PUTRI ANANDA SUBARJA
BAB II
PEMBAHASAN
Kata ‘Tarekat” berasal dari kata Arab Tariqah, yang secara harfiah berarti jalan.Sedangkan secara estimologis berarti jalan, cara, metode, sistem, dan lain-lain. Sedangkan secara praktis tarekat dapat dipahami sebagai sebuah pengalaman keagamaan yang bersifat esoterik
3
(mementingkan dimensi dalam), yang dilakukan oleh orang-orang
Islam dengan menggunakan amalanyang berbentuk wirid atau dzikir.Selanjutnya
istilah tarekat lebih banyak digunakan para ahli tasawuf. Mustafa Zahri dalam
hal ini mengatakan bahwa tarekat adalah jalan atau petunjuk dalam melakukan
sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dicontohkan Nabi Muhammad dan
dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya, tabi’in dan tabi’in turun-temurun sampai
kepada guru-guru secara berantai sampai pada masa kita ini. Dalam pada itu
Harun Nasution mengatakan tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang sufi
dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan.
1.Bagaimana sejarah masuk dan berkembangnya tarekat di Aceh?
perkembangan tasawuf dalam wujud tarekat di Aceh kontemporer,
khususnya Tarekat Syattariyah. Tarekat ini memiliki dasar yang kuat dalam
sejarah Islam di Aceh.Seorang ulama besar Aceh, Abdurrauf As-Singkili adalah
tokoh yang menyebarkan tarekat ini di Nusantara. Salah satu pusat perkembangan
Tarekat Syattariyah di Aceh kontemporer adalah Nagan Raya dengan tokoh utamanya
Habib Muda Seunagan. Beliau menjadikan tarekat ini berkembang pesat dengan
membentuk sebuah formula khusus yang sangat khas dengan budaya setempat. Peran
ini nampak jelas dengan istilah “bergabung di bawah payung Habib” bagi
jamaahnya. Namun demikian, perkembangan baru Tarekat tersebut juga menimbulkan
beberapa tuduhan terhadap prakteknya dianggap bertentangan dengan ajaran Islam
secara umum. Tidak jarang tarekat ini dituduh sebagai ajaran sesat dan
bertentangan dengan Islam, dengan sebutan “salek buta”. Saya melakukan
observasi lapangan, menggelar sejumlah wawancara dan mendapatkan berbagai
dokumen yang terkait dengan penelitian. Saya berkesimpulan bahwa Tarekat
Syattariyah di Nagan Raya telah berkembang dengan apa yang mereka yakini dan
amalkan. Bagi jamaah tarekat Syattariyah tuduhan kepada tarekat ini dianggap
tidak sesuai dengan kenyataan dan tidak mewakili apa yang mereka pikirkan.
Tarekat Syattariyah dapat eksis karena adanya dukungan yang kuat dari jaringan
keluarga, peran yang besar dalam pembentukan masyarakat adat, dan peran politik
di pemerintahan yang dimainkan oleh elitnya.
Tarekat Syattariyah di Aceh
Tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang paling populer di Aceh,
terutama pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah pimpinan
Ratu/Sultanah. Hal ini tidak lain karena pengaruh dari seorang ulama besar asal
Singkil yang bernama Abdurrauf As- Singkili. Beliau menghabiskan masa 19 tahun
di Jazirah Arab untuk belajar berbagai macam ilmu agama Islam, terutama hukum
Islam dan tasawuf. Ia berangkat dari Aceh ke Arabia sekitar tahun 1642 M/1042 H
dan menghabiskan waktu 19 tahun di sana untuk beljaar aneka macam ilmu
keislaman. Di Madinah, Abdurrauf belajar kepada Ahmad al- Qushashi sampai sang
guru meninggal dunia pada tahun 1071 H/1660 M, dan juga kepada khalifah dari
al-Qusyasyi yakni Ibrahim al-Kurani. Dari al-Qushashi ia belajar ilmu-ilmu
tasawuf dan ilmu yang terkait lainnya. Sebagai tanda selesainya dari
pelajarannya dalam ilmu mistis, al-Qushashi menunjuknya sebagai khalifah dalam
tarekat Syattariyah dan tarekat Qadiriyah. Perjalannya ke Arab memang tercatat
dengan baik.
