Ihdina Kamisyah
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Pada mulanya seseorang berfilsafat
untuk mengetahui makna segala sesuatu secara mendalam terhadap sebuah
eksistensi baik alam diri maupun Tuhan dengan cara baik bertanya pada dirinya
maupun orang lain.Namun seiring perkembangan zaman pemikiran melalui filsafat
tentang eksisitensi Tuhan tidak sepenuhnya memberikan jawaban,bagaimana hakekat
diri dengan Tuhan,bagaimana mencapai derajat untuk mengetahui segala hal
tentang Tuhan,sehingga para ulama sufi mencari sebuah jalan lain untuk mencari
eksistensi itu,yaitu dengan tarekat.
Tarekat yang berarti jalan spiritual(yang
digunakan oleh para sufi) yang berisikan amalan-amalan ibadah dan lainnya tentang
nama-nama Allah dan sifat-Nya dengan pemahaman yang mendalam memberikan ruang
baru bagi masyarakat untuk semakain mengenal Allah.
B.Rumusan Masalah
1.Apakah pengertian Tarekat
Syattariyah dan bagaimana sejarah pendiriannya?
2.Apakah pengertian Tarekat Qadiriyah
dan pelajaran yang ada di dalamnya?
3.Apakah pengertian Tarekat Naqsyabandiyah
dan ajaran yang ada di dalamnya?
C.Tujuan Pembahasan
1.Untuk mengetahui pengertian
Tarekat Syattariyah dan sejarahnya
2.Untuk mengetahui pengertian
Tarekat Qadiriyah dan pelajaran yang ada di dalamnya
3.Untuk mengetahui pengertian
Tarekat Naqsybandiyah dan ajaran yang ada di dalamnya
1
BAB II
PEMBAHASAN
A.Tarekat Syattariyah
Tarekat
Syattariyah merupakan tarekat yang paling populer di Aceh, terutama pada masa
kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah pimpinan Ratu/Sultanah. Hal ini tidak
lain karena pengaruh dari seorang ulama besar asal Singkil yang bernama
Abdurrauf AsSingkili. Beliau menghabiskan masa 19 tahun di Jazirah Arab untuk
belajar berbagai macam ilmu agama Islam, terutama hukum Islam dan tasawuf. Ia
berangkat dari Aceh ke Arabiyah sekitar tahun 1642 M/1042 H dan menghabiskan
waktu 19 tahun di sana untuk belajar aneka macam ilmu keislaman. Di Madinah,
Abdurrauf belajar kepada Ahmad alQushashi sampai sang guru meninggal dunia pada
tahun 1071 H/1660 M, dan juga kepada khalifah dari al-Qusyasyi yakni Ibrahim
al-Kurani. Dari al-Qushashi ia belajar ilmu-ilmu tasawuf dan ilmu yang terkait
lainnya. Sebagai tanda selesainya dari pelajarannya dalam
ilmu
mistis, al-Qushashi menunjuknya sebagai khalifah dalam tarekat Syattariyah dan
tarekat Qadiriyah. Perjalannya ke Arab memang tercatat dengan baik. Dalam
catatannya ia mengatakan telah mengunjungi berbagai negeri dan menjumpai banyak
sekali ulama untuk belajar ilmu agama. Setelah sekian lama ia juga menghabiskan
waktu untuk mengajarkan ilmu agama Islam dalam berbagai kesempatan. Namun dari
sekian banyak gurunya di sana ada dua orang gurunya yang paling berpengadalam
berbagai ilmu keislaman, yakni AlKurani dan al-Qusyasyi. Dari dua orang guru
ini pula beliau mendapatkan ijazah beraneka ragam ilmu tarekat kepadanya, seperti
Qadiriyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, dan tentu saja tarekat Syattariyah.
Namun diantara sekian banyak tarekat yang diterima dari gurunya, Abdurrauf
nampaknya hanya mengembangkan satu tarekat saja di Aceh, yaknitarekat
Syattariyah.[1]
Setelah
pulang ke Aceh, beliau langsung menjadi orang penting di kerajaan Aceh
Darussalam.
