Thursday, November 5, 2020

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN MAQAMAT DAN AHWAL

 MAWAR DIANA

BAB II

PEMBAHASAN

 

1.     Ahwal

1.1.Pengertian Ahwal

Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata hal, yang berarti kondisi mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil dari usahanya.Hal bersifat sementara, datang dan pergi ;datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalananya mendekati Tuhan.[1][1]

Imam Al – Ghazali mengatakan “Hal adalah satu waktu di mana seorang hamba berubah karena ada sesuatu dalam hatinya.Seorang hamba pada saat tertentu hatinya dan pada saat yang lain hatinya berubah. Inilah yang disebut dengan hal”.

 

1.2.Ahwal yang dijumpai dalam perjalanan sufi

Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain :

 

1.      Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan muraqabah)

Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat .Oleh karena itu , ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada (Muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah. Adapun mawas diri (Muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari – hari telah sesuai atau malah menyimpang dari kehendak-Nya.

2.      Cinta (Mahabbah)

Cinta atau mahabbah merupakan salah satu pilar utama islam dan inti dari ajarannya.Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan.

Dalam pandangan Al-Junaidi, cinta didefinisikan sebagai “kecenderungan hati pada Allah Ta’ala, kecenderungan hati pada sesuatu karena mengharap ridha Allah tanpa merasa diri terbebani, atau menaati Allah dalam segala hal yang diperintahkan atau dilarang, dan rela menerima apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan Allah.

3.      Berharap  (Raja’)

Raja’ berarti suatu sikap mental yang optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hamba-Nya yang shaleh, karena ia yakin bahwa Allah itu Maha Pengasih, Penyayang dan Maha Pengampun.

Imam al-Qusyairi mengatakan “Raja’ ialah terikat hati pada sesuatu yang diharapkan yang akan terjadi pada masa yang akan datang”.

Orang yang harapan dan penantianya menjadikanya berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiata.berarti harapanya bebar.Sebaliknya.jika kemaksiatan,harapanya sia-sia dan percuma.[2][2]

Raja’ menuntut tiga perkara,yaitu :

      a.       Cinta kepada apa yang diharapkanya.

b.      Takut harapanya itu hilang.

c.       Berusaha untuk mencpainya.

  Raja’ yang tidak disertai dengan tiga perkara itu,hanyalah ilusi atau hayalan.

4.      Khauf

Khauf menurut ahli sufi bararti suatu sikap mental takut kepada allah karena khawatir kurang sempurna pengabdian.Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.

Imam Al-Ghozali membagi khauf menjadi dua macam:

a.       Khauf karena khawatir kehilangan nikmat.Inilah yang mendorong orang untuk selalu memelihara dan menempatkan nikmat itu pada tempaynya.

b.      Khauf pada siksaan sebagai akibat perbuatan kemeksiatan.Khauf yang seperti inilah yang mendorong orang untuk menjauh dari apa yang dilarang dan melaksanakan apa yang diperintah.

5.      Rindu (Syauq)

Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu ingin segera bertemu dengan Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar.Lupa kepada Allah lebih berbahaya dari pada maut.Bagi sufi yang rindu kepada Tuhan,kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan.

Abu Ali Daqaq mengatakan “Syauq adalah dorongan hati untuk bertemu dengan yang dicintai dan kuatnya dorongan sesuai dengan kuatnya cinta dan cinta baru berakhir  setelah melihat  dan bertemu.

6.      Intim (Uns)

Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi rohani terpusat penuh kepada satu titik sentrum, yaitu Allah.Dalam pandangan sufi, sifat uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut:

“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda mudi.Ada pula orang yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata – mata. Adapun engkau, selalu merasa berteman di mana pun berada. Akangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada dalam pemeliharan Allah.

Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.

2.     Maqamat

2.1 Pengertian Maqamat

Maqamat bentuk jama’ dari kata maqam yang artinya station ( tahapan atau tingkatan), yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi.Imam Al-Ghozali berkata “Maqam adalah beragam mu’amalat (interaksi) dan mujahaddah (perjuangan batin) yang dilakukan seorang hamba di sepanjang waktunya. Jika seorang hamba tersebut menjalankan salah satu dari maqam itu dengan sempurna maka itulah maqamnya hingga ia berpindah dari maqam itu menuju maqam yang lebih tinggi.[3][3]

Maqam didapatkan melalui upaya mujahaddah dan riyadhah.Maqam itu tidak bisa didapatkan kecuali dengan beramal secara terus – menerus dan rutin serta dengan mengendalikan nafsu.

2.2  Maqam – Maqam dalam Tasawuf

Maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri dari taubat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal.[4][4]

1.      Taubat

Menurut Qamar Kailani dalam bukunya Fi At-Tasawufi Al-Islam, taubat adalah rasa penyesalan yang sungguh – sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Sementara Al-Ghazali mengklasifikasikan taubat pada tiga tingkatan :

a.       Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih pada kebaikan karena takut kepada siksa Allah.

b.      Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi.Dalam tasawuf, keadaan ini sering disebut “inabah”

c.       Rasa penyesalan yang dilakukan semata – mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut ‘aubah’.

Menurut sufi yang menyebabkan seseorang jauh dari Allah adalah karena dosa, dan dosa adalah sesuatu yang kotor.

 

 

 

2.      Zuhud

Secara harfiyah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat duniawi, atau meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Secara umum, zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat.

Dilihat dari maksudnya, zuhud dibagi menjadi tiga tingkatan, pertama (terendah), menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga (tertinggi), mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tetapi karena cinta kepada Allah.

