Wednesday, November 4, 2020

KRITIS ALIRAN ALIRAN TAREKAT MASA KINI DI ACEH DAN INDONESIA

 PUTRI ANANDA SUBARJA 

BAB II

PEMBAHASAN

Kata ‘Tarekat” berasal dari kata Arab Tariqah, yang secara harfiah berarti jalan.Sedangkan secara estimologis berarti jalan, cara, metode, sistem, dan lain-lain. Sedangkan secara praktis tarekat dapat dipahami sebagai sebuah pengalaman keagamaan yang bersifat esoterik

3

 

(mementingkan dimensi dalam), yang dilakukan oleh orang-orang Islam dengan menggunakan amalanyang berbentuk wirid atau dzikir.Selanjutnya istilah tarekat lebih banyak digunakan para ahli tasawuf. Mustafa Zahri dalam hal ini mengatakan bahwa tarekat adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan Nabi Muhammad dan dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya, tabi’in dan tabi’in turun-temurun sampai kepada guru-guru secara berantai sampai pada masa kita ini. Dalam pada itu Harun Nasution mengatakan tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan.

1.Bagaimana sejarah masuk dan  berkembangnya tarekat di Aceh?

perkembangan tasawuf dalam wujud tarekat di Aceh kontemporer, khususnya Tarekat Syattariyah. Tarekat ini memiliki dasar yang kuat dalam sejarah Islam di Aceh.Seorang ulama besar Aceh, Abdurrauf As-Singkili adalah tokoh yang menyebarkan tarekat ini di Nusantara. Salah satu pusat perkembangan Tarekat Syattariyah di Aceh kontemporer adalah Nagan Raya dengan tokoh utamanya Habib Muda Seunagan. Beliau menjadikan tarekat ini berkembang pesat dengan membentuk sebuah formula khusus yang sangat khas dengan budaya setempat. Peran ini nampak jelas dengan istilah “bergabung di bawah payung Habib” bagi jamaahnya. Namun demikian, perkembangan baru Tarekat tersebut juga menimbulkan beberapa tuduhan terhadap prakteknya dianggap bertentangan dengan ajaran Islam secara umum. Tidak jarang tarekat ini dituduh sebagai ajaran sesat dan bertentangan dengan Islam, dengan sebutan “salek buta”. Saya melakukan observasi lapangan, menggelar sejumlah wawancara dan mendapatkan berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Saya berkesimpulan bahwa Tarekat Syattariyah di Nagan Raya telah berkembang dengan apa yang mereka yakini dan amalkan. Bagi jamaah tarekat Syattariyah tuduhan kepada tarekat ini dianggap tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak mewakili apa yang mereka pikirkan. Tarekat Syattariyah dapat eksis karena adanya dukungan yang kuat dari jaringan keluarga, peran yang besar dalam pembentukan masyarakat adat, dan peran politik di pemerintahan yang dimainkan oleh elitnya.

Tarekat Syattariyah di Aceh

Tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang paling populer di Aceh, terutama pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah pimpinan Ratu/Sultanah. Hal ini tidak lain karena pengaruh dari seorang ulama besar asal Singkil yang bernama Abdurrauf As- Singkili. Beliau menghabiskan masa 19 tahun di Jazirah Arab untuk belajar berbagai macam ilmu agama Islam, terutama hukum Islam dan tasawuf. Ia berangkat dari Aceh ke Arabia sekitar tahun 1642 M/1042 H dan menghabiskan waktu 19 tahun di sana untuk beljaar aneka macam ilmu keislaman. Di Madinah, Abdurrauf belajar kepada Ahmad al- Qushashi sampai sang guru meninggal dunia pada tahun 1071 H/1660 M, dan juga kepada khalifah dari al-Qusyasyi yakni Ibrahim al-Kurani. Dari al-Qushashi ia belajar ilmu-ilmu tasawuf dan ilmu yang terkait lainnya. Sebagai tanda selesainya dari pelajarannya dalam ilmu mistis, al-Qushashi menunjuknya sebagai khalifah dalam tarekat Syattariyah dan tarekat Qadiriyah. Perjalannya ke Arab memang tercatat dengan baik.

4

 

Dalam catatannya ia mengatakan telah mengunjungi berbagai negeri dan me  njumpai banyak sekali ulama untuk belajar ilmu agama. Setelah sekian lama ia juga menghabiskan waktu untuk mengajarkan ilmu agama Islam dalam berbagai kesempatan. Namun dari sekian banyak gurunya di sana ada dua orang gurunya yang paling berpengaruh dalam berbagai ilmu keislaman, yakni Al- Kurani dan al-Qusyasyi. Dari dua orang guru ini pula beliau mendapatkan ijazah beraneka ragam ilmu tarekat kepadanya, seperti Qadiriyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, dan tentu saja tarekat Syattariyah.  Namun diantara sekian banyak tarekat yang diterima dari gurunya, Abdurrauf nampaknya hanya mengembangkan satu tarekat saja di Aceh, yakni tarekat Syattariyah.[1]  pulang ke Aceh, beliau langsung menjadi orang penting di kerajaan Aceh Darussalam. Saat ia pulang kerajaan masih belum memiliki seorang pengganti Nuruddin Ar-Raniry yang telah kembali ke India karena kalah debat dengan Saiful Rijal dalam pembahasan wahdatul wujud.[2] Mereka menghabiskan beberapa tahun di Aceh, belajar agama, menulis buku, lalu kembali ke daerahnya untuk mengajarkan agama Islam yang sudah dikuasainya. Sejauh catatan para sarjana hingga saat ini ada beberapa orang ulama yang belajar pada Abdurrauf dan kemudian menjadi ulama di daerah mereka. Antara lain Syaikh Burhanuddin Ulakan yang mengembangkan tarekat Syattariyah di Sumatera Barat, terutama di daerah Pariaman saat ini. Berkat jasa Ulakan, tarekat Syattariyah menjadi salah satu tarekat yang sangat berpengaruh di Sumatera Barat. Da pulau Jawa tarekat ini dikembangkan oleh muridnya bernama Abdul Muhyi dari Paminjahan. Ia belajar dan menetap di Aceh selama beberapa tahun sebelum melanjutkan perjalanannya ke Makkah, ia juga masih singgah di Aceh setelah pulang dari Makkah. Lantas bagaimana dengan di Aceh sendiri? Syattariyah tidak berkembang dengan baik di Aceh. Kita masih belum menemukan jaringan keulamaan tarekat Syattariyah dari silsilah Abdurrauf As-Singkili yang berkembang di Aceh. Banyak sarjana mengatakan hal ini terjadi karena pada masa yang bersamaan banyak ulama Aceh yang datang ke Makakh dan mengambil langsung ijazah tarekat kepada al-Kurani dan al-Qusyaysi di mana Abdurrauf juga mengambilnya. Mereka berkenalan dengan tarekat ini kepada Abdurrauf, namun ketika memiliki kemampuan bergi ke Makkah mereka meminta ijzah langsung dari seorang guru yang ada di sana. Namun saya berpedapat alasan ini terlalu sederhana mengingat ada banyak murid Abdurrauf di Aceh dan tidak semuanya memiliki kesempatan pergi ke Makkah untuk mengambil tarekat kepada al-Kurani dan al-Qusyasyi. Atau dalam bahasa sederhana, sangat mungkin ada banyak murid yang dibai’at oleh Abdurrauf dan kemudian mengembangkan tarekat ini di Aceh, namun kenapa tidak ada satupun jaringan keulamaan tarekat Syattariyah kontemporer yang bersambung silsilahnya kepada Abdurrauf? Saya sendiri masih belum dapat memastikan jawabannya. Namun kalau kita lihat ke belakang, Abdurrauf adalah ulama yang hadir menggantikan Nuruddin Ar-Raniry. Ar- Raniry adalah seorang

5

ulama yang sangat anti dengan paham wahdatul wujud yang dikembangkan dalam tarekat sehingga