Saat ia pulang kerajaan masih belum memiliki seorang pengganti Nuruddin
Ar-Raniry yang telah kembali ke India karena kalah debat dengan Saiful Rijal
dalam pembahasan wahdatul wujud.[2]
Sementara kita juga belum mendapatkan informasi yang cukup tentang sosok Saiful
Rijal, apakah ia mendapatkan kedudukan sebagai Syaikhul Islam setelah
mengalahkan Nuruddin ataukah ia kembali ke daerah asalnya, Sumatera Barat.
Namun yang pasti ketika Abdurauf diangkat menjadi Syaikhul Islam, sumber
sejarah tidak menyebut kalau ia menggantikan seseorang dikerajaan Aceh. Ini
berarti di sana memang sedang tidak ada orang yang menduduki jabatan Syaikhul
Islam menggantikan Nuruddin Ar-Raniry.
Sejarah
mencatat kalau Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan yang sangat
komit
dan tergila-gila dengan tasawuf. Sehingga banyak istilah dalam pemerintahan dan
tata kota menggunakan istilah tasawuf. ai penghadapan istana sultan dinamai
dengan Darul Kamal, sungai di taman istana bernama Darul ‘Isyki, benteng istana
disebut Kota Khalwat, dan bahkan kapal
kerajaan yang digunakan raja untuk pesiar atau me- ngunjungi daerah jauh
dinamakan Mir’atus Safa (cermin kesufian).[3]Oleh
sebab itu mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan tasawuf dan tarekat
bukanlah hal yang tabu dan asing dalam masyarakat Aceh saat itu.
Setelah
ia mendapatkan kedudukan sebagai Syaikhul Islam dalam kerajaan Aceh ia
mulai
mendirikan lembaga pendidikan agama Islam. Dalam banyak literatur ia mendirikan
lembaga tersebut di pinggir laut di kuala Krueng Aceh. Ini pula yang
menyebabkan ia dikenal dengan panggilan Teungku Syiah Kuala. Posisi kerjaan
Aceh yang sangat populer dan dikunjungi banyak orang pada masa itu menjadikan
ia muali dikenal ke berbagai daerah di Nusantara.
Ia
juga mempopulerkan tarekat Syattariyah. Posisi Aceh sebagai salah satu pusat
pendidikan
Islam di Nusantara menyebabkan lembaga pendidikannya dikunjungi oleh berbagai
pelajar dari dunia Melayu dan Jawa untuk mendalami ilmu agama Islam. Konon
inilah yang menyebabkan Aceh dianggap sebagai “Serambi Mekkah” di mana setiap
orangyang hendak belajar ke Mekkah singgah sementara di Aceh untuk menambah
perbekalannya dan untuk mendapatkan pelajaran awal tentang agama Islam dan
bahasa Arab. Sehingga saat ia nantinya tiba di Makkah, maka ia sudah menguasai
dasar-dasar pengetahuan keislaman dan memiliki kemampuan bahasa Arab sebagai
media komunikasi dalam menuntut ilmu. Namun demikian tidak jarang orang merasa
apa yang dipelajari di Aceh sudah cukup bagianya dan tidak perlu pergi ke Arab.
Mereka menghabiskan beberapa tahun di Aceh, belajar agama, menulis buku, lalu
kembali ke daerahnya untuk mengajarkan agama Islam yang sudah dikuasainya.