4
Dalam catatannya ia mengatakan telah mengunjungi berbagai negeri
dan me njumpai banyak sekali ulama untuk
belajar ilmu agama. Setelah sekian lama ia juga menghabiskan waktu untuk
mengajarkan ilmu agama Islam dalam berbagai kesempatan. Namun dari sekian
banyak gurunya di sana ada dua orang gurunya yang paling berpengaruh dalam
berbagai ilmu keislaman, yakni Al- Kurani dan al-Qusyasyi. Dari dua orang guru
ini pula beliau mendapatkan ijazah beraneka ragam ilmu tarekat kepadanya,
seperti Qadiriyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, dan tentu saja tarekat
Syattariyah. Namun diantara sekian
banyak tarekat yang diterima dari gurunya, Abdurrauf nampaknya hanya
mengembangkan satu tarekat saja di Aceh, yakni tarekat Syattariyah.[1] pulang ke Aceh, beliau langsung menjadi orang
penting di kerajaan Aceh Darussalam. Saat ia pulang kerajaan masih belum
memiliki seorang pengganti Nuruddin Ar-Raniry yang telah kembali ke India
karena kalah debat dengan Saiful Rijal dalam pembahasan wahdatul wujud.[2] Mereka menghabiskan
beberapa tahun di Aceh, belajar agama, menulis buku, lalu kembali ke daerahnya
untuk mengajarkan agama Islam yang sudah dikuasainya. Sejauh catatan para
sarjana hingga saat ini ada beberapa orang ulama yang belajar pada Abdurrauf
dan kemudian menjadi ulama di daerah mereka. Antara lain Syaikh Burhanuddin
Ulakan yang mengembangkan tarekat Syattariyah di Sumatera Barat, terutama di
daerah Pariaman saat ini. Berkat jasa Ulakan, tarekat Syattariyah menjadi salah
satu tarekat yang sangat berpengaruh di Sumatera Barat. Da pulau Jawa tarekat
ini dikembangkan oleh muridnya bernama Abdul Muhyi dari Paminjahan. Ia belajar dan
menetap di Aceh selama beberapa tahun sebelum melanjutkan perjalanannya ke
Makkah, ia juga masih singgah di Aceh setelah pulang dari Makkah. Lantas
bagaimana dengan di Aceh sendiri? Syattariyah tidak berkembang dengan baik di
Aceh. Kita masih belum menemukan jaringan keulamaan tarekat Syattariyah dari
silsilah Abdurrauf As-Singkili yang berkembang di Aceh. Banyak sarjana
mengatakan hal ini terjadi karena pada masa yang bersamaan banyak ulama Aceh
yang datang ke Makakh dan mengambil langsung ijazah tarekat kepada al-Kurani
dan al-Qusyaysi di mana Abdurrauf juga mengambilnya. Mereka berkenalan dengan
tarekat ini kepada Abdurrauf, namun ketika memiliki kemampuan bergi ke Makkah
mereka meminta ijzah langsung dari seorang guru yang ada di sana. Namun saya
berpedapat alasan ini terlalu sederhana mengingat ada banyak murid Abdurrauf di
Aceh dan tidak semuanya memiliki kesempatan pergi ke Makkah untuk mengambil
tarekat kepada al-Kurani dan al-Qusyasyi. Atau dalam bahasa sederhana, sangat
mungkin ada banyak murid yang dibai’at oleh Abdurrauf dan kemudian
mengembangkan tarekat ini di Aceh, namun kenapa tidak ada satupun jaringan
keulamaan tarekat Syattariyah kontemporer yang bersambung silsilahnya kepada
Abdurrauf? Saya sendiri masih belum dapat memastikan jawabannya. Namun kalau
kita lihat ke belakang, Abdurrauf adalah ulama yang hadir menggantikan Nuruddin
Ar-Raniry. Ar- Raniry adalah seorang
5
