MUHAMMAD RIZKY AZDILLAH
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Tasawuf Abad Kelima
Hijriyah
Aliran
tasawuf moderat atau sunni terus tumbuh dan berkembang pada abad kelima
Hijriyah. Sementara aliran kedua yang bercorak semi-filosofis , mulai tenggelam
dan kelak akan muncul kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi yang
juga filosof pada abad keenam Hijriyah dan setelahnya.Tenggelamnya aliran kedua
pada abad kelima Hijriyah, pada dasarnya disebabkan oleh berjayanya aliran
teologi Ahlus Sunnah wal Jama’ah melalui keunggulan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari
atas aliran-aliran lainnya. Tasawuf pada masa ini cenderung melakukan pembaruan
dengan mengembalikannya ke landasan Al-Quran dan Sunnah. Di antara tokoh-tokohnya
yang sangat terkenal yaitu Al-Qusyairi, Al-Hawari dan Al-Ghazali. Di sini akan
dibahas pandangan atau kritik mereka terhadap penyimpangan tasawuf.
Abu
Al-Qasim Al-Qusyairi merupakan tokoh yang sangat terkenal pada abad kelima Hijriyah
terutama karena karya beliau yang sangat terkenal, al-Risalah al-Qusyairiyyah,
yang sangat berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah. Di awal mukadimahnya, Qusyairi
melukiskan bahwa saat itu sudah amat langka para sufi sejati. Karena itu,
Qusyairi menulis kitab yang ia menguraikan konsep-konsep tasawuf,
maqamat wal ahwal, kondisi ruhaniah dan karamah para wali, serta diakhiri
dengan biografi singkat mengenai para tokoh sufi ternama.
Tokoh sufi lain yang tasawufnya berasaskan doktrin Ahlus
Sunnah ialah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad Al-Anshari atau yang lebih
dikenal dengan Al-Hawari. Ia dipandang sebagai
penggagas aliran pembaruan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal
dengan keganjilan ungkapan-ungkapannya, seperti Al-Busthami dan Al-Hallaj .
Karya
Al-Harawi yang paling terkenal adalah Manazil al-Sairin ila Rabb al-Alamin.
Dalam karya ringkas tersebut, ia memaparkan tingkat-tingkat ruhaniah yang
mempunyai awal dan akhir. Ketingkatan ini menurut al-Qusyairi
dianalogikan dengan sebuah bangunan yang didalamnya harus ada pondasinya agar
bangunan itu menjadi kokoh .oleh karena itu tingkatan awal adalah dengan
menegakkannya di atas keikhlasan serta mengikuti Sunnah.
Al-Harawi
juga dikenal dengan teori fana’ dalam kesatuan, namun fana’nya berbeda dengan
fana’ para sufi semi falsafi sebelumnya. Baginya fana’ bukanlah fana wujud
sesuatu yang selain Allah, tetapi dari penyaksian dan perasaan mereka sendiri
atau dengan kata lain, ketidaksadaran atas segala sesuatu selain yang
disaksikan.
2.Tasawuf
Abad Keenam Hijriyah
Tasawuf filosofis merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara
pencapaian pencerahan mistikal dan pemaparan secara rasional filosofis.
Terminologi filosofis tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat,
yang telah mempengaruhi para tokoh-tokohnya. Tasawuf filosofis ini mulai muncul
dengan jelas sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal
setelah seabad kemudian.
Para
pengkaji tasawuf filosofis, berpendapat bahwa perhatian para penganut tasawuf
filosofis terutama diarahkan untuk menyusun teori-teori wujud dengan
berlandaskan rasa (dzauq), yang merupakan titik tolak tasawuf mereka. Ibn
Khaldun memaparkan ada empat karakteristik tasawuf filosofis yaitu:
Pertama,
latihan ruhaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul
darinya.Kedua, iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, misalnya
sifat-sifat rabbani, arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat
realitas segala wujud, yang gaib maupun yang tampak, dan susunan kosmos,
terutama tentang Penciptanya dan penciptaannya.Ketiga, peristiwa-peristiwa
dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan
atau keluarbiasaan. Keempat, penciptaan ungkapan-ungkapan yang
pengertiannya sepintas samar-samar (syahahiyyat), yang dalam hal ini telah
melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujui, atau
menginterpretasikannya.
Adapun
tokoh-tokohnya yang sangat terkenal yaitu Al-Suhrawardi dan Ibn Arabi. Di sini
akan dielaborasi sekilas pandangan ketiga tokoh tersebut agar dapat memperjelas
konsep tasawuf filosofis yaitu Al-Suhrawardi Al-Maqtul dikenal sebagai Shaykh
al-Ishraq, guru filsafat cahaya. Walaupun ia meninggalkan banyak karya, namun
karyanya yang paling terkenal dan mengantarkannya dirinya sebagai tokoh tasawuf
filosofis adalah Hikmah al-Isyraq. Kitab tersebut menguraikan
pandangan-pandangannya tentang filsafat isyraqi atau tasawuf isyraqi
(iluminatif),
yang
didasarkan pada penalaran yang tersebar dan pemikiran sesuatu tanpa dipahami
oleh orang lain, dengan latihan formal terhadap pikiran sekaligus pembersihan
jiwa. Garis besar teori Suhrawardi dapat disingkat dalam nukilan berikut:
“Hakikat
dari Cahaya Mutlak, Tuhan, memberi terang terus menerus, yang merupakan
pengejawantahan dan menyebabkan segala sesuatu ada, memberikan kehidupan kepada
segala sesuatu dengan sinarnya. Segalanya di dunia berasal dari Cahaya
hakikat-Nya dan segala keindahan dan kesempurnaan adalah karunia dari
kemurahan-Nya, dan mencapai terang ini sepenuhnya berarti keselamatan”.
