Wafiq Nur Azizah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Baik
Dan Buruk
Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam
bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf
dalam kitabnya, Munjid, mengatakan bahwa yang disebut baik
adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. Sementara itu, dalam Webster’s
New Twentieth Century Dictionary, dikatakan bahwa yang disebut baik
adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan,
persesuaian, dan seterusnya. Selanjutnya yang baik itu juga adalah sesuatu yang
mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan.
Yang baik itu dapat juga berarti sesuatu yang sesuai dengan keinginan. Dan yang
disebut baik dapat pula berarti sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan
perasaan senang atau bahagia. Dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa
secara umum yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan,
yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik,
jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan disebut nilai
(value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang
konkret. Sedangkan pengertian buruk merupakan sesuatu yang tidak berharga,
tidak berguna untuk tujuan, apabila yang merugikan, atau yang menyebabkan tidak
tercapainya tujuan adalah “buruk”.
Pengertian baik dan buruk juga ada yang subyektif dan relatif,
baik bagi seseorang belum tentu baik bagi orang lain. Sesuatu itu baik bagi
seseorang apabila hal ini sesuai dan berguna untuk tujuannya. Hal yang sama adalah
mungkin buruk bagi orang lain, karena hal tersebut tidak akan berguna bagi
tujuannya. Masing-masing orang mempunyai tujuannya yang berbeda-beda, bahkan
ada yang bertentangan, sehingga yang berharga untuk seseorang atau untuk
sesuatu golongan berbeda dengan yang berharga untuk orang atau golongan
lainnya.
Akan tetapi secara obyektif, walaupun tujuan orang atau golongan
di dunia ini berbeda-beda, sesungguhnya pada akhirnya semuanya mempunyai tujuan
yang sama, sebagai tujuan akhir tiap-tiap sesuatu, bukan saja manusia bahkan
binatang pun mempunyai tujuan. Dan tujuan akhir dari semuanya itu sama, yaitu
bahwa semuanya ingin bahagia. Tak ada seorangpun dan sesuatupun yang tidak
ingin bahagia..
B. Penentuan Ukuran
Baik Dan Buruk
Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, berkembang pula
patokan yang digunakan orang dalam menentukan baik dan buruk. Keadaan ini
menurut Poedjawijatna berhubungan rapat dengan pandangan filsafat tentang
manusia (antropologia metafisika) dan ini tergantung pula dari metafisika pada
umumnya. Poedjawijatna lebih lanjut menyebutkan sejumlah pandangan filsafat
yang digunakan dalam menilai baik dan buruk, yaitu hedonisme, utilitarianisme,
vitalisme, sosialisme, religiousisme, dan humanisme. Sementara itu Asmaran As,
menyebutkannya sebanyak empat aliran filsafat, yaitu adat kebiasaan, hedonisme,
intuisi dan evolusi. Pembagian yang dikemukakan Asmaran As ini tampak sejalan
dengan pendapat Ahmad Amin yang membagi aliran filsafat yang memengaruhi
penentuan baik dan buruk itu menjadi empat, yaitu adat-istiadat, hedonisme,
utilitarianisme dan evolusi.
Beberapa kutipan tersebut di atas tampak saling melengkapi dan
dapat disimpulkan bahwa di antara aliran-aliran filsafat yang memengaruhi dalam
penentuan baik dan buruk ini adalah aliran adat-istiadat (sosialisme),
hedonisme, intuisisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, religiousisme,
dan evolusisme.
Dengan merujuk kepada berbagai kutipan tersebut di atas
beberapa aliran filsafat yang memengaruhi pemikiran akhlak tersebut dapat
dikemukakan secara ringkas sebagai berikut:
1. Baik dan Buruk
Menurut Aliran Adat-Istiadat (Sosialisme)
Menurut aliran ini baik atau buruk ditentukan berdasarkan
adat-istiadat yang berlaku dan ditentukan berdasarkan adat-istiadat yang
berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang
teguh pada adat dipandang baik, dan orang yang menentang dan tidak mengikuti
adat-istiadat dipandang buruk, dan kalau perlu dihukum secara adat.