ulama yang sangat anti dengan paham wahdatul wujud yang
dikembangkan dalam tarekat sehingga
ada pembakaran dan pembunuhan pengikut tarekat yang dibawa
Syamsuddin as-Sumatrani pada masa ia menjadi Syaikhul Islam. Namun gerakan
tarekat muncul kembali pada masa Abdurrauf saat Aceh dibawah kepemimpinan
Sultanah selama 59 tahun lamanya. Kekuasaan sultanah tumbang setelah keluar fatwa
haram menjadi pemimpin dari Makkah sehingga kepemimpinan perempuan ini harus
diakhiri. Ia digantikan oleh rezim Arab yang bergelar Sultan Badrul Alam Syarif
Hasyim Jamaluddin yang sudah tua dan menerita encok. Rezim ini kemungkinan
adalah rezim yang tidak setuju dengan perkembangan tarekat Syatariyah seperti
yang dikembangkan oleh Abdurrauf. Apalagi benih-benih konflik dengan bangsa
asing mulai terjadi di Aceh sehingga perkembangan tarekat dan ilmu keislaman
yang lain juga melamban, termasuk perkembangan tarekat Syattariyah ini. Dengan
argumen ini maka bukanlah hal yang mengherankan kalau tarekat Syattariyah
melalui Abdurrauf terhenti dan tidak berkembang lagi di Aceh sehingga tidak ada
mazhab tarekat Syattariyah yang ada saat ini memiliki konelsi silsilah kepada
Abdurrauf. Dari gambar di atas nampak
kalau jaringan Abdurrauf di Nusantara terdapat di Malaysia, Jawa dan Sumatera.
Sedangkan muridnya yang di Aceh hanya tercatat Baba Daud sendiri yang kemudian
menurunkan silsilahnya kepada Fakih Jalaluddin.[3]Tarekat Syattariyah yang
ada dalam abad XIX dan XX di Aceh sama sekali tidak ada hubungannya dengan
Abdurrauf al- Singkili. Setidaknya ada tiga jaringan tarekat Syattariyah saat
ini, yakni Tanoh Abe, Samalanga, dan Nagan Raya. Cabang Tanoh Abee di Seulimum Aceh
Besar, cabang Samalanga, dan Nagan Raya. Di Tanoh Abee tarekat ini juga tidak
bersambung kepada Abdurrauf melainkan langsung kepada al-Qurani dan al-Qusyasyi
di Makkah. Abu Dahlan Tanoh Abee (w. 2008) mengabil tarekat ini kepada Syekh
Abdul Wahab, mengambil dari Syeikh Muhammad As’sd Tahir, Syeikh Said Thahir,
Syeikh Mansur Badiri, Syeikh Ibrahim al- Kurani dan kemudian ke pada
Al-Qusyasyi[4].
Artinya keberadaan Tanoh Abee yang menjadi kota central pengembangan ilmu
keislaman di Aceh pada masa itu tidak berada di bawah pengaruh Abdurrauf
melainkan memiliki koneksi tersendiri ke Makkah sehingga mereka mengambil
tarekat ke sana. Sementara Syattariyah yang dikembangkan oleh Abu Kuta Krueng
nampaknya memiliki silsilah yang kurang masyhur di kalangan tradisi Sufi. Dalam
beberapa publikasi yang dibuat disebutkan bahwa Abu Kuta Krueng mengambil
tarekat kepada Abu Hanafiah bi Abbas di Samalanga yang mengambil tarekat kepada
Sayyid Ahmad bin Sayid Abubakar Syatta yang berada di Makkah[5]. Dalam buku tersebut
disebutkan kalau beliau mengambil tarekat Haddadiyah dan tarekat zikir La Ilaha
Illallah dan Qulhuwallahu Ahad, meskipun di cover buku disebut
tarekatSyattariyah Zahiriyah. Sepertinya buku ini tidak membedakan antara
tarekat Haddadiyah dan tarekat keilmuan atau sanad dalam mempelajari beberapa
ilmu tertentu dalam Islam. Sebab kita
lebih mengenal Sayyid Abubakar Syata sebagai
6
pengarang kitab I’anah al-Thalibin dibandingkan seorang guru
tarekat.
