Tuesday, November 10, 2020

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN MAQAMAT DAN AHWAL

 NURBAITI

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  Pengertian Maqamat dan Macam-macamnya

Secara bahasa, maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam yang berarti pangkat atau derajat.  Dalam bahasa inggris, maqamat disebut dengan stages (tangga) atau stations (terminal).

Menurut istilah tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba dihadapan Allah, yang diperoleh dengan melalui peribadatan, mujahadah, latihan spiritual serta (berhubungan) yang tidak putus-putusnya dengan Allah.

Jadi, maqamat adalah hasil kesungguhan dan perjuangan terus-menerus, dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik.  Macam-macam maqamat dalam ilmu tasawuf:

1.    Taubat

Taubat adalah memohon ampun kepada Allah atas segala kesalahan yang telah dilakukan pada saat yang lampau dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa-dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.

Taubat memiliki beberapa tingkatan; pertama, taubat tingkat rendah yang menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau angota-anggota badan. Kedua, taubat tingkat menengah terhadap pangkal dosa-dosa seperti taubat dari sifat dendam, sombong, iri, riya’, pamer dan lainnya. Ketiga, taubat tertinggi merupakan taubat untuk berusaha menjauhkan diri dari bujukan syetan dan kelalaian dari mengingat Allah.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi ketika melakukan taubat, sebagai berikut:

a.    Meninggalkan kemaksiatan yang dilakukan.

b.    Menyesali perbuatan maksiat yang dilakukan.

c.    Bertekad untuk tidak mengulangi pebuatan maksiat yang telah dilakukan.[6]

2.    Zuhud

Zuhud adalah sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi. Zuhud dibagi menjadi 3 tingkatan: Pertama (terendah), menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua (menengah), menjauhi dunia dengan menimbang imbalan akhirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah semata.

 

 

3.    Sabar

Secara bahasa, sabar berarti tabah hati. Secara istilah, sabar adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian.[8]

Dalam ajaran tasawuf sifat sabar dibagi menjadi 3 macam, yaitu:

a.    Sabar dalam beribadah kepada  Allah.

b.    Sabar dalam menjauhi larangan Allah.

c.    Sabar dalam menerima cobaan dari Allah.

4.    Wara’

Secara harfiah, wara’ berarti shaleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa atau maksiat. Menurut pandangan sufi, wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut pakaian, makanan, maupun persoalan lainnya.

 Wara’ dibagi menjadi 2 yaitu:

a.    Wara’ segi lahir yaitu tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan.

b.    Wara’  batin yaitu tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah.[11]

 

5.    Faqr

Faqr adalah tidak menuntut banyak dan merasa cukup dengan apa yang telah diterima dan dianugrahi oleh Allah, sehingga tidak mengharapkan atau meminta suatu yang bukan haknya.[12]

6.    Tawakal

Secara harfiah, tawakal berarti menyerahkan diri. Secara umum, tawakal adalah keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Serta berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan.[13]

 Tanda-tanda tawakal ada 3 yaitu:

a.    Menyingkirkan sikap ketergantungan.

b.    Menghilangkan bujukan yang berkaitan dengan tabiat.

c.    Berpedoman pada kebenaran dalam mengikuti tabiat.

 

 

Tawakal dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu:

a.    Kayakinan seseorang akan tanggungan dan pemeliharaan Allah sama dengan keyakinannya terhadap orang kepercayaannya.

b.    Derajat yang lebih tinggi dari pada derajat pertama, yang memposisikan diri di hadapan Allah seperti posisi seorang bayi di hadapan ibunya.

c.    Derajat tertinggi, yaitu memposisikan diri di hadapan Allah ibarat posisi mayat di hadapan orang yang memandikan.[14]

7.    Ridha (Rela)

Secara harfiah, ridha berarti rela, senang dan suka.[15] Secara umum, ridha adalah menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah. Orang yang rela mampu menerima dan melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuannya.[16]

 Ridha memiliki dua sudut pandang yaitu:

a.    Terarah kepada perbuatan Allah, yang dimana seorang hamba merasa ridha terhadap perbuatan Allah yang menetapkan terjadinya segala sesuatu.

b.    Terarah kepada kejadian yang diputuskan, yaitu terhadap musibah itu sendiri. Artinya seseorang harus merasa ridha dengan musibah yang diberikan oleh Allah.[17]

8.    Mahabah

Mahabah berasal dari kata ahabah-yuhibu-mahabatan yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabah adalah cinta abadi kepada Allah yang melebihi cinta kepada siapa pun dan apapun.

