Tuesday, March 31, 2020

Mereka Lebih Mulia Dariku ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ



Jika melihat orang jahil dan orang fasiq, maka katakan pada diri kita bahwa orang itu berbuat dosa dengan jahilnya sedangkan aku berbuat dosa dengan ilmuku, maka terlebih murka kepadaku dan tentunya mereka lebih baik dariku๐Ÿ˜ญ

Jika melihat kanak², maka katakan pada diri kita bahwa mereka berbuat dosa tidak disiksa, sedangkan aku berbuat dosa dan disiksa, maka anak² lebih baik dari diriku ๐Ÿ˜ญ

Jikalau melihat orang 'alim, katakan pada diri kita bahwa mereka lebih 'alim dari diriku, sedangkan ilmuku sangat sedikit, tentunya mereka lebih mulia dari diriku ๐Ÿ˜ญ

Jika melihat orang tua, katakan pada diri kita bahwa lebih lama hidup, amal ibadah mereka lebih banyak, sedangkan amal ibadahku masih sangat kurang, maka mereka lebih mulia dari diriku ๐Ÿ˜ญ

Jika melihat binatang, katakan pada diri kita bahwa apapun yang dilakukan oleh binatang mereka tidak pernah berdosa dan tiada disiksa, sedangkan aku penuh dosa dan siksa, tentunya binatang itu lebih mulia dari diriku ๐Ÿ˜ญ

Lihatlah pada diri kita, sungguh kita tiada mempunyai kemuliaan satu zarrah pun, diri ini terlebih hina, bodoh dan bebal dari orang lain.

Monday, March 30, 2020

Muhasabah ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ๐Ÿ˜ญ



"Heran Aku akan hamba Ku, ingat akan hartanya tiada ingat akan Aku yang memberi rizki, tiada syukur akan nikmat Ku, bakhil tanganya tiada bersedekah kepada faqir miskin, disangka harta itu didapatkan dengan usaha dan ikhtiarnya, ialah sejahil² hamba Ku, tiada ilmu sedikitpun jua", (hadits Qudsi).

"Heran Aku akan hamba Ku yang bersungguh² mencari harta sehingga meninggalkan kampung halaman dan anak istrinya, pergi berdagang ke negri orang sehingga tidak sempat menuntut ilmu yang memberi manfaat, mencari harta yang tiada menolong pada kemudian hari.

Aku tiada menyuruh mencari harta dengan bersungguh², hanya Aku suruh bersungguh² menuntut ilmu dan mengerjakan amalan  akan bekal didalam akhirat, seolah²nya tiada percaya akan hari kemudian, tiada percaya Aku yang memerintah dunia dan akhirat, adakah harta itu menolong pada hari kemudian?, Hanya harta banyak itu menyakiti pada hari kemudian, halalnya harta akan dihisab dan haramnya harta akan di azab", (hadits Qudsi).

"Aku dahulukan orang fakir masuk syurga daripada orang kaya lima ratus tahun".

"Heran Aku akan hambaku meninggalkan menuntut ilmu sebagai bekal didalam akhirat dengan sebab mencari harya yang tiada menolong pada kemudian hari, ialah hamba Ku tiada punya pikiran satu zarrah jua, tiada akal sejengkal jua, ditinggalkan yang kekal dikerjakan barang yang tiada kekal, hanya Aku haruskan mencari harta hingga sekedar memada ia.

Heran Aku akan hambaku yang suka riya dengan dapat harta dan dapat kemuliaan dunia dengan kemegahan, adakah dia tahu dengan Daku  dengan dia Aku suka dengan dia dapat harta dan dapat kemuliaan dunia, tiada dia dengar firman Ku dalam Quran:
ูˆู…ุง ุฎู„ู‚ุช ุงู„ุฌู† ูˆุงู„ุงู†ุณ ุงู„ุง ู„ูŠุนุจุฏูˆู†
"Dan tiada aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk menyembah Ku"


Tiada Aku jadikan mereka untuk mencari harta dan kemulian dunia serta kemegahannya, hanya Aku jadikan dunia ini sebagai tempat mencari bekal untuk akhirat.

Sabda Nabi Saw:
ุงู„ู†ุงุณ ู†ูˆู… ุงุฐุง ู…ุงุช ุชู†ุจู‡
"Manusia itu tidur, apabila ia matini niscaya jaga ia"


Barulah tau maka datang sesal tiada berguna, hendak kembali kepada dunia tapi tidak akan kembali lagi hendak berbuat amal shalih.

Hai yang berakal, pikirkan olehmu jangan seperti binatang yang tiada pikir hidup akan mati.

Heran Aku akan hamba Ku menghimpunkan akan harta hendak tinggalkan kepada anaknya, tiada percaya akan Daku yang menjadikan anaknya, Aku takdirkan rizkinya itu pada azali yang tiada tertukar dan tiada bertambah sebab usaha dan tiada kurang sebab tiada dicari, hanya wajib adanya.

Heran Aku akan hamba Ku yang banyak suka dapat kemegahan dan suka mwngikuti pakaian orang kafir dan perangainya.

Sabda Nabi Saw:
ุงู„ุฏู†ูŠุง ุณุญู† ุงู„ู…ุคู…ู†ูŠู† ูˆุฌู†ุฉ ุงู„ูƒุงูุฑูŠู†
"Dunia itu penjara bagi mukmin dan syurga bagi kafir"


(Syeh Muhammad Shalih ~ Kasyful Asrar, h. 40)

Puasa Orang Syariat, Tharikat dan Ma'rifah

Pada dasarnya puasa itu sama, yaitu menahan diri dari sesuatu yang dapat membukakan puasa dari keluar fajar sampai dengan tenggelam matahari dengan syarat-syarat yang khusus.

Namun, dalam hal melaksanakan puasa tersebut terjadi perbedaan tingkat i'tikad dan keikhlasan hati.

Maka dalam melaksanakan puasa tersebut terdapat 3 macam i'tiqat orang yang berpuasa, yaitu orang syariat (mubtadi), tarekat (mutawasit) dan hakikat (muntaha).

Puasa orang mubtadi
Puasa orang mubtadi yaitu menahani dirinya dari sesuatu yang membatalkan puasa dengan syarat yang khusus, yaitu berniat pada malam hari, tidak makan, minum, jimak, dll).

Puasa orang mutawasit
Puasa orang mutawasit yaitu selain menahan dari pada segala sesuatu yang membatalkan puasa juga menahan segala anggotanya yang tujuh daripada mengerjakan sesuatu yang haram, menahan matanya daripada memandang yang haram, menahan lidahnya daripada mengatakan sesuatu yang haram, menahan tangannya daripada melakukan sesuatu yang haram, menahan kakinya dari pada berjalan ketempat yang haram, menahan kemaluannya daripada yang haram.

Puasa orang  muntaha
Puasa orang muntaha selain menahan daripada segala sesuatu yang membatalkan puasa juga memelihara hatinya daripada mencita-citakan kemuliaan dunia dan menahan hatinya untuk tidak mengingat selain Allah Swt.

(Syeh Muhammad Shalih ~ Kasyful Asrar, h. 37)

Shalat Orang Syariat, Tharikat dan Ma'rifat

Beberapa hari yang lalu ada pertanyaan tentang shalat hakikat, baik, saya luruskan pertanyaan dulu, bukan shalat hakikat tapi shalat orang hakikat.

Sebelum menjelaskan teng shalat orang hakikat saya akan menjelaskan bahwa kaifiat shalat itu sama, apakah itu shalat orang syariat, tarikat dan hakikat dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam dengan syarat dan rukun yang dikhususkan.

Kalau shalatnya sama secara kaifiyat, apa juga perbedaannya? Perbedaannya adalah tentang cara pandang diri dan hatinya, bukan cara melakukan shalat yang beda.

Cara pandang diri dan hatinya

1) Shalat orang syariat itu yaitu orang memandang dari padanya kepada Allah Swt swrta suci dari pada riya dan sum'ah, semata² karena harap dapat fahala dan takut akan azab, serta mengetahui segala syarat, rukunnya dan mengetahui dan mengetahui segala yang membatalkan shalat.

2) Shalat orang tarekat, yaitu itikadnya hadhir Allah Swt pada hadapannya, melihat segala perbuatan shalatnya, mendengar segala bacaannya, maka ia sangat khusyu' dan tadharu'nya, karena Allah Swt hadhir pada hadapannya, ia suci dari pada riya dan sum'ah, ia melaksanakan shalat bukan karena harap fahala dan bukan karena takut akan siksa, ia melakukan shalat hanya memandang dirinya sebagai hamba yang senantiasa mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan, ia mengerjakan amalnya dari pada sekedar hadhir hatinya kepada Allah Swt, dalam shalat ia memandang dari pada Allah kepadanya.

