Monday, November 9, 2020

KONSEP BAIK DAN BURUK MENURUT ALIRAN HEDONISME

 Wafiq Nur Azizah

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.          Pengertian Baik Dan Buruk

Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam kitabnya, Munjid, mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. Sementara itu, dalam Webster’s New Twentieth Century Dictionary, dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan, persesuaian, dan seterusnya. Selanjutnya yang baik itu juga adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan. Yang baik itu dapat juga berarti sesuatu yang sesuai dengan keinginan. Dan yang disebut baik dapat pula berarti sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa secara umum yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan disebut nilai (value), apabila kebaikan itu bagi seseorang menjadi kebaikan yang konkret. Sedangkan pengertian buruk merupakan sesuatu yang tidak berharga, tidak berguna untuk tujuan, apabila yang merugikan, atau yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan adalah “buruk”.

Pengertian baik dan buruk juga ada yang subyektif dan relatif, baik bagi seseorang belum tentu baik bagi orang lain. Sesuatu itu baik bagi seseorang apabila hal ini sesuai dan berguna untuk tujuannya. Hal yang sama adalah mungkin buruk bagi orang lain, karena hal tersebut tidak akan berguna bagi tujuannya. Masing-masing orang mempunyai tujuannya yang berbeda-beda, bahkan ada yang bertentangan, sehingga yang berharga untuk seseorang atau untuk sesuatu golongan berbeda dengan yang berharga untuk orang atau golongan lainnya.

Akan tetapi secara obyektif, walaupun tujuan orang atau golongan di dunia ini berbeda-beda, sesungguhnya pada akhirnya semuanya mempunyai tujuan yang sama, sebagai tujuan akhir tiap-tiap sesuatu, bukan saja manusia bahkan binatang pun mempunyai tujuan. Dan tujuan akhir dari semuanya itu sama, yaitu bahwa semuanya ingin bahagia. Tak ada seorangpun dan sesuatupun yang tidak ingin bahagia..

 

 

 

 

B.          Penentuan Ukuran Baik Dan Buruk

Sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia, berkembang pula patokan yang digunakan orang dalam menentukan baik dan buruk. Keadaan ini menurut Poedjawijatna berhubungan rapat dengan pandangan filsafat tentang manusia (antropologia metafisika) dan ini tergantung pula dari metafisika pada umumnya. Poedjawijatna lebih lanjut menyebutkan sejumlah pandangan filsafat yang digunakan dalam menilai baik dan buruk, yaitu hedonisme, utilitarianisme, vitalisme, sosialisme, religiousisme, dan humanisme. Sementara itu Asmaran As, menyebutkannya sebanyak empat aliran filsafat, yaitu adat kebiasaan, hedonisme, intuisi dan evolusi. Pembagian yang dikemukakan Asmaran As ini tampak sejalan dengan pendapat Ahmad Amin yang membagi aliran filsafat yang memengaruhi penentuan baik dan buruk itu menjadi empat, yaitu adat-istiadat, hedonisme, utilitarianisme dan evolusi.

Beberapa kutipan tersebut di atas tampak saling melengkapi dan dapat disimpulkan bahwa di antara aliran-aliran filsafat yang memengaruhi dalam penentuan baik dan buruk ini adalah aliran adat-istiadat (sosialisme), hedonisme, intuisisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, religiousisme, dan evolusisme.

 Dengan merujuk kepada berbagai kutipan tersebut di atas beberapa aliran filsafat yang memengaruhi pemikiran akhlak tersebut dapat dikemukakan secara ringkas sebagai berikut:

1.  Baik dan Buruk Menurut Aliran Adat-Istiadat (Sosialisme)

Menurut aliran ini baik atau buruk ditentukan berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dan ditentukan berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik, dan orang yang menentang dan tidak mengikuti adat-istiadat dipandang buruk, dan kalau perlu dihukum secara adat.

Adat-istiadat selanjutnya disebut pula sebagai pendapat umum. Ahmad Amin mengatakan bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai adat-istiadat yang tertentu dan menganggap baik bila mengikutinya, mendidik anak-anaknya sesuai dengan adat-istiadat itu, dan menanamkan perasaan kepada mereka, bahwa adat-istiadat itu akan membawa kepada kesucian, sehingga apabila seseorang menyalahi adat-istiadat itu sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsanya.