ada pembakaran dan pembunuhan pengikut tarekat yang dibawa Syamsuddin as-Sumatrani pada masa ia menjadi Syaikhul Islam. Namun gerakan tarekat muncul kembali pada masa Abdurrauf saat Aceh dibawah kepemimpinan Sultanah selama 59 tahun lamanya. Kekuasaan sultanah tumbang setelah keluar fatwa haram menjadi pemimpin dari Makkah sehingga kepemimpinan perempuan ini harus diakhiri. Ia digantikan oleh rezim Arab yang bergelar Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin yang sudah tua dan menerita encok. Rezim ini kemungkinan adalah rezim yang tidak setuju dengan perkembangan tarekat Syatariyah seperti yang dikembangkan oleh Abdurrauf. Apalagi benih-benih konflik dengan bangsa asing mulai terjadi di Aceh sehingga perkembangan tarekat dan ilmu keislaman yang lain juga melamban, termasuk perkembangan tarekat Syattariyah ini. Dengan argumen ini maka bukanlah hal yang mengherankan kalau tarekat Syattariyah melalui Abdurrauf terhenti dan tidak berkembang lagi di Aceh sehingga tidak ada mazhab tarekat Syattariyah yang ada saat ini memiliki konelsi silsilah kepada Abdurrauf.  Dari gambar di atas nampak kalau jaringan Abdurrauf di Nusantara terdapat di Malaysia, Jawa dan Sumatera. Sedangkan muridnya yang di Aceh hanya tercatat Baba Daud sendiri yang kemudian menurunkan silsilahnya kepada Fakih Jalaluddin.[3]Tarekat Syattariyah yang ada dalam abad XIX dan XX di Aceh sama sekali tidak ada hubungannya dengan Abdurrauf al- Singkili. Setidaknya ada tiga jaringan tarekat Syattariyah saat ini, yakni Tanoh Abe, Samalanga, dan Nagan Raya. Cabang Tanoh Abee di Seulimum Aceh Besar, cabang Samalanga, dan Nagan Raya. Di Tanoh Abee tarekat ini juga tidak bersambung kepada Abdurrauf melainkan langsung kepada al-Qurani dan al-Qusyasyi di Makkah. Abu Dahlan Tanoh Abee (w. 2008) mengabil tarekat ini kepada Syekh Abdul Wahab, mengambil dari Syeikh Muhammad As’sd Tahir, Syeikh Said Thahir, Syeikh Mansur Badiri, Syeikh Ibrahim al- Kurani dan kemudian ke pada Al-Qusyasyi[4]. Artinya keberadaan Tanoh Abee yang menjadi kota central pengembangan ilmu keislaman di Aceh pada masa itu tidak berada di bawah pengaruh Abdurrauf melainkan memiliki koneksi tersendiri ke Makkah sehingga mereka mengambil tarekat ke sana. Sementara Syattariyah yang dikembangkan oleh Abu Kuta Krueng nampaknya memiliki silsilah yang kurang masyhur di kalangan tradisi Sufi. Dalam beberapa publikasi yang dibuat disebutkan bahwa Abu Kuta Krueng mengambil tarekat kepada Abu Hanafiah bi Abbas di Samalanga yang mengambil tarekat kepada Sayyid Ahmad bin Sayid Abubakar Syatta yang berada di Makkah[5]. Dalam buku tersebut disebutkan kalau beliau mengambil tarekat Haddadiyah dan tarekat zikir La Ilaha Illallah dan Qulhuwallahu Ahad, meskipun di cover buku disebut tarekatSyattariyah Zahiriyah. Sepertinya buku ini tidak membedakan antara tarekat Haddadiyah dan tarekat keilmuan atau sanad dalam mempelajari beberapa ilmu tertentu dalam Islam.  Sebab kita lebih mengenal Sayyid Abubakar Syata sebagai

6

 

pengarang kitab I’anah al-Thalibin dibandingkan seorang guru tarekat.

2. Bagaimana pengaruh tarekat syattariyah dikehidupan bermasyarakat aceh?

Hal ini memang masih perlu penelusuran lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana tarekat yang dijalankan di dayah ini. Sementara cabang tarekat Syattariyah di Nagan Raya akan saya jelaskan berikut ini

Tarekat Syattariyah yang berkembang di Nagan Raya saat ini tidak lain adalah salah satu mazhab tarekat Syattariyah yang berkembang di dunia Islam yang lain. Hanya saja modifikasi lokal sepertinya telah dilakukan dalam tarekat ini sehingga  telah memunculkan sebuah model bertarekat yang sangat khas daerah tersebut dengan tetap mempertahankan mazhab dasar tarekat Syattariyah itu sendiri. Kekhasan lokal ini sekilas nampak berbeda dengan pengamalan ajaran Islam dalam pandangan mayoritas umat Islam di Aceh. Perbedaan ini sesungguhnya dapat dimaklumi karena dalam komunitas tarekat memang terdapat banyak model cara berzikir yang tidak dikenal dalam pengamalan ajaran Islam non tarekat. Demikian pula halnya dengan tarekat Syattariyah yang dikembangkan oleh Habib Muda Seunagan. Berikut ini saya akan mencoba menjelaskan tentang genealogi tarekat Syattariyah di Nagan Raya, terutama yang dikembangkan oleh Habib Muda Seunagan sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam perkembangan tarekat ini. 