3) Shalatborang hakikat, yaitu ia tiada memandang bagi dirinya amalannya, hanya memandang perbuatan Allah Swt yang berlaku pada dirinya yang ditaqdirkan pada azli sebelum dijadikan dia, hanya memandang bagi dirinya jadi alat seperti pena pada orang yang menulis.Maha Suci Allah Swt dari pada alat.

Hanya dipandangnya segala amalnya minallah, billahi dan lillahi, dari pada Allah, bagi Allah dan untuk Allah.

Maka inilah perbedaan itikad shalat orang syariat, tarikat dan hakikat.

(Muhammad Shalih ~ Kasyful Asrar, h. 36-37)

Yang Di Nafikan dan Diisbatkan Dari Kalimat ู„ุง ุงู„ู‡ ุงู„ุง ุงู„ู„ู‡

Dalam menafikan pada kalimat ู„ุง ุงู„ู‡ ุงู„ุง ุงู„ู„ู‡ memiliki 3 martabat. 1) nafi martabat mubtadi, 2) nafi maryabat mutawasit, 3) nafi martabat muntaha.

Nafi martabat mubtadi
Nafi martabat orang mubtadi yaitu menafikan yang bersifat ketuhanan yang lain dari pada Allah Swt.

Maka nafi ini nyata batalnya karena menafikan barang yang tiada yang mustahil wujudnya, yang tiada itu sungguh tiada berkehendak kepada nafinya, karena sudah nafi sedia jadi menghasilkan hasil, jadi tiada faedah nafinya.

Sebagian ulama mengatakan yang dinafikan adalah tuhan yang difardhukan atau ditakdirkan.a Nafi ini sangat batalnya.

Jikalau ada akalnya seberat zaarah jua pun, karena mafhum takdir itu berdiri pada tempat yang maujud, sedangkan yang maujud itu tiada menerima nafi.

Jikalau tiada sekali-kali tihan takdir itu niscaya tiada berkehendak kepada nafi, karena sudah nafi sedia jadi menghasilkan hasil.

Jadi tiada faedah nafinya lagi tiada faedah mengatakan kalimat yang mulia itu, karena yang dimaksud isinya tiada kulitnya.

Dan lagi pada nafi ini pada mafhumnya bercerai nafi dengan isbat, sedangkan adalah cincin kalimah itu mengandung nafi dan isbat, maka tatkala itu nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi yang tiada bercerai dan tiada sekutu, seperti sabda Nabi Saw:

ู„ุง ูŠูุฑู‚ ุจูŠู† ุงู„ู†ูู‰ ูˆุงู„ุงุซุจุงุช ูˆู…ู† ูุฑู‚ ุจูŠู†ู‡ู…ุง ูู‡ูˆ ูƒุงูุฑ
Tiada bercerai antara nafi dan isbat dan siapa yang menceraikannya maka dianya itu kafir.

Nafi martabat mutawasit
Nafi orang martabat mutawasit yaitu menafikan syok dan waham berdiri sifat ketuhanan itu kepada makhluk, seperti sangka kebanyakan orang awam ada bagi makhluk ini memerintah, seperti raja-raja dan disangkanya kepada makhluk ada mendatangkan kebajikan dan kejahatan, sehingga dipujinya orang mendatangkan kebaikan kepadanya dan membenci akan orang yang mendatangkan kejahatannkepadanya. 

Syok sangka itulah yang dinafikan karena tiada sekali-kali perbuatan kelakuan makhluk yang mendatangkan kebajikan dan kejahatan, itu hanya perbuatan kelakuan Allah Swt yang berlaku pada sisi makhluk.

Itulah yang wajib diisbatkan sifat ketuhanan itu kepada Allah Swt supaya hilang syok waham itu.

Inilah arti nafi yang mengandung isbat dan isbat yang mengandung nafi, tiada bercerai dan tiada sekutu pada kalimat ู„ุง ุงู„ู‡ ุงู„ุง ุงู„ู„ู‡ .

Itulah nafi yang dipegangi oleh orang mutawasit.

Nafi martabat muntaha
Nafi orang martabat muntaha itu yaitu menafikan wujudnya, seperti katanya:

ู„ุง ู…ูˆุฌุฏ ู„ุง ุญูŠ ู„ุง ุนุงู„ู… ู„ุง ู‚ุงุฏุฑ ู„ุง ู…ุฑูŠุฏ ู„ุง ุณู…ูŠุน ู„ุง ุจุตูŠุฑ ู„ุง ู…ุชูƒู„ู… ูู‰ ุงู„ุญู‚ูŠู‚ุฉ ุงู„ุง ุงู„ู„ู‡
Tiada yang maujud, tiada yang hidup, tiada yang tau, tiada yang kuasa, tiada yang berkehendak, tiada yang mendengar, tiada yang melihat tiadabyang berkata pada hakikatnya melainkan Allah Swt.

Hanya sifat yang dhahir pada makhluk tempat dhahir sifat tuhan kepada hamba, seperti wujud kita ini bayang-bayang bagi wujud Allah Swt, mustahil bayang-bayang berdiri sendirinya tiada dengan wujud empunya bayang-bayang, dan mustahil bergerak bayang-bayang dengan tiada bergerak empunya bayang-bayang.

Tentang contoh bayang ini, agar menghampirkan kita dapat memahaminya, bukan mentasyabbuh dan menjadi contoh Allah Swt.

Allah Swt itu Maha Suci dari pada misal dan tasyabbuh.

Diibaratkan dengan bayang-bayang itu untuk memudahkan memahaminya.

Maka fanakanlah wujudmu didalam wujud Allah, fanakanlah sifatmu didalam sifat Allah, Allah lah yang hidup didalam dirimu yang tahu dalam ilmumu, yang kuasa dalam tulangmu, yang berkehendak pada nafsumu, yang mendengar padabtelingamu, yang melihat pada matamu, yang berkata pada lidahmu, (butuh bimbingan mursyid untuk memahaminya).

Maka tatkala itu lepaslah engkau dari pada syirik dan sebab terdinding kita kepada Allah dengan sebab sangka dan waham kita, disangka kita yang punya ikhtiar dan punya perbuatan.

Syok sangka itulah yang wajib kita nafikan pada kalimat ู„ุง ุงู„ู‡ karena tiada sekali-kali  kita punya perbuatan dan punya ikhtiar, hanya Allah Swt yang berlaku pada hamba semata-mata.

Inilah isyarah sabda Nabi Saw:

ู…ูˆุชู…ูˆุง ู‚ุจู„ ุงู† ุชู…ูˆุชูˆุง
Matilah kamu sebelum kamu dimatikan

(Syeh Muhammad Shalih ~ Kasyful Asrar, h. 32-33)

Cara Memasukkan Iman, Islam, Tauhid dan Ma'rifah dalam Kalimat ู„ุง ุงู„ู‡ ุงู„ู„ู‡

Adapaun iman, Islam, tauhid dan ma'rifah itu dibagi kepada dua bagi, karena tiada sah Islam melainkan dengan iman, dan tiada iman melainkan dengan ma'rifah.

Kalimat ู„ุง ุงู„ู‡  itu merupakan kalimat tauhid, dan kalimat ุงู„ุง ุงู„ู„ู‡ itu kalimat ma'rifah.

(Muhammad Shalih ~ Kasyful Asrar, h. 31)

Isyarat Kalimat ู„ุง ุงู„ู‡ dan kalimat ู„ุงุงู„ู‡ ุงู„ุง ุงู„ู„ู‡.

Kalimat ู„ุง ุงู„ู‡ meng isyarah kepada wujud makhluk dan kalimat ุงู„ู„ู‡ itu mengisyarah kepada wujud yang qadim.

(Syeh Muhammad Shalih ~ Kasyful Asrar, h. 31)

Sunday, March 29, 2020

Yang Paling Lebih dari Lebih

Ada beberapa jenis yang berat diantara yang paling berat, artinya beratnya lebih satu tingkat dari yang paling berat.

Apa yang paling berat dari langit?, apa yang terlebih luas dari bumi?, Apa yang terlebih kaya dari laut?, Apa yang terlebih keras dari batu?, Apa yang terlebih hangat dari pada api?, Apa yang terlebih sejuk dari pada air?, Apa yang terlebih pahit dari pada racun?.

Yang terlebih berat dari pada langit yaitu menuduh orang yang tiada berdosa.

Yang terlebih luas dari pada bumi yaitu berkata yang sebenarnya.

Yang terlebih kaya dari pada laut yaitu hati yang paling murah.

Yang terlebih keras dari pada batu yaitu hati orang yang munafiq.

Yang terlebih panas dari pada api yaitu perkataan yang kasar.

Yang terlebih sejuk dari pada air yaitu berkehendak kepada bakhil.

Yang terlebih pahit dari pada racun yaitu sabar.

