Fadhilah Az-Zahro
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Muqomat
dalam tasawuf
Dalam terminologi tasawuf yang dimaksud maqamat
sangat berbeda dengan makam dalam istilah umum yang berarti kuburan. Definisi
maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti
kedudukan spiritual (English : Station). Maqam arti dasarnya 1) adalah
“tempat berdiri”, dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat
seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.
Adapun “ahwal” bentuk jamak dari ‘hal’ 2) biasanya diartikan sebagai keadaan
mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya.
Dengan arti kata lain, maqam didefinisikan
sebagai suatu tahap adab (etika) kepadaNya dengan bermacam usaha diwujudkan
untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam
tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah
(exercise) menuju kepadanya. Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah ke suatu
maqam lain, kecuali setelah menyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam
tersebut.
Tahap-tahap atau tingkat-tingkat maqam ini
bukannya berbentuk yang sama di antara ahli-ahli sufi, namun mereka bersependapat
bahwa tahap permulaan bagi setiap maqam ialah tawbah. Rentetan amalan para sufi
tersebut di atas akan memberi kesan kepada kondisi rohani yang disebut sebagai
al-ahwal yang diperoleh secara intuitif dalam hati secara tidak langsung
sebagai anugerah daripada Allah semata-mata, daripada rasa senang atau sedih,
rindu atau benci, rasa takut atau sukacita, ketenangan atau kecemasan secara
berlawanan dalam realiti dan pengalaman dan sebagainya. Al-Maqamat dan al-ahwal
adalah dua bentuk kesinambungan yang bersambungan dan bertalian daripada
kausaliti (sebab akibat) amalan-amalan melalui latihan-latihan (exersice)
rohani.
Muqomat adalah jamak dari kata ‘maqam’ yang berarti
tahapan atau tingkatan perjalanan spiritual seorang sufi untuk
menuju Tuhannnya. Perjalanan ini hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang
panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego
manusia. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dilihat dari kenyataan
bahwa seorang sufi kadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser
ke maqom satu menuju maqom selanjutnya.
Setiap sufi maqomat yang
ditempuh akan berbeda-beda. Nama serta urutan maqomat dari seorang sufi
berbeda. Ada yang memulainya dari maqam taubah, dan mengakhirinya
dengan maqom ma’rifat, seperti Al-Kalabdzi. Adapula yang mengawali
dengan Taubah dan mengakhirinya dengan ridha seperti
yang dilakukan oleh Al- Ghozali. Demikian pula dengan jumlah maqomat yang
mereka lalui, ada yang menyebutkan sepuluh maqomat, tujuh atau
bahkan hanya enam maqomat.
A. Zuhud (Al- zuhd)
Zuhud adalah mengarahkan keinginan
kepada Allah SWT, menyatukan kemauan keapadaNya sehingga lebih sibuk denganNya
dari pada kesibukan-kesibukan selain denganNya. Sedangkan menurut Al Ghozali
mengatakan bahwa zuhud didefinisikan sebagai tidak adanya perbedaan antara
kemiskinan dan kekayaan. Kemulyaan dan kehinaan, pujian atau celaan, karena
keakrabannya dengan Allah SWT.
Jadi dapat diambil kesimpulan secara
sederhana zuhud adalah menghilangkan ketergantungan terhadap dunia, tidak
mencari-cari sesuatu yang bukan miliknya, di dalam hati tidak menghendaki dunia
dan tidak berusaha mendapatkannya. Dengan begitu akan menjadikan ketenangan
lahir dan batin seorang Zahid terasa lapang, dan lebih mudah
untuk mendekatkan diri kepada Allah.
B. Wara (Al
Wara)
Wara berasal
dari bahasa arab yang memiliki arti shaleh atau menjauhkan diri dari perbuatan
dosa. Dalam kamus munawir wara' artinya menjauhkan diri dari dosa,
maksiat dan perkara syubhat.
Wara’ menurut Abu ‘Ali Daqqaq mengatakan bahwa warai ialah meninggalkan
apapun yang Syubhat, atau meninggalkan sesuatu yang meragukan.
Segala sesuatu yang tidak berarti dan apapun yang berlebihan. Para sufi pula
mengatakan bahwa wara’ adalah sikap berhati-hati dalam
menghadapi segala sesuatu yang kurang jelas masalahnya. Apabila bertemu
persoalan, baik yang bersifat materi maupun nonmateri yang tidak pasti hukumnya
atau tidak jelas asal usulnya, lebih baik untuk dihindari atau meninggalkan.
C. Tawakal
Tawakal secara etimologi artinya
bersandar atau mempercayakan diri. Dalam etimologi tasawuf, tawakal biasa
diartikan sebagai sikap bersandar dan mempercayakan diri kepada Allah. Tawakal merupakan gambaran
keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Dalam hal ini,
Al-Ghazali mengaitkan tawakkal dengan tauhid, dengan penekanan bahwa tauhid
berfungsi sebagai landasan tawakkal.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi, tawakkal
bukan pada kedalamannya namun pada kulit luarnya. Hal tersebut disebabkan
pembicaraan tentang kedalaman makna tawakkal ada pada pengalaman pribadi
masing-masing sufi. Al-Qardhawi mendefinisikan tawakkal dari makna dasarnya,
yaitu menyerahkan dengan sepenuhnya. Dengan demikian, seseorang yang telah
menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, tidak akan ada keraguan dan kemasygulan
tentang apapun yang menjadi keputusan-Nya.