 

Di dalam masyarakat kita jumpai adat-istiadat yang berkenaan dengan cara berpakaian, makan, minum, bercakap-cakap, bertandang dan sebagainya. Orang yang mengikuti cara-cara yang demikian itulah yang dianggap orang yang baik, dan orang yang menyalahinya adalah orang yang buruk.

Kelompok yang menilai baik dan buruk berdasarkan adat-istiadat ini dalam tinjauan filsafat dikenal dengan istilah aliran sosialisme. Munculnya paham ini bertolak dari anggapan karena masyarakat itu terdiri dari manusia, maka ada yang berpendapat bahwa masyarakatlah yang menentukan baik buruknya tindakan manusia yang menjadi anggotanya. Lebih jelas lagi apa yang lazim dianggap baik oleh masyarakat tertentu, itulah yang baik. Inilah yang kami sebut ukuran sosialistis dalam etika.

2.  Baik dan Buruk Menurut Aliran Hedonisme

Aliran hedonisme adalah aliran filsafat yang terhitung tua, karena berakar pada pemikiran filsafat Yunani, khususnya pemikiran filsafat Epicurus (341-270 SM), yang selanjutnya dikembangkan oleh Cyrenics dan belakangan ditumbuhkembangkan oleh Freud.

Menurut paham ini banyak yang disebut perbuatan yang baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan nafsu biologis. Aliran ini tidak mengatakan bahwa semua perbuatan mengandung kelezatan, melainkan ada pula yang mendatangkan kepedihan, dan apabila ia disuruh memilih manakah perbuatan yang harus dilakukan, maka yang dilakukan adalah yang mendatangkan kelezatan. Epicurus sebagai peletak dasar paham ini mengatakan bahwa kebahagiaan atau kelezatan itu adalah tujuan manusia. Tidak ada kebaikan dalam hidup selain kelezatan dan tidak ada keburukan kecuali penderitaan. Dan akhlak itu tak lain dan tak bukan adalah berbuat untuk menghasilkan kelezatan dan kebahagiaan serta keutamaan. Keutamaan itu tidak mempunyai nilai tersendiri, tetapi nilainya terletak pada kelezatan yang menyertainya. .

Pada tahap selanjutnya paham hedonisme ini ada yang bercorak individual dan universal. Corak pertama berpendapat bahwa yang dipentingkan terlebih dahulu adalah mencari sebesar-besarnya kelezatan dan kepuasan untuk diri sendiri, dan segenap daya upaya harus diarahkan pada upaya mencari kebahagiaan dan kelezatan yang bercorak individualistik itu. Selanjutnya corak kedua (Universalistis Hedonisme) memandang bahwa perbuatan yang baik itu adalah yang mengutamakan mencari kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sesama manusia, bahkan segala makhluk yang berperasaan. Karena kesenangan yang dikehendaki oleh pengikut paham ini bukan kenikmatan bagi orang per orang saja, tetapi untuk semua orang, maka bagi setiap yang melakukan perbuatan perlu mempertimbangkan jangan sampai berat sebelah kepada dirinya, tetapi sedapat mungkin ia harus menjadikan sama antara kenikmatan yang dirasakan dirinya dan dirasakan orang lain.

Hedonisme model pertama yang individualistik lebih banyak mewarnai masyarakat barat yang bercorak liberal dan kapitalistik, sementara hedonisme model kedua yang sosialistik banyak mewarnai masyarakat Eropa yang bercorak komunis.

3. Baik dan Buruk Menurut Paham Intuisisme (Humanisme)

Intuisi merupakan kekuatan batin yang dapat menentukan sesuatu sebagai baik atau buruk dengan sekilas tanpa melihat buah atau akibatnya. Kekuatan batin atau disebut juga sebagai kata hati adalah potensi rohaniah yang secara fitrah telah ada pada diri setiap orang. Paham ini berpendapat bahwa pada setiap manusia mempunyai kekuatan insting batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang. Kekuatan batin ini terkadang berbeda refleksinya, karena pengaruh masa dan lingkungannya, akan tetapi dasarnya ia tetap sama dan berakar pada tubuh manusia. Apabila ia melihat sesuatu perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang dapat memberi tahu nilai perbuatan itu, lalu menetapkan hukum baik dan buruknya. Oleh karena itu, kebanyakan manusia sepakat mengenai keutamaan seperti benar, dermawan, berani, dan mereka juga sepakat menilai buruk terhadap perbuatan yang salah, kikir, dan pengecut.