Sejauh
catatan para sarjana hingga saat ini ada beberapa orang ulama yang belajar
pada
Abdurrauf dan kemudian menjadi ulama di daerah mereka. Antara lain Syaikh
Burhanuddin
Ulakan yang mengembangkan tarekat Syattariyah di Sumatera Barat,
terutama
di daerah Pariaman saat ini. Berkat jasa Ulakan, tarekat Syattariyah menjadi
salah satu tarekat yang sangat berpengaruh di Sumatera Barat. Da pulau Jawa
tarekat ini dikembangkan oleh muridnya bernama Abdul Muhyi dari Paminjahan. Ia
belajar dan menetap di Aceh selama beberapa tahun sebelum melanjutkan
perjalanannya ke Makkah,
ia
juga masih singgah di Aceh setelah pulang dari Makkah. Baru dari sana ia pulang
ke Jawa dan mengembangkan tarekat ini di kampung halamannya. Sementara di
daerah semenanjung Melayu tarekat ini dikembangkan oleh muridnya Abdul Malik
bin Abdullah. Berkat sajanya pula tarekat ini berkembang di banyak kawasan di
Malaysia sekarang hingga daerah Patani, Thailand.[4]
2.Tarekat Qadiriyah
Tarekat
Qadiriyah merupakan tarekat tertua yang didirikan oleh seorang Waliyullah yaitu
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.Beliau memerintahkan kepada muridnya agar
senantiasa berdzikir setiap siang dan malam hari,serta setelah siap shalat lima
waktu.[5]Pelajaran
pada tarekat Qadariyah sama seperti
pelajaran Agama Islam pada umumnya,hanya saja mereka lebih mementingkan kasih
sayang terhadap sesama makhluk,rendah hati,dan menghindari fanatisme.[6]Paham
Qadariyah sebahagian besar merupakan paham mu’tazilah,yang mana pada paham ini
manusia mempunyai kebebasan untuk berkehendak sesuai keinginan hati mereka.Sehingga
hal ini juga berdampak pada aliran tarekat itu sendiri,yang mana mereka terlalu
menyamakan manusia dengan Tuhan.[7]
3.Tarekat Naqsyabandiyah
Menurut
imam Kota Subulussalam Ahmad Dahlan mengatakan bahwasanya
ajaran
Tarekat Naqsyabndiyah pimpinan Abuya H.Qaharuddin adalah ajaran yang sudah ada
pada jaman Nabi muhamad dan sampai sekarang masih banyak yang mengamalkannya bentuk
ajaran tarekat yang lebih medepankan manusia kepada mendekatkan manusia kepada
Allah dan megandung makna yang sangat mamfaat bagi manusia yang bertujuan agar
manusia bisa lebih mendekat kan diri kita kepada Allah Swt sesui dengan yang
sudah di tetapkan Allah dalam Al-qur’an dan hadis.
Tarekat
Naqsyabandiyah ini mempunyai banyak tujuan yang baik dalam
dunia
akhirat sehigga mayarakat kota subulussalam sehigga bnyak masyarkakat
mengikuti
ajaranya. Tarekat tersebut sangat mudah di pahami oleh sebab itu tarekat
ini
bisa mengigatkan kita kematian sehingga manusia bisa menjadi terarah hidupnya pengalammannya
yang sangat sederhana dan lebih
mendepankan kepada akhirat dan pengamalan tarekat ini sangat mudah di cerna
dalam kehidupan sehari hari dan tarekat ini sangat sederhana dalam mengamalkan
ajaran-ajaran yang bisa kita rasakan dalam kehidupan manusia.[8]
Ajaran
Tarekat Naqsyabandiyah kota Subulussalam
1.
Berpedoman pada Al-qur’an dan Ijma’ ulama yang bermazahab Syafi dalam
fqih
dan bemzahab Asy’ari ( Ahlusunnah Wal Jamaah ) dalam aqidah
2.
Tidak boleh bertentangan dengan seluruh ketentua Syariat Islam Tarekat
adalah
semata-mata amalan zikurullah untuk mengigat Allah dan
pengamalanyan
syariat islam dan sekaligus merupakan amalam tazakyun
Nafs
( penyucian jiwa) cara membuat ahklak menjadi baik.
3.
Tali Silsilah memyambungkan kasih sayang atau kekerabatan yang
menhendaki
kebaikan.
4.
Mursyid adalah seorang pemimpin atau guru dalam sebuah tarekat
5.
Kafiat adalah tata cara berzikir.
6.