Adat-istiadat selanjutnya disebut pula sebagai pendapat umum.
Ahmad Amin mengatakan bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai adat-istiadat yang
tertentu dan menganggap baik bila mengikutinya, mendidik anak-anaknya sesuai
dengan adat-istiadat itu, dan menanamkan perasaan kepada mereka, bahwa
adat-istiadat itu akan membawa kepada kesucian, sehingga apabila seseorang
menyalahi adat-istiadat itu sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan
bangsanya.
Di dalam masyarakat kita jumpai adat-istiadat yang berkenaan
dengan cara berpakaian, makan, minum, bercakap-cakap, bertandang dan
sebagainya. Orang yang mengikuti cara-cara yang demikian itulah yang dianggap
orang yang baik, dan orang yang menyalahinya adalah orang yang buruk.
Kelompok yang menilai baik dan buruk berdasarkan adat-istiadat
ini dalam tinjauan filsafat dikenal dengan istilah aliran sosialisme. Munculnya
paham ini bertolak dari anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia,
maka ada yang berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan baik buruknya
tindakan manusia yang menjadi anggotanya. Lebih jelas lagi apa yang lazim
dianggap baik oleh masyarakat tertentu, itulah yang baik. Inilah yang kami
sebut ukuran sosialistis dalam etika.
2. Baik dan Buruk
Menurut Aliran Hedonisme
Aliran hedonisme adalah aliran filsafat yang terhitung tua,
karena berakar pada pemikiran filsafat Yunani, khususnya pemikiran filsafat
Epicurus (341-270 SM), yang selanjutnya dikembangkan oleh Cyrenics dan
belakangan ditumbuhkembangkan oleh Freud.
Menurut paham ini banyak yang disebut perbuatan yang baik adalah
perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan nafsu
biologis. Aliran ini tidak mengatakan bahwa semua perbuatan mengandung
kelezatan, melainkan ada pula yang mendatangkan kepedihan, dan apabila ia
disuruh memilih manakah perbuatan yang harus dilakukan, maka yang dilakukan
adalah yang mendatangkan kelezatan. Epicurus sebagai peletak dasar paham ini
mengatakan bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu adalah tujuan manusia. Tidak
ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali penderitaan.
Dan akhlak itu tak lain dan tak bukan adalah berbuat untuk menghasilkan
kelezatan dan kebahagiaan serta keutamaan. Keutamaan itu tidak mempunyai nilai
tersendiri, tetapi nilainya terletak pada kelezatan yang menyertainya. .
Pada tahap selanjutnya paham hedonisme ini ada yang bercorak
individual dan universal. Corak pertama berpendapat bahwa yang dipentingkan
terlebih dahulu adalah mencari sebesar-besarnya kelezatan dan kepuasan untuk
diri sendiri, dan segenap daya upaya harus diarahkan pada upaya mencari
kebahagiaan dan kelezatan yang bercorak individualistik itu. Selanjutnya corak
kedua (Universalistis Hedonisme) memandang bahwa perbuatan yang baik itu adalah
yang mengutamakan mencari kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sesama
manusia, bahkan segala makhluk yang berperasaan. Karena kesenangan yang
dikehendaki oleh pengikut paham ini bukan kenikmatan bagi orang per orang saja,
tetapi untuk semua orang, maka bagi setiap yang melakukan perbuatan perlu
mempertimbangkan jangan sampai berat sebelah kepada dirinya, tetapi sedapat
mungkin ia harus menjadikan sama antara kenikmatan yang dirasakan dirinya dan
dirasakan orang lain.
Hedonisme model pertama yang individualistik lebih banyak
mewarnai masyarakat barat yang bercorak liberal dan kapitalistik, sementara
hedonisme model kedua yang sosialistik banyak mewarnai masyarakat Eropa yang
bercorak komunis.
3. Baik dan Buruk
Menurut Paham Intuisisme (Humanisme)
Intuisi merupakan kekuatan batin yang dapat menentukan sesuatu
sebagai baik atau buruk dengan sekilas tanpa melihat buah atau akibatnya.
