Thursday, November 12, 2020

ZUHUD, WARA’, TAWAKAL, SABAR dan RIDHA

 Pitria Jayanti

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Zuhud

Secara harfiah zuhud berarti bertapa di dalam dunia. Sedangkan menurut istilah yaitu bersiapsiap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban semampunya dan menyingkir dari dunia yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin. Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap kan pada Al-Qur’an, Al Hadits dan ucapan para ulama. Misalnya surat Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini: "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri."

Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud secara langsung, tetapi mengungkapkan tentang makna & hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang sementara dan hakikat akhirat yang kekal. Kemudian menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih ampunan dari Allah dan surga-Nya di akhirat.

Imam Ahmad menafsirkan tentang sifat zuhud yaitu tidak panjang angan-angan dalam kehidupan dunia. Beliau melanjutkan, orang yang zuhud ialah orang yang bila dia berada di pagi hari dia berkata "Aku khawatir tidak bisa menjumpai waktu sore hari". Maka dia segera memanfaatkan waktunya untuk beramal dan beribadah sebaik-baiknya.

Tanda-tanda Zuhud, Ada tiga tanda kezuhudan yang harus ada pada batin seseorang:

a.       Pertama, tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Sebagaimana firman Allah: “Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (alHadid:23)

b.      Kedua, sama saja disisinya orang yang mencela dan orang yang mencacinya. Yang pertama merupakan tanda zuhud dalam harta sedangkan yang kedua merupakan tanda zuhud dalam kedudukan.

c.       Ketiga, hendaknya ia bersama Allah dan hatinya lebih banyak didominasi oleh lezatnya ketaatan, karena hati tidak dapat terbebas sama sekali dari cinta; cinta dunia atau cinta Allah. Kedua cinta ini di dalam hati seperti air dan udara yang ada di dalam gelas. Apabila air dimasukkan kedalam gelas maka udara pun akan keluar. Keduanya tidak dapat bertemu. Setiap orang yang akrab dengan Allah pasti ia akan sibuk dengan-Nya dan tidak akan sibuk dengan selain-Nya. Oleh karena itu dikatakan sebagian mereka, “Kepada apa zuhud itu membawa mereka?” dijawab, “Kepada keakraban dengan Allah.” Sedangkan keakraban dengan dunia dan keakraban dengan Allah tidak akan pernah bertemu.

Jadi tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan, karena adanya dominasi keakraban dengan Allah. Dari tanda-tanda ini tentu muncul beberapa tanda yang lainnya.

 

B.     Wara’

Wara’ mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yang syubhat dan meninggalkan yang haram. Lawan dari wara' adalah syubhat yang berarti tidak jelas apakah hal tersebut halal atau haram. "Sesungguhnya yang halal itu jelas & yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama & kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram" (HR Bukhari & Muslim).

Contoh: Seseorang meninggalkan kebiasaan mendengarkan & memainkan musik karena dia tahu bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yang mengatakan halal dan ada yang mengatakan haram.

Tingkatan Wara’ diantaranya :

a.       Tingkatn pertama, wara’ al-‘udul (wara’ orang-orang yang memiliki kelayakan moralitas) yaitu setiap hal yang oleh fatwa harus diharamkan diantara hal yang masuk kedalam kategori haram mutlak yang bila dilanggar maka pelanggarannya dinilai melakukan kefasikan dan kemaksiatan.

b.      Tingkatan kedua, contohnya adalah setiap syubhat yang tidak wajib dijauhi tetapi dianjurkan untuk dijauhi. Sedangkan apa yang wajib untuk dijauhi maka dimasukkan kedalam yang haram. Diantaranya apa yang dibenci untuk dijauhi karena bersikap wra’ darinya merupakan wara’ orang-orang yang was-was. Setiap orang yang tidak mau berburu karena takut jika buruan itu telah lepas dari seseorang yang telah menangkap dan memilikinya. Ini adalah was-was, sedangkan apa yang dianjurkan untuk dijauhi tetapitidak wajib adalah yang disabdakan Nabi saw: “Tinggalkanlah apa yang merugikanmu kepada apa yang tidak merugikanmu.”

c.       Tingkatan ketiga, wara’ al-Muttaqin. Sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi saw: “Seorang hamba tidak akan mencapai derajat mutaqin sehingga dia meninggalkan apa yang tidak berdosa karena takut terhadap apa yang berdosa.” Umar ra berkata: “Kami dahulu meninggalkan Sembilan per sepuluh barang yang halal karena takut terjerumus kedalam yang haram.” Setiap barang halal yang tidak terlepas dari kekhawatiran maka ia adalah halalyang baik pada tingkat ketiga. Yakni setiap hal yang pelaksanaannya tidak dikhawatirkan membawa kepada kemaksiatan sama sekali.

d.      Tingkatan keempat, wara’ash-shiddiqin. Halal disisi mereka adalah setiap hal yang dalam sebabsebabnya tidak didahului oleh kemaksiatan, tidak dipergunakan untuk kemaksiatan, dan tidak pula dimaksudkan untuk melampiaskan kebutuhan baik sekarang ataupun dimasa yang akan dating , tetapi dimakan semata-mata karena Allah dan untuk memperkuat ibadah kepada-Nya dan mempertahankan kehidupan karena-Nya.

