Mawardiana
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Maqamat
Maqamat
adalah bentuk jamak dari maqam yang berarti tempat atau kedudukan. Istilah ini
sering digunakan oleh para sufi. Dalam
Sufi terminology : The Mystical Language Of Islam, maqam diterjemahkan
sebagai kedudukan spiritual[1]. Menurut al -Qusyairi yang dimaksud dengan
maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti
yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari
segala kewajiban.[2]
Sedangkan al-Thusi memberikan pengertian, bahwa maqamat adalah Kedudukan hamba
di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan
melawan hawa nafsu, latihan -latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa
dan raga semata -mata untuk berbakti kepada-Nya.
Mengenai
berapa jumlah tangga atau maqamat, para ulama sufi memilki perbedaan pendapat. M
enurut al-Qusyairi, ada 7 (tujuh) maqam, yang jenjangnya adalah: Taubat, Wara’, Zuhud, Tawakkal, Shabar, dan terakhir
Ridha.[3]
Sementara Muhammad Al-Kalazaby mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada
sepuluh, yaitu taubat, zuhud, sabar, fakir, tawadlu, taqwa, tawakal, ridha,
mahabbah, dan makrifat.[4] Al-Thusi memiliki format lain, yaitu:
Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Shabar, Tawakkal dan
Ridha. Sedangkan al-Ghazali memiliki urutan berikut: Taubat, Shabar, Syukur, Raja’, Khauf, Zuhud,
Mahabbah, Asyiq, Unas, Ridha.[5]
Namun dari perbedaan pendapat diatas ada maqamat yang
mereka sepakati yaitu taubat, Zuhud, wara, fakir, sabar, tawakal, dan ridha.
Sedangkan tawadlu, mahabbah, dan makrifat oleh mereka tidak disepakati sebagai
maqamat.
1) Taubat
Sebagai awal dari perjalanan yang harus dilakukan oleh
seorang Sufi ialah maqam taubah yang berasal dari bahasa Arab yaitu taba –
yatubu – taubatan yang artinya kembali. Sedang taubat yang dimaksud oleh
kalangan Sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai
janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi dosa tersebut yang disertai
melakukan amal kebajikan. Harun Nasution mengatakan, taubat yang dimaksud sufi
ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak membawa kepada dosa lagi.
Tabuat yang sebenarnya dalam paham sufisme adalah melupakan segala hal kecuali
Tuhan. Orang yang taubat adalah orang yang cinta kepada Allah dan senantiasa
mengadakan kontemplasi tentang Allah.[6]
Mustafa Zahri menyebutkan
taubat bersamaan dengan istighfar (memohon ampun). Bagi orang yang awam
taubat cukup dengan membaca astaghfirullah wa atubu ilaihi sebagnyak 70
kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang yang khawas bertaubat dengan
melakukan riadhah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam
usaha membuka hijab (tabir) yang membatasi diri dengan Tuhan.[7]
Dalam Al-Quran sendiri banyak dijumpai ayat-ayat yang
menganjurkan manusia untuk bertaubat. Diantaranya:
.... وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣١
Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman agar kamu
beruntung (Q. S An-Nur (24): 31)
وَٱلَّذِينَ
إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ
لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ
مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ١٣٥
Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. (Q. S Ali-Imran:135)
2) Wara
Secara harfiah wara artinya sholeh, menjauhkan diri dari
perbuatan dosa. Secara harfiyah
Al-Wara' artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam
tradisi Sufi yang dimaksud dengan wara' adalah meninggalkan sesuatu yang belum
jelas hukumnya (subahat), hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas
manusia baik yang berupa benda maupun perilaku seperti makanan, minuman,
pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai, bekerja dan
lain-lain.[8]
Kaum sufi menyadari bahwa setiap makanan, minuman,
pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang
memakan, meminum atau memakainya. Maka mereka sangat hati-hati akan hal ini
sebab para sufi senantiasa mengharapkan nur ilahi yang dipancarkan lewat hati
yang bersih.
3) Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak menginginkan hal yang
bersifat keduniaan. Menurut Harun Nasution zuhud adalah keadaan meninggalkan
dunia dan hidup kematerian. Dalam
pandangan kaum Sufi, dunia dan segala isinya adalah sumber segala kemaksiatan
dan kemungkaran yang dapat menjauhkan diri dari tuhan. Karena hasrat, keinginan
dan nafsu seseorang sangat berpotensi untuk menjadikan kemewahan dan kenikmatan
duniawi sebagai tujuan hidupnya, sehingga memalingkannya dari tuhan. Menurut Al-Junaidi yang dikutip oleh Hasyim
Muhammad mengatakan bahwa, zuhud adalah kosongnya tangan dari pemilikan dan
kosongnya hati dari pencarian.
Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau mengejar
kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan
dunia yang fana dan sementara. Allah berfirman:
..... فَمَا مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا
قَلِيلٌ ٣٨
Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan)
akhirat hanyalah sedikit (Q.S Al-Taubah: 38)
وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰٓ ١٧
Sedangkan
kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal (Q.S
Al-A’la:17)
Orang memiliki pandangan yang
demikian tidak akan mengorbankan kebahagiaan hidupnya di akhirat hanya untuk mengejar duniawi saja.
Sikap zuhud adalah sikap yang harus ditempuh oleh seorang sufi.
4)
Fakir
Secara harfiah fakir diartikan sebagai orang yang
berhajat, butuh atau orang miskin. Sedang
menurut pandangan Sufi faqr adalah tidak meminta lebih dari apa yang
telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat
menjalankan kewajiban – kewajiban. Tidak meminta sesungguhpun tak ada pada diri
kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.[9]
Sikap
fakir ini penting dimiliki oleh orang yang berjalan menuju Allah SWT karena
kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat kepada kejahatan dan
sekurang-kurangnya membuat jiwa menjadi tertambat pada selain Allah SWT.[10]
5)
Sabar
Sabar berarti tabah hati. sabar
jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan Aal-Ghazali
sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan terhadap
penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani).[11]
Dalam tradisi sufi, sabar
merupakan salah satu maqam yang harus ditempuh dalam perjalanan menuju
Allah SWT, yang sering diterjemahkan sebagai ketabahan dan ketekunan. Kesabaran
adalah pembuka jalan keluar dari suatu masalah. Bersabar diri merupakan sifat
dari orang-orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi dan kecerdasan
emosional yang bening. [12]
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱصۡبِرُواْ وَصَابِرُواْ وَرَابِطُواْ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٢٠٠
Wahai orang-orang yang beriman, berlaku
sabarlah dan perkuat kesabaran diantara sesama kalian, dan bersiapsiagalah
kalian serta bertaqwalah kepada Allah supaya kalian memperoleh keberuntungan (Q.S Ali-Imran: 200)
6)
Tawakal
Tawakal merupakan gambaran
keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah SWT. Secara harfiah
tawakal berarti menyerahkan diri.[13]
Inti dari tawakal adalah sikap
mempercayakan diri dan seluruh jalannya, serta semua aktivitasnya hanya kepada
Allah SWT, dalam kepercayaan jiwa yang sempurna dan tanpa syarat. Kedudukan
tawakal dalam dunia tasawuf adalah menampakan dirinya sebagai berkaitan erat
dengan Al-Ahwal (keadaan) yang merupakan perwujudan dari karunia Allah
SWT.[14]
Al-Qusyairi mengatakn bahwa tawakal
tempat-tempatnya didalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak
mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu. Hal itu terjadi setelah
hamba-Nya meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan
Allah. Mererka menganggap jika menghadapi kesulitan maka yang demikian itu
sebenarnya takdir Allah.[15]
Allah
SWT berfirman:
.....وَمَن
يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُ.....ٓ ٣
Dan barang
siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluannya) (Q.S Ath-Thalaq: 3)
Dalam Ihya’ ‘Ulum ad-Din,
Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa intisari atau sumsum dari orang yang
bertauhid adalah orang yang dekat kepada Allah dengan suatu pancaran batin dari
cahaya Tuhan., bahwa semua benda, bagaimanapun banyak dan jenisnya, berasal
dari satu sumber. Dengan demikian, orang yang bertawakal adalah orang yang
selalu mengaitkan dan menggantungkan hatinya kepada Allah untuk setiap usaha
