Monday, November 9, 2020

ZUHUD WARA TAWAKAL SABAR DAN RIDHA

 Fadhilah Az-Zahro

BAB II
PEMBAHASAN

1.     Pengertian Muqomat dalam tasawuf

 

Dalam terminologi tasawuf yang dimaksud maqamat sangat berbeda dengan makam dalam istilah umum yang berarti kuburan. Definisi maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual (English : Station).  Maqam arti dasarnya 1) adalah “tempat berdiri”, dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. Adapun “ahwal” bentuk jamak dari ‘hal’ 2) biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.

Dengan arti kata lain, maqam didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepadaNya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah (exercise) menuju kepadanya. Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah ke suatu maqam lain, kecuali setelah menyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam tersebut.

Tahap-tahap atau tingkat-tingkat maqam ini bukannya berbentuk yang sama di antara ahli-ahli sufi, namun mereka bersependapat bahwa tahap permulaan bagi setiap maqam ialah tawbah. Rentetan amalan para sufi tersebut di atas akan memberi kesan kepada kondisi rohani yang disebut sebagai al-ahwal yang diperoleh secara intuitif dalam hati secara tidak langsung sebagai anugerah daripada Allah semata-mata, daripada rasa senang atau sedih, rindu atau benci, rasa takut atau sukacita, ketenangan atau kecemasan secara berlawanan dalam realiti dan pengalaman dan sebagainya. Al-Maqamat dan al-ahwal adalah dua bentuk kesinambungan yang bersambungan dan bertalian daripada kausaliti (sebab akibat) amalan-amalan melalui latihan-latihan (exersice) rohani.

Muqomat adalah jamak dari kata ‘maqam’ yang berarti tahapan  atau tingkatan perjalanan spiritual seorang sufi untuk menuju Tuhannnya. Perjalanan ini hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan  melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser ke maqom satu menuju maqom selanjutnya.

Setiap sufi maqomat yang ditempuh akan berbeda-beda. Nama serta urutan maqomat dari seorang sufi berbeda. Ada yang memulainya dari maqam taubah, dan mengakhirinya dengan maqom ma’rifat, seperti Al-Kalabdzi. Adapula yang mengawali dengan Taubah dan mengakhirinya dengan ridha seperti yang dilakukan oleh Al- Ghozali. Demikian pula dengan jumlah maqomat yang mereka lalui, ada yang menyebutkan sepuluh maqomat, tujuh atau bahkan hanya enam maqomat.

 

A.       Zuhud (Al- zuhd)

Zuhud adalah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatukan kemauan keapadaNya sehingga lebih sibuk denganNya dari pada kesibukan-kesibukan selain denganNya. Sedangkan menurut Al Ghozali mengatakan bahwa zuhud didefinisikan sebagai tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan. Kemulyaan dan kehinaan, pujian atau celaan, karena keakrabannya dengan Allah SWT.

 

Jadi dapat diambil kesimpulan secara sederhana zuhud adalah menghilangkan ketergantungan terhadap dunia, tidak mencari-cari sesuatu yang bukan miliknya, di dalam hati tidak menghendaki dunia dan tidak berusaha mendapatkannya. Dengan begitu akan menjadikan ketenangan lahir dan batin seorang Zahid terasa lapang, dan lebih mudah untuk mendekatkan diri kepada Allah.

 

B.      Wara (Al Wara)

Wara berasal dari bahasa arab yang memiliki arti shaleh atau menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam kamus munawir wara' artinya menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perkara syubhat.

Wara’ menurut Abu ‘Ali Daqqaq mengatakan bahwa warai ialah meninggalkan apapun yang Syubhat, atau meninggalkan sesuatu yang meragukan. Segala sesuatu yang tidak berarti dan apapun yang berlebihan. Para sufi pula mengatakan bahwa wara’ adalah sikap berhati-hati dalam menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya. Apabila bertemu persoalan, baik yang bersifat materi maupun nonmateri yang tidak pasti hukumnya atau tidak jelas asal usulnya, lebih baik untuk dihindari atau meninggalkan.

 

C.      Tawakal

Tawakal secara etimologi artinya bersandar atau mempercayakan diri. Dalam etimologi tasawuf, tawakal biasa diartikan sebagai sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah.  Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Dalam hal ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakkal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid berfungsi sebagai landasan tawakkal.

 

Menurut Yusuf Al-Qardhawi, tawakkal bukan pada kedalamannya namun pada kulit luarnya. Hal tersebut disebabkan pembicaraan tentang kedalaman makna tawakkal ada pada pengalaman pribadi masing-masing sufi. Al-Qardhawi mendefinisikan tawakkal dari makna dasarnya, yaitu menyerahkan dengan sepenuhnya. Dengan demikian, seseorang yang telah menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, tidak akan ada keraguan dan kemasygulan tentang apapun yang menjadi keputusan-Nya.