Menurut paham ini perbuatan yang baik adalah perbuatan yang sesuai dengan penilaian yang diberikan oleh hati nurani atau kekuatan batin yang ada dalam dirinya. Dan sebaliknya perbuatan buruk adalah perbuatan yang menurut hati nurani atau kekuatan batin dipandang buruk. Paham ini selanjutnya dikenal dengan paham humanisme. Poedjawijatna mengatakan bahwa menurut aliran ini yang baik adalah yang sesuai dengan kodrat manusia, yaitu kemanusiaannya yang cenderung kepada kebaikan. Penentuan terhadap baik-buruknya tindakan yang konkret adalah perbuatan yang sesuai dengan kata hati orang yang bertindak. Dengan demikian ukuran baik-buruk suatu perbuatan menurut paham ini adalah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia, dan tidak menentang atau mengurangi keputusan hati. Secara batin setiap orang pasti tidak akan dapat membohongi kata hatinya. Jika suatu ketika seseorang mengatakan sesuatu yang bukan sebenarnya, hal yang demikian hanya dapat dilakukan atau diterima oleh ucapannya, tetapi kata hatinya tetap tidak mengakui kebohongan itu.

Penentuan baik-buruk perbuatan melalui kata hati yang dibimbing oleh ilham atau intuisi ini banyak dianut dan dikembangkan oleh para pemikir akhlak dari kalangan Islam. Murthada Muthahhari misalnya dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini. Dalam bukunya berjudul, falsafah Akhlak ia mengatakan bahwa etika adalah tidak emosionalistik seperti dalam falsafah etika Hindu dan Kristen. Juga bukan rasional dan berdasarkan kehendak sebagaimana yang dikatakan filosof. Tetapi etika adalah ilham-ilham intuisi. Menurut kekuatan itu tidak berupa emosi dan rasio. Kekuatan itulah yang menginstruksikan pada manusia agar melakukan berbagai kewajiban dalam hidupnya. Kekuatan itu terletak dalam diri dan batin manusia. Ia mengilhami manusia untuk melakukan suatu perkara ini dan meninggalkan perkara itu. Kekuatan itu tak ada kaitannya dengan akal. Akal adalah hasil perolehan (iktisaby), sedangkan intuisi adalah fitri dan intrinsik pada batin manusia. Semua manusia memilikinya secara primordial. Intuisi menjadi ilham manusia pada banyak hal, dan tindakan akhlaki selalu diilhami oleh intuisi.

4.  Baik dan Buruk Menurut Paham Utilitarianisme

Secara harfiah utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik adalah yang berguna. Jika ukuran ini berlaku bagi perorangan, disebut individual, dan jika berlaku bagi masyarakat dan negara disebut sosial.

Paham penentuan baik-buruk berdasarkan nilai guna ini mendapatkan perhatian di masa sekarang. Dalam abad sekarang ini kemajuan di bidang teknik cukup meningkat, dan kegunaanlah yang menentukan segala-galanya. Namun demikian, paham ini terkadang cenderung ekstrem dan melihat kegunaan hanya dari sudut pandang materialistik. Orang tua yang sudah jompo misalnya semakin kurang dihargai, karena secara material tidak ada lagi kegunaannya. Padahal kedua orang tua tetap berguna untuk dimintakan nasihat dan doanya serta kerelaannya. Selain itu paham ini juga dapat menggunakan apa saja yang dianggap ada gunanya. Untuk memperjuangkan kepentingan politik misalnya tidak segan-segan menggunakan fitnah, khianat, bohong, tipu muslihat, kekerasan, paksaan, dan lain sebagainya, sepanjang semua yang disebutkan itu ada gunanya.

Namun demikian, kegunaan dalam arti bermanfaat yang tidak hanya berhubungan dengan materi melainkan juga dengan yang bersifat rohani bisa diterima. Dan kegunaan bisa juga diterima jika yang digunakan itu hal-hal yang tidak menimbulkan kerugian bagi orang lain. Nabi misalnya menilai bahwa orang yang baik adalah orang yang memberi manfaat pada yang lainnya.