dan pekerjaannya. Abu Ali ar-Rudzbari berpendapat, ada tiga tanda yang
bertawakal kepada Allah SWT, yaitu tidak meminta, tidak menolak sesuatu
(pemberian), dan tidak pula menahan sesuatu (yang akan diberikan)
7)
Ridha
Ridha berarti menerima dengan rasa
puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT. Harun Nasution mengatakan ridha
berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Allah malah menerima
dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal
didalamnya hanya perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal didalamnya
hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana
merasa senang menerima nikmat.[16]
Orang yang rela mampu melihat
hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah SWT dan tidak berburuk
sangka terhadap ketentuan-Nya. Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong
manusia berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah SWT dan
Rasul-Nya. Sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya
dengan cara apapun yang disukai Allah SWT. [17]
2.2 Ahwal (Hal)
Ahwal
adalah jama' dari hal yang berarti keadaan atau situasi kejiwaan
(state). Secara terminologi ahwal berarti
keadaan spiritual yang menguasai hati. Hal masuk dalam hati sebagai anugerah
yang diberikan oleh Allah. Hal datang dan pergi dari diri seseorang tanpa usaha
ataupun perjalanan tertentu. Karena hal datang dan pergi secara tiba-tiba dan
tidak disengaja, maka Al-Qusyairi mengatakan bahwa pada dasarnya maqamat
adalah upaya (makasib) sedangkan hal adalah karunia (mawahib) yang
diberikan Allah sehingga hal datang tidak ditentukan oleh waktu
tertentu. [18]
Selain
melaksanakan berbagai kegiatan dan usaha sebagaimana disebutkan diatas, seorang
sufi juga harus melakukan serangkaian kegiatan mental yang berat. Kegiatan
mental tersebut seperti riyadah (latihan mental dengan melaksanakan
dzikir dan tafakkur yang sebanyak-banyakknya serta melatih diri bersifat yang
terdapat dalam maqam), mujahadah (berusaha sungguh-sungguh dalam
melaksanakan perintah Allah), khalwat (Menyepi atau bersemedi), uzlah
(mengasingkan diri dari keduniaan), muraqabah ( mendekatkan diri kepada
Allah), dan suluk (menjalankan hidup sebagai sufi dengan cara dzikir dan
dzikir).
Hal-hal yang dijumpai dalam
perjalanan kaum sufi, antara lain waspada dan mawas diri (muhasabat dan muraqabat),
kehampiran atau kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf),
harap (raja’), rindu (syauq), intim (uns), tentram (thumaninah),
penyaksian (musyahadah), dan yakin.
1) Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan
Muraqabah)
Waspada
dan mawas diri merupakan hal yang saling berkaitan erat, keduanya
merupakan dua sisi dari tugas yang sama
dalam menundukkan perasaaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu
dan amarah.
Waspada
dapat diartikan meyakini bahwa Allah SWT mengetahui segala pikiran, perbuatan,
dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan rtunduk
kepada Allah SWT. Adapun mawas diri adalah meneliti dengn cermat apakah segala
perbuatannya sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang
dikehendaki-Nya.[19]
2)
Cinta (Hubb)
Kata
mahabbah berasal dari kata ahabba, uhibbu, mahabatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Selain itu al-mahabbah
dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan,
dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun
spritual. Kata mahabbah selanjutnya digunakan pada suatu paham atau aliran
dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan
kepada Tuhan. [20]
Dalam
pandangan tasawuf, mahabbah merupakan pijakan bagi segenap kemuliaan hal,
sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena mahabbah
pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal,
kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah. Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memerhatikan
keindahan atau kecantikan.[21]
3)
Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Raja’ berarti berharap atau optimisme, adalah
perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Raja tela ditegaskan dalam Al-Quran:
إِنَّ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ
أُوْلَٰٓئِكَ يَرۡجُونَ رَحۡمَتَ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٢١٨
sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah
orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun Maha Penyayang (Q.S Al-Baqarah: 218)
Raja
menuntut tiga perkara:
a. Cinta pada apa yang diharapkannya.