Zuhud yang hakiki adalah meninggalkan dunia dari “lubuk hati”, meskipun bisa saja kemewahan dunia itu berada dalam genggaman kita. Karena, selama kita masih hidup di dunia, kita tetap membutuhkan harta meski sedikit untuk melangsungkan hidup kita, agar kita tidak mengemis pada orang lain.

 

3.      Faqr (Fakir)

Al-Faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain. Sikap mental faqr merupakan benteng pertahanan yang kuat dalam menghadapi pengaruh kehidupan materi. Sebab, sikap mental ini akan menghindarkan seseorang dari keserakahan.

 Dengan demikian, pada prinsipnya, sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud. Hanya saja, zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan fakir hanya pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup. Pesan yang tersirat yang ada di dalam al-faqr adalah hati- hati terhadap pengaruh negatif yang diakibatkan olah keinginan kepda harta kekayaan.

4.      Sabar

Sabar,berarti sikap konsekuen dan konsisten dalam melaksanakan semua perintah Allah. Berani menghadapi kesulitan, tabah menghadapi cobaan selama perjuangan demi mencapai tujuan.

Menurut Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu :

1.        Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

2.        Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu, dari berbagai macam kesulitan dan musibah.

3.        Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kecukupan, pertolongan, dan pertolongan dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.[5][5]

 

5.      Syukur

Syukur adalah ungkapan rasa terimakasih atas nikmat yang diterima. Syukur sangat diperlukan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah berkat karunia Allah. Allah-lah yang telah memberikan nikmat kepada kita, baik berupa pendengaran, penglihatan, kesehatan, keamanan maupun nikmat-nikmat lainnya yang tidak terhitung jumlahnya.

Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani membagi syukur menjadi tiga macam,

 pertama dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang.

Kedua, syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan ibadah sesuai perintah-Nya. Ketiga, syukur dengan hati.

 

6.      Rela ( Rida)

 

Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah kebaikan di balik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.

Menurut Abdul Halim Mahmud, rida mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah.

 

7.      Tawakal

Tawakal adalah salah satu sifat manusia beriman dan ikhlas. Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, membersihkannya dari ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan – kawasan hukum dan ketentuan.

Tawakal terbagi pada tiga derajat: tawakal, taslim, dan tafwidh. Tawakal adalah sifat orang – orang yang beriman, taslim adalah sifat para wali, sedangkan tafwidh adalah sifat orang benar – benar mengesakan. Orang yang bertawakal merasa tentram dengan janji Rabb-Nya. Orang yang taslim merasa cukup dengan ilmu-Nya. Adapun pemilik tafwidh rida dengan hukum-Nya.

3.     Perbedaan Dan Persamaan Ahwal dan Maqamat

Keterangan di atas menegaskan kepada kita bahwa maqam berbeda dengan hal. Menurut para sufi, maqam ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicapai seseorang dengan kehendak dan upayanya, sementara hal dapat diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang – senang, rasa tercekam, rasa rindu, rasa gelisah, atau rasa harap.

Sesuai penjelasan di tersebut, hal adalah pemberian Allah. Ia bisa berubah dan hilang. Sedangkan maqam hanya bisa didapatkan dengan cara beramal, usaha, dan usaha keras yang dilakukan secara kontinyu tidak terputus Merupakan inti kajian dan ajaran tasawuf, dapat dialami oleh setiap sufi yang dilakukan secara kontinyu tidak terputus, maqam bisa didapatkan oleh seorang hamba setelah ia membersihkan juwanya dari segala sesuatu yang bisa membuatnya melalaikan Tuhan.[6][6]

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Maqamat meupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak Maqamat meupakan bentuk jamak dari maqom mengandung arti kedudukan dan tempat berpijak dua telapak kaki. Dalam ilmu tasawuf maqam berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah menurut apa yang diusahakan berupa ibadah, perjuangan, dan latihan. Sedangkan secara harfiyah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang selalu ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.

Ahwal merupakan bentuk jamak dari hal. Dari segi bahasa, ahwal berarti sifat atau keadaan sesuatu. Ahwal diterangkan sebagai penberian yang tercurah kepada seseorang dari tuhannya, baik sebagi buah dari amal shaleh yang menyucikan jiwa maupun datang dari tuhan sebagai penbrian semata

Antara maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Keterkaitan antara keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi prasyarat menuju Tuhan; dan bahwa dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam – maqam selanjutnya.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

·         Fattah,Abdul Sayyid Ahmad.2005.Tasawuf antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah.Jakarta:Khalifa.

·         Sholihin,M dan Anwar, Rosihan.2008.Ilmu Tasawuf.Bandung: CV Pustaka Setia.

·         As,Asmaran.1994.Pengantar Studi Tasawuf.Jakarta:Rajawali Press.

 



[1][1] Drs. Asmaran As.,M.A,Pengantar Studi Tasawuf,Jakarta:Rajawali Press,1994,hlm.137.

[2][2] Dr.M.Sholihin,M.Ag dan Dr.Rosihon Anwar.M.Ag,Ilmu Tasawuf,Bandung: CV Pustaka Setia,2008, hlm.85.

[3][3] Abdul Fattah, Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah,Jakarta: Khalifa, 2005, hlm.108.

[4][4] Dr.M. Sholihin,M.Ag, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia, 2008, hlm.78.

[5][5] Ibid, Hlm.80-81

[6][6] Abdul Fattah,Tasawuf antara Al-Ghazali & Ibnu Taimiyah, Jakarta:Khalifa,2005.hlm.110-111


0 komentar:

Post a Comment