5.  Baik dan Buruk Menurut Paham Vitalisme

Menurut paham ini yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai yang baik. Paham ini lebih lanjut cenderung pada sikap binatang, dan berlaku hukum siapa yang kuat dan menang itulah yang baik.

Paham vitalisme ini pernah dipraktikkan para penguasa di zaman feodalisme terhadap kaum yang lemah dan bodoh. Dengan kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki ia mengembangkan pola hidup feodalisme, kolonialisme, diktator dan tiranik. Kekuatan dan kekuasaan menjadi lambang dan status sosial untuk dihormati. Ucapan, perbuatan dan ketetapan yang dikeluarkannya menjadi pegangan bagi masyarakat. Hal ini bisa berlaku, mengingat orang-orang yang lemah dan bodoh selalu mengharapkan pertolongan dan bantuannya.

6.  Baik dan Buruk Menurut Paham Religiosisme

Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam paham ini keyakinan teologis, yakni keimanan kepada Tuhan sangat memegang peranan penting, karena tidak mungkin orang mau berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan, jika yang bersangkutan tidak beriman kepada-Nya. Menurut Poedjawijatna aliran ini dianggap yang paling baik dalam praktik. Namun, terdapat pula keberatan terhadap aliran ini, yaitu karena ketidakumuman dari ukuran baik dan buruk yang digunakannya.

Diketahui bahwa di dunia ini terdapat bermacam-macam agama, dan masing-masing agama menentukan baik buruk menurut ukurannya masing-masing. Agama Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, dan Islam, misalnya, masing-masing memiliki pandangan dan tolok ukur tentang baik dan buruk yang satu dan lainnya berbeda-beda. Poedjawijatna mengatakan bahwa pedoman itu tidak sama, malahan di sana-sini tampak bertentangan: misalnya poligami, talak dan rujuk, aturan makan dan minum, hubungan suami-istri dan sebagainya.

Di atas ialah berbagai aliran dalam Etika dan itu belumlah semuanya. Untuk menyatakan dengan jelas, bahwa soal baik-buruknya dalam tingkah laku manusia itu telah lama menjadi bahan renungan para ahli pikir dan bahwa penyelesaiannya berhubungan erat dengan pandangan tentang manusia. Betapa tidak, sebab yang menjadi objek penelaahan itu tidak lain daripada tindakan manusia. Syarat yang dituntut untuk aliran di atas yaitu umum dan objektif.

7. Baik dan Buruk Menurut Paham Evolusi (Evolution)

Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kesempurnaan. Pendapat seperti ini bukan hanya berlaku pada benda-benda yang tampak seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga berlaku pada benda yang tidak dapat dilihat atau diraba oleh indera seperti akhlak dan moral.

Herbert Spencer (1820-1903) salah seorang ahli filsafat Inggris yang berpendapat evolusi ini mengatakan bahwa perbuatan akhlak itu tumbuh secara sederhana, kemudian berangsur meningkat sedikit demi sedikit berjalan ke arah cita-cita yang dianggap sebagai tujuan. Perbuatan itu baik bila dekat dengan cita-cita itu dan buruk bila jauh daripadanya. Sedang tujuan manusia dalam hidup ini ialah mencapai cita-cita atau paling tidak mendekatinya sedikit mungkin.

Dalam sejarah paham evolusi, Darwin (1809-1882) adalah seorang ahli pengetahuan yang paling banyak mengemukakan teorinya. Dia memberikan penjelasan tentang paham ini dalam bukunya The Origin of Species. Dikatakan bahwa perkembangan alam ini di dasari oleh ketentuan-ketentuan berikut:

a.  Ketentuan alam (Selection of Nature)

b.  Perjuangan hidup (Struggle for life)

c.  Kekal bagi yang lebih pantas (Survival for the fit test)

 

 

 

C.          Sifat Dari Baik Dan Buruk

Sifat dan corak baik buruk yang didasarkan pada pandangan filsafat sebagaimana disebutkan di atas adalah sesuai dengan sifat dari filsafat itu sendiri, yakni berubah, relatif nisbi, dan tidak universal. Dengan demikian sifat baik atau buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relatif dan nisbi pula, yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah. Sifat baik buruk yang dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya objektif, lokal, dan temporal. Dan oleh karenanya nilai baik dan buruk itu sifatnya relatif.