Kekuatan batin atau disebut juga sebagai kata hati adalah potensi rohaniah yang
secara fitrah telah ada pada diri setiap orang. Paham ini berpendapat bahwa
pada setiap manusia mempunyai kekuatan insting batin yang dapat membedakan baik
dan buruk dengan sekilas pandang. Kekuatan batin ini terkadang berbeda
refleksinya, karena pengaruh masa dan lingkungannya, akan tetapi dasarnya ia
tetap sama dan berakar pada tubuh manusia. Apabila ia melihat sesuatu
perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang dapat memberi tahu nilai perbuatan
itu, lalu menetapkan hukum baik dan buruknya. Oleh karena itu, kebanyakan
manusia sepakat mengenai keutamaan seperti benar, dermawan, berani, dan mereka
juga sepakat menilai buruk terhadap perbuatan yang salah, kikir, dan pengecut.
Menurut paham ini perbuatan yang baik adalah perbuatan yang
sesuai dengan penilaian yang diberikan oleh hati nurani atau kekuatan batin
yang ada dalam dirinya. Dan sebaliknya perbuatan buruk adalah perbuatan yang
menurut hati nurani atau kekuatan batin dipandang buruk. Paham ini selanjutnya
dikenal dengan paham humanisme. Poedjawijatna mengatakan bahwa menurut aliran
ini yang baik adalah yang sesuai dengan kodrat manusia, yaitu kemanusiaannya
yang cenderung kepada kebaikan. Penentuan terhadap baik-buruknya tindakan yang
konkret adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati orang yang bertindak.
Dengan demikian ukuran baik-buruk suatu perbuatan menurut paham ini adalah
tindakan yang sesuai dengan derajat manusia, dan tidak menentang atau
mengurangi keputusan hati. Secara batin setiap orang pasti tidak akan dapat
membohongi kata hatinya. Jika suatu ketika seseorang mengatakan sesuatu yang
bukan sebenarnya, hal yang demikian hanya dapat dilakukan atau diterima oleh
ucapannya, tetapi kata hatinya tetap tidak mengakui kebohongan itu.
Penentuan baik-buruk perbuatan melalui kata hati yang dibimbing
oleh ilham atau intuisi ini banyak dianut dan dikembangkan oleh para pemikir
akhlak dari kalangan Islam. Murthada Muthahhari misalnya dapat dimasukkan ke
dalam kelompok ini. Dalam bukunya berjudul, falsafah Akhlak ia
mengatakan bahwa etika adalah tidak emosionalistik seperti dalam falsafah etika
Hindu dan Kristen. Juga bukan rasional dan berdasarkan kehendak sebagaimana
yang dikatakan filosof. Tetapi etika adalah ilham-ilham intuisi. Menurut
kekuatan itu tidak berupa emosi dan rasio. Kekuatan itulah yang
menginstruksikan pada manusia agar melakukan berbagai kewajiban dalam hidupnya.
Kekuatan itu terletak dalam diri dan batin manusia. Ia mengilhami manusia untuk
melakukan suatu perkara ini dan meninggalkan perkara itu. Kekuatan itu tak ada
kaitannya dengan akal. Akal adalah hasil perolehan (iktisaby), sedangkan
intuisi adalah fitri dan intrinsik pada batin manusia. Semua manusia
memilikinya secara primordial. Intuisi menjadi ilham manusia pada banyak hal,
dan tindakan akhlaki selalu diilhami oleh intuisi.
4. Baik dan Buruk
Menurut Paham Utilitarianisme
Secara harfiah utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa
yang baik adalah yang berguna. Jika ukuran ini berlaku bagi perorangan, disebut
individual, dan jika berlaku bagi masyarakat dan negara disebut sosial.
Paham penentuan baik-buruk berdasarkan nilai guna ini
mendapatkan perhatian di masa sekarang. Dalam abad sekarang ini kemajuan di
bidang teknik cukup meningkat, dan kegunaanlah yang menentukan segala-galanya.
