MAWAR DIANA
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ahwal
1.1.Pengertian Ahwal
Ahwal adalah bentuk
jama’ dari kata hal, yang berarti kondisi mental atau situasi kejiwaan yang
diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil dari usahanya.Hal
bersifat sementara, datang dan pergi ;datang dan pergi bagi seorang sufi dalam
perjalananya mendekati Tuhan.[1][1]
Imam Al – Ghazali
mengatakan “Hal adalah satu waktu di mana seorang hamba berubah karena ada
sesuatu dalam hatinya.Seorang hamba pada saat tertentu hatinya dan pada saat
yang lain hatinya berubah. Inilah yang disebut dengan hal”.
1.2.Ahwal yang dijumpai dalam
perjalanan sufi
Ahwal yang sering dijumpai dalam
perjalanan kaum sufi antara lain :
1.
Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan muraqabah)
Waspada dan
mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat .Oleh karena itu , ada
sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada (Muhasabah) dapat diartikan
meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam
hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah.
Adapun mawas diri (Muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala
perbuatan sehari – hari telah sesuai atau malah menyimpang dari kehendak-Nya.
2.
Cinta (Mahabbah)
Cinta atau
mahabbah merupakan salah satu pilar utama islam dan inti dari
ajarannya.Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memerhatikan keindahan atau
kecantikan.
Dalam
pandangan Al-Junaidi, cinta didefinisikan sebagai “kecenderungan hati pada
Allah Ta’ala, kecenderungan hati pada sesuatu karena mengharap ridha Allah
tanpa merasa diri terbebani, atau menaati Allah dalam segala hal yang
diperintahkan atau dilarang, dan rela menerima apa yang telah ditetapkan dan
ditakdirkan Allah.
3.
Berharap
(Raja’)
Raja’
berarti suatu sikap mental yang optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat
ilahi yang disediakan bagi hamba-Nya yang shaleh, karena ia yakin bahwa Allah
itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun.
Imam
al-Qusyairi mengatakan “Raja’ ialah terikat hati pada sesuatu yang diharapkan
yang akan terjadi pada masa yang akan datang”.
Orang yang
harapan dan penantianya menjadikanya berbuat ketaatan dan mencegahnya dari
kemaksiata.berarti harapanya bebar.Sebaliknya.jika kemaksiatan,harapanya
sia-sia dan percuma.[2][2]
Raja’
menuntut tiga perkara,yaitu :
a.
Cinta kepada apa yang
diharapkanya.
b.
Takut harapanya itu
hilang.
c.
Berusaha untuk
mencpainya.
Raja’ yang tidak disertai dengan
tiga perkara itu,hanyalah ilusi atau hayalan.
4.
Khauf
Khauf menurut ahli sufi bararti suatu sikap mental takut kepada allah
karena khawatir kurang sempurna pengabdian.Khauf dapat mencegah hamba berbuat
maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Imam
Al-Ghozali membagi khauf menjadi dua macam:
a.
Khauf karena khawatir
kehilangan nikmat.Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan
menempatkan nikmat itu pada tempaynya.
b.
Khauf pada siksaan
sebagai akibat perbuatan kemeksiatan.Khauf yang seperti inilah yang mendorong
orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang
diperintah.
5.
Rindu (Syauq)
Selama
masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup
dengan subur, yakni rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada yang
mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar.Lupa kepada Allah lebih
berbahaya dari pada maut.Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan,kematian dapat
berarti bertemu dengan Tuhan.
Abu Ali
Daqaq mengatakan “Syauq adalah dorongan hati untuk bertemu dengan yang dicintai
dan kuatnya dorongan sesuai dengan kuatnya cinta dan cinta baru berakhir setelah melihat dan bertemu.
6.
Intim (Uns)
Uns adalah
keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh kepada satu titik
sentrum, yaitu Allah.Dalam pandangan sufi, sifat uns adalah sifat merasa selalu
berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut:
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu
memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda
mudi.Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang
selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata – mata. Adapun
engkau, selalu merasa berteman di mana pun berada. Akangkah mulianya engkau
berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharan Allah.