Untuk itu perlu ada suatu ketentuan baik dan buruk yang didasarkan pada nilai-nilai yang universal. Uraian tersebut diatas sebagian ada yang menunjukkan keuniversalan, yaitu penentuan baik dan buruk yang didasarkan pada pandangan intuisisme sebagaimana telah diuraikan diatas. Namun demikian, bagaimanapun intuisi itu tetap saja tidak semutlak wahyu yang datang dari Allah SWT.

 

D.          Baik Dan Buruk Menurut Ajaran Islam

Ajaran Islam adalah ajaran yang bersumberkan wahyu Allah SWT, Al-Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh hadist Nabi Muhammad SAW. Masalah akhlak dan ajaran Islam sangat mendapatkan perhatian yang begitu besar sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu.

Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan al-Hadist. Jika kita perhatikan Al-Qur’an maupun hadist dapat dijumpai berbagai istilah yang mengacu kepada baik, dan adapula istilah yang mengacu kepada yang buruk. Diantara istilah yang mengacu kepada yang baik misalnya al-hasanah, thayyibah, khairah, karimah, mahmudah, azizah, dan al-birr.

Al-hasanah sebagaimana dikemukakan oleh Al-Raghib al-Asfahani adalah suatu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Al-hasanah selanjutnya dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama hasanah dari segi akal, kedua dari segi hawa nafsu atau keinginan dan hasanah dari segi pancaindera. Lawan dari al-hasanah adalah al-sayyiah. Yang termasuk al-hasanah misalnya keuntungan, kelapangan rezeki, dan kemenangan. Sedangkan yang termasuk al-sayyiah misalnya kesempitan, kelaparan, dan keterbelakangan. Pemakaian kata al-hasanah yang demikian itu misalnya kita jumpai pada ayat yang berbunyi:

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ

“Ajaklah manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS Al-Nahl [16]: 125).

 

 

 

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا

“Barangsiapa yang mendatangkan kebaikan, maka baginya kebaikan.” (QS Al-Qashash [28]: 84).

Adapun kata al-thayyibah khusus digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memberikan kelezatan kepada pancaindra dan jiwa, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Lawannya adalah al-qabihah artinya buruk. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi:

وَأَنْزَلْنَا عَلَيْكُمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوَىٰ ۖ كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

“Kami turunkan kepadamu “manna” dan “salwa”. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (QS Al-Baqarah [2]: 57).

Selanjutnya kata al-khair digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang baik oleh seluruh umat manusia, seperti berakal, adil, keutamaan dan segala sesuatu yang bermanfaat. Lawannya adalah al-syarr. Hal ini misalnya terdapat pada ayat yang berbunyi.

وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ

 “Barangsiapa yang melakukan sesuatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.”(QS Al-Baqarah [2]: 158).

Adapun kata al-mahmudah digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang utama sebagai akibat dari melakukan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT. Dengan demikian kata al-mahmudah lebih menunjukkan pada kebaikan yang bersifat batin dan spiritual. Hal ini misalnya dinyatakan dalam ayat yang berbunyi:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan dari sebagian malam hendaknya engkau bertahajjud mudah-mudahan Allah akan mengangkat derajatmu pada tempat yang terpuji.” (QS Al-Isra’ [17]: 79).

Selanjutnya kata al-karimah digunakan untuk menunjukkan pada perbuatan dan akhlak yang terpuji yang ditampakkan dalam kenyataan hidup sehari-hari. Selanjutnya kata al-karimah ini biasanya digunakan untuk menunjukkan perbuatan terpuji yang skalanya besar, seperti menafkahkan harta di jalan Allah, berbuat baik pada kedua orang tua dan lain sebagainya. Allah SWT berfirman:

فلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا

“Dan janganlah kamu mengucapkan kata “uf-cis” kepada kedua orang tua, dan janganlah membentaknya dan ucapkanlah pada keduanya ucapan yang mulia.” (QS Al-Isra’ [17]: 23).

Adapun kata al-birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas atau memperbanyak melakukan perbuatan yang baik. Kata tersebut terkadang digunakan sebagai sifat Allah, dan terkadang juga untuk sifat manusia. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah, maka maksudnya adalah bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan jika digunakan untuk manusia, maka yang dimaksud adalah ketaatannya. Misalnya terlihat pada ayat yang berbunyi:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا ۖ وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ ۗ

 “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah kebaikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.” (QS Al-Baqarah [2]: 177).