Dengan demikian, doktrin ini hanya mengakui
satu wujud atau realitas karena mengakui dua jenis wujud atau realitas yang
sama sekali independen berarti memberi tempat kepada syirik atau menyembah
tuhan lebih dari satu.
Periode
abad keenam dan ketujuh Hijriyah tidak kalah penting dengan periode-periode
sebelumnya. Sebab pada periode ini justru tasawuf telah menjadi semacam
filsafat hidup bagi sebagian besar masyarakat Islam. Tasawuf menjadi memiliki
aturan-aturan, prinsip, dan sistem khusus; di mana sebelumnya ia hanya
dipraktekkan sebagai kegiatan pribadi-pribadi dalam dunia Islam tanpa adanya
ikatan satu sama lain. Periode inilah kata “tarekat” pada para sufi mutakhir
dinisbatkan bagi sejumlah pribadi sufi yang bergabung dengan seorang guru
(syaikh) dan tunduk di bawah aturan-aturan terinci dalam jalan ruhani. Mereka
hidup secara kolektif di berbagai zawiah, rabath, dan khanaqah (tempat-tempat
latihan), atau berkumpul secara periodik dalam acara-acara tertentu, serta
mengadakan berbagai pertemuan ilmiah maupun ruhaniah yang teratur.
Tarekat
secara etimologis berasal dari bahasa Arab, thariqah yang berarti al-khat fi
al-syai (garis sesuatu), al-shirat dan al-sabil (jalan). Kata ini juga bermakna
al-hal (keadaan). Dalam literatur Barat, menurut Gibb, kata thariqah menjadi
tarika yang berarti road (jalan raya), way (cara), dan path (jalan setapak).
Hanya saja ada perbedaan antara road dan path. Jika yang pertama merupakan
jalan besar yakni syariat, maka yang kedua jalan kecil yakni yang secara khusus
ditujukan sebagai tarekat atau perjalanan spiritual. Sedangkan secara praktis,
tarekat dapat dipahami sebagai sebuah pengamalan keagamaan yang bersifat
esoterik (penghayatan), yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan menggunakan
amalan-amalan berbentuk wirid dan zikir yang diyakini memiliki mata rantai
secara sambung menyambung dari guru mursyid ke guru mursyid. lainnya sampai
kepada Nabi Muhammad Saw, dan bahkan sampai Jibril dan Allah. Mata rantai ini dikenal
di kalangan tarekat dengan nama silsilah (transmisi). Dalam tataran ini,
tarekat menjadi sebuah organisasi ketasawufan.
Secara
lebih luasnya, dalam dunia sufistik menurut Schimmel, tarekat adalah jalan yang
ditempuh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat,
sebab jalan utama disebut syar’ sedangkan anak jalan disebut tariq. Kata
turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik
merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri atas hukum Ilahi, tempat
berpijak bagi setiap Muslim. Tidak mungkin ada jalan tanpa adanya jalan utama
tempat ia berpangkal; pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah
syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu secara seksama, akan
tetapi tariq atau jalan itu lebih sempit dan lebih sulit dijalani serta membawa
santri (salik) dalam suluk atau pengembaraannya melalui berbagai persinggahan
(maqam), sampai mungkin cepat atau lambat akhirnya ia mencapai tujuannya, yaitu
tauhid sempurna; yaitu pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah
satu.
Sebagai
organisasi tasawuf atau metode spiritual yang praktis, tarekat memiliki metode
yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Ada yang menggunakan program
penyucian jiwa, zikir, tafakur, meditasi, mendengar musik dan menari, qiyamul
lail dan lain-lain. Tetapi tujuan mereka semuanya sama yakni untuk mendekatkan
diri kepada Allah semata (taqarrub ila Allah).
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehidupan
kerohanian pada masa klasik dengan masa pertengahan sangat berbeda. Bersamaan
dengan muncul beberapa pendapat tentang penamaan kata “Tasawuf ”.
Sumber-sumber ajaran tasawuf mereka juga masih di perdebatkan. Dari masa
ke masa tasawuf mengalami perkembangan dalam ajaranya, begitu juga para tokoh
dalam mengajarkan pemahaman kepada para pengikutnya. Tahapan
tasawuf itulah yang dapat membedakan antara tasawuf yang murni dengan
tasawuf yang sudah tercampur dengan ajaran yang lain.
B. Saran
Penulis
menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan maka dari itu penulis
mengharapkan krtik dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini di
masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
HAMKA. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya.
Jakarta: Yayasan Nurul Islam. 1981
Khoiri,Alwan. Akhlak dan Tasawuf. Yogyakarta:
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005
0 komentar:
Post a Comment