Namun demikian, paham ini terkadang cenderung ekstrem dan melihat kegunaan
hanya dari sudut pandang materialistik. Orang tua yang sudah jompo misalnya
semakin kurang dihargai, karena secara material tidak ada lagi kegunaannya.
Padahal kedua orang tua tetap berguna untuk dimintakan nasihat dan doanya serta
kerelaannya. Selain itu paham ini juga dapat menggunakan apa saja yang dianggap
ada gunanya. Untuk memperjuangkan kepentingan politik misalnya tidak
segan-segan menggunakan fitnah, khianat, bohong, tipu muslihat, kekerasan,
paksaan, dan lain sebagainya, sepanjang semua yang disebutkan itu ada gunanya.
Namun demikian, kegunaan dalam arti bermanfaat yang tidak hanya
berhubungan dengan materi melainkan juga dengan yang bersifat rohani bisa
diterima. Dan kegunaan bisa juga diterima jika yang digunakan itu hal-hal yang
tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Nabi misalnya menilai bahwa orang
yang baik adalah orang yang memberi manfaat pada yang lainnya.
5. Baik dan Buruk
Menurut Paham Vitalisme
Menurut paham ini yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan
dalam hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang
lemah dianggap sebagai yang baik. Paham ini lebih lanjut cenderung pada sikap
binatang, dan berlaku hukum siapa yang kuat dan menang itulah yang baik.
Paham vitalisme ini pernah dipraktikkan para penguasa di zaman
feodalisme terhadap kaum yang lemah dan bodoh. Dengan kekuatan dan kekuasaan
yang dimiliki ia mengembangkan pola hidup feodalisme, kolonialisme, diktator
dan tiranik. Kekuatan dan kekuasaan menjadi lambang dan status sosial untuk
dihormati. Ucapan, perbuatan dan ketetapan yang dikeluarkannya menjadi pegangan
bagi masyarakat. Hal ini bisa berlaku, mengingat orang-orang yang lemah dan
bodoh selalu mengharapkan pertolongan dan bantuannya.
6. Baik dan Buruk
Menurut Paham Religiosisme
Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang
sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang
tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam paham ini keyakinan teologis, yakni
keimanan kepada Tuhan sangat memegang peranan penting, karena tidak mungkin
orang mau berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan, jika yang bersangkutan tidak
beriman kepada-Nya. Menurut Poedjawijatna aliran ini dianggap yang paling baik
dalam praktik. Namun, terdapat pula keberatan terhadap aliran ini, yaitu karena
ketidakumuman dari ukuran baik dan buruk yang digunakannya.
Diketahui bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam agama, dan
masing-masing agama menentukan baik buruk menurut ukurannya masing-masing.
Agama Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, dan Islam, misalnya, masing-masing
memiliki pandangan dan tolok ukur tentang baik dan buruk yang satu dan lainnya
berbeda-beda. Poedjawijatna mengatakan bahwa pedoman itu tidak sama, malahan di
sana-sini tampak bertentangan: misalnya poligami, talak dan rujuk, aturan makan
dan minum, hubungan suami-istri dan sebagainya.
Di atas ialah berbagai aliran dalam Etika dan itu belumlah
semuanya. Untuk menyatakan dengan jelas, bahwa soal baik-buruknya dalam tingkah
laku manusia itu telah lama menjadi bahan renungan para ahli pikir dan bahwa
penyelesaiannya berhubungan erat dengan pandangan tentang manusia. Betapa
tidak, sebab yang menjadi objek penelaahan itu tidak lain daripada tindakan
manusia. Syarat yang dituntut untuk aliran di atas yaitu umum dan objektif.
7. Baik dan Buruk Menurut Paham Evolusi (Evolution)
Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu
yang ada di alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju
kesempurnaan. Pendapat seperti ini bukan hanya berlaku pada benda-benda yang
tampak seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga berlaku pada
benda yang tidak dapat dilihat atau diraba oleh indera seperti akhlak dan
moral.
Herbert Spencer (1820-1903) salah seorang ahli filsafat Inggris
yang berpendapat evolusi ini mengatakan bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh
secara sederhana, kemudian berangsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan ke
arah cita-cita yang dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik bila dekat
dengan cita-cita itu dan buruk bila jauh daripadanya. Sedang tujuan manusia
dalam hidup ini ialah mencapai cita-cita atau paling tidak mendekatinya sedikit
mungkin.
