Tuesday, November 3, 2020

MAQAMAT DAN AHWAL

 Mawardiana

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Maqamat

              Maqamat adalah bentuk jamak dari maqam yang berarti tempat atau kedudukan. Istilah ini sering digunakan oleh para sufi. Dalam Sufi terminology : The Mystical Language Of Islam, maqam diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual[1]. Menurut al -Qusyairi yang dimaksud dengan maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban.[2] Sedangkan al-Thusi memberikan pengertian, bahwa maqamat adalah Kedudukan hamba di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan -latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata -mata untuk berbakti kepada-Nya.

              Mengenai berapa jumlah tangga atau maqamat, para ulama sufi memilki perbedaan pendapat. M enurut al-Qusyairi, ada 7 (tujuh) maqam, yang jenjangnya adalah:  Taubat, Wara’, Zuhud, Tawakkal, Shabar,  dan terakhir  Ridha.[3] Sementara Muhammad Al-Kalazaby mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu taubat, zuhud, sabar, fakir, tawadlu, taqwa, tawakal, ridha, mahabbah, dan makrifat.[4] Al-Thusi memiliki format lain, yaitu:  Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Shabar, Tawakkal  dan  Ridha. Sedangkan al-Ghazali memiliki urutan berikut:  Taubat, Shabar, Syukur, Raja’, Khauf, Zuhud, Mahabbah, Asyiq, Unas, Ridha.[5]

Namun dari perbedaan pendapat diatas ada maqamat yang mereka sepakati yaitu taubat, Zuhud, wara, fakir, sabar, tawakal, dan ridha. Sedangkan tawadlu, mahabbah, dan makrifat oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat.

 

1)      Taubat

Sebagai awal dari perjalanan yang harus dilakukan oleh seorang Sufi ialah maqam taubah yang berasal dari bahasa Arab yaitu taba – yatubu – taubatan yang artinya kembali. Sedang taubat yang dimaksud oleh kalangan Sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi dosa tersebut yang disertai melakukan amal kebajikan. Harun Nasution mengatakan, taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak membawa kepada dosa lagi. Tabuat yang sebenarnya dalam paham sufisme adalah melupakan segala hal kecuali Tuhan. Orang yang taubat adalah orang yang cinta kepada Allah dan senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.[6]

Mustafa Zahri menyebutkan  taubat bersamaan dengan istighfar (memohon ampun). Bagi orang yang awam taubat cukup dengan membaca astaghfirullah wa atubu ilaihi sebagnyak 70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang yang khawas bertaubat dengan melakukan riadhah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang membatasi diri dengan Tuhan.[7]

Dalam Al-Quran sendiri banyak dijumpai ayat-ayat yang menganjurkan manusia untuk bertaubat. Diantaranya:

.... وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣١

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung (Q. S An-Nur (24): 31)

وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ١٣٥

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. (Q. S Ali-Imran:135)

2)      Wara

Secara harfiah wara artinya sholeh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Secara harfiyah Al-Wara' artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam tradisi Sufi yang dimaksud dengan wara' adalah meninggalkan sesuatu yang belum jelas hukumnya (subahat), hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas manusia baik yang berupa benda maupun perilaku seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai, bekerja dan lain-lain.[8]

Kaum sufi menyadari bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum atau memakainya. Maka mereka sangat hati-hati akan hal ini sebab para sufi senantiasa mengharapkan nur ilahi yang dipancarkan lewat hati yang bersih.

3)      Zuhud

Secara harfiah zuhud berarti tidak menginginkan hal yang bersifat keduniaan. Menurut Harun Nasution zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Dalam pandangan kaum Sufi, dunia dan segala isinya adalah sumber segala kemaksiatan dan kemungkaran yang dapat menjauhkan diri dari tuhan. Karena hasrat, keinginan dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan duniawi sebagai tujuan hidupnya, sehingga memalingkannya dari tuhan. Menurut Al-Junaidi yang dikutip oleh Hasyim Muhammad mengatakan bahwa, zuhud adalah kosongnya tangan dari pemilikan dan kosongnya hati dari pencarian.

Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sementara. Allah berfirman:

..... فَمَا مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ ٣٨

Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) akhirat hanyalah sedikit (Q.S Al-Taubah: 38)

 وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰٓ ١٧

Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal (Q.S Al-A’la:17)

              Orang memiliki pandangan yang demikian tidak akan mengorbankan kebahagiaan hidupnya  di akhirat hanya untuk mengejar duniawi saja. Sikap zuhud adalah sikap yang harus ditempuh oleh seorang sufi.

4)      Fakir

              Secara harfiah fakir diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedang menurut pandangan Sufi faqr adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban – kewajiban. Tidak meminta sesungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[9]

              Sikap fakir ini penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah SWT karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat kepada kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa menjadi tertambat pada selain Allah SWT.[10]

5)      Sabar

              Sabar berarti tabah hati. sabar jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan Aal-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani).[11]

              Dalam tradisi sufi, sabar merupakan salah satu maqam yang harus ditempuh dalam perjalanan menuju Allah SWT, yang sering diterjemahkan sebagai ketabahan dan ketekunan. Kesabaran adalah pembuka jalan keluar dari suatu masalah. Bersabar diri merupakan sifat dari orang-orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi dan kecerdasan emosional yang bening. [12]

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱصۡبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٢٠٠

Wahai orang-orang yang beriman, berlaku sabarlah dan perkuat kesabaran diantara sesama kalian, dan bersiapsiagalah kalian serta bertaqwalah kepada Allah supaya kalian memperoleh keberuntungan (Q.S Ali-Imran: 200)

6)      Tawakal

              Tawakal merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah SWT. Secara harfiah tawakal berarti menyerahkan diri.[13]

              Inti dari tawakal adalah sikap mempercayakan diri dan seluruh jalannya, serta semua aktivitasnya hanya kepada Allah SWT, dalam kepercayaan jiwa yang sempurna dan tanpa syarat. Kedudukan tawakal dalam dunia tasawuf adalah menampakan dirinya sebagai berkaitan erat dengan Al-Ahwal (keadaan) yang merupakan perwujudan dari karunia Allah SWT.[14]

               Al-Qusyairi mengatakn bahwa tawakal tempat-tempatnya didalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah hamba-Nya meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Mererka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu sebenarnya takdir Allah.[15]

              Allah SWT berfirman:

.....وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُ.....ٓ ٣

Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya) (Q.S Ath-Thalaq: 3)

              Dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa intisari atau sumsum dari orang yang bertauhid adalah orang yang dekat kepada Allah dengan suatu pancaran batin dari cahaya Tuhan., bahwa semua benda, bagaimanapun banyak dan jenisnya, berasal dari satu sumber. Dengan demikian, orang yang bertawakal adalah orang yang selalu mengaitkan dan menggantungkan hatinya kepada Allah untuk setiap usaha dan pekerjaannya. Abu Ali ar-Rudzbari berpendapat, ada tiga tanda yang bertawakal kepada Allah SWT, yaitu tidak meminta, tidak menolak sesuatu (pemberian), dan tidak pula menahan sesuatu (yang akan diberikan)

7)      Ridha

              Ridha berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT. Harun Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Allah malah menerima dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat.[16]

              Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah SWT dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah SWT. [17]

 

2.2  Ahwal (Hal)

                   Ahwal adalah jama' dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan (state). Secara terminologi ahwal berarti keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal masuk dalam hati sebagai anugerah yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang tanpa usaha ataupun perjalanan tertentu. Karena hal datang dan pergi secara tiba-tiba dan tidak disengaja, maka Al-Qusyairi mengatakan bahwa pada dasarnya maqamat adalah upaya (makasib) sedangkan hal adalah karunia (mawahib) yang diberikan Allah sehingga hal datang tidak ditentukan oleh waktu tertentu. [18]

Selain melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagaimana disebutkan diatas, seorang sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan mental tersebut seperti riyadah (latihan mental dengan melaksanakan dzikir dan tafakkur yang sebanyak-banyakknya serta melatih diri bersifat yang terdapat dalam maqam), mujahadah (berusaha sungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah), khalwat (Menyepi atau bersemedi), uzlah (mengasingkan diri dari keduniaan), muraqabah ( mendekatkan diri kepada Allah), dan suluk (menjalankan hidup sebagai sufi dengan cara dzikir dan dzikir).

            Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada dan mawas diri (muhasabat dan muraqabat), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thumaninah), penyaksian (musyahadah), dan yakin.

1)      Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)

              Waspada dan mawas diri merupakan hal yang saling berkaitan erat, keduanya merupakan  dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.

              Waspada dapat diartikan meyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan rtunduk kepada Allah SWT. Adapun mawas diri adalah meneliti dengn cermat apakah segala perbuatannya sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang dikehendaki-Nya.[19]

2)      Cinta (Hubb)

              Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, uhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan  atau cinta yang mendalam. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spritual. Kata mahabbah selanjutnya digunakan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan kepada Tuhan. [20]

              Dalam pandangan tasawuf, mahabbah merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah. Mahabbah  adalah kecenderungan hati untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan.[21]

3)      Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)

              Raja’ berarti berharap atau optimisme, adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja tela ditegaskan dalam Al-Quran:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ يَرۡجُونَ رَحۡمَتَ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٢١٨

sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (Q.S Al-Baqarah: 218)

              Raja menuntut tiga perkara:

a.       Cinta pada apa yang diharapkannya.

b.      Takut harapannya hilang.

c.       Berusaha untuk mencapainya.

              Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai disuatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Khauf adalah kesakitan hati karena membayabgkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.[22]

4)      Rindu (Syauq)

              Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yang rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhsn, mati dapat berarti bertemu dengan Tuhan., sebab hidup emrintangi pertemuan ‘abid dengan ma’bud-nya.[23]

5)      Intim (Uns)

              Dalam pandangan kaum sufi, sifat Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.[24]

  

BAB III

PENUTUP

 

3.1  Kesimpulan

-          Maqamat adalah jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah SWT. Maqamat berupa tangga yang harus ditempuh.

-          Para sufi berbeda pendapat mengenai jumlah maqamat. Namun yang disepakati ada tujuh, yaitu Taubat, Wara, Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakal, dan Ridha.

-          Sedangkan Ahwal adalah karunia yang diberikan Allah kepada kita.

-          Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain waspada dan mawas diri (muhasabat dan muraqabat), kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thumaninah), penyaksian (musyahadah), dan yakin.

 

3.2  Saran

              Manusia tidak selamanya tepat pertimbangannya, adil sikapnya, kadang-kadang manusia berbuat yang tidak masuk akal. Oleh sebab itu, manusia perlu sekali tahu mengenai dirinya sendiri.

              Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik yang kami sengaja maupun yang tidak kami sengaja. Maka dari itu sangat kami harapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga dengan berbagai kekurangan yang ada ini tidak mengurangi nilai-nilai dan manfaat dari mempelajari Sejarah Tasawuf dan Tarekat “Maqamat dan Ahwal (Hal)”.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

            Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (cet. Pertama). Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset

Nata, Abuddin. 2000. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Mustafa Zahri. 1995. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf . Surabaya: Bina Ilmu

              Jamil, Muhammad. Cakrawala Tasawuf. Dikutip dari Al-Qusyairi Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf  (Cairo: Dar al-Khair, t.t.)

              Rosihon Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf . Bandung: CV Pustaka Setia

              Asep Achmad Hidayat. 2009. Mata Air Bening Ketenangan Jiwa Pintu Masuk Kretentraman an kemuliaan hidup. Bandung: Penerbit MARJA



[1] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset 2002) cet. Pertama hal. 25

[2] M. Jamil. Cakrawala Tasawuf. Dikutip dari Al-Qusyairi Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf  (Cairo: Dar al-Khair, t.t.), 35.