Adapun tanda-tanda cinta seorang terhadap Allah diantaranya yaitu:

a.    Senang bertemu dengan kekasihnya (Allah) dengan cara saling membuka rahasia dan saling melihat satu sama lain.

b.    Melakukan segala hal yang disenangi kekasihnya (Allah).

c.    Senantiasa berdzikir menyebut nama-Nya.

d.   Merasa tenang dan damai ketika bermunajat kepada Allah dam membaca kepada kitabnya.

 

 

9.    Ma’rifat

Secara bahasa, ma’rifat berasal dari kata arafah, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman.[19] Menurut ulama, ma’rifat adalah kemampuan seorang sufi  untuk mengenal Allah, sifat-sifat-Nya, yang membenarkan Allah dengan keyakinan dan iman yang sejati dan dengan suka rela melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan.[20]

10.    Istiqamah

Menurut Kyai Achmad, Istiqamah berarti tekun, telaten, terus menerus, dan tidak pernah bosan untuk mengamalkan apapun yang  dapat diamalkan. Contohnya: setiap selesai sholat maghrib Ayu selalu mengaji.[21]

 

B.  Pengertian Ahwal dan Macam-macamnya

Dari segi  bahasa,  ahwal adalah bentuk jamak dari hal yang berarti sifat dan keadaan sesuatu.[22] Menurut al-Gazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal shaleh yang mensucikan jiwa.[23]

 Adapun macam-macam ahwal dalam ilmu tasawuf, sebagai berikut:

1.    Muhasabah (mawas diri) dan Muraqabah (waspada)

Muhasabah (mawas diri) adalah sebagai upaya untuk meneliti diri sendiri dengan cermat apakah segala perbuatannya dalam sehari-hari telah sesuai atau bertentangan dengan ketentuan Allah. Sedangkan Muraqabah (waspada) adalah meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah.[24]

2.    Raja’ (berharap) dan Khauf (takut)

Raja’ adalah berharap atau perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan atau disenangi.[25]

 Raja’ menuntut tiga perkara yaitu:

a.    Cinta pada apa yang diharapkannya.

b.    Takut harapannya hilang.

c.    Berusaha untuk mencapainya.[26]

Menurut ahli sufi, khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena khawatir kurangnya pengabdian. Orang yang selalu merasa takut, maka timbulah sikap untuk selalu berusaha agar perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah dan mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang positif dan terpuji serta menjauhi perbuatan tercela.

 Berdasarkan penyebabnya khauf dibagi menjadi dua, yaitu:

a.    Sesuatu yang ditakuti karena akibat yang ditimbulkan, seperti takut mati sebelum taubat, ketidakmampuan memenuhi hak-hak Allah.

b.    Sesuatu yang ditakuti karena zatnya, seperti takut pada mati dan beratnya menghadapi kematian.[27]

3.    Hubb (cinta)

Hubb adalah kacenderungan hati untuk memerhatikan keindahan dan kecantikan.[28] Ibn Taimiyah membagi  tingkatan-tingkatan cinta, yaitu:

a.    Al-‘Alaqah, yaitu keterkaitan hati dengan yang dicintai.

b.    Al-Shababah (kegairahan), yaitu hati selalu bergairah kepada-Nya.

c.    Al-Ghuram, yaitu cinta sebagaimana biasanya.

d.   Al-‘Isyq, yaitu mencintai kepada-Nya dengan bergairah yang berlebih.

e.    Al tatayyum (menjadi budak), yaitu menjadi budak kepada-Nya.[29]

4.    Syauq (rindu) dan Uns (intim)

Syauq adalah kerinduan yang ingin segera bertemu dengan Allah. Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi.[30]

 Orang-orang yang intim (yang merasakan uns) terbagi menjadi tiga kondisi, yaitu:

a.    Seorang hamba yang merasakan suka cita berdzikir mengingat Allah dan merasa gelisah disaat lalai. Merasa senang disaat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa.

b.    Seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah.

c.    Kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.[31]

 

5.    Thuma’ninah

Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa waswas atau khawatir, tidak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi.

Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a.    Ketenangan bagi kaum awam. Artinya, ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berdzikir, mereka merasa tenang karena do’a-do’anya terkabul.

b.    Ketenangan bagi orang-orang khusus. Artinya, dalam tingkatan ini mereka merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas, dan takwa.

c.    Ketenangan bagi orang-orang yang paling khusus. Artinya, mereka mendapatkan ketenangan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.[32]

6.    Musyahadah

Secara harfiah, musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Secara terminologi tasawuf, musyahadah adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicari (Allah) atau penyaksian terhadap kekuasaan dan keagungan Allah.[33]

 

C.  Perbedaan dan Persamaan Maqamat dan Ahwal

Adapun perbedaan dan persamaan antara maqamat dan ahwal dapat penulis paparkan dalam tabel di bawah ini:

Kajian

Macam-macam

Perbedaan

Persamaan

Maqamat

Taubat, Zuhud, Sabar, Wara’, Faqr, Tawakal, Ridha (Rela), Mahabah, Ma’rifat, dan Istiqamah.