b. Takut harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
Setiap
orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap
untuk sampai disuatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Khauf adalah
kesakitan hati karena membayabgkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa
diri pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat
dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.[22]
4) Rindu (Syauq)
Dalam
lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yang rindu ingin segera bertemu
dengan Tuhan. Bagi sufi yang rindu kepada Tuhsn, mati dapat berarti bertemu
dengan Tuhan., sebab hidup emrintangi pertemuan ‘abid dengan ma’bud-nya.[23]
5) Intim (Uns)
Dalam
pandangan kaum sufi, sifat Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak
pernah merasa sepi. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.[24]
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
-
Maqamat adalah jalan panjang yang harus ditempuh oleh
seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah SWT. Maqamat berupa tangga yang
harus ditempuh.
-
Para sufi berbeda pendapat mengenai jumlah maqamat. Namun
yang disepakati ada tujuh, yaitu Taubat, Wara, Zuhud, Fakir, Sabar, Tawakal,
dan Ridha.
-
Sedangkan
Ahwal adalah karunia yang diberikan Allah kepada kita.
-
Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan kaum sufi, antara lain
waspada dan mawas diri (muhasabat dan muraqabat), kehampiran atau
kedekatan (qarb), cinta (hubb), takut (khauf), harap (raja’),
rindu (syauq), intim (uns), tentram (thumaninah),
penyaksian (musyahadah), dan yakin.
3.2
Saran
Manusia
tidak selamanya tepat pertimbangannya, adil sikapnya, kadang-kadang manusia
berbuat yang tidak masuk akal. Oleh sebab itu, manusia perlu sekali tahu
mengenai dirinya sendiri.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Masih banyak
kesalahan dan kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik yang kami sengaja
maupun yang tidak kami sengaja. Maka dari itu sangat kami harapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga dengan
berbagai kekurangan yang ada ini tidak mengurangi nilai-nilai dan manfaat dari
mempelajari Sejarah
Tasawuf dan Tarekat “Maqamat dan Ahwal (Hal)”.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad,
Hasyim. 2002. Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (cet. Pertama). Yokyakarta
: Pustaka Pelajar Offset
Nata, Abuddin. 2000. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada
Mustafa Zahri. 1995. Kunci Memahami Ilmu
Tasawuf . Surabaya: Bina Ilmu
Jamil,
Muhammad. Cakrawala Tasawuf. Dikutip dari Al-Qusyairi Risalah
al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf
(Cairo: Dar al-Khair, t.t.)
Rosihon
Anwar. 2010. Akhlak Tasawuf . Bandung: CV Pustaka Setia
Asep
Achmad Hidayat. 2009. Mata Air Bening Ketenangan Jiwa Pintu Masuk
Kretentraman an kemuliaan hidup. Bandung: Penerbit MARJA
[1] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi (Yokyakarta :
Pustaka Pelajar Offset 2002) cet. Pertama hal. 25
[2] M. Jamil. Cakrawala
Tasawuf. Dikutip dari Al-Qusyairi Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf (Cairo: Dar al-Khair, t.t.), 35.