Sikap keintiman ini banyak dialami
oleh kaum sufi.
2. Maqamat
2.1 Pengertian Maqamat
Maqamat
bentuk jama’ dari kata maqam yang artinya station ( tahapan atau tingkatan),
yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi.Imam Al-Ghozali
berkata “Maqam adalah beragam mu’amalat (interaksi) dan mujahaddah (perjuangan
batin) yang dilakukan seorang hamba di sepanjang waktunya. Jika seorang hamba
tersebut menjalankan salah satu dari maqam itu dengan sempurna maka itulah
maqamnya hingga ia berpindah dari maqam itu menuju maqam yang lebih tinggi.[3][3]
Maqam
didapatkan melalui upaya mujahaddah dan riyadhah.Maqam itu tidak bisa
didapatkan kecuali dengan beramal secara terus – menerus dan rutin serta dengan
mengendalikan nafsu.
2.2
Maqam – Maqam dalam Tasawuf
Maqam yang
dijalani kaum sufi umumnya terdiri dari taubat, zuhud, faqr, sabar, syukur,
rela, dan tawakal.[4][4]
1. Taubat
Menurut
Qamar Kailani dalam bukunya Fi At-Tasawufi Al-Islam, taubat adalah rasa
penyesalan yang sungguh – sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta
meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Sementara Al-Ghazali
mengklasifikasikan taubat pada tiga tingkatan :
a. Meninggalkan kejahatan dalam segala
bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.
b. Beralih dari satu situasi yang
sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi.Dalam tasawuf, keadaan ini
sering disebut “inabah”
c. Rasa penyesalan yang dilakukan
semata – mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut ‘aubah’.
Menurut sufi yang menyebabkan
seseorang jauh dari Allah adalah karena dosa, dan dosa adalah sesuatu yang
kotor.
2.
Zuhud
Secara
harfiyah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat duniawi, atau
meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Secara umum, zuhud dapat diartikan
sebagai suatu sikap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehidupan
duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.
Dilihat
dari maksudnya, zuhud dibagi menjadi tiga tingkatan, pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari
hukuman akhirat. Kedua,
menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau
berharap, tetapi karena cinta kepada Allah.
Zuhud yang
hakiki adalah meninggalkan dunia dari “lubuk hati”, meskipun bisa saja
kemewahan dunia itu berada dalam genggaman kita. Karena, selama kita masih
hidup di dunia, kita tetap membutuhkan harta meski sedikit untuk melangsungkan
hidup kita, agar kita tidak mengemis pada orang lain.
3.
Faqr (Fakir)
Al-Faqr
adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas
dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap
mental faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh
kehidupan materi. Sebab, sikap mental ini akan menghindarkan seseorang dari
keserakahan.
Dengan demikian, pada prinsipnya, sikap mental
faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi
kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya pendisiplinan diri dalam mencari dan
memanfaatkan fasilitas hidup. Pesan yang tersirat yang ada di dalam al-faqr
adalah hati- hati terhadap pengaruh negatif yang diakibatkan olah keinginan
kepda harta kekayaan.
4.
Sabar
Sabar,berarti
sikap konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah. Berani
menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan selama perjuangan demi mencapai
tujuan.
Menurut
Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu :
1.
Bersabar kepada Allah
dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
2.
Bersabar bersama
Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu,
dari berbagai macam kesulitan dan musibah.
3.
Bersabar atas Allah,
yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan
pertolongan dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.[5][5]
5.
Syukur
Syukur
adalah ungkapan rasa terimakasih atas nikmat yang diterima. Syukur sangat
diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat
karunia Allah. Allah-lah yang telah memberikan nikmat kepada kita, baik berupa
pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan maupun nikmat-nikmat lainnya yang
tidak terhitung jumlahnya.
Syekh
‘Abdul Qadir Al-Jailani membagi syukur menjadi tiga macam,
pertama
dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang.