Dalam sejarah paham evolusi, Darwin (1809-1882) adalah seorang
ahli pengetahuan yang paling banyak mengemukakan teorinya. Dia memberikan
penjelasan tentang paham ini dalam bukunya The Origin of Species. Dikatakan
bahwa perkembangan alam ini di dasari oleh ketentuan-ketentuan berikut:
a. Ketentuan alam (Selection
of Nature)
b. Perjuangan hidup (Struggle
for life)
c. Kekal bagi yang lebih
pantas (Survival for the fit test)
C. Sifat Dari Baik
Dan Buruk
Sifat dan corak baik buruk yang didasarkan pada pandangan
filsafat sebagaimana disebutkan di atas adalah sesuai dengan sifat dari
filsafat itu sendiri, yakni berubah, relatif nisbi, dan tidak universal. Dengan
demikian sifat baik atau buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat
tersebut menjadi relatif dan nisbi pula, yakni baik dan buruk yang dapat terus
berubah. Sifat baik buruk yang dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut
sifatnya objektif, lokal, dan temporal. Dan oleh karenanya nilai baik dan buruk
itu sifatnya relatif.
Untuk itu perlu ada suatu ketentuan baik dan buruk yang
didasarkan pada nilai-nilai yang universal. Uraian tersebut diatas sebagian ada
yang menunjukkan keuniversalan, yaitu penentuan baik dan buruk yang didasarkan
pada pandangan intuisisme sebagaimana telah diuraikan diatas. Namun demikian,
bagaimanapun intuisi itu tetap saja tidak semutlak wahyu yang datang dari Allah
SWT.
D. Baik Dan Buruk
Menurut Ajaran Islam
Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT,
Al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadist Nabi Muhammad SAW.
Masalah akhlak dan ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar
sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu.
Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan
pada petunjuk Al-Qur’an dan al-Hadist. Jika kita perhatikan Al-Qur’an maupun
hadist dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada baik, dan adapula
istilah yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang mengacu kepada
yang baik misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah,
azizah, dan al-birr.
Al-hasanah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Raghib al-Asfahani adalah suatu
istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang
baik. Al-hasanah selanjutnya dapat dibagi menjadi tiga bagian.
Pertama hasanah dari segi akal, kedua dari segi hawa nafsu atau keinginan dan
hasanah dari segi pancaindera. Lawan dari al-hasanah adalah al-sayyiah. Yang
termasuk al-hasanah misalnya keuntungan, kelapangan rezeki, dan kemenangan.
Sedangkan yang termasuk al-sayyiah misalnya kesempitan,
kelaparan, dan keterbelakangan. Pemakaian kata al-hasanah yang
demikian itu misalnya kita jumpai pada ayat yang berbunyi:
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ
“Ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik.” (QS Al-Nahl [16]: 125).
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا
“Barangsiapa yang mendatangkan kebaikan, maka baginya
kebaikan.” (QS Al-Qashash [28]: 84).
Adapun kata al-thayyibah khusus digunakan untuk
menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada pancaindra dan jiwa,
seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Lawannya adalah al-qabihah artinya
buruk. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:
وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ ۖ كُلُوا مِنْ
طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari
makanan yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 57).
Selanjutnya kata al-khair digunakan untuk
menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil,
keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat. Lawannya adalah al-syarr. Hal
ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi.
وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ
شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Barangsiapa yang
melakukan sesuatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha
Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”(QS Al-Baqarah [2]: 158).
Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk
menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang
disukai oleh Allah SWT. Dengan demikian kata al-mahmudah lebih
menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual. Hal ini misalnya
dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً
لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud
mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji.” (QS Al-Isra’ [17]: 79).