Suluk Itikaf adalah menempuh jalan Allah sebuah jalan yang sungguh nyata 7.
zikir adalah beerulang-ulang menyebut nama Allah atau menyatakan la ha (( tiada
tuhan selain Allah).
8.
Dibaiatkan adalah sumpah setia ketika seorang mursyid berikan janji kepada sang
murid.
BAB
III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Tarekat
Syattariyah merupakan tarekat yang paling populer di Aceh, terutama pada
masa
kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah pimpinan Ratu/Sultanah. Hal ini tidak
lain karena pengaruh dari seorang ulama besar asal Singkil yang bernama
Abdurrauf AsSingkili. Beliau menghabiskan masa 19 tahun di Jazirah Arab untuk
belajar berbagai macam ilmu agama Islam, terutama hukum Islam dan tasawuf.
Tarekat
Qadiriyah merupakan tarekat tertua yang didirikan oleh seorang Waliyullah yaitu
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.Beliau memerintahkan kepada muridnya agar
senantiasa berdzikir setiap siang dan malam hari,serta setelah siap shalat lima
waktu.Pelajaran pada tarekat Qadariyah
sama seperti pelajaran Agama Islam pada umumnya,hanya saja mereka lebih
mementingkan kasih sayang terhadap sesama makhluk,rendah hati,dan menghindari
fanatisme.
Ajaran
Tarekat Naqsyabndiyah pimpinan Abuya H.Qaharuddin adalah ajaran yang sudah ada
pada jaman Nabi muhamad dan sampai sekarang masih banyak yang mengmalkannya bentuk
ajaran tarekat yang lebih medepankan manusia kepada mendekatkan manusia kepada
Allah dan megandung makna yang sangat mamfaat bagi manusia yang bertujuan agar
manusia bisa lebih mendekat kan diri kita kepada Allah Swt sesuai dengan yang
sudah di tetapkan Allah dalam Al-qur’an dan hadis.
B.Saran
Dalam
memahami tarekat tidak cukup hany mempelajari sekilas saja.Karena seluk beluk
tarekat sangatlah rumit dan penuh dengan teka-teki.Sebab ruang lingkup tarekat adalah
spiritual yang tidak bisa di pelajari kecuali dengan pengalaman batiniyah tersendiri. 7
DAFTAR
PUSTAKA
[1]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara-Timur Tengah Abad
XVI-XVII, Bandung: Mizan, 1997.
²Takeshi Ito, “Why did Nuruddin
Ar-Raniry leave Aceh in 1054 H?” Bijdragen tot Tall-, Land en Volkenkunde
(BKD), 1987, hal. 134
³Vladimir I. Braginskyi, Yang indah,
Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19 (Seri INIS, #34),
Jakarta: INIS, 1998.
⁴Herman Syah, “Tiga Tokoh Utama Pendiri Tarekat Syatariyah di Aceh
dan Nusantara”, dalam
https://goo.gl/XoXJea
⁵Ibid.,112
⁶Jaiz,Mendudukkan
Tasawuf,....,123
⁷Rosihon
Anwar dan Abdul Razak,ILMU KALAM,(Bandung:Pustaka Setia,2001),80
⁸Masyfuk
Zuhri, Studi Islam ( Jakarta : PT grafindo persada, 1993), hlm 54
[1]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara-Timur Tengah Abad XVI-XVII, Bandung: Mizan,
1997.
[2] Takeshi Ito, “Why did Nuruddin Ar-Raniry leave Aceh in 1054 H?” Bijdragen tot Tall-, Land en Volkenkunde (BKD), 1987, hal. 134
[3] Vladimir I. Braginskyi, Yang indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19 (Seri INIS, #34), Jakarta: INIS, 1998.
[4] Herman Syah, “Tiga Tokoh Utama Pendiri Tarekat Syatariyah di Aceh dan Nusantara”, dalam
https://goo.gl/XoXJea
4
[5] Ibid.,112
[6] Jaiz,Mendudukkan Tasawuf,....,123
0