Monday, March 30, 2020

Yang Di Nafikan dan Diisbatkan Dari Kalimat لا اله الا الله

Dalam menafikan pada kalimat لا اله الا الله memiliki 3 martabat. 1) nafi martabat mubtadi, 2) nafi maryabat mutawasit, 3) nafi martabat muntaha.

Nafi martabat mubtadi
Nafi martabat orang mubtadi yaitu menafikan yang bersifat ketuhanan yang lain dari pada Allah Swt.

Maka nafi ini nyata batalnya karena menafikan barang yang tiada yang mustahil wujudnya, yang tiada itu sungguh tiada berkehendak kepada nafinya, karena sudah nafi sedia jadi menghasilkan hasil, jadi tiada faedah nafinya.

Sebagian ulama mengatakan yang dinafikan adalah tuhan yang difardhukan atau ditakdirkan.a Nafi ini sangat batalnya.

Jikalau ada akalnya seberat zaarah jua pun, karena mafhum takdir itu berdiri pada tempat yang maujud, sedangkan yang maujud itu tiada menerima nafi.

Jikalau tiada sekali-kali tihan takdir itu niscaya tiada berkehendak kepada nafi, karena sudah nafi sedia jadi menghasilkan hasil.

Jadi tiada faedah nafinya lagi tiada faedah mengatakan kalimat yang mulia itu, karena yang dimaksud isinya tiada kulitnya.

Dan lagi pada nafi ini pada mafhumnya bercerai nafi dengan isbat, sedangkan adalah cincin kalimah itu mengandung nafi dan isbat, maka tatkala itu nafi mengandung isbat dan isbat mengandung nafi yang tiada bercerai dan tiada sekutu, seperti sabda Nabi Saw:

لا يفرق بين النفى والاثبات ومن فرق بينهما فهو كافر
Tiada bercerai antara nafi dan isbat dan siapa yang menceraikannya maka dianya itu kafir.

Nafi martabat mutawasit
Nafi orang martabat mutawasit yaitu menafikan syok dan waham berdiri sifat ketuhanan itu kepada makhluk, seperti sangka kebanyakan orang awam ada bagi makhluk ini memerintah, seperti raja-raja dan disangkanya kepada makhluk ada mendatangkan kebajikan dan kejahatan, sehingga dipujinya orang mendatangkan kebaikan kepadanya dan membenci akan orang yang mendatangkan kejahatannkepadanya. 

Syok sangka itulah yang dinafikan karena tiada sekali-kali perbuatan kelakuan makhluk yang mendatangkan kebajikan dan kejahatan, itu hanya perbuatan kelakuan Allah Swt yang berlaku pada sisi makhluk.

Itulah yang wajib diisbatkan sifat ketuhanan itu kepada Allah Swt supaya hilang syok waham itu.

Inilah arti nafi yang mengandung isbat dan isbat yang mengandung nafi, tiada bercerai dan tiada sekutu pada kalimat لا اله الا الله .

Itulah nafi yang dipegangi oleh orang mutawasit.

Nafi martabat muntaha
Nafi orang martabat muntaha itu yaitu menafikan wujudnya, seperti katanya:

لا موجد لا حي لا عالم لا قادر لا مريد لا سميع لا بصير لا متكلم فى الحقيقة الا الله
Tiada yang maujud, tiada yang hidup, tiada yang tau, tiada yang kuasa, tiada yang berkehendak, tiada yang mendengar, tiada yang melihat tiadabyang berkata pada hakikatnya melainkan Allah Swt.

Hanya sifat yang dhahir pada makhluk tempat dhahir sifat tuhan kepada hamba, seperti wujud kita ini bayang-bayang bagi wujud Allah Swt, mustahil bayang-bayang berdiri sendirinya tiada dengan wujud empunya bayang-bayang, dan mustahil bergerak bayang-bayang dengan tiada bergerak empunya bayang-bayang.

Tentang contoh bayang ini, agar menghampirkan kita dapat memahaminya, bukan mentasyabbuh dan menjadi contoh Allah Swt.

Allah Swt itu Maha Suci dari pada misal dan tasyabbuh.

Diibaratkan dengan bayang-bayang itu untuk memudahkan memahaminya.

Maka fanakanlah wujudmu didalam wujud Allah, fanakanlah sifatmu didalam sifat Allah, Allah lah yang hidup didalam dirimu yang tahu dalam ilmumu, yang kuasa dalam tulangmu, yang berkehendak pada nafsumu, yang mendengar padabtelingamu, yang melihat pada matamu, yang berkata pada lidahmu, (butuh bimbingan mursyid untuk memahaminya).

Maka tatkala itu lepaslah engkau dari pada syirik dan sebab terdinding kita kepada Allah dengan sebab sangka dan waham kita, disangka kita yang punya ikhtiar dan punya perbuatan.

Syok sangka itulah yang wajib kita nafikan pada kalimat لا اله karena tiada sekali-kali  kita punya perbuatan dan punya ikhtiar, hanya Allah Swt yang berlaku pada hamba semata-mata.

Inilah isyarah sabda Nabi Saw:

موتموا قبل ان تموتوا
Matilah kamu sebelum kamu dimatikan

(Syeh Muhammad Shalih ~ Kasyful Asrar, h. 32-33)

1 komentar: