Thursday, November 12, 2020

 MONA FUTRI

BAB II

ISI

A.    Pengertian Tarekat

1.      Pengertian Tarekat

Asal kata tarekat dalam bahsa arab ialah “thariqah” yang berarti jalan, kedaan, aliran atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah jalan-jalan yang ditempuh para sufi. Dapat pula digambrkan sebagai jalanyang berpangkal dari syariat sebab jalan utama disebut syar’, sedangkan anak jalan tersebut thariq. Kata turun ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Tidak mungkin jika ada anak jalan bila tidak ada jalan utama tempat berpangkal; pengalaman mistik tidak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati. Munurut Harun Nasution, tarekat berasal dari kata thariqah, yang artinya jalan yang harus ditempuh oleh seseorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Tariqoh kemudian mengandung arti organisasi (tarikat). Tiap tarikat mempunyai syaikh, upacara ritual, dan bentuk ziir sendiri. Sejalan dengan ini, Martin Van Bruinessen menyatakan istilah “tarekat” paling tidak dipakai untuk mengacu pada organisasi yang menyatukan pengikut-pengikut “jalan” tertentu. Di timur tengah, istilah “ta’ifdah” terkadang sering di sukai oleh organisasi. Sehingga lebih mudah untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Akan tetapu di Indonesia kata tarekat mengacu pada keduanya. [1]Sebenarnya, munculnya banyak tarekat dalam Islam pada garis besarnya sama dengan latar belakang munculnya banyak madzhab dalam figh dan banyak firqah dalam ilmu kalam. Di dalam kalam berkembang madzhab-madzhab yang disebut dengan firqah, seperti : khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Di sini istilah yang digunakan bukan mazhab tetapi firqah, di dalam figh juga berkembang banyak firqah yang disebut dengan madzhab seperti madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, Syafi’i, Zhahiri dan Syi’i. Di dalam tasawuf juga berkembang banyak madzhab, yang disebut dengan thariqah. Thariqah dalam tasawuf jumlahnya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan perkembangan madzhab dan firqah dalam fiqh dan kalam, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tarekat juga memiliki kedudukan atau posisi sebagaimana madzhab dan firqah-firqah tersebut di dalam syari’at Islam.

1.      Sejarah Perkembangan Tarekat

   Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan lahirnya gerakan tarekat pada, yaitu faktor kultural dan struktur. Dari segi politik, dunia Islam sedang mengalami krisis hebat. Di bagian barat dunia Islam, seperti : wilayah Palestina, Syiria, dan Mesir menghadapi serangan orang-orang Kristen Eropa, yang terkenal dengan Perang Salib. Selama lebih kurang dua abad (490-656 H. / 1096-1258 M.) telah terjadi delapan kali peperangan yang dahsyat.

     Di bagian timur, dunia Islam menghadapi serangan Mongol yang haus darah dan kekuasan. Ia melahap setiap wilayah yang dijarahnya. Demikian juga halnya di Baghdad, sebagai pusat kekuasaan dan peradaban Islam. Situasi politik kota Baghdad tidak menentu, karena  selalu terjadi perebutan kekuasan di antara para Amir (Turki dan Dinasti Buwihi). Secara formal khalifah masih diakui, tetapi secara praktis penguasa yang sebenarnya adalah para Amir dan sultan-sultan. Keadaan  yang buruk ini disempurnakan (keburukannya) oleh Hulagu Khan yang memporak porandakan pusat peradaban Umat Islam (1258 M.). Kerunyaman politik dan krisis kekuasaan ini membawa dampak negatif bagi kehidupan umat Islam di wilayah tersebut. Pada masa itu umat Islam mengalami masa disintegrasi sosial yang sangat parah, pertentangan antar golongan banyak terjadi, seperti antara golongan sunni dengan syi’ah, dan golongan Turki dengan golongan Arab dan Persia. Selain itu ditambah lagi oleh suasana banjir yang melanda sungai Dajlah yang mengakibatkan separuh dari tanah Iraq menjadi rusak. Akibatnya, kehidupan sosial merosot. Keamanan terganggu dan kehancuran umat Islam terasa di mana-mana.[2]

