SUKMA WATI
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Perkembangan Tasawuf falsafi
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi
tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi
para tokohnya.[1][1]
Tasawuf
falsafi secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris
dalam Islam untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan
filosofis. Keberadaan tasawuf bercorak falsafi ini pada satu sisi telah
menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang dengan kehadiran
filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi
kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan
sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.[2][2]
Menurut
at-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dalam khazanah Islam sejak abad
keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal setelah seabad kemudian.
Sejak saat itu, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama
dikalangan para sufi yang juga filsuf, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya
pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan
sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf bercampur dengan sejumlah ajaran
filsafat di luar Islam, seperti dari Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani.
Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab,
meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan
beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya
tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama apabila
dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjelaskan
kepada kita kegigihan para tokoh tasawuf jenis ini dalam mengompromikan
ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam ke dalam tasawuf mereka,
serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi menyesuaikan
maknanya dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.[3][3]
Perbedaan
ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:
1. Tasawuf
sunni bersumber dari keterangan-keterangan yang termaktub dalam al-Qur’an dan
al-Hadits. Ajaran tasawuf ini mengajarkan umat Islam untuk memiliki akhlak yang
telah diajarkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW.
Sedangkan ajaran tasawuf falsafi berasal dari pemikiran filsafat yang
berkembang baik sebelum maupun setelah Islam. Sedangkan pada tasawuf falsafi
mengajarkan ajaran-ajaran yang merupakan perpaduan antara tasawuf dengan
filsafat. Ajaran tasawuf falsafi misalnya al-Baqa’ dan al-Fana’ adalah ajaran
Abu Yazid al-Bisthami yang mengajarkan bersatunya antara zat makhluk dengan
tuhannya. Ajaran ini dipengaruhi oleh filsafat Plotinus.
2. Ajaran
Tasawuf sunni berisi ajaran yang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Semua ajarannya sesuai dengan kedua nash tersebut, sedangkan ajaran tasawuf
falsafi mempunyai kecenderungan menyimpang dari keterangan yang terdapat dalam
kedua sumber ajaran Islam tersebut. Kaum sufi mengeluarkan kata-kata yang
dikenal dengan syahadat, yaitu perkataan aneh kaum sufi yang diucapkan dalam
keadaan tidak sadar. Sekedar contoh syahadat adalah perkataan Abu Yazid al-Bisthami
yang mengeluarkan “Aku Adalah Allah, tidak Ada Tuhan Selain Aku”.
3. Tasawuf
sunni mengajarkan adanya “ketidaksamaan” antara makhluk dengan Allah, ajaran
tasawuf sunni menekankan kepada adanya ketidak-satuan Allah dengan ciptaannya.
Ketika seorang sufi mencapai derajat yang tertinggi ia hanya akan mencapai
derajat musyahadah dan mukasyafah, yaitu ajaran yang menegaskan adanya
kemampuan kaum sufi untuk menyaksikan kekuasaan Allah dengan terbukanya tabir
antara dia dengan allah sementara itu tasawuf falsafi mengajarkan adanya
“kesatuan” Allah dengan mahluknya dengan ajaran Ittihad dan al-Hulul.
4. Memperhatikan
keseimbangan antara hakikat dengan syariat. Karena ajaran tasawuf sunni
berdasarkan ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan al-Hadits. Mereka selalu
menekankan akan pengamalan ajaran-ajaran tasawuf mereka dengan ajaran syariat
yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Fenomena ini setidaknya dikemukakan
oleh Imam Malik: “Barang siapa berilmu fiqh tapi tidak bertasawuf, maka sungguh
ia telah fasik dan barang siapa yang bertasawuf tapi tidak berilmu fiqh maka
sungguh ia zindiq, dan barang siapa berilmu fiqh dan bertasawuf, maka sungguh
ia adalah yang tepat”. Sedangkan tasawuf falsafi mengenal apa yang
disebut“nihilisme syari’at”, yaitu suatu bentuk ajaran yang
menegaskan syari’at sebagai bentuk penolakan terhadap “hakikat” dan keberadaan
benda-benda. Keyakinan ini mengajarkan bahwa syari’at hanya berlaku kepada
seseorang yang berkeyakinan bahwa dirinya “berbeda” dari tuhannya, sehingga
bagi mereka yang telaah melepaskan dari keyakinaan itu, tak perlu melaksanakan
ajaran syari’at.[4][4]
B. Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi dan Konsep
Ajarannya
Diantara
tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah Ibnu Arabi, al-Jili, Ibnu Sab’in, dan Ibnu
Masarrah.
1. Ibnu
Arabi
a.biografi
Ibnu Arabi
Nama
lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin
Abdullah
ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara,
Spanyol,
tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuan.
Namanya
biasa disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu Bakar
Ibnu
al-Arabi, seorang qadhi dari Sevilla yang wafat pada tahun 543 H. Di
Sevilla
(Spanyol), ia mempelajari al-Qur’an, al-Hadits, serta fiqh pada
sejumlah
murid seorang faqih Andalusia terkenal, yaitu Ibnu Hazm
azh-Zhahiri.
Setelah
berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia
dan
kawasan Islam bagian barat. Diantara deretan guru-gurunya, tercatat
nama-nama,
seperti Abu Madyanal-Ghautsat-Talimsari dan Yasmin
Musyaniyah
(seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya banyak
memengaruhi
ajaran Ibnu Arabi. Dikabarkan, ia pun pernah berjumpa dengan
Ibnu
Rusyd, filsuf muslim dan tabib istana dinasti berbar dari Alomohad, di
Kordova. Ia
pun dikabarkan mengunjungi al-Mariyyah yang menjadi pusat
madrasah
Ibnu Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan
memperoleh
banyak pengaruh di Andalusia.
b.Ajaran-ajaran
Tasawufnya
Ajaran
sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdad al-wujud (kesatuan wujud).