Selanjutnya kata al-karimah digunakan untuk
menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam
kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-karimah ini
biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang skalanya besar,
seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik pada kedua orang tua dan
lain sebagainya. Allah SWT berfirman:
فلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا
وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا
“Dan janganlah kamu mengucapkan kata “uf-cis” kepada kedua orang
tua, dan janganlah membentaknya dan ucapkanlah pada keduanya ucapan yang
mulia.” (QS Al-Isra’ [17]: 23).
Adapun
kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas
atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut terkadang
digunakan sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika
kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah
memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia, maka
yang dimaksud adalah ketaatannya. Misalnya terlihat pada ayat yang berbunyi:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ
ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ
وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ
وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ
وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah kebaikan orang
yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan.” (QS Al-Baqarah [2]: 177).
Kata al-birr dihubungkan dengan ketenangan jiwa
dan akhlak yang baik dan merupakan lawan dari dosa. Ini menunjukkan bahwa al-birr dekat
artinya dengan akhlak yang mulia, atau al-sbirr ini termasuk
salah satu akhlak yang mulia. Berbagai istilah yang mengacu kepada kebaikan itu
menunjukkan bahwa kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang
bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan
kesejahteraan di akhirat serta akhlak yang mulia.
Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu Islam memberikan
tolok ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukkan
untuk mendapatkan keridhaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan
ikhlas. Perbuatan akhlak dalam Islam baru dikatakan baik apabila perbuatan yang
dilakukan dengan sebenarnya dan dengan kehendak sendiri itu dilakukan atas
dasar ikhlas karena Allah. Untuk itu peranan ikhlas sangat penting. Allah
berfirman:
وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ
“padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan
lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5).
Berdasarkan petunjuk tersebut, maka penentuan baik dan buruk
dalam Islam tidak semata-mata ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang nyata
saja, tetapi lebih dari itu adalah niatnya. Hal yang dinyatakan oleh Ahmad Amin
dengan mengatakan bahwa hukum akhlak ialah memberi nilai suatu perbuatan bahwa
ia baik atau buruk menurut niatnya.
Selanjutnya dalam menentukan perbuatan yang baik dan buruk itu,
Islam memerhatikan kriteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan
itu. Seseorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh cara yang
salah, maka perbuatan tersebut dipandang tercela. Allah berfirman:
قَوْلٌ
مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَآ أَذًى وَٱللَّهُ
غَنِىٌّ حَلِيمٌ
“perbuatan yang baik dan pemberian maaf lebih
baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si
penerima). Allah Maha Kaya Lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Baqarah [2]:
263).
Dengan demikian, ketentuan baik dan buruk yang terdapat dalam
etika dan moral dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menjabarkan
ketentuan baik dan buruk menurut ajaran Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan
Al-Sunnah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
makalah ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Dari segi bahasa baik
adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab,
atau good dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Arab, yang buruk
itu dikenal dengan istilah syarr, dan diartikan sebagai sesuatu
yang tidak baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam
kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat,
tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat
diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang
bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.
2. Poedjawijatna lebih
lanjut menyebutkan sejumlah pandangan filsafat yang digunakan dalam menilai
baik dan buruk adalah aliran adat-istiadat (sosialisme), hedonisme, intuisisme
(humanisme), utilitarianisme, vitalisme, religiousisme, dan evolusisme.
3. Sifat baik atau buruk
yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relatif dan
nisbi pula, yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah. Sifat baik buruk
yang dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya objektif, lokal, dan
temporal. Dan oleh karenanya nilai baik dan buruk itu sifatnya relatif.
4. Menurut ajaran Islam
penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan
al-Hadist. Perbuatan yang dianggap baik dalam Islam adalah perbuatan yang
sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan perbuatan yang buruk adalah
perbuatan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah itu.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca
mengetahui Baik dan Buruk dalam Pembelajaran Akhlak Tasawuf. Kami
menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh
karena itu kritik, saran, dan masukan yang sifatnya membangun sangatlah kami
harapkan untuk baiknya makalah ini kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Baqir,
Muhammad. 1994. Membentuk Akhlak Mulia. Bandung: Karisma.
Mustofa,
Akhmad. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.
Nata,
Abidin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
0 komentar:
Post a Comment