Tumbuhnya tarekat dalam Islam sesungguhnya bersamaan dengan kelahiran agama islam, yaitu ketika nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul. Fakta sejarah menunjukkan bahwa pribadi nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulang kali bertakhannus atau berkhalwat di gua Hira. Disamping itu untuk mengasingkan diri dari masyarakat Mekkah yang sedang mabuk mengikuti hawa nafsu keduniaan. Takhannus dan khlalwat Nabi adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh problematika dunia yang kompleks. Proses khalwat yang dilakukan nabi tersebut dikenal dengan tarekat. Kemudian diajarkan kepada sayyidina Ali RA. dan dari situlah kemudian Ali mengajarkan kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya sampai akhirnya sampai kepada Syaikh Abd Qadir Djailani, yang dikelal sebagai pendiri Tarekat Qadiriyah.

      Dalam situasi seperti itu wajarlah kalau umat Islam berusaha mempertahankan agamanya dengan berpegang pada doktrinnya yang dapat menentramkan jiwa, dan menjalin hubungan yang damai dengan sesama muslim. Masyarakat Islam memiliki warisan kultural dari ulama sebelumnya yang dapat digunakan, sebagai pegangan yaitu doktrin tasawuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidani lahirnya gerakan tarekat pada masa itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian ulama sufi, mereka memberikan pengayoman masyarakat Islam yang sedang mengalami krisis moral yang sangat hebat (ibarat anak ayam kehilangan induk). Dengan dibukanya ajaran tasawuf kepada orang awam, secara praktis lebih berfungsi sebagai psikoterapi yang bersifat massal. Maka kemudian banyak orang awam yang memasuki majelis dzikir dan halaqah-nya para sufi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri (eksklusif) yang disebut dengan tarekat. Di antara ulama sufi yang kemudian memberikan pengayoman kepada masyarakat umum untuk mengamalkan tasawuf secara praktis (tasawuf ‘amali), adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali (w. 505 H./1111 M.). Kemudian menurut Al-Taftazani diikuti oleh ulama’ sufi berikutnya.[3] seperti  syekh Abd. Qadir al – Jailani dan Syekh Ahmad ibn Ali al-Rifa’i. Kedua tokoh sufi tersebut kemudian dianggap sebagai pendiri Tarekat Qadiriyah dan Rifa’iyah yang tetap berkembang sampai sekarang. Secara garis besar melalui tiga tahap yaitu : tahap khanaqah, tahap thariqah dan tahap tha’ifah.

1.      Tahap khanaqah (pusat pertemuan sufi), dimana syekh mempunyai sejumlah murid yang hidup bersama-sama dibawah peraturan yang tidak ketat, syekh menjadi mursyid yang dipatuhi. Kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan secara kolektif. Ini terjadi sekitar abad X M. Gerakan ini mempunyai masa keemasan tasawuf

2.      Tahap thariqah

Sekitar abad XIII M. di sini sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan dan metode tasawuf. Pada masa inilah muncul pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilahnya masing-masing. Berkembanglah metode-metode kolektif baru untuk mencapai kedekatan diri kepada Tuhan. Disini tasawuf telah mencapai kedekatan diri kepada Tuhan, dan disini pula tasawuf telah mengambil bentuk kelas menengah.

2.      Tahap tha’ifah

Terjadinya pada sekitar abad XV M. Di sini terjadi transisi misi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada masa ini muncul organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di tempat lain. Pada tahap tha’ifah inilah tarekat mengandung arti lain, yaitu organisasi sufi yang melestarikan ajaran syekh tertentu. Terdapatlah tarekat-tarekat seperti Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsyabandiyah, Tarekat Syadziliyah dan lain-lain.