Ini adalah tingkatan orang-orang yang bertauhid (Muwahhidin) yang telah terhindar dari tuntutan nafsu mereka.

 

C.    Tawakkal

Tawakal berasal dari kata at tawakul yang di bentuk dari kata wakala, artinya menyerahkan, mempercayai, atau mewakilkan, bersandar kepada dinding. Tawakal secara istilah adalah rasa pasrah hamba kepada allah swt yang di sertai dengan segala daya dan upaya mematuhi, setia dan menunaikan segala pertintahNya.

Ciri-ciri tawakal :

a.       Mujahadah, artinya sungguh-sungguh dalam melakukan suatu pekerjaan tidak asal asalan. Contohnya, sebagai pelajar, belajarlah sungguh sungguh agat dapat memperoleh prestasi yang baik.

b.      Doa, artinya walaupun kita sudah melakukan upaya mujahadah (sungguh-sungguh) kita pun harus tetap berdoa memohon kepada Allah.

c.       Syukur, artinya apabila menemukan keberhasilan kita harus mensyukurinya. Prinsip ini perlu kita punya. Jika tidak, kita akan menjadi orang yang sombong atau angkuh (kufur nikmat).

d.      Sabar, Artinya tahan uji menghadapi berbagai cobaan termasuk hasil yang tidak memuaskan (kegagalan). Sabar tidak berarti diam dan meratami kegagalan, tetapi sabar adalah instropeksi dan bekerja lebih baik agar kegagalan tidak terulang

  

D.    Sabar

Sabar berarti tabah dalam menghadapi segala kesulitan tanpa ada rasa kesal dan menyerah dalam diri. Dalam hal ini tidak hanya mengekang keinginan nafsu dan amarah tetapi juga mampu menahan terhadap penyakit fisik. Sabar juga dapat dipahami sebagai sikap tabah, tekun dan tangguh dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai problema hidup. Tidak ada orang yang sukses tanpa kesungguhan dan keuletan serta ketangguhan untuk meraihnya. Dengan sikap sabar, seseorang tidak mudah putus asa, tidak cepat menyerah ketika belum berhasil. Bahkan seorang yang memiliki sikap sabar tidak larut dalam kesedihan ketika terkena musibah, ia akan cepat bangkit untuk menatap masa depan yang lebih cerah.

E.     Ridha

Kata ridha berasal dari bahasa Arab yang makna harfiahnya mengandung pengertian senang, suka, rela, menerima dengan sepenuh hati, serta menyetujui secara penuh. Ridha secara bahasa menerima dengan suka hati, Adapun ridha secara istilah diartikan sikap menerima atas pemberian dan anugerah yang diberikan oleh Allah dengan di iringi sikap menerima ketentuan syariat Islam secara ikhlas dan penuh ketaatan, serta menjauhi dari perbuatan buruk(maksiyat), baik lahir ataupun bathin.

 


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa maqomat ialah tingkatan atau stasiun dari maqom -maqom yang ditempuh para sufi. Maqom ialah tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan-latihan (riyadhah) jiwa yang dilakukannya. Dikalangan para sufi urutan maqom berbeda-beda. Sebagian merumuskan maqom dengan sederhana, sebagian ada yang mendetail untuk merumuskannya. Sedangkan apa yang dirumuskan oleh Al Ghozali lebih sedikit lagi. Ia merumuskan maqom seperti berikut:zuhud, tobat, sabar, syukur, khauf, dan raja’ tawakkal, mahabbah, ridha ikhlas, muhasabah, dan muroqobah. sementara itu, Asy-Skuhrawardi dalam bukunya Al Awarif Al- Ma’arif merumuskan maqam, sebagai berikut: tobat wara’, zuhud, sabar, faqr, syukur, khauf, tawakkal, dan ridha.

Pada hakikatnya sama, berbagai macam maqom yang ditempuh oleh para sufi memang berbeda, namun satu tujuannya ialah untuk menjadikan satu raganya disisi Allah SWT. Mendekatkan diri serta menikmati ketentraman bersama Allah.

 

Daftar Pustaka

 

Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikirannya, Jakarta: Pustaka Panjimas,

1983.

Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani, 1994.

Prof. Dr. Amin Syukur, MA, Drs. Masharudin. Intelektualisme Tasawuw Studi Intelektualisme

Tasawuf al-Ghazali. Semarang: Pustaka Pelajar, 2002.

0 komentar:

Post a Comment