 

 

Menurut Al-Ghazali tawakkal terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu sebagai berikut.

a.       Tawakkal atau menyerahkan diri kepada Allah, ibarat seseorang menyerahkan perkataanya kepada pengacara yang sepenuhnya dipercayakan menanganinya dan menenangkannya.

b.      Tawakkal atau menyerahkan diri kepada Allah, ibarat bayi menyerahkan diri kepada ibunya.

c.       Derajat tawakkal tertinggi, yaitu tawakkal atau menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, ibarat jenazah di tengah petugas yang memandikannya.

 

D.     Sabar (Al Sabr)

Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibnu Atha mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan rasa kesal. Ibnu Usman al-Hairi mengatakan, sabar adalah orang yang mampu memasung dirinya atas segala seuatu yng kurang menyenangkan.

Di kalangan para sufi, sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi segala larangan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Menurut Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari jasad. Hal ini menunjukkan bahwa sabar sangat memegang peranan penting dalam kehidupan Manusia.

 

Dalam pandangan sufi, musuh terberat bagi orang-orang beriman ialah dorongan hawa nafsunya sendiri, yang setiap saat dapat menggoyahkan iman. Kesabaran merupakan kunci keberhasilan dalam meraih karunia Allah yang lebih besar, mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan cinta-Nya, mengenal-Nya secara mendalam melalui hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan-Nya, karena tanpa kesabaran keberhasilan tidak mungkin dicapai. Ada hadits Nabi yang berbunyi, “seorang hamba Allah tidak akan memperoleh suatu kebaikan, sementara harta kekayaan tidak lenyap dan badannya tidak pernah sakit, sebab jika Allah mencintai seorang hamba, Ia akan mengujinya dengan berbagai cobaan. Oleh karena itu, jika Allah mengujimu, maka bersabarlah.” (HR. Al-Tirmidzi).

 

E.      Ridha (Al Ridha)

Ridha ialah menerima anugerah Allah dengan ikhlas atau puas dan tulus menerima ketentuan Ilahi. orang yang ridha mampu melihat hikmah dan kebaikan di balik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Terlebih lagi, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepada nya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut. Hanya para ahli ma’arif dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.

 

Menurut Abdul Halim mahmud, ridha mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akhirnya dengan cara apa pun yang disukai Allah.

 

Ridha kepada Tuhan adalah pohon dari segala pelajaran yang kita terima dalam kehidupan ini. Ridha dalam hal ini menurut ahli pendidikan timbul dari ‘athifah yaitu perasaan halus (emosi). Ridha menerima kekayaan dan kemiskinan, umur panjang dan pendek, badan sehat dan sakit; semua tidak ada perbedaan karena memang ia telah ridha kepada ketentuan Allah. Dalam kedudukan ini, sang pecinta senantiasa ridha dan puas dengan apa yang dilakukan oleh kekasih. Akan tetapi, mausia sejati hanya puas dan ridha dengan Allah sendiri.

 

Orang yang mencapai ridha, telah tiba pada jiwa yang ridha (an-nafs ar-radhiyyah). Menurut Dzu An-Nun Al-Mishri, tanda-tanda orang yang telah ridha adalah

a.       Mempercayakan hasil usaha sebelum terjadi ketentuan;

b.      Lenyapnya resah gelisah sesudah terjadi ketentuan;

c.       Cinta yang bergelora di kala turunnya malapetaka.

 

BAB III
PENUTUP

1.     Kesimpulan

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya. Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma’rifat

 

2.     Kritik dan Saran

Adapun kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca.  Penyusun makalah ini masih merasa jauh dari tingkat kesempurnaan. Kritik dan saran dari anda sangatlah bermanfaat bagi kami untuk menjadikan kami lebih faham dan menguasai. Dan permohonan maaf sebesar- besarnya dari kami mungkin ada salah kata baik tulisan atau penjelasan dari kami. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT Tuhan semesta alam.

  

DAFTAR PUSTAKA

 

1.      Rivay Siregar, Prof. H. A., Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.

2.      Syayid Abi Bakar Ibnu Muh. Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003.

3.      Syamsun Ni’am, Cinta Ilahi: Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Surabaya: Risalah Gusti, 2001.

4.      https://lusiagitarahmawati.wordpress.com/2012/11/23/makalah-maqomat-dalam-tasawuf/

 

0 komentar:

Post a Comment