Latar Belakang Kehidupan Habib Muda Seunagan Habib Muhammad Yeddin bib Habib Muhammad Yasin atau dikenal dengan sebuatan Habib Muda Seunagan lahir di Desa krueng Kulu, Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan Raya. Tidak diketahui kapan persisnya beliuh lahir. Beberapa penulis mengatakan ia lahir pada tahun 1860 mengingat dalam catatan perjalanan sejarah hidupnya ia pernah berhadapan dengan penjajahan Belanda sejak kecil. Namun hal ini sepertinya sulit dipercaya mengingat ia wafat pada tahun 1972 sehingga jika benar demikian akan berusia 112 tahun, usia yang tidak lumrah untuk orang Aceh saat ini.[6]Beberapa penulis mengatakan kalau ia lahir sudah menjelang pergantian abad, sekitar 1981 sehingga ia berusia 91 tahun saat wafat. Memang sulit memastikan tahun berapa ia lahir mengingat dalam beberapa doumen yang dintandatanganinya nampak ia menyebut usia yang berbeda- beda. Misalnya pada sebuah surat jual beli tanah yang ia tanda tangani tahun 1965, beliau menyabut usianya +85 tahun.  Ini berarti ia lahir tahun sekitar 1880. Namun dalam sebuah “Surat Keterangan Pribadi” yang usianya lebih tua yang terbit tahun 1958 ia menyebut usianya 70 tahun yang berarti ia lahir tahun 1888. Dengan fakta ini nampaknya memang tepat kalau ia lahir sekitar tahun tersebut meskipun kita tidak tahu persis tahun berapa. Dengan demikian kita tahu bahwa ia tumbuh dan berkembang pada masa invansi  Belanda di Aceh sedang berkembang dan menyebar ke berbagai daerah. Meulaboh dan Jeuram dalam buku-buku sejarah di Aceh disebutkan sebagai salah satu daerah yang memberikan

7

 

perlawanan keras atas usaha invansi Belanda tersebut. Oleh sebab itu di sana dibuat sebuah bivak Belanda sebagai tempat konsentrasi pasukan jika sewaktu-waktu diperlukan dalam peperangan melawan pasukan. Dipantai Barat sendiri hanya ada tiga buah bivak yang dibuat Belanda, yakni Jeuram, Bakongan, dan Singkil. Habib Muda Seunagan adalah salah seorang masyarakat yang ikut serta dalam gerakan perjuangan melawan penjajahan Belanda tersebut. Sehat Ihsan dkk dalam buku “Abu Habib Muda Seunagan Republiken Sejati dari Aceh” menjelaskan bahwa pada masa itu Habib Muda Seunagan tinggal berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lain hingga akhirnya mentap di Tadu Raya, sebuah hutan yang agak jauh dari jangkauan Belanda. Di sana ia tumbuh dan berkembang sebaai seorang pemuda. Pada saat itu pula ia belajar berbagai ilmu politik dan peperangan kepada orang tuanya. Pelajaran ini bukan hanya melalui lisan saja, namun juga dengan berpartsipasi langsung dalam peperangan gerilya melawan Belanda[7]. Oleh sebab itu setelah orang tuanya wafat pada awal abad XX maka ia memimpin pasukan yang diwarisi oleh orang tuanya yang dinamakan dengan pasukan Kaum Muslimin. Saat itu pula ia mempraktekkan berbagai ilmu politik yang pernah ia palajari sebelumnya dari Teungku Padang Siali, orang tuanya.

Prinsip Ajaran dan Ritual Tarekat Syattariyah di Nagan Raya Seperti sudah disampaikan di atas tarekat Syattariyah berkembang luas di Nagan Raya dan diikuti oleh puluh ribuan jamaah.. [8]Dalam perjalanannya ada berbagai ritual tarekat yang dilaksanakan dan sering dianggap bertentangan dan berbeda dengan amalan  ibadah umat Islam  lainnya terutama yang ada di Aceh. Perbedaan ini sering menimbulkan tuduhan dan pandangan salah kepada tarekat tersebut, bahkan sampai  tuduhan amalan sesat dari ajaran Islam yang sebenarnya. Meskipun tuduhan tersebut sudah berlangsung sangat lama, namun kenyataannya tarekat ini masih hidup dan berkembang hingga saat ini dan menjadi salah satu kelompok agama yang berpengaruh dalam berbagai bidang di Nagan Raya. Berikut ini ajaran yang di anggap bertentangan puasa tumpang, naik haji ke pulau ie, dan zikir hu.

BAB 3

Penutupan

a.Kesimpulan

Dari pembahasan di atas terlihat tarekat Syattariyah di Nagan Raya merupakan salah satu tarekat yang masih eksis dan terus berkembang di dalam masyarakat Aceh. Meskipun dari satu sisi tarekat ini mendapatkan banyak tuduhan dari masyarakat sekitar, namun sering kali tuduhan

8

 

yang disampaikan memiliki argumen yang berbeda dengan penjelasan dan argumen jamaah tarekat sendiri. Beberapa argumen yang menyerang tarekat Syattariyah didasari pada ketidaktahuan masyarakat tentang ritual tarekat secara umum sehingga tuduhan hanya diarahkan kepada tarekat Syattariyah meskipun tarekat yang lain juga melaksanakan hal yang sama. Namun demikian tarekat Syattariyah di Nagan Raya memiliki kekuatan keturunan, budaya dan politik sekaligus yang memungkinkan mereka terus eksis dengan ide-ide keagamaannya.