2. Bagaimana pengaruh tarekat
syattariyah dikehidupan bermasyarakat aceh?
Hal ini memang masih perlu penelusuran lebih lanjut untuk
mengetahui bagaimana tarekat yang dijalankan di dayah ini. Sementara cabang
tarekat Syattariyah di Nagan Raya akan saya jelaskan berikut ini
Tarekat Syattariyah yang berkembang di Nagan Raya saat ini tidak
lain adalah salah satu mazhab tarekat Syattariyah yang berkembang di dunia
Islam yang lain. Hanya saja modifikasi lokal sepertinya telah dilakukan dalam
tarekat ini sehingga telah memunculkan
sebuah model bertarekat yang sangat khas daerah tersebut dengan tetap
mempertahankan mazhab dasar tarekat Syattariyah itu sendiri. Kekhasan lokal ini
sekilas nampak berbeda dengan pengamalan ajaran Islam dalam pandangan mayoritas
umat Islam di Aceh. Perbedaan ini sesungguhnya dapat dimaklumi karena dalam
komunitas tarekat memang terdapat banyak model cara berzikir yang tidak dikenal
dalam pengamalan ajaran Islam non tarekat. Demikian pula halnya dengan tarekat
Syattariyah yang dikembangkan oleh Habib Muda Seunagan. Berikut ini saya akan
mencoba menjelaskan tentang genealogi tarekat Syattariyah di Nagan Raya,
terutama yang dikembangkan oleh Habib Muda Seunagan sebagai tokoh yang paling
berpengaruh dalam perkembangan tarekat ini.
Latar Belakang Kehidupan Habib Muda
Seunagan Habib
Muhammad Yeddin bib Habib Muhammad Yasin atau dikenal dengan sebuatan Habib
Muda Seunagan lahir di Desa krueng Kulu, Kecamatan Seunagan, Kabupaten Nagan
Raya. Tidak diketahui kapan persisnya beliuh lahir. Beberapa penulis mengatakan
ia lahir pada tahun 1860 mengingat dalam catatan perjalanan sejarah hidupnya ia
pernah berhadapan dengan penjajahan Belanda sejak kecil. Namun hal ini
sepertinya sulit dipercaya mengingat ia wafat pada tahun 1972 sehingga jika
benar demikian akan berusia 112 tahun, usia yang tidak lumrah untuk orang Aceh
saat ini.[6]Beberapa penulis mengatakan
kalau ia lahir sudah menjelang pergantian abad, sekitar 1981 sehingga ia
berusia 91 tahun saat wafat. Memang sulit memastikan tahun berapa ia lahir
mengingat dalam beberapa doumen yang dintandatanganinya nampak ia menyebut usia
yang berbeda- beda. Misalnya pada sebuah surat jual beli tanah yang ia tanda
tangani tahun 1965, beliau menyabut usianya +85 tahun. Ini berarti ia lahir tahun sekitar 1880.