Kata al-birr dihubungkan dengan ketenangan jiwa dan akhlak yang baik dan merupakan lawan dari dosa. Ini menunjukkan bahwa al-birr dekat artinya dengan akhlak yang mulia, atau al-sbirr ini termasuk salah satu akhlak yang mulia. Berbagai istilah yang mengacu kepada kebaikan itu menunjukkan bahwa kebaikan dalam pandangan Islam meliputi kebaikan yang bermanfaat bagi fisik, akal, rohani, jiwa, kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di akhirat serta akhlak yang mulia.

 

Untuk menghasilkan kebaikan yang demikian itu Islam memberikan tolok ukur yang jelas, yaitu selama perbuatan yang dilakukan itu ditujukkan untuk mendapatkan keridhaan Allah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan ikhlas. Perbuatan akhlak dalam Islam baru dikatakan baik apabila perbuatan yang dilakukan dengan sebenarnya dan dengan kehendak sendiri itu dilakukan atas dasar ikhlas karena Allah. Untuk itu peranan ikhlas sangat penting. Allah berfirman:

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ

“padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS Al-Bayyinah [98]: 5).

Berdasarkan petunjuk tersebut, maka penentuan baik dan buruk dalam Islam tidak semata-mata ditentukan berdasarkan amal perbuatan yang nyata saja, tetapi lebih dari itu adalah niatnya. Hal yang dinyatakan oleh Ahmad Amin dengan mengatakan bahwa hukum akhlak ialah memberi nilai suatu perbuatan bahwa ia baik atau buruk menurut niatnya.

Selanjutnya dalam menentukan perbuatan yang baik dan buruk itu, Islam memerhatikan kriteria lainnya yaitu dari segi cara melakukan perbuatan itu. Seseorang yang berniat baik, tapi dalam melakukannya menempuh cara yang salah, maka perbuatan tersebut dipandang tercela. Allah berfirman:

                        قَوْلٌ مَّعْرُوفٌ وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِّن صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَآ أَذًى وَٱللَّهُ غَنِىٌّ حَلِيمٌ

  “perbuatan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya Lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Baqarah [2]: 263).

Dengan demikian, ketentuan baik dan buruk yang terdapat dalam etika dan moral dapat digunakan sebagai sarana atau alat untuk menjabarkan ketentuan baik dan buruk menurut ajaran Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.          Kesimpulan

Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa :

1.             Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa Arab, yang buruk itu dikenal dengan istilah syarr, dan diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, yang tidak seperti yang seharusnya, tak sempurna dalam kualitas, di bawah standar, kurang dalam nilai, tak mencukupi, keji, jahat, tidak bermoral, tidak menyenangkan, tidak dapat disetujui, tidak dapat diterima, sesuatu yang tercela, lawan dari baik, dan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma masyarakat yang berlaku.

2.             Poedjawijatna lebih lanjut menyebutkan sejumlah pandangan filsafat yang digunakan dalam menilai baik dan buruk adalah aliran adat-istiadat (sosialisme), hedonisme, intuisisme (humanisme), utilitarianisme, vitalisme, religiousisme, dan evolusisme.

3.             Sifat baik atau buruk yang dihasilkan berdasarkan pemikiran filsafat tersebut menjadi relatif dan nisbi pula, yakni baik dan buruk yang dapat terus berubah. Sifat baik buruk yang dikemukakan berdasarkan pandangan tersebut sifatnya objektif, lokal, dan temporal. Dan oleh karenanya nilai baik dan buruk itu sifatnya relatif.

4.             Menurut ajaran Islam penentuan baik dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an dan al-Hadist. Perbuatan yang dianggap baik dalam Islam adalah perbuatan yang sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah itu.

 

B.          Saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca mengetahui Baik dan Buruk dalam Pembelajaran Akhlak Tasawuf. Kami menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik, saran, dan masukan yang sifatnya membangun sangatlah kami harapkan untuk baiknya makalah ini kedepannya.


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al Baqir, Muhammad. 1994. Membentuk Akhlak Mulia. Bandung: Karisma.

Mustofa, Akhmad. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia.

Nata, Abidin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

0 komentar:

Post a Comment