Menurut Al-Ghazali tawakkal terbagi dalam tiga tingkatan,
yaitu sebagai berikut.
a. Tawakkal atau menyerahkan diri
kepada Allah, ibarat seseorang menyerahkan perkataanya kepada pengacara yang
sepenuhnya dipercayakan menanganinya dan menenangkannya.
b. Tawakkal atau menyerahkan diri
kepada Allah, ibarat bayi menyerahkan diri kepada ibunya.
c. Derajat tawakkal tertinggi, yaitu
tawakkal atau menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, ibarat jenazah di tengah
petugas yang memandikannya.
D. Sabar (Al Sabr)
Secara harfiah, sabar berarti tabah
hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal
yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan
cobaan dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran
dalam bidang ekonomi. Selanjutnya Ibnu Atha mengatakan sabar artinya tetap
tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang baik. Dan pendapat lain
mengatakan sabar berarti menghilangkan rasa mendapatkan cobaan tanpa menunjukkan
rasa kesal. Ibnu Usman al-Hairi mengatakan, sabar adalah orang yang mampu
memasung dirinya atas segala seuatu yng kurang menyenangkan.
Di kalangan para sufi, sabar
diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi
segala larangan-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan
Tuhan. Sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan. Menurut Ali bin Abi Thalib bahwa sabar itu adalah bagian dari iman
sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari jasad. Hal ini
menunjukkan bahwa sabar sangat memegang peranan penting dalam kehidupan
Manusia.
Dalam pandangan sufi, musuh terberat
bagi orang-orang beriman ialah dorongan hawa nafsunya sendiri, yang setiap saat
dapat menggoyahkan iman. Kesabaran merupakan kunci keberhasilan dalam meraih
karunia Allah yang lebih besar, mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan
cinta-Nya, mengenal-Nya secara mendalam melalui hati sanubari, bahkan merasa
bersatu dengan-Nya, karena tanpa kesabaran keberhasilan tidak mungkin dicapai.
Ada hadits Nabi yang berbunyi, “seorang hamba Allah tidak akan memperoleh
suatu kebaikan, sementara harta kekayaan tidak lenyap dan badannya tidak pernah
sakit, sebab jika Allah mencintai seorang hamba, Ia akan mengujinya dengan
berbagai cobaan. Oleh karena itu, jika Allah mengujimu, maka
bersabarlah.” (HR. Al-Tirmidzi).
E. Ridha (Al Ridha)
Ridha ialah menerima anugerah Allah
dengan ikhlas atau puas dan tulus menerima ketentuan Ilahi. orang yang ridha
mampu melihat hikmah dan kebaikan di balik cobaan yang diberikan Allah dan
tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Terlebih lagi, ia mampu melihat
keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan Dzat yang
memberikan cobaan kepada nya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit
atas cobaan tersebut. Hanya para ahli ma’arif dan mahabbah yang
mampu bersikap seperti ini. Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai
suatu nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.
Menurut Abdul Halim mahmud, ridha mendorong
manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akhirnya
dengan cara apa pun yang disukai Allah.
Ridha kepada Tuhan adalah pohon dari
segala pelajaran yang kita terima dalam kehidupan ini. Ridha dalam
hal ini menurut ahli pendidikan timbul dari ‘athifah yaitu perasaan
halus (emosi). Ridha menerima kekayaan dan kemiskinan, umur
panjang dan pendek, badan sehat dan sakit; semua tidak ada perbedaan karena
memang ia telah ridha kepada ketentuan Allah. Dalam kedudukan ini, sang pecinta
senantiasa ridha dan puas dengan apa yang dilakukan oleh kekasih. Akan tetapi,
mausia sejati hanya puas dan ridha dengan Allah sendiri.
Orang yang mencapai ridha, telah tiba pada jiwa yang ridha (an-nafs
ar-radhiyyah). Menurut Dzu An-Nun Al-Mishri, tanda-tanda orang yang telah
ridha adalah
a. Mempercayakan hasil usaha sebelum
terjadi ketentuan;
b. Lenyapnya resah gelisah sesudah
terjadi ketentuan;
c. Cinta yang bergelora di kala
turunnya malapetaka.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari
sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang
mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan
ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal
mengatakan bahwa ma’rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan
kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma’rifat
2.
Kritik dan Saran
Adapun
kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca. Penyusun makalah
ini masih merasa jauh dari tingkat kesempurnaan. Kritik dan saran dari anda
sangatlah bermanfaat bagi kami untuk menjadikan kami lebih faham dan menguasai.
Dan permohonan maaf sebesar- besarnya dari kami mungkin ada salah kata baik
tulisan atau penjelasan dari kami. Karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT
Tuhan semesta alam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rivay
Siregar, Prof. H. A., Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002.
2. Syayid
Abi Bakar Ibnu Muh. Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2003.
3. Syamsun
Ni’am, Cinta Ilahi: Perspektif Rabi’ah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, Surabaya:
Risalah Gusti, 2001.
4.
https://lusiagitarahmawati.wordpress.com/2012/11/23/makalah-maqomat-dalam-tasawuf/
0 komentar:
Post a Comment