Kedua, syukur dengan badan dan anggota
badan, yaitu dengan cara melaksanakan ibadah sesuai perintah-Nya. Ketiga, syukur dengan hati.
6.
Rela ( Rida)
Rida’
berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT.
Orang yang rela mampu melihat hikmah kebaikan di balik cobaan yang diberikan
Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu
melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan
kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan
tersebut.
Menurut
Abdul Halim Mahmud, rida mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga
mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia
harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah.
7.
Tawakal
Tawakal
adalah salah satu sifat manusia beriman dan ikhlas. Hakikat tawakal adalah
menyerahkan segala urusan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, membersihkannya dari
ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan – kawasan hukum dan ketentuan.
Tawakal
terbagi pada tiga derajat: tawakal,
taslim, dan tafwidh. Tawakal adalah sifat orang – orang yang beriman,
taslim adalah sifat para wali, sedangkan tafwidh adalah sifat orang benar –
benar mengesakan. Orang yang bertawakal merasa tentram dengan janji Rabb-Nya.
Orang yang taslim merasa cukup dengan ilmu-Nya. Adapun pemilik tafwidh rida
dengan hukum-Nya.
3. Perbedaan
Dan Persamaan Ahwal dan Maqamat
Keterangan di atas
menegaskan kepada kita bahwa maqam berbeda dengan hal. Menurut para sufi, maqam
ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai
seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh tanpa
daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang – senang, rasa
tercekam, rasa rindu, rasa gelisah, atau rasa harap.
Sesuai penjelasan di
tersebut, hal adalah pemberian Allah. Ia bisa berubah dan hilang. Sedangkan
maqam hanya bisa didapatkan dengan cara beramal, usaha, dan usaha keras yang
dilakukan secara kontinyu tidak terputus Merupakan inti kajian dan
ajaran tasawuf, dapat dialami oleh setiap sufi yang dilakukan secara kontinyu tidak terputus, maqam
bisa didapatkan oleh seorang hamba setelah ia membersihkan juwanya dari segala
sesuatu yang bisa membuatnya melalaikan Tuhan.[6][6]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Maqamat
meupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak
dua telapak Maqamat meupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan
dan tempat berpijak dua telapak kaki. Dalam ilmu tasawuf maqam berarti kedudukan
hamba dalam pandangan Allah menurut apa yang diusahakan berupa ibadah,
perjuangan, dan latihan. Sedangkan secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa
arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini
selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang selalu ditempuh
oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.
Ahwal merupakan bentuk
jamak dari hal. Dari segi bahasa, ahwal berarti sifat atau keadaan sesuatu.
Ahwal diterangkan sebagai penberian yang tercurah kepada seseorang dari
tuhannya, baik sebagi buah dari amal shaleh yang menyucikan jiwa maupun datang
dari tuhan sebagai penbrian semata
Antara maqam dan hal tidak dapat
dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antara
keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju
Tuhan; dan bahwa dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah
ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam – maqam
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
· Fattah,Abdul Sayyid Ahmad.2005.Tasawuf
antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah.Jakarta:Khalifa.
·
Sholihin,M dan Anwar,
Rosihan.2008.Ilmu Tasawuf.Bandung: CV Pustaka Setia.
·
As,Asmaran.1994.Pengantar
Studi Tasawuf.Jakarta:Rajawali Press.
[1][1] Drs. Asmaran As.,M.A,Pengantar Studi Tasawuf,Jakarta:Rajawali Press,1994,hlm.137.
[2][2] Dr.M.Sholihin,M.Ag dan Dr.Rosihon Anwar.M.Ag,Ilmu Tasawuf,Bandung: CV Pustaka Setia,2008, hlm.85.
[3][3] Abdul Fattah, Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah,Jakarta: Khalifa, 2005, hlm.108.
[4][4] Dr.M. Sholihin,M.Ag, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, 2008, hlm.78.
[5][5] Ibid, Hlm.80-81
[6][6] Abdul Fattah,Tasawuf antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, Jakarta:Khalifa,2005.hlm.110-111
0 komentar:
Post a Comment