(Syeh Muhammad Shalih ~ Kasyful Asrar, h. 28).

Human Intellect Is Only 3 Inches


Often conversations with our interlocutors use the word "reason only an inch" to people who have been explained but do not understand either.

Apparently those words are not arbitrarily not referenced or there is no origin, in the book Asasy Asrar explained about the expression of the word.

In the book it is asked:

What is the length of human reason?

Then answered:

That the length of human reason is 3 inches, this is the longest sense in humans.

Then proceed with an explanation of how people who are said to have only one inch, 2 inches and 3 inches.

People who have one inch of reason

People who have a resourcefulness are those who exaggerate the world from the hereafter, exaggerating the wealth from the acts of worship. The point is that the love of the world is excessive than the afterlife

People who have 2 inch span

People who have a two-inch mind are people who exaggerate the afterlife of the world, do not like work that is not useful, know that he is a servant who deserves to humiliate his fellow humans.

People who have a sense of 3 inch

A person who has a reasonable mind is a person who looks at his Lord, and is mortal in his view, in all his actions are God's actions (look again at the meaning), his endeavors are the endeavors of Allah in him.

Not: people who have 3 inch intellect are people who have ma'rifah, ma'rifah here according to the concepts of tasaufs and murshid who are valid and mu'tabar, not blind salek or wahdatul form mulhiq)

(Syeh Muhammad Salih bin Abdullah al Minagkabawi ~ Kitab Asasy Asrar, p. 28)


Arah Kepala Mayit Lelaki dan Perempuan Saat Di Shalatkan

Adakah perbedaan arah kepala mayit lelaki dan perempuan saat di shalatkan?

Kepala mayit lelaki saat dishalatkan di sebelah kiri imam dan arah kepala mayit perempuan saat di shalatkan sebelah kanan imam. Artinya kepala mayit lelaki saat dishalatkan ke arah Selatan dan dan kepala mayit perempuan ke arah Utara.

Apa hikmah kepala mayit lelaki ke Selatan dan mayit perempuan ke Utara?

Saat shalat jenazah, kalau mayitnya lelaki maka imam sunat berdiri bertentangan dengan bahu mayit agar letak mayit lebih panjang ke kanan imam.

Sedangkan kalau mayitnya perempuan, maka imam sunat berdiri bertentangan dengan pinggang mayit, agar letak mayit lebih panjang ke kanan.

Hikmah melebihkan letak mayit lebih panjang ke kanan imam yaitu agar letak dosa yang ada pada tubuh mayit lebih banyak sebelah kanan imam yang dengan demikian agar si mayit itu mendapatkan limpahan fahala dan dengan shalat ini diharapkan mengkafaratkan (hapus) dosa mayit.

(Syeh Muhammad Shalih bin Abdullah al Minangkabawi ~ Kasyful Asrar ~ h. 27)

Saturday, March 28, 2020

Perbedaan Sifat Dengan Mausuf, Wujud Dengan Maujud, Ilahun Dengan Ilahiyah dan Ilahun Dengan Allah

Ketika ditanyakan tentang perbedaan antara sifat dengan mausuf, wujud dengan maujud, Ilahun dengan Ilahiyah dan Ilahun dengan Allah.

Syeh Muhammad Shalih bin Abdullah al Minangkabawi didalam kitab Kasyful Asrar halaman 6 menjelaskan:

Perbedaan sifat dengan mausuf yaitu sifat sebagai kenyataan mausuf, wujud itu sebagai kenyataan maujud, Ilahun itu kenyataan bagi Ilahiyah, Ilahun itu yaitu Ilahun yang kaya dari pada setiap barang yang lain dan setiap barang yang lain itu berkehendak kepadanya, adapun Allah  itu nama bagi tuhan yang wajib wujud yang bersifat dengan dua puluh sifat wajib.

(Syeh Muhammad Shalih bin Abdullah al Minangkabawi ~ Kasyful Asrar h. 6)

Tuesday, March 24, 2020

Sifat Wahdaniyah Bagi Allah Swt

Sifat yang wajib bagi Allah Swt Wahdaniyah (esa) pada zat, sifat dan af'al.

Makna wahdaniyah (esa) pada zat adalah tidak ada zat Allah Swt itu tersusun dari anggota-anggota, yang dikatakan bagi demikian (tersusun zat dari anggota) itu kam muttasil pada zat. Dan tidak ada sesuatu zat pun menyerupai zat Allah Swt, yang dikatakan bagi demikian (serupa zat lain dengan zat Allah Swt) itu kam munfasil pada zat.

Wahdaniyah pada zat adalah bermakna tidak tersusunnya zat Allah Swt dari anggota-anggota yang diketahukan dari sifatnya mukhalafatuhu lilhawadits.

Makna wahdaniyah pada sifat adalah tidak berbilang-bilangnya sifat, maka tidak ada bagi Allah Swt dua sifat pada satu nama sifat dan makna. Maka sesungguhnya Allah Swt tidak ada baginya dia sifat dari lada satu jenis sifat, seperti dua qudrah, dua ilmu, dan lainnya. Makan dua qudrah adalah qudrah Allah Swt tidak tetap, hari ini qudrah Allah begini dan besoknya lain lagi.

Dan dikatakan bagi Allah memiliki dua sifat dalam satu jenis sifat (seperti dua qudrah) itulah kam muttasil pada sifat.

Dan tiada bandingan bagi sifat Allah Swt yaitu bahwa sesungguhnya tidak serupalah sifat makhluk dengan sifat Allah Swt, maka tidak adalah qudrah bagi selain Allah Swt seperti qudrahnya Allah atau ilmu seperti ilmunya Allah. Dan dikatakan bahwa ada qudrah makhluk itu seperti qudrah Allah itu kam munfasil pada sifat.

Makna wahdaniyah pada af'al adalah bahwa tidak adalah bagi selain Allah itu perbuatan. Maka adanya perbuatan bagi makhluk itu dikatakan kam munfasil pada af'al.

Maka adapun kam muttasil pada af'al itu sebut bagi Allah, karena Allah lah yang mempunyai pekerjaan.

Jika surah kam muttasil pada af'al dengan berbilang-bilangnya perbuatan maka kam muttasil tersebut sebut/tetap yang tidak sah menafikannya, karena af'alnya Allah Swt itu banyak, dari menciptakan makhluk, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, dll.

Dan jika disurahkan kam muttasil  dengan menyatunya perbuatan selain Allah Swt dengan Allah maka dianya itu dinafikan pula dengan wahdaniyah pada af'al, yaitu Allah Swt sendirinya dengan menjadikan dan menciptakan, lagi sendirinya Allah dengan menjadikan (ijad) dan menciptakan (ibda'), yang menjadikan oleh Allah Swt akan makhluk dan perbuatan-perbuatan mereka, rizki-rizki mereka dan ajal-ajal mereka.

Kesimpulan

Bahwa sesungguhnya wahdaniyah itu mencakupi wahdaniyah pada zat, sifat dan af'al yang ternafilah lima kam. Kam muttasil pada zat yaitu tersusunnya zat Allah Swt dari anggota-anggota, kam munfasil pada zat yaitu berbilang-bilang sekira-kira adalah disana dua tuhan atau lebih, maka kedua kam ini ternafi dengan wahdaniyah Allah Swt pada zat, kam muttasil pada sifat yaitu berbilang-bilangnya sifat Allah Swt dari jenis yang satu, seperti dua qudrah maka lebih banyak, kam munfasil pada sifat yaitu bahwa adalah bagi selain Allah Swt itu sifat seperti sifatnya Allah Swt, seperti adalah bagi si Zaid itu qudrah yang menjadikan dan meniadakan oleh si Zaid dengan qudrah tersebut seperti qudrah Allah Swt atau iradah yang mengkhusus ia iradah akan sesuatu dengan sebagian yang mumkin atau ilmu yang melampaui dengan sekalian sesuatu, kedua kam ini ternafi dengan wahdaniyah Allah Swt pada sifat, kam munfasil pada af'al yaitu bahwa adalah bagi selain Allah Swt itu perbuatan untuk menjadikan atau diatas jalan ijad, dan hanya sanya dinisbahkan perbuatan bagi selain Allah Swt diatas jalan kasab (usaha) dan ikhtiar, kam ini ternafi dengan wahdaniyah Allah Swt pada af'al.

Lawan wahdaniyah adalah berbilang-bilang.

Dalil Allah Swt bersifat dengan sifat wahdaniyah adalah dengan makna tiada bandingan pada dan sifat Allah Swt, karena sesungguhnya Allah Swt jikalau adalah Allah itu berbilang-bilang (seperti adanya dua tuhan) niscaya tidak diperdapatkan sesuatu atau sebagian makhluk, tetapi tiadanya wujud makhluk itu batal karena telah kita lihat adanya makhluk, maka sesuatu yang membawaki kepada berbilang-bilang itu batal dan apabila batallah berbilang-bilang niscaya sebutlah wahdaniyah, dan inilah yang dituntut.

Hanyasanya lazim dari berbilang-bang itu tidak wujudnya sesuatu dari alam , karena jikalau ada tuhan itu dua maka boleh jadi sepakat keduanya atau berselisih keduanya.

Maka jika sepakat keduanya niscaya tidak bolehlah bahwa menciptakan sesuatu secara bersamaan, karena bahwa tidak bisa berhimpun dua bekasan  diatas bekasan yang satu dan tidak bolehlah bahwa menciptakan sesuatu secara tertib dengan bahwa menciptakan oleh tuhan satu sebagian dan tuhan yang lain sebagian yang lain karena lazim lemahlah keduanya ketika itu, manakala ta'luq qudrah salah satu tuhan maka tertutuplah qudrah bagi tuhan yang lain.

Dalil sepakat kedua tuhan itu dinamakan dalil tawarud , karena tawarud keduanya diatas sesuatu yang satu.

Dan jika berselisihlah keduanya , seperti jika tuhan satu ingin menjadikan sesuatu di alam ini dan tuhan yang lain ingin meniadakan sesuatu di alam ini, maka tidak terciptalah sesuatu karena saling berselisih.

Dalil berselisih kedua tuhan itu dinamakan dalil tamanu' karena saling menegah dan berselisih keduanya.

Adapun dalil wahdaniyah pada af'al  bermakna tiada kam munfasil pada af'al dengan bahwa adalah bagi selain Allah Swt itu memberi bekas pada perbuatan dari segala perbuatan dengan sendirinya. Jika ditaqdirkan sesuatu itu memberi bekas dengan tabiatnya niscaya lazimlah bahwa terkaya bekasan itu dari Allah Swt, sedangkan sesuatu itu berhajat kepada Allah Swt. Jika ditaqdirkan sesuatu memberi bekas dengan kekuatan yang dijadikan kekuatan tersebut oleh Allah pada sesuatu itu seperti yang didawakan oleh kebanyakan orang awam dari golongan orang mukmin, maka sesungguhnya mereka beri'tiqad bahwa sebab adat itu memberi bekas dengan kekuatan yang dijadikan oleh Allah pada sebab adat. Dan jikalau meencabut qudrah tersebut oleh Allah maka sesuatu itu tidak akan memberi bekas, seperti dakwa mereka sesunguhnya makan itu memberi bekas pada wujud kenyang, minum memberi bekas pada menghilangkan dahaga, api memberi bekas pada wujud membakar dan sikin itu memberi bekas pada wujud memotong dengan kekuatan yang dijadikan oleh Allah Swt pada semua itu, maka demikian itu batal karena Allah Swt ketika itu berhajat kepada perantara dalam menjadikan sesuatu, pada hal keadaan Allah Swt itu kaya yang mutlak dari selainnya, orang yang beri'tiqad demikian itu tidak kafir tetapi fasiq yang berdekatan dengan faham mu'tazilah yaitu sesungguhnya hamba itu menjadikan ia akan perbuatannya yang ikhtiyariah dengan kekuatan yang dijadikan oleh Allah Swt ladanya, orang yang beri'tiqad demikian itu fasiq.

Kesimpulan

Seseorang yang beri'tiqad bahwa sebab adat itu memberi bekas musababnya dengan zatnya , maka dianya itu kafir dengan ijma', seperti api yang membakar, pisau memutuskan, makan mengenyangkan, dan minum menghilangkan dahaga.

Seseorang yang beri'tiqad bahwa sebab adat itu memberi bekas musababnya dengan kekuatan yang dijadikan oleh Allah padanya itu dua qaul, pertama kafir dan yang kedua fasiq yang bid'ah, inilah yang asah. Orang yang berkata dengan i'tikad ini adalah orang mu'tazilah, mereka berkata bahwa hamba menjadikan perbuatan dirinya yang ikhtiyariah dengan kekuatan yang dijadikan oleh Allah Swt pada diri hamba, pendapat asah mereka tidak kafir, karena lengakuan mereka bahwa qudrah hamba itu Allah yang menjadikannya.

Seseorang yang beri'tikad bahwa yang memberi bekas adalah Allah Swt, tetapi Allah Swt menjadikan bekasan itu diantara sebab dan musabab yang lazim secara aqal, maka dianya itu jahik, sekira tidak sahlah mentakhirkan sebab dari musabab, maka kapan-kapan ada sebab niscaya diperdapatkan musababnya.

Seseorang yang beri'tiqad bahwa yang memberi bekas itu adalah Allah Swt dan diantara sebab dan musabab itu lazim adat, maka dialah mukmin naji (sukses), selerti i'tiqadnya bahwa sahlah teryakhirnya sebab dari musabab.

Maka inilah empat macam i'tiqad seseorang dan sekiranya wajib bagi Allah wahdaniyah niscaya mustahil bagi Allah berbilang-bilang, baikbitu muttasil atau munfasil.

(Ibrahim bin Muhammad Al Bajuri, Tijan Darari, h. 4-6)

Wabah Carona Dalam Khazanah Islam


A. ANJURAN SOSIAL DISTANCING (menjaga jarak sosial).

1) Amru bin Ash berkata:" Wahai Manusia, wabah ini jika terjadi maka ia akan berkobar sebagaimana kobaran api maka berlindunglah darinya di perbukitan".

ุฃูŠู‡ุง ุงู„ู†ุงุณ! ุฅู† ู‡ุฐุง ุงู„ูˆุฌุน ุฅุฐุง ูˆู‚ุน ูุฅู†ู…ุง ูŠุดุชุนู„ ุงุดุชุนุงู„ ุงู„ู†ุงุฑ ูุชุญุตّู†ูˆุง ู…ู†ู‡ ููŠ ุงู„ุฌุจุงู„

2) Nabi bersabda:"Jangan dicampurkan orang sakit dengan orang sehat".

ู‚َุงู„َ ุงู„ู†َّุจِูŠُّ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ู„َุง ูŠُูˆุฑِุฏَู†َّ
 ู…ُู…ْุฑِุถٌ ุนَู„َู‰ ู…ُุตِุญٍّ

3) Dari Ya'la bin Atha dari Umar bin Syarid dari ayahnya ia berkata:"Dalam perjanjian Tsaqif ada seorang berpenyakit lepra maka Nabi mengirim berita kepadanya :"Kami telah menerima bai'atmu maka kembalilah!".

ุนَู†ْ ูŠَุนْู„َู‰ ุจْู†ِ ุนَุทَุงุกٍ ุนَู†ْ ุนَู…ْุฑِูˆ ุจْู†ِ ุงู„ุดَّุฑِูŠุฏِ ุนَู†ْ ุฃَุจِูŠู‡ِ ู‚َุงู„َ ูƒَุงู†َ ูِูŠ ูˆَูْุฏِ ุซَู‚ِูŠูٍ ุฑَุฌُู„ٌ ู…َุฌْุฐُูˆู…ٌ ูَุฃَุฑْุณَู„َ ุฅِู„َูŠْู‡ِ ุงู„ู†َّุจِูŠُّ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ุฅِู†َّุง ู‚َุฏْ ุจَุงูŠَุนْู†َุงูƒَ ูَุงุฑْุฌِุนْ

4) Nabi bersabda:" Larilah dari orang yang berpenyakit lepra seperti engkau lari dari singa".
ูِุฑَّ ู…ِู†َ ุงู„ู…ุฌุฐูˆู…ِ ูƒู…ุง ุชَูِุฑُّ ู…ِู†َ ุงู„ุฃุณุฏِ

5) Qadhi Iyat mengutip perkataan ulama :" Sungguh orang berpenyakit lepra dan supak dilarang ke Masjid dan dari shalat Jum'at juga dari bercampur baur dengan manusia".

ูˆَู‚َุฏْ ู†َู‚َู„َ ุงู„ْู‚َุงุถِูŠ ุนِูŠَุงุถٌ ุนَู† ุงู„ْุนُู„َู…َุงุกِ ุฃَู†َّ ุงู„ْู…َุฌْุฐُูˆู…َ ูˆَุงู„ْุฃَุจْุฑَุตَ ูŠُู…ْู†َุนَุงู†ِ ู…ِู†ْ ุงู„ْู…َุณْุฌِุฏِ ูˆَู…ِู†ْ ุตَู„َุงุฉِ ุงู„ْุฌُู…ُุนَุฉِ، ูˆَู…ِู†ْ ุงุฎْุชِู„َุงุทِู‡ِู…َุง ุจِุงู„ู†َّุงุณِ

B. WABAH ADALAH AZAB BAGI KAFIR DAN RAHMAT BAGI MUKMIN SERTA ANJURAN LOCKDOWN.

1) Sabda Nabi:" Wabah adalah azab Allah kepada siapa saja yang dikehendakiNya, maka Allah jadikan Rahmat bagi mukmin, maka siapa yang terkena wabah dan ia terus menetap dalam negerinya dalam kondisi sabar dan meyakini bahwa tidak akan menimpanya kecuali apa yang telah ditetapkan Allah kepadanya maka ia akan mendapatkan pahala syahid".
ุฃู†َّู‡ ูƒุงู†َ ุนَุฐَุงุจًุง ูŠَุจْุนَุซُู‡ُ ุงู„ู„َّู‡ُ ุนู„َู‰ ู…َู† ูŠَุดَุงุกُ، ูَุฌَุนَู„َู‡ُ ุงู„ู„َّู‡ُ ุฑَุญْู…َุฉً ู„ِู„ْู…ُุคْู…ِู†ِูŠู†َ، ูู„ูŠุณَ ู…ِู† ุนَุจْุฏٍ ูŠَู‚َุนُ ุงู„ุทَّุงุนُูˆู†ُ، ูَูŠَู…ْูƒُุซُ ููŠ ุจَู„َุฏِู‡ِ ุตَุงุจِุฑًุง، ูŠَุนْู„َู…ُ ุฃู†َّู‡ ู„َู†ْ ูŠُุตِูŠุจَู‡ُ ุฅู„َّุง ู…ุง ูƒَุชَุจَ ุงู„ู„َّู‡ُ ู„ู‡، ุฅู„َّุง ูƒุงู†َ ู„ู‡ ู…ِุซْู„ُ ุฃุฌْุฑِ ุงู„ุดَّู‡ِูŠุฏِ 

C. WABAH JUGA AKAN MENGINVEKSI DENGAN ORANG BERIMAN DAN ORANG SALEH.

Diantara sahabat-sahabat utama Nabi SAW yang wafat dalam wabah amwas saat melanda Syam adalah Abu Ubaidah bin Jarrah, Suhail bin Amr dan Muaz bin Jabal.

D. DUSTA JIKA BERPENDAPAT BAHWA WABAH TIDAK AKAN MENGINVEKSI JAMAAH MASJID.

1) 3 orang Sahabat Nabi di atas yang wafat dengan virus adalah orang yang terkenal dengan sahabat Nabi yang sering memakmurkan masjid sebagaimana kebiasaan sahabat Nabi lainnya.

2) Hadis dhaif Dari Anas bin Malik ุฑุถูŠ ุงู„ู„ู‡ ุนู†ู‡, Rasulullah ๏ทบ bersabda:

ุฅِู†َّ ุงู„ู„ู‡َ ุชَุนَุงู„َู‰ ุฅِุฐَุง ุฃَู†ْุฒَู„َ ุนَุงู‡َุฉً ู…ِู†َ ุงู„ุณَّู…َุงุกِ ุนَู„َู‰ ุฃَู‡ْู„ِ ุงู„ุฃุฑْุถِ ุตُุฑِูَุชْ ุนَู†ْ ุนُู…َّุงุฑِ ุงู„ْู…َุณَุงุฌِุฏِ

E. HENTIKAN PEMAHAMAN AKIDAH JABBARIAH JIKA KITA AHLU SUNNAH WAL JAMAAH.

Pemahaman Jabbariah itu adalah tidak mau berusaha menjaga diri dari wabah mematikan ini, hanya karena berpegang dan beralasan dengan ketentuan takdir Allah, seolah kita lupa bahwa doa dan usaha adalah sunnatullah yang biasanya menjadi sebab Allah menakdirkan sesuatu sebagaimana Allah menyelamatkan kita dari terjangan pedang dengan perisai di medan perang".

Ketahuilah bahwa ada takdir Mubram dan mu'allaq serta ikhtiar menjaga diri bukan bermakna lari dan tidak beriman kepada qadha dan qadar!.

Tulisan ini adalah efek dari keresahan ketika mendengar ''fatwa, ocehan dan pemahaman keliru" dari kaum muslimin lainnya yang berpotensi menambah korban jiwa dalam wabah ini.

oleh: Dr. Tgk. Mannan, M.Ed

Friday, March 13, 2020

Masih Diterimakah Tobat Ketika Matahari Keluar Dari Barat?

Ditanyai orang apabila matahari telah keluar dari Barat, apakah masih diterima tobat seseorang yang tobat? Apakah masih diterima Islam seseorang yang masuk Islam? Apakah masih dinaikkan amalan shalih kepada Allah? Adakah wajib puasa ramadhan, sembahyang atas orang Islam?

Maka dijawabkan:

Tiada diterima lagi tobat orang yang sudah mukalaf atau orang yang 'ashi (bermaksiat) kepada Allah.

Tiada diterima lagi Islam orang kafir yang masuk Islam.

Segala amalan shalih yang dikerjakan tetap masih dinaikkan kehadirat Allah Swt.

Segala hukum yang berlaku, baik yang wajib, sunat dan lain tinggal atas keadaannya.

Matahari yang keluar dari Barat itu naik sampai tergelincir, kenudian kembali jatuh pula seperti adatnya.

(Syeh Daud bin Abdullah Fathani, Furu' Masail, ha. 5)

Wednesday, March 11, 2020

Sifat Qiyamu Binafsi Bagi Allah Swt

Sifat yang wajib bagi Allah Swt qiyamu binafsihi. Qiyamu binafsihi ditafsirkan dengan dua makna, yaitu:

Pertama; bahwa sesungguhnya Allah Swt tidak membutuhkan kepada tempat untuk berdiri.

Kedua; bahwa sesungguhnya Allah Swt tidak membutuhkan kepada Mukhshish, yaitu Mujid (yang menjadikan).

Sedangkan yang kedua ini, jika ada Ianya Allah itu terkaya dari pada Mukhshish dengan sebab sifat qidamnya, niscaya tidak membutihkan pengecualian, karena goresan jahil dalam kitab ini sangat besar kemungkinannya, maka tidak boleh tidak dari pada memperjelas kembali dengan segala aqidah.

Lawan dari sifat qiyamu binafsihi adalah berhajat kepada tempat dan Mukhashish.

Dalil tentang sifat qiyamu binafsihi adalah bahwa sesungguhnya jikalau Allah berhajat kepada tempat (zat) untuk tempat berdiri, niscaya sungguh ada Ianya Allah itu sifat, karena sesungguhnya yang berhajat kepada tempat untuk berdiri itulah sifat, zat tidak membutuhkan kepada zat lain untuk berdiri.

Mustahillah keadaan Allah Swt itu sifat, karena jikalau Allah itu sifat niscaya tidak bersifat Allah dengan sifat ma'ani dan ma'nawiyah.

Sedangkan sifat ma'ani dan ma'nawiyah itu wajib pada Allah Swt, karena telah berdirilah dalil-dalil. Maka tidak bersifatnya Allah dengan sifat itu batal, maka batallah yang menunjuki bahwa Allah tidak bersifat dengan sifat.l Allaherkaya dari pada berhajat kepada tempat.

Maka apabila batallah berhajatnya Allah kepada tempat niscaya sebutlah terkayanya Allah dari pada tempat, inilah yang dicari.

Dan jikalau berhajat Allah Swt kepada Mukhshish (mujid) yang menjadikannya, niscaya sungguh ada Ianya Allah itu bahru, karena yang berhajat kepada Mukhshish hanyalah yang bahru, sedangkan zat Allah yang qadim tidak membutuhkan Mukhshish.

Sedangkan keadaan Allah bahru itu mustahil, karena telah terdahululah wajib wjudnya Allah, qidamnya Allah dan baqanya Allah, nisbah zat dan sifat.

(Ibrahim bin Muhammad Al Bajuri, Tijan Darari, h. 4).

Sifat Mukhalafatu Lilhawadits Allah Swt

Sifat yang wajib bagi Allah Swt adalah mukhalafatu lilhawadits (bersalahan bagi yang bahru).

Maka mukhalafatu lilmakhluq itu ibarat dari pada meniadakan jirmiah, 'ardhiah, kuliah dan juz-iah.

Lazimnya jirmiah (zat) merupakan lazim mengambil tempat, lazimnya 'ardhiah (sifat) merupakan lazimnya membutuhkan kepada zat lainnya, lazimnya kuliah merupakan lazimnya besar dan lazimnya juz-iah merupakan lazimnya kecil kepada selain demikian.

Makna mukhalafatu lilhawadits adalah sesungguhnya Allah Swt itu tidak serupa dengan hawadits (bahru).

Maka apabila Syaithan membisikkan dalam pikiranmu tentang jikalau Allah itu bukan zat jirim, bukan sifat, bukan kulli dan bukan juz-i, maka bagaimanakah hakikat Allah itu?

jawablah untuk menolak bisikan Syaithan tersebut bahwa tidak mengetahui zat Allah kecuali Allah, tidak serupa zat Allah dengan sesuatu pun, Dianya Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, maka Dianya Allah bukanlah zat jirim yang dapat digambarkan dan bukan sifat yang dibataskan.

Maka tiada bagi Allah Swt itu tangan, mata, telinga, dan lain demikian dari pada sifat hawadits.

Karena sesungguhnya Allah Swt itu tidak serupa dengan zat jisim, tidak serupa pada taqdir, tidak serupa dalam menerima pembagian, tidak terhenti zat Allah oleh jauhar, tidak ada zat Allah itu sifat, tidak terhenti zat Allah oleh beberapa sifat, bahkan tidak serupa wujud Allah  dengan yang bahru dan tidak ada yang bahru itu menyerupai zat Allah Swt, tidak membatasi zat Allah Swt oleh ukuran, tidak meliputi zat Allah Swt oleh wilayah, tidak melingkari zat Allah oleh arah, tidak memenuhi zat Allah Swt oleh bumi dan langit, Maha Tinggi Allah dari segala sesuatu.

Dan beserta demikianlah bahwa Dia Allah itu paling dekat kepada hamba yang menyaksikan atas segala sesuatu, tidak serupalah dekatnya Allah itu dekat zat jisim tentang bahwa Allah Swt melampaui batas. Seperti maha suci Allah Swt bahwa Allah bersatu dengan masa dan tempat yang sebelum masa dan tempat itu diciptakan. Dan tentang Allah sekarang itu bagaiman dirinya Allah Swt.

Lawan dari mukhalafatu lilhawadits adalah mumatsalah lilhawadist (serupa dengan yang bahru).

Dalil mukhalafatu lilhawadits itu bahwa sesungguhnya Allah Swt jikalau tidak ada Allah itu mukhlafatu lilhawadits niscaya sungguh ada Allah Swt itu mumasil (serupa) bagi makhluk, tetapi mumasil Allah bagi makhluk itu batal, karena jikalau ada Allah itu serupa dengan yang bahru niscaya sungguh ada Allah itu bahru seumpamanya, karena sesuatu yang sebut serupa dengan yang lain maka yang lain pun serupa dengannya. Tetapi keadaan Allah itu bahru mustahil, karena sungguh telah berdalilnya Allah dengan wajib qidam Allah Swt. Dan sekiranya wajib mukhalafatu lilhawadits bagi Allah niscaya mustahil lawannya.

10 surah mumasalah (serupa)

Pertama; bahwa Allah itu zat jirim yang terdiri dari anggota-anggota jirim, dinamakan jisim atau tiada terdiri dari anggota jirim, dinamakan jauhar.

Kedua; bahwa Allah itu Sifat yang berdiri dengan jirim.

Ketiga; bahwa Allah itu berada pada suatu penjuru bagi jirim, maka tiadalah Allah Swt itu di atas 'arasy, tiada dibawah 'arasy, tiada dikanan 'arasy dan tiada disegala penjuru.

Keempat; bahwa Allah itu berada disuatu penjuru, maka tiadalah Allah di atas, dibawah, kanan, kiri, dan segala arah penjuru.

Kelima; terhentinya Allah pada suatu tempat.

Keenam; terikatnya Allah dengan suatu masa, sekiranya bergerak kapal itu mengikuti gerakannya.

Ketujuh; mengulangi kepada Allah dua pembaruan, yaitu pada waktu malam dan waktu siang.

Kedelapan; bersifatnya zat Allah Swt yang tinggi dengan yang bahru, seperti qudrah yang bahru, iradah yang bahru, bergerak, tetap, putih, hitam dan lainnya.

Kesembilan; bersifatnya zat Allah dengan sifat kecil atau besar, artinya banyaknya anggota.

Kesepuluh; bersifatnya Allah Swt dengan maksud sesuatu dalam menjadikan atau pun hukum, maka tidak adalah dalam perbuatan Allah dalam menjadikan sesuatu itu punya maksut atau kemaslahatan. Namun dalam semua penciptaan itu punya hikmah dan bukan dalam keadaan bermain-main Allah menciptakan. Mustahillah ini pada Allah Swt, menerimanya shalat seorang hamba bukan suatu maksud bagi Allah atau pun kemaslahatan baginya.


Maka 10 surah mumasalah ini mustahil pada Allah Swt.


(Ibrahim bin Muhammad Al Bajuri, Tijan Darari, h. 3).

Tuesday, March 10, 2020

Sifat Baqa Bagi Allah Swt

Sifat yang wajib bagi Allah Swt baqa, makna sifat baqa adalah sesungguhnya Allah Swt itu tidak ada jenis akhir bagi wujud Allah Swt, yaitu tidak dihubungi wujud Allah Swt oleh 'adam (tiada).

Dalil tentang Allah Swt bersifat dengan baqa adalah bahwa sesungguhnya Allah jikalau tidak wajib bagi Allah sifat baqa, niscaya sungguh ada Allah itu fana, tetapi bersifatnya Allah Swt dengan sifat fana itu mustahil.

Karena jikalau ada Allah itu fana niscaya sungguh ada Ianya Allah itu jaiz wujud (bukan wajib wujud), tetapi keadaan Allah itu jaiz wujud adalah mustahil, karena jikalau Allah itu jaiz wujud niscaya sungguh ada Allah itu bahru. Tetapi keadaan Allah itu bahru itu mustahil, karena jikalau ada Allah itu bahru niscaya sungguh ternafilah qidam bagi Allah Swt, ternafinya sifat qidam bagi Allah Swt itu mustahil, karena telah ada dalil wajib qidam bagi Allah Swt. 

Dan sekiranya wajib baqa bagi Allah Swt, niscaya mustahillah lawannya baqa.

(Ibrahim bin Muhammad Al Bajuri, Tijan Darari, h. 3).

Sifat Qidam Bagi Allah Swt

Sifat yang wajib bagi Allah Swt Qidam.

Makna qidam adalah tidak jenis awal bagi Allah Swt artinya tidak didahului oleh 'adam (tiada) pada wujud Allah Swt.

Lawan dari qidam adalah hudus (didahului 'adam pada wujud Allah).

Dalil Allah bersifat qidam, yaitu cara mendirikan dalil kepada wajib qidam bagi Allah Swt bahwa engkau kata "jikalau tidak ada Allah itu qidam, niscaya adalah Allah itu bahru, karena antara qidam dan bahru itu tiada perantaraan. Tetapi keadaan Allah itu bahru itu mustahil. Karena jikalau ada Allah Swt itu bahru niscaya sungguh berhajat Allah Swt kepada Muhdits (si Pembahru), karena setiap yang hadits itu tidak boleh tidak baginya hadits itu Muhdits, jikalau terjadinya Muhdits dengan sendirinya niscaya lazimlah berkumpul dua kekurangan, yaitu musawah (persamaan) dan rajhan (lebih kuat). Tetapi berhajatnya Allah Swt kepada Muhdits itu mustahil, karena jikalau Allah berhajat kepada Muhdits niscaya berhajatnya Muhdits Allah kepada Muhdits yang lain, maka lazimlah dur atau tasalsul, sedangkan dur dan tasalsul keduanya mustahil, yaitu tidak mungkinlah wujud keduanya". Dan sekiranya wajib bagi Allah qidam niscaya mustahillah lawannya qidam.

(Ibrahim bin Muhammad Bajuri, Tijan Darari, h. 3)

Sifat Wujud Bagi Allah Swt

Wujud yang zat yang tidak diterimakan 'adam (tiada) pada azali dan pada selamanya.

Wujud merupakan sifat nafsiah artinya yang sebut menunjuki sifat di atas diri zat, bukan bermakna lebih dari zat.

Kewajiban mukalaf untuk mengetahui bahwa Allah Swt itu maujud sebagai wujud yang wajib, dan tiada wajib mukalaf mengetahui wujud Allah sebagai wujud 'in zat atau bukan zat, karena yang demikian itu termasuk dalan pembahasan sehalus-halus ilmu kalam.

Lawan wujud adalah 'adam (tiada).

Dalil Allah Swt bersifat wujud adalah adanya makhluk (selain Allah).

Cara menstrukturkan mendirikan dalil diatas wajib wujudnya Allah Swt itu bahwa engkau kata "alam dari 'arasy sampai firasy itu bahru (wujud sesudah tiada), dan setiap yang bahru itu wajib ada zat yang menjadikannya yang wajib wujud, maka alam itu ada Sani' (yang membuat), kemudian keadaan Sani' ialah Allah Swt yang diambil faedah dari dalil-dalil wahdaniah. Dan sekira-kira wanib bagi Allah wujud, niscaya mustahil bagi Allah lawannya wujud ('adam).

(Ibrahim bin Muhammad Bajuri, Tijan Darari, h. 3)

Maksiat Yang Dilakukan Hamba, apakah Qadha dan Qadar Allah?

Segala sesuatu yang terjadi pada makhluk itu semuanya dengan qadha dan qadar Allah Swt.

Karena semuanya itu semua tidak terlepas dari sifat qudrah Allah Swt dan ianya sudah ada pada azali yaitu sulhi qadim.

Namun menyebutkan bahwa maksiat itu Allah yang menghendaki itu yang tidak boleh dan tidak dibenarkan.

Dan tidak bisa dibuat hujjah bahwa Allah lah yang menghendaki kemaksiatan tersebut.

Jadi, segala perbuatan makhluk itu berdasarkan qudrah Allah yang sesuai dengan iradahnya.

(Syeh Daud bin Abdullah, Furu' Masail, juz. 1, h. 4)

Sunday, March 8, 2020

Fahala Ibadah Di Hadiakan Kepada Mayit, Selain Doa, Sedekah & Bacaan Quran. Sampaikah?

Ibnu Shilah mengatakan bahwa setiap bacaan Al Quran yang sampai fahalanya kepada mayit adalah bacaan yang diiringin dengan ุงู„ู„ู‡ู… ุงูˆุตู„ ุซูˆุงุจ ู…ุง ุชู„ูˆุชู‡ ุงู„ู‰ ูู„ุงู† ุฎุงุตุฉ ูˆ ุงู„ู‰ ุงู„ู…ุณู„ู…ูŠู† ุนุงู…ุฉ setiap selesai dari membaca Quran tersebut.

Berdasarkan perkataan Ibnu Shilah tersebut, maka ihtimallah kepada ibadah yang lain. Dan ketika itu, maka dianya itu sarih bahwa sesungguhnya manusia apabila ia shalat atau ia puasa dan berkata ุงู„ู„ู‡ู… ุงูˆุตู„ ุซูˆุงุจ ู‡ุฐุง ู„ูู„ุงู† setelah shalat atau puasanya, niscaya sampailah fahala apa yang dikerjakannya kepada mayit, (perinagatan dan lihatlah kembali).

Al Muhibuth Thibri berkata bahwa sampailah fahala kepada mayit setiap ibadah yang dikerjakan seseorang, baik itu ibadah wajib atau ibadah sunat.

Didalam kitab Syarah Mukhtar yang penyusunnya bermazhab ahlisunnah mengatakan bahwa sesungguhnya bagi manusia itu bahwa ia jadikan fahala setiap amalannya dan puasanya (yang telah ia kerjakan) kepada orang lain dan sampailah fahala tersebut.

(I'anathuththalibin, juz. 3, h. 260, cet. Bairut)

Wallahu subhana wata'ala a'lam

Videonya dapat dilihat dibawah ini

Iman itu Makhluk atau Bukan?

Ditanyai orang, iman itu ciptaan Allah atau bukan? Maka berbedalah beberapa Jamaah tentang ini.

Jamaah yang mengatakan iman adalah makhluk (ciptaan Allah), barangsiapa yang mengatakan iman itu bukan makhluk maka berdosa ia.

Dan jama'ah yang mengatakan bahwa iman itu bukan makhluk, barangsiapa yang mengatakan iman itu makhluk maka jadi kafir ia.

Diantara kedua pendapat ini, yaitu iman itu makhluk dan iman itu bukan makhluk, siapakah yang benar?

Jumhur Muhaqiqin mengatakan iman itu merupakan membenarkan (tasdiq) dengan hati barang yang datang akan ia, yakni membenarkan dengan barang yang diketahui suatu yang sangat nyata yang datang dari Rasulullah Saw dari Allah Swt, dan ikrar dengan lidah itu satu syarat pada melakukan hukum didunia jua.

Ada yang mengatakan, bahwasanya iman itu mengikrarkan dengan lidah dan melakukan amal seperti shalat dan zakat. 

Berdasarkan pendapat di atas, maka iman itu adalah makhluk, karena bahwasanya iman itu adalah perbuatan hamba yang diciptakan oleh Allah.

Abu Laits As Samarkandi berkata, menjawab soal tentang iman itu makhluk atau bukan, bermula iman itu mengikrarkan yakni mengucap dengan lidah hamba dan iman yang bermakna begini adalah makhluk, dan sedangkan hidayah Allah bagi hamba untuk beriman adalah perbuatan Allah dan bukan makhluk, 

Maka jawaban ini merupakan tasamuh (menyetujui) karena hidayah Allah bagi hamba itu sebab bagi berimannya hamba bukanlah diri iman, karena tiada ditanyai diri iman dan sebabnya.

(Syeh Daud bin Abdullah, Furu' Masail, juz. 1, hal. 4)

Saturday, March 7, 2020

Penjelasan Firman Allah ูˆุงู„ู„ู‡ ุฎู„ู‚ูƒู… ูˆู…ุง ุชุนู…ู„ูˆู†

Firman Allah Swt dalam Al Quran surat Ash Shafat ayat 96, yaitu ูˆุงู„ู„ู‡ ุฎู„ู‚ูƒู… ูˆู…ุง ุชุนู…ู„ูˆู† artinya Allah yang telah menjadikan kamu dan apa yang kamu kerjakan.

Berdasarkan ayat di atas, timbullah beberapa pertanyaan, yaitu adakah keluar sesuatu yang bukan perbuatan Allah dari pada perkataan dan perbuatan? Adakah dustanya orang yang berdusta itu dari perbuatannya sendiriatau perbuatan Allah Swt? Berdasarkan firman Allah Swt ูˆุงู„ู„ู‡ ุฎู„ู‚ ูƒู„ ุดู‰ุก yang artinya Allah lah yang menciptakan setiap sesuatu, apakah orang yang berkata bahwasanya dusta itu ciptaan Allah, tersalah atau benar perkataan demikian?

Maka setiap pertanyaan di atas, ahlisunnah waljama'ah menjawab:

Bahwa semua perbuatan hamba itu ciptaan Allah Swt, tiada yang menciptakan selain Allah Swt.

Demikian semua "hayawanat" yaitu "mutaharrikun biquwah" yang artinya semua yang bergerak dengan kekuatan itu Allah yang menjadikannya dirinya dan perbuatannya.

Khilaf bagi Mu'tazilah, mereka berpendapat bahwa manusia itu menciptakan perbuatannya sendiri dan bukan Allah yang menjadikannya.

Demikianlagi semua perbuatan yang keluar dari perbuatan hamba seperti bergerak cincin mengikuti gerak jaribitu Allah yang menciptakannya, bukan dengan perbuatan manusia dan bukan bergerak cicin itu karena wajib begerak sebab bergerak jari.

Sedangkan Jumhur Mu'tazilah berpendapat bahwa bergerak jari itubperbuatan manusia dan cincin yang mengikuti gerak jari itu karena manusia menggerakkan jari.

Dan setiap ketaatan itu jadi ia karena kehendak Allah Swt, masyiahnya Allah, kadhanya Allah, qadarnya Allah, dikasih oleh Allah, ridha Allah dan disuruhnya untuk senantiasa taat.

Sedangkan maksiat dan kafir itu terjadi dengan iradahnya Allah, qadhanya Allah, qadarnya Allah, dibenci oleh Allah, murkanya Allah, tiada disuruh oleh Allah, tiada dikasih oleh Allah, dan tiada diridhai oleh Allah Swt.

Semua perbuatan hamba itu sekiranya dari segi penciptaan adalah Allah yang menciptakan, karena tida yang buruk pada penciptaan Allah, lahirnya baik dan buruk itu sekiranya syariat bukan mengadakan perbuatan.

Segala perkara yang jahat-jahat dan yang kotor-kotor itu adalah Allah yang menciptakan (min haitsu ijad), tetapi tidak boleh bagi kita untuk mensandarkan semua perbuatan itu kepada Allah, karenan menuntut adab, maka jangan dikatakan bahwasanya segala yang dibenci dan yang buruk serta kafir itu kehendak Allah, seperti Allah lah yang menjadikan yang buruk-buruk, kera, babi.

Dan jangan disandarkan salah satu nama Allah pada yang buruk-buruk, tetapi hendaknya dikatakan Allah lah yang menciptakan semua makhluk, tiada ada suatu makhluk pun yang tercipta tanpa kehendak Allah Swt.

Seperti mengatakan semua yang ada di langit dan yang ada dibumi adalah milik Allah Swt, bukan milik siapa pun, Allah lah yang Maha Merajai seluruh makhluk.

(Syaich Daud bin Abdullah Fathani, Furu' Masail, juz.1, h. 3-4).

Wednesday, March 4, 2020

Sampaikah Fahala Membaca Quran Kepada Si Mayyit?