 

 

Pelaksanaan senantiasa berurutan, dirumuskan oleh seorang sufi itu sendiri, jumlah maqamat antara sufi satu dengan lainnya berbeda, dapat dipelajari oleh setiap salik (pelaku tasawuf), harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh, dan membutuhkan usaha.

Merupakan inti kajian dan ajaran tasawuf, dapat dialami oleh setiap sufi.

  Ahwal

Muhasabah (mawas diri) dan Muraqabah (waspada), Raja’ (berharap) dan Khauf (takut), Hubb (cinta), Syauq (rindu) dan Uns (intim), Thuma’ninah, dan Musyahadah

 

Hidayah dan anugerah dari Allah sesuai dengan kehendak-Nya, sifatnya temporer, mudah datang dan pergi/tidak selamanya ada, dan tidak membutuhkan usaha.[34]

 

  

BAB III

                                                                                 PENUTUP

A.  Kesimpulan

Dari pemaparan di atas yang berkaitan dengan maqamat dan ahwal dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1.    Pengertian Maqamat dan Macam-macamnya

a.    Pengertian Maqamat

Maqamat adalah hasil kesungguhan dan perjuangan terus-menerus, dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang lebih baik.

b.    Macam-macam maqamat

1)        Taubat

2)        Zuhud

3)        Sabar

4)        Wara’

5)        Faqr

6)        Tawakal

7)        Ridha (Rela)

8)        Mahabah

9)        Ma’rifat

10)    Istiqamah

 

2.    Pengertian Ahwal dan Macam-macamnya

a.    Pengertian ahwal

Ahwal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugerahkan Allah kepada seseorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal shaleh yang mensucikan jiwa.

b.    Macam-macam ahwal

1)   Muhasabah (mawas diri) dan Muraqabah (waspada)

2)   Raja’ (berharap) dan Khauf (takut)

3)   Hubb (cinta)

4)   Syauq (rindu) dan Uns (intim)

5)   Thuma’ninah

6)   Musyahadah

3.    Perbedaan dan Persamaan Maqamat dan Ahwal

Dilihat dari segi Pelaksanaan, Hidayah dan anugerah dari Allah sesuai dengan kehendak-Nya, serta sifatnya temporer, mudah datang dan pergi/tidak selamanya ada, dan tidak membutuhkan usaha, sedangkan persamaannya merupakan inti kajian dan ajaran tasawuf.

 

B.  Saran

Dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Bangun Nasution, Ahmad. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015.

Misbachul Munir, Moch. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014.

Muchlis Solichin, Mohammad. Akhlak dan Tasawuf. Surabaya: Pena Salsabila, 2014.

Muzaiyana. Akhlak Tasawuf. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014.

Ni’am, Syamsun. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. Yogyakarta: Ar-RuzzMedia, 2014.

Rusli, Ris’an. Tasawuf dan Tarekat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013.

 

[1] Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies Pengantar Belajar Tasawuf (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 137.

[2] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawuf  (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 146.

[3] Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, hlm. 137.

[4] Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm. 240.

[5] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 199-200.

[6] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawuf, hlm. 150.

[7] Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf, hlm. 243.

[8] Ibid. hlm. 246.

[9] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawuf, hlm. 154.

[10] Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf, hlm. 248.

[11] Ahmad Bangun Nasution, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015), hlm. 49.

[12] Moch, Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf, hlm. 249.

[13] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 202.

[14] Munir, Akhlak Tasawuf, hlm. 251.

[15] Ibid. hlm. 252.

[16] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 201.

[17] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawuf, hlm. 157.

[18] Muzaiyana, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm. 253-255.

[19] Ibid. hlm. 256.

[20] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawuf, hlm. 164.

[21] Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies:  Pengantar Belajar Tasawuf, hlm. 146.

[22] Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 58.

[23] Muzaiyana, Akhlak Tasawuf, hlm. 258.

[24] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 203.

[25] Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf, hlm. 263.

[26] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 204.

[27] Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf, hlm. 262.

[28] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 203.

[29] Mohammad Muchlis Solichin, Akhlak dan Tasawuf, hlm. 172.

[30] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf,  hlm. 205.

[31] Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf, hlm. 266.

[32] Moch. Misbachul Munir, Akhlak Tasawuf  (Surabaya, UIN Sunan Ampel Press, 2014), hlm. 264-265.

[33] Ibid. hlm. 266.

[34] Syamsun Ni'am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf, hlm. 155.

 

0 komentar:

Post a Comment