, bahkan tarekat Syatariyah ini dalam naskah-naskah tertentu disebut
tarekat Qusyasyiyah.
Abdul-rauf ini aktif menulis
karya-karya keagamaan yang membahas masalah fikih, ilmu kalam, tasawuf dan
tafsir.
Karya-karyanya antara lain:
– Mir’atu ath-Thullab fi Tashil Ma’rifatil ahkam wasy-syar’iyah
– Umdatul Muhtajin ila suluki Maslah al-Mufridin
– Kifayat al- Muhtajin ila Suluk Maslak Kamal al-Tahbir
– Li’l Malik al-Wahhab
– Turjumun al- Muwahhidin al-qaili bi Wahdah al- Wujud
Ulama Abdul Rauf ini seorang yang giat
mengembangkan pemikiran dan penyebaran Islam dan banyak mencetak murid-murid
yang juga memainkan peranan penting dalam penyebaran islam di berbagai daerah,
sehingga menyebabkan jangkauan pengaruh Aceh sangat luas. Di dalam kiprahnya
mengajarkan dan mengembangkan agama Islam terus dilakukan, di dayahnya bernama
Rangkang Teunku Syiah Kuala di Pantai Kuala, yang merupakan salah satu dayah/rangkang
yang banyak menghasilkan ulama-ulama yang berkwalitas sebagai penerusnya.
Antara lain muridnya yang terkenal adalah Syech Burhanuddin dari Minangkabau
yang turut berkiprah menyebarkan agama Islam di Minangkabau. Syech Abdul Rauf
meninggal dan dimakamkan di kuala raya Desa Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala,
Kota Banda Aceh.
Ketika terjadi bencana gempa dan tsunami
di Aceh, makam ini rusak ringan dan kedua nisannya dalam keadaan patah lelah.
Kemudian oleh pihak Yayasan Yamsika telah melakukan perbaikan dengan cara
mengecor nisan tersebut lalu dipasangkan pada jirat makam. Hal itu dilakukan
secara sepihak tanpa ada koordinasi sebelumnya dengan Balai Pelestarian
Peninggalan Purbakala Banda Aceh dan instansi terkait lainnya. Sehingga
tindakan ini telah menyalahi dari prinsip teknis pemugaran, dan perlindungan
cagar budaya sebagaimana telah diatur dalam undang-undang nomor 11 tahun 2011
tentang cagar budaya.
BAB III
PENUTUP
Beberapa tokoh ulama telah memainkan peranan penting dalam
Penyebaran Islam masa awal di Aceh dan memiliki pengaruh yang sangat besar
dalam dunia Islam. Mereka telah berjuang dan berkiprah dalam usaha
memperkenalkan nilai-nilai Islam dan benar-benar mengajak masyarakat untuk
melakukan syariat Islam dengan menyampaikan ajaran-ajaran ortodoksi (ajaran
yang berpeganghanya kepada Al-Qur’an dan As-Sunah). Dengan melalui karya-karya
kitab yang disusunnya, dan dalam bahasa sastra yang indah sehingga pengamalan
nilai-nilai ajarannya dengan mudah dipahami oleh masyarakat pada saat itu.
Bukti kejayaan dan kebesaran ulama- ulama besar tersebut kini
dapat disaksikan sebagai saksi sejarah dengan masih adanya pusara/makam-makam
di Banda Aceh dan di Kota Subulussalam. Tinggalan-tinggalan sejarah tersebut
harus tetap dilindungi, dijaga dan dirawat agar dapat dilestarikan kepada
generasi mendatang, sebagai cagar budaya.
DAFTAR
PUSTAKA
· Bobbi Aidi
Rahman, “Sastra Arab dan Pengaruh-pengaruhnya Terhadap Syair-syair Hamzah
al-Fansuri“. Tsaqofah & Tarikh Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2016)
· https://www.slideshare.net/mobile/rinanurjanah1/biografi-syeikh-hamzah-fansuri
Diakses pada 17 Januari 2018
· http://dedewiami17.blogspot.com/2010/11/sejarah-perkembangan-tasawuf-di-aceh.html
0 komentar:
Post a Comment