[3] Al-Qusyairi. Risalah
Al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tashawwuf, hal 49
[4] Abuddin Nata. Akhlak
Tasawuf. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000) hal 194
[5] Ibid, hal 194
[6] Ibid, hal 197-198
[7] Mustafa Zahri. Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya: Bina Ilmu, 1995) hal 105-106
[8] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi
(Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset 2002) cet. Pertama hal. 31
[9] Ibid, hal 200
[10] Rosihon Anwar. Akhlak
Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) hal 200
[11] Ibid, hal 201
[12] Asep Achmad Hidayat. Mata
Air Bening Ketenangan Jiwa Pintu Masuk Kretentraman an kemuliaan hidup
(Bandung: Penerbit MARJA, 2009) hal 138-144
[13] Abuddin Nata. Op Cit, hal
174
[14] Op. Cit, hal 147
[15] Op. Cit,hal 202
[16] Abuddin Nata. Op. Cit,
hal 203
[17] Rosihon Anwar. Akhlak
Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010) hal 201
[18] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi
(Yokyakarta : Pustaka Pelajar Offset 2002) cet. Pertama hal. 27
[19] Op. Cit, hal 203
[20] Abuddin. Nata. Op. Cit,
hal 208
[21] Op. Cit, hal 203
[22] Ibid, hal 204
[23] Ibid, hal 205
[24] Ibid, hal 206
Nama : nursajidah
ReplyDeleteNim : 202021068
Unit : 2
MAHQAMAT DAN AHWAL
A.MAHQAMAT
Pengertian menurut Al-Qusyairy maqamat atau maqam adalah maqam adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba allah yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala kewajiban.
Menurut ABU NAS AL-SARAJ At-TUSI didalam kitab al-luma’ mengatakan, maqamat adalah kedudukan hamba dihadapan allah yang diperoleh dari kerja keras dalam ibadah,kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian, serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada Allah SWT.
•Menurut AL-QUSAIRY maqam terbagi atas enam maqam
Taubat,wara’,zuhud,fakhir,tawakkal,sabar dan ridha
•AT-TUSI membagi maqam atas tujuh maqam
Taubat,wara’,zuhud,fakhir,tawakkal,sabar dan ridha
•IMAM AL-GHAZALI membagi atas 10 maqam
Taubat,sabar,syukur,raja’,khaf,zuhud,mahabbah,’asyik,unas,dan ridha
B.AHWAL
Menurut AT-TUSI Ahwal adalah kondisi jiwa yang diperoleh dari kesucian jiwa. Ahwal tersebut meliputi al-muraqabah,al-qarru,wal mahabbah, wal khaf,warraja’,wasysyuk,wal unas,watuma’ninah,walmusyahadah,walliqin.
C.PERBEDAAN MAHQAMAT DAN AHWAL
Maqamat merupakan tingkat seseorang hamba dihadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.sedangkan ahwal suatu kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan oleh Allah.kepada seorang hamba tanpa adanya latihan atau usaha jiwa.
Nama: Tiara Aulia Ramadhani Marpaung
ReplyDeleteNim : 202021054
MK : Tasawuf
Resume 9
Maqamat dan Ahwal
(Al-Khusainy)
Maqamat adalah hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki hamba Tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntutan dari segala kewajiban.
Kemudian Abu Nasr Al-Sharaj Al-Tusi didalam kitab Al-Luma'mengatakan :
Maqamat adalah kedudukan hamba dihadapan Allah SWT yang diperoleh melalui kerja keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu,latihan-latihan kerohanian serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata mata untuk berbakti kepada Allah SWT.
At-Tusi membagi maqam menjadi 7 :
-Tobat
-wara'
-zuhud
-faqir
-sabar
-tawakkal
-ridho
Ahwal menurut At-Tusi adalah kondisi jiwa yang diperoleh dari kesucian jiwa.
Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah SWT.Manusia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya karena ia sadar senantiasa berada dalam ngawasan Allah SWT.
Perbedaan Maqamat dan Ahwal
Maqamat adalah kedudukan seorang hamba hadapan Allah SWT,yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadah, latian spiritual serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah.
Macam-macam maqamat :
-taubat
-zuhud
-sabar
-wara'
-faqr
-tawakkal
-ridha
-mahabah
-ma'rifat
-istiqomah
Ahwal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu,baik sebagai buah dari amal sholeh yang mensucikan jiwa.
Macam-macam ahwal :
-muhasabah
-raja'
-hubb
-syauq
-thuma'ninah
-musyahadah