Namun dalam sebuah “Surat Keterangan Pribadi” yang usianya lebih tua yang
terbit tahun 1958 ia menyebut usianya 70 tahun yang berarti ia lahir tahun
1888. Dengan fakta ini nampaknya memang tepat kalau ia lahir sekitar tahun
tersebut meskipun kita tidak tahu persis tahun berapa. Dengan demikian kita
tahu bahwa ia tumbuh dan berkembang pada masa invansi Belanda di Aceh sedang berkembang dan
menyebar ke berbagai daerah. Meulaboh dan Jeuram dalam buku-buku sejarah di
Aceh disebutkan sebagai salah satu daerah yang memberikan
7
perlawanan keras atas usaha invansi Belanda tersebut. Oleh sebab
itu di sana dibuat sebuah bivak Belanda sebagai tempat konsentrasi pasukan jika
sewaktu-waktu diperlukan dalam peperangan melawan pasukan. Dipantai Barat
sendiri hanya ada tiga buah bivak yang dibuat Belanda, yakni Jeuram, Bakongan, dan
Singkil. Habib Muda Seunagan adalah salah seorang masyarakat yang ikut serta
dalam gerakan perjuangan melawan penjajahan Belanda tersebut. Sehat Ihsan dkk
dalam buku “Abu Habib Muda Seunagan Republiken Sejati dari Aceh” menjelaskan
bahwa pada masa itu Habib Muda Seunagan tinggal berpindah-pindah dari satu
kampung ke kampung lain hingga akhirnya mentap di Tadu Raya, sebuah hutan yang
agak jauh dari jangkauan Belanda. Di sana ia tumbuh dan berkembang sebaai
seorang pemuda. Pada saat itu pula ia belajar berbagai ilmu politik dan
peperangan kepada orang tuanya. Pelajaran ini bukan hanya melalui lisan saja,
namun juga dengan berpartsipasi langsung dalam peperangan gerilya melawan
Belanda[7]. Oleh sebab itu setelah
orang tuanya wafat pada awal abad XX maka ia memimpin pasukan yang diwarisi
oleh orang tuanya yang dinamakan dengan pasukan Kaum Muslimin. Saat itu pula ia
mempraktekkan berbagai ilmu politik yang pernah ia palajari sebelumnya dari
Teungku Padang Siali, orang tuanya.
Prinsip Ajaran dan Ritual Tarekat Syattariyah
di Nagan Raya Seperti
sudah disampaikan di atas tarekat Syattariyah berkembang luas di Nagan Raya dan
diikuti oleh puluh ribuan jamaah.. [8]Dalam perjalanannya ada
berbagai ritual tarekat yang dilaksanakan dan sering dianggap bertentangan dan
berbeda dengan amalan ibadah umat
Islam lainnya terutama yang ada di Aceh.
Perbedaan ini sering menimbulkan tuduhan dan pandangan salah kepada tarekat
tersebut, bahkan sampai tuduhan amalan
sesat dari ajaran Islam yang sebenarnya. Meskipun tuduhan tersebut sudah
berlangsung sangat lama, namun kenyataannya tarekat ini masih hidup dan
berkembang hingga saat ini dan menjadi salah satu kelompok agama yang
berpengaruh dalam berbagai bidang di Nagan Raya. Berikut ini ajaran yang di
anggap bertentangan puasa tumpang, naik haji ke pulau ie, dan zikir hu.
BAB
3
Penutupan
a.Kesimpulan
Dari pembahasan di atas terlihat tarekat Syattariyah di Nagan Raya
merupakan salah satu tarekat yang masih eksis dan terus berkembang di dalam
masyarakat Aceh. Meskipun dari satu sisi tarekat ini mendapatkan banyak tuduhan
dari masyarakat sekitar, namun sering kali tuduhan
8
yang disampaikan memiliki argumen yang berbeda dengan penjelasan
dan argumen jamaah tarekat sendiri. Beberapa argumen yang menyerang tarekat
Syattariyah didasari pada ketidaktahuan masyarakat tentang ritual tarekat
secara umum sehingga tuduhan hanya diarahkan kepada tarekat Syattariyah
meskipun tarekat yang lain juga melaksanakan hal yang sama. Namun demikian
tarekat Syattariyah di Nagan Raya memiliki kekuatan keturunan, budaya dan
politik sekaligus yang memungkinkan mereka terus eksis dengan ide-ide
keagamaannya.
b.Saran
penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun kepada
penulis untuk kesempurnaan makalah ini, sekian dari penulis. Wasalamua’alaikum
warrahmatullahi wabarakatuh.