Nawawi berkata dalam Syarah Muslim bahwa yang masyhur dalam mazhab Syafi'i bahwa fahala membaca Quran tidak sampai fahalanya kepada si mayyit, namun pendapat ini dianggap lemah (dhaif).

Sebagaian para Shahabat dalam mazhab Syafi'i berpendapat bahwa sampailah fahala bacaan Quran kepada si mayyit dengan semata-mata mengqasadkan bacaan tersebut kepada si mayyit, walaupun mengqasadnya tersebut sesudah mebaca Quran, pendapat ini dianggap kuat (mu'tamad).

Pendapat sampainya fahala bacaan Quran kepada si mayyit adalah pendapat dari imam Malik, Hambali dan Hanafi.

Berdasarkan pendapat sampainya fahala bacaan kepada si mayyit dalam mazhab Malik, Hambali dan Hanafi, maka memilihlah kebanyakan ulama dalam mazhab Syafi'i. Ini yang di i'timadkan oleh Subki dan lainnya.

Subki berkata bahwa hadits yang menunjuki diatasnya sampai fahala bacaan Quran kepada si mayit adalah bahwa sebagian bacaan Quran apabila diqasadkan bacaan tersebut kepada si maayit, maka si mayit mendapatkan manfaat (sampai fahalanya), inilah yang diperjelas oleh Subki tentang dalil hadita dengan mengistimbat kepada apa yang telah disebutkan.

Satu Jama'ah dalam mazhab Syafi'i  menanggung perkataan Nawawi tentang tiada sampai bacaan fahala Quran kepada si mayit adalah apabila bacaan Quran yang dibaca itu bukan disamping mayit dan tidak meniatkan fahala bacaan kepada si mayit atau ia berniat dan tidak berdoa.

Sibran Malasy mengatakan bahwa sampailah fahala bacaan Quran kepada si mayit bila dibaca di samping mayit atau dengan niat bacaan bagi si mayit atau membaca doa bagi si mayit setelah membaca Quran.

Hasillah fahala seumpa bacaan Quraannya seseorang bagi si mayi dengan bahwa sesungguhnya pekerjaan apabila seseorang berniat fahala bacaan Quran bagi si mayit, atau seseorang berdoa setelah membaca Quran untuk menghasilkan fahala bacaan Quran kepada si Mayit atau membaca Quran di kuburnya seseorang. Dan ini hasil juga fahala bahi si pembaca tersebut. 

Bahkan hasillah fahala bacaan tersebut kepada si mayit, walau si pembaca tidak mendapatkan fahala, karena berghalabah dirinya dengan duniawi.

Seseorang yang disewa untuk membaca Quran, kemudian saat membaca Quran ia tidak berniat bagi si mayit dan tidak berdoa bagi simayit setelah membaca Quran dan bacaan Quran yang dibacanya tersebut bukan di kubur yang ma'lum, nicaya tidak wajib membayar sewanya.

Menurut Muhammad Ramli, memadalah  berniat membaca Quran kepada si mayit pada awalnya bacaan kemudian diselangi oleh diam, karena apa yang dilakukan setelah itu diikuti yang dahulunya.

Didalam kitab Tufah dan Syarah Minhaj, bahwa memberi faedahlah bacaan Quran disisi mayit walaupun tiada berniat fahala bacaan bagi si mayit. Sedangkan membaca Quran bagi si mayit yang tidak ada mayit disinya dengan hanya berniat saja  dari tiada berdoa sesudahnya bacaan Quran maka tidak hasillah fahala bagi si mayit.
Maka tidak boleh tidak ketika membaca Quran disisi mayit dengan berniat dan membaca Quran bagi mayit yang tidak ada mayit disinya untuk berniat dan berdoa setelah bacaan Quran tersebut.

Imam Syafi'i dan para Sahabatnya mensunatkan membaca apa yang mudah disisi mayit kemudian berdoa setelahnya, karena ketika itu yang diharapkan bahwa Allah menerima bacaan tersebut.

Karena sesungguhnya mayit itu mendapatkan berkah bacaan Quran, seperti mendalatkan berkah bagi orang hidup ketika hadir saat orang membaca Quran.

Ibnu Shilah berkata: sepatutnya menetapkan doa ุงู„ู„ู‡ู… ุงูˆุตู„ ุซูˆุงุจ ู…ุง ู‚ุฑุกุชู‡ Setelah membaca Quran.

Berdoa setelah membaca Quran bukan saja berlaku setelah membaca Quran, tapi bagi semua ibadah yang diqasadkan untuk mayit, seperti shalat.

Sesungguhnya manusia apabila ia shalat atau ia berpuasa dengan berniat fahala kepada mayit maka hendaklah membaca ุงู„ู„ู‡ู… ุงูˆุตู„ ุซูˆุงุจ ู‡ุฐุง ู„ูู„ุงู† niscaya sampailah fahala apa yang dilakukan dari shalat, puasa atau lainnya kepada si mayit.

Al Muhibut Thibri berkata bahwa sampailah fahala semua ibadah yang dilakukan seseorang kepada mayit, baik itu ibadah wajib atau ibadah sunat.

Didalam kitab Syarah Mukhtar yang penyusunnya bermazhab Ahlisunnah menyebutkan sesungguhnya bahwa bagi manusia bahwa boleh menjadikan fahala amalannya, shalatnya dan lainnya kepada si mayit.

Wallahu  a'lam

Video lengkapnya di ๐Ÿ‘‡


(Kitab I'anathuth Thalibin, juz, 3, hal. 258-260)

Monday, March 2, 2020

Bermanfaatkah Sedekah & Doa Untuk Mayit?

Ijama' Ulama berpendapat, bermanfaatlah doa dan  sedekah waris dan orang lain  bagi mayit, baik itu berupa waqaf mashhaf dan lainnya, membangun mesjid, menggali sumur, menanam pohon ketika hidupnya atau sesudah matinya.

Dalil tentang bermanfaat doa itu adalah hadits "Sesungguhnya Allah Ta'ala itu mengangkat derajat hamba didalam surga dengan sebab istighfar anaknya bagi mayyit.

Kemudian termaktub dalam surat Al Hasyr ayat 10, Allah Swt berfirman "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang".

Kemudian tentang sampainya fahala dengan bersedekah adalah hadits yang diriwayatkan dari Sa'ad bin 'Ubadah berkata ia, Ya Rasulullah Saw, sesungguhnya ibuku telah meninggal ia, apakah aku bersedekah untuknya? Rasulullah Saw menjawab "Ya", kemudian Sa'ad berkata "sedekah apakah yang paling afdhal? Maka Rasulullah Saw menjawab "menuangkan air".

Sedangkan firman Allah Swt dalam surat An Najm ayat 39, "Dan tidak adalah bagi manusia kecuali apa yang ia usahakan", adalah bersifat umum, baik itu sedekah, doa atau lainnya. Ayat tersebut dikhususkan dengan hadits di atas, yaitu pengertian "apa yang ia usaha' adalah selain sedekah dan doa.

aA Syeich Sulaiman bin Muhammad bin Umar al Bujairimi al Syafii didalam kitab Bujairimi menjelaskan bahwa umum dalam pemahamannya bahwa sesungguhnya tidak adalah bagi seseorang itu sesuatu tiada bermanfaatnya dikhususkan selain sedekah dan doa.

Simaklah video lengkapnya


(I'anathuththalibin, juz, 3, cet. Bairut, hal. 256).

Sunday, March 1, 2020

Tentang Istisna (Pengecualian) Pada Wasiat

Ditanyakan kepada Syaikhuna Ibnu Hajar, jikalau seseorang berkata ketika berwasiat "aku berwasiat untuk seseorang sepertiga hartaku kecuali semua kitab-kitab ku", kemudian setelah itu ia berkata lagi "aku berwasiat untuk seseorang sepertiga hartaku". Apakah seseorang tersebut beramal dengan yang pertama atau yang kedua?

Ibnu Hajar menjawab: bahwa yang dhahir ia beramal dengan yang pertama, karena yang pertama itu sudah sangat jelas nashnya yaitu dengan mengeluarkan semua kitab-kitabnya, dan sedangkan perkataan yang kedua itu muhtamil (mengandung unsur bokeh jadi), karena sesungguhnya meninggalkan kata "istisna" ketika itu karena sudah sangat jelas pada perkataan yang pertama bahwa kitab-kitab itu tidak termasuk, walaupun si Musi (orang yang berwasiat) iti tidak lagi mengatakan kata "istisna".

Maka memberlakukan hukum kepada yang sudah sangat jelas itu lebih utama dari pada memberlakukan hukum pada sesuatu yang ihtimal (boleh jadi).

(I'anathuth Thalibin, juz 3, h. 253, cet. Bairut)