 

Sebenarnya, munculnya banyak tarekat dalam Islam pada garis besarnya sama dengan latar belakang munculnya banyak madzhab dalam figh dan banyak firqah dalam ilmu kalam. Di dalam kalam berkembang madzhab-madzhab yang disebut dengan firqah, seperti : khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Di sini istilah yang digunakan bukan mazhab tetapi firqah, di dalam figh juga berkembang banyak firqah yang disebut dengan madzhab seperti madzhab Hanafi, Maliki, Hanbali, Syafi’i, Zhahiri dan Syi’i. Di dalam tasawuf juga berkembang banyak madzhab, yang disebut dengan thariqah. Thariqah dalam tasawuf jumlahnya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan perkembangan madzhab dan firqah dalam fiqh dan kalam, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tarekat juga memiliki kedudukan atau posisi sebagaimana madzhab dan firqah-firqah tersebut di dalam syari’at Islam.[4]

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Tarekat berasal dari kata thariqah, yang artinya jalan yang harus ditempuh oleh seseorang calon sufi agar ia berada sedekat mungkin dengan Allah. Tariqoh kemudian mengandung arti organisasi (tarikat). Tiap tarikat mempunyai syaikh, upacara ritual, dan bentuk ziir sendiri. Sejalan dengan ini, Martin Van Bruinessen menyatakan istilah “tarekat” paling tidak dipakai untuk mengacu pada organisasi yang menyatukan pengikut-pengikut “jalan” tertentu. Di timur tengah, istilah “ta’ifdah” terkadang sering di sukai oleh organisasi. Sehingga lebih mudah untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Akan tetapu di Indonesia kata tarekat mengacu pada keduanya.

Masyarakat Islam memiliki warisan kultural dari ulama sebelumnya yang dapat digunakan, sebagai pegangan yaitu doktrin tasawuf, yang merupakan aspek kultural yang ikut membidani lahirnya gerakan tarekat pada masa itu. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kepedulian ulama sufi, mereka memberikan pengayoman masyarakat Islam yang sedang mengalami krisis moral yang sangat hebat (ibarat anak ayam kehilangan induk). Dengan dibukanya ajaran tasawuf kepada orang awam, secara praktis lebih berfungsi sebagai psikoterapi yang bersifat massal. Maka kemudian banyak orang awam yang memasuki majelis dzikir dan halaqah-nya para sufi, yang lama kelamaan berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri (eksklusif) yang disebut dengan tarekat. Dan terdapat macam tarekat.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat itu adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Gambaran ini menunjukkan bahwa tarekat adalah tasawuf yang telah berkembang dengan beberapa variasi tertentu. Sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru pada muridnya.

Dengan demikian genre tipikal mereka bersifat hagiografis, yang bertujuan membangkitkan kualitas-kualitas insaniah yang istimewa dari mereka yang mencapai kedekatan ilahiah. Sebaliknya para penentang sufisme dari kalangan muslim dengan begitu cemas memperlihatkan bahwa sufisme merupakan distorsi dari islam dan mereka dengan senang hati menangkap setiap peluang untuk mengaitkan sufisme dengan kekafiran dan kelemahan moral.

 

  

DAFTAR PUSTAKA

Ridhasyahidaiz.blogspot.com>2015/05 , sejarah-dan-perkembangan-tarekat-3 mei 2015

Mashajirismail.wordpress.com,2011/02/02



[1]               Harun nasution, hakikat tarekat naqsabandiah. Jakarta: tahun 1994

[2]               Laila mansur, ajaran dan teladan para sufi. Jakarta: tahun 1996

[3]               M. Sholihin dkk. Ilmu tasawuf. Bandung: tahun 2004

[4]         Simuh Dan Perkembangan Dalam Islam, RajaGrafindo Persada : Jakarta

0 komentar:

Post a Comment