 

b.Saran

penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun kepada penulis untuk kesempurnaan makalah ini, sekian dari penulis. Wasalamua’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

DAFTAR PUSTAKA

A.H. Johns, “Sufism as a Category in Indonesia Literature and History”, dalam Journal of South East Asian History, 2, II, (1961).

Abdul Aziz Dahlan, “Tasawuf Syamsuddin Sumatrani,” Disertasi, Jakarta: PPS IAIN Syarif Hidayatullah, 1992.

Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Pandangan Nuruddin ar-Raniry,  Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

  Al-Mukarram Teungku ‘Usman bin Ali Haji Kuta Krueng, Dayah Darul Munawwarah Kuta Krueng Ulee Glee, Ulee Glee: LPI Darul Munawwarah, t.t. hal. 10.

 Amirul Hadi, Islam and State in Sumatera; a study of seventeenth-century Aceh, Leiden: Brill, 2004. Azyumardi Azra, Jaringan Islam Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad  XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam di Indonesia, edisi revisi, Jakarta: Kencana, 2004.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara-Timur Tengah Abad XVI-XVII, Bandung: Mizan, 1997

Fakhriati, “Refleksi Pengamalan Tasawuf di Aceh pada Abad ke-19M dalam Kitab Dia’ul Wara’,” dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 2, 2014

John F McCarthy,. “The Demonstration Effect: Natural Resources, Ethnonationalism, and the Aceh Conflict.”  Singapore Journal of Tropical Geography 28:3 (November 2007

Muhajir al Fairusyi, Hetrospeksi Budaya Hemispheric Islam di Zawiyah Tanoh Abee, Banda Aceh: Pustawa Larasan, 2014.

9

 

 

Sehat Ihsan Shadiqin dkk, Habib Muda Seunagan, Republiken Sejati dari Aceh, Banda Aceh: Bandar Publisihing, 2016.

Takeshi Ito, “Why did Nuruddin Ar-Raniry leave Aceh in 1054 H?” Bijdragen tot Tall-, Land en Volkenkunde (BKD), 1987. Werner Kraus, “The Shattariyya Sufi Brotherhood in Aceh”, in Arndt Graf et all (ed), Aceh History, Politics and Culture, Singapore: Iseas, 2010.  “Bupati Abdya stop kegiatan empat aliran diduga sesat”, Serambi Indonesia, 14 Januari 2016.  “Daftar aliran di Aceh” Serambi Indonesia, 05 Februari 2016.

10



[1] Azyumardi Azra,Jaringan Ulama Nusantara-timur tengah Abad XVI-XVII, Bandung Mirzan,1997.

[2] Takeshi Ito,”wwhy did Nurrudin Ar-raniry leave Aceh in 1054H?Biijdragen tot Tall-land en volkenkunde (BKD), 1987 hal 34.

 

[3] Gambar dari penjelasan diadopsi dai Oman Faturrahman, syattariyah silsilah, in Aceh,Javaand tthe lanao area of mindanao,Tokyo: Research Institute for Language and cultures of Asia and Africa (ILCAA),2016,hal.117.

[4]  Muhajir al fairusyi,Herospeksi Budaya Hemisperich islam Zawiyah Tanoh Abee, Banda Aceh: Pustawa larasan,2014,hal.113.

[5] Lihat al-mukarram teungku ‘usman bin ali haji kuta krueng, dayah darul muanawwarah, kuta krueng, ulee glee: LPI darul munawarah,t.t.hal.10.

[6] Beberapa pengikut tarekat ini menyakini kalau Habib Muda Seunagan wafat dalam usia 150 tahun. Jika ini menjadi patokaan maaka berarti ahirnya pada tahun 1822.hal ini nampak mustahil jika dilihat dari aceh kontemporer.

[7] Sehat ihsan shadiqin dkk, Habib Muda Seunagan, republiken sejati dari Aceh, Banda Aceh: Bandar publishing,2016.

[8] Fakhriati,”refleksi pengalaman tsawuf di Aceh pada abad ke-19m dalam kitab Dia’ul wara”dalam jurnal lekture keagamaan,vol.12.no.2,2014:319-344.

0 komentar:

Post a Comment