DAFTAR
PUSTAKA
A.H. Johns, “Sufism as a Category in Indonesia Literature and
History”, dalam Journal of South East Asian History, 2, II, (1961).
Abdul Aziz Dahlan, “Tasawuf Syamsuddin Sumatrani,” Disertasi,
Jakarta: PPS IAIN Syarif Hidayatullah, 1992.
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Pandangan Nuruddin
ar-Raniry, Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
Al-Mukarram Teungku ‘Usman
bin Ali Haji Kuta Krueng, Dayah Darul Munawwarah Kuta Krueng Ulee Glee, Ulee
Glee: LPI Darul Munawwarah, t.t. hal. 10.
Amirul Hadi, Islam and State in Sumatera; a study of seventeenth-century Aceh, Leiden: Brill, 2004. Azyumardi Azra, Jaringan Islam Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam di Indonesia, edisi revisi, Jakarta: Kencana, 2004.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara-Timur Tengah Abad
XVI-XVII, Bandung: Mizan, 1997
Fakhriati, “Refleksi Pengamalan Tasawuf di Aceh pada Abad ke-19M
dalam Kitab Dia’ul Wara’,” dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 2, 2014
John F McCarthy,. “The Demonstration Effect: Natural Resources,
Ethnonationalism, and the Aceh Conflict.”
Singapore Journal of Tropical Geography 28:3 (November 2007
Muhajir al Fairusyi, Hetrospeksi Budaya Hemispheric Islam di
Zawiyah Tanoh Abee, Banda Aceh: Pustawa Larasan, 2014.
9
Sehat Ihsan Shadiqin dkk, Habib Muda Seunagan, Republiken Sejati
dari Aceh, Banda Aceh: Bandar Publisihing, 2016.
Takeshi Ito, “Why did Nuruddin Ar-Raniry leave Aceh in 1054 H?”
Bijdragen tot Tall-, Land en Volkenkunde (BKD), 1987. Werner Kraus, “The
Shattariyya Sufi Brotherhood in Aceh”, in Arndt Graf et all (ed), Aceh History,
Politics and Culture, Singapore: Iseas, 2010.
“Bupati Abdya stop kegiatan empat aliran diduga sesat”, Serambi
Indonesia, 14 Januari 2016. “Daftar
aliran di Aceh” Serambi Indonesia, 05 Februari 2016.
10
[1] Azyumardi Azra,Jaringan Ulama Nusantara-timur tengah Abad XVI-XVII, Bandung Mirzan,1997.
[2] Takeshi Ito,”wwhy did Nurrudin Ar-raniry leave Aceh in 1054H?Biijdragen tot Tall-land en volkenkunde (BKD), 1987 hal 34.
[3] Gambar dari penjelasan diadopsi dai Oman Faturrahman, syattariyah silsilah, in Aceh,Javaand tthe lanao area of mindanao,Tokyo: Research Institute for Language and cultures of Asia and Africa (ILCAA),2016,hal.117.
[4] Muhajir al fairusyi,Herospeksi Budaya Hemisperich islam Zawiyah Tanoh Abee, Banda Aceh: Pustawa larasan,2014,hal.113.
[5] Lihat al-mukarram teungku ‘usman bin ali haji kuta krueng, dayah darul muanawwarah, kuta krueng, ulee glee: LPI darul munawarah,t.t.hal.10.
[6] Beberapa pengikut tarekat ini menyakini kalau Habib Muda Seunagan wafat dalam usia 150 tahun. Jika ini menjadi patokaan maaka berarti ahirnya pada tahun 1822.hal ini nampak mustahil jika dilihat dari aceh kontemporer.
[7] Sehat ihsan shadiqin dkk, Habib Muda Seunagan, republiken sejati dari Aceh, Banda Aceh: Bandar publishing,2016.
[8] Fakhriati,”refleksi pengalaman tsawuf di Aceh pada abad ke-19m dalam kitab Dia’ul wara”dalam jurnal lekture keagamaan,vol.12.no.2,2014:319-344.
0 komentar:
Post a Comment