[3] Al-Qusyairi. Risalah Al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, hal 49

[4] Abuddin Nata. Akhlak Tasawuf. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000) hal 194

[5] Ibid, hal 194

[6] Ibid, hal 197-198

[7] Mustafa Zahri. Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1995) hal 105-106

[8] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset 2002) cet. Pertama hal. 31

[9] Ibid, hal 200

[10] Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) hal 200

[11] Ibid, hal 201

[12] Asep Achmad Hidayat. Mata Air Bening Ketenangan Jiwa Pintu Masuk Kretentraman an kemuliaan hidup (Bandung: Penerbit MARJA, 2009) hal 138-144

[13] Abuddin Nata. Op Cit, hal 174

[14] Op. Cit, hal 147

[15] Op. Cit,hal 202

[16] Abuddin Nata. Op. Cit, hal 203

[17] Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) hal 201

[18] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset 2002) cet. Pertama hal. 27

[19] Op. Cit, hal 203

[20] Abuddin. Nata. Op. Cit, hal 208

[21] Op. Cit, hal 203

[22] Ibid, hal 204

[23] Ibid, hal 205

[24] Ibid, hal 206

2 komentar:

  1. Nama : nursajidah
    Nim : 202021068
    Unit : 2

    MAHQAMAT DAN AHWAL

    A.MAHQAMAT
    Pengertian menurut Al-Qusyairy maqamat atau maqam adalah maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba allah yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban.
    Menurut ABU NAS AL-SARAJ At-TUSI didalam kitab al-luma’ mengatakan, maqamat adalah kedudukan hamba dihadapan allah yang diperoleh dari kerja keras dalam ibadah,kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian, serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada Allah SWT.
    •Menurut AL-QUSAIRY maqam terbagi atas enam maqam

    Taubat,wara’,zuhud,fakhir,tawakkal,sabar dan ridha

    •AT-TUSI membagi maqam atas tujuh maqam

    Taubat,wara’,zuhud,fakhir,tawakkal,sabar dan ridha

    •IMAM AL-GHAZALI membagi atas 10 maqam

    Taubat,sabar,syukur,raja’,khaf,zuhud,mahabbah,’asyik,unas,dan ridha


    B.AHWAL
    Menurut AT-TUSI Ahwal adalah kondisi jiwa yang diperoleh dari kesucian jiwa. Ahwal tersebut meliputi al-muraqabah,al-qarru,wal mahabbah, wal khaf,warraja’,wasysyuk,wal unas,watuma’ninah,walmusyahadah,walliqin.

    C.PERBEDAAN MAHQAMAT DAN AHWAL
    Maqamat merupakan tingkat seseorang hamba dihadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.sedangkan ahwal suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan oleh Allah.kepada seorang hamba tanpa adanya latihan atau usaha jiwa.

    ReplyDelete
  2. Nama: Tiara Aulia Ramadhani Marpaung
    Nim : 202021054
    MK : Tasawuf

    Resume 9

    Maqamat dan Ahwal
    (Al-Khusainy)
    Maqamat adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntutan dari segala kewajiban.
    Kemudian Abu Nasr Al-Sharaj Al-Tusi didalam kitab Al-Luma'mengatakan :
    Maqamat adalah kedudukan hamba dihadapan Allah SWT yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu,latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata mata untuk berbakti kepada Allah SWT.
    At-Tusi membagi maqam menjadi 7 :
    -Tobat
    -wara'
    -zuhud
    -faqir
    -sabar
    -tawakkal
    -ridho

    Ahwal menurut At-Tusi adalah kondisi jiwa yang diperoleh dari kesucian jiwa.

    Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah SWT.Manusia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya karena ia sadar senantiasa berada dalam ngawasan Allah SWT.

    Perbedaan Maqamat dan Ahwal
    Maqamat adalah kedudukan seorang hamba hadapan Allah SWT,yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadah, latian spiritual serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah.

    Macam-macam maqamat :
    -taubat
    -zuhud
    -sabar
    -wara'
    -faqr
    -tawakkal
    -ridha
    -mahabah
    -ma'rifat
    -istiqomah

    Ahwal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu,baik sebagai buah dari amal sholeh yang mensucikan jiwa.

    Macam-macam ahwal :
    -muhasabah
    -raja'
    -hubb
    -syauq
    -thuma'ninah
    -musyahadah

    ReplyDelete