Meskipun
demikian, istilah wahdad al-wujud yang dipakai untuk menyebut
ajaran
sentralnya, tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah,
tokoh
yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya
tersebut,
atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang telah berjasa dalam
mempopulerkannya
ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif.
Di
samping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdad
al-wujud untuk
menyebut ajaran sentral Ibnu Arabi, mereka berbeda pendapat
dalam
menformulasikan pengertianwahdad al-wujud.
Menurut
Ibnu Taimiyyah, wahdad al-wujud adalah penyamaan tuhan dan
alam.
Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdad
al-wujud mengatakan
bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al
wujud yang
dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin al-wujud yang
dimiliki
oleh
mahluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdad
al-wujud juga
mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan,
tidak
ada kelainan dan tidak ada perbedaan.[5][5]
2. Abdul Karim Al-Jili
a.Riwaya
Hidup
Nama
lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili. Ia lahir pada tahun
1365
M di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafat
pada
tahun 1417 M. Nama al-Jili diambil dari tempat kelahiranya di Gilan. Ia
adalah
seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak
banyak
diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan
bahwa
ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. Kemudian
belajar
tasawuf dibawah bimbingan Abdul Qadir al-Jailani, seorang pendiri
dan
pemimpin Tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Disamping itu,
berguru
pula pada Syekh Syarafddin Isma’il bin Ibrahim al-Jabarti di Zabith
(Yaman)
pada tahun 1393-1403 M.[6][6]
b.Ajaran-ajaran
Tasawufnya
Ajaran
tasawuf al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia
sempurna).
Menurut al-Jili, insan kamiladalah nuskhah atau copy Tuhan,
seperti
disebutkan dalam hadits yang artinya:
“Allah
menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”
Hadits
lain menyebutkan yang artinya:
“Allah
menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya”
Sebagaimana
diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup, pandai,
mampu
berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun
memiliki
sifat-sifat seperti itu. Proses-proses yang terjadi setelah ini ada
setelah
Tuhan menciptakan substansi,huwiyah Tuhan dihadapkan dengan
huwiyah Adam, aniyah-Nyadisandingkan
dengan aniyah Adam, dan Dzat
Nya
dihadapkan pada Dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan
Tuhan
dalam segala hakikat-Nya.Melalui konsep ini, kita memahami bahwa
Adam
dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil
dengan
segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama
ilahiah.
3. Ibnu Sab’in
a.Riwayat
Hidup
Nama
lengkap Ibnu Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn
Nashr,
seorang sufi dan juga filsuf dari Andalusia. Dia terenal di Eropa karena
jawaban-jawabannya
atas pernyataan Frederik II, penguasa Sicilia. Dia
dipanggil
Ibnu Sab’in dan diberi gelar Quthbuddin, tetapi kadang-kadang, ia
dikenal
pula dengan Abu Muhammad. Dia dilahirkan tahun 614 H (1217-
1218M)
di kawasan Murcia.[7][7]
Ibnu
Sab’in tumbuh dewasa dalam keluarga bangsawan. Ayahnya adalah
penguasa
kota kelahirannya. begitu juga, dengan nenek moyangnya, yang juga
dari
kalangan para penguasa. Menurut sebagian penulis biografinya, Ibnu
Sab’in
hidup dalam suasana penuh kemuliaan dan kecukupan. Kemudian, dia
menjauhi
kesenangan hidup, kemewahan, dan kepemimpinan duniawi, dan
seterusnya
hidup sebagai asketis ataupun sufi yang banyak mempunyai murid.
b.Ajaran-ajaran
Tasawufnya
Ibnu
Sab’in adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf
filosofis,
yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial
pahamnya
sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata.
Adapun
wujud lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud
wujud
yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu.
Dengan
demikian, wujud dalam kenyataannya hanya satu persoalan yang
tetap.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tasawuf
falsafi secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris
dalam islam untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan
pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf bercorak falsafi ini
pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang
senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para
ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya,
tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda
untuk direnangi.
Seorang
sufi yang di anggap sebagai perintis tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w.319
atau 931) yang hidup di andalusia. Sekaligus dia dapat di anggap sebagai
filosof sufi pertama dalam dunia Islam.
Tokoh
kedua yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsafi adalah Suhrawardi
al-Maqtul, sufi yang di bunuh di Aleppo pada tahun 587 atau 1191, karena
pandangannya yang telah keluar dari Islam menurut ulama fuqaha. Suhrawardi juga
seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina.
Tasawuf
falsafi di nusantara di pelopori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani,
dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatra) pada abad ke 17 M.
DAFTAR
PUSTAKA
[1][1]Rosihun
Anwar, Akhlak Tasawuf, Terj. (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), hlm. 277.
[2][2]Mohammad
Muchlis Solihin, Akhlak & Tasawuf Dalam Wacana Kontemporer Upaya Sang
Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 131.
[3][3]Rosihon
Anwar, Akhlak Tasawuf , (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.
277.
[4][4]Mohammad
Muchlis Solihin, Akhlak & Tasawuf, hlm. 135.
[5][5]M.sholihin
dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 174-184.
[6][6] Samsul
Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal 281-285
[7][7] Samsul
Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 268-289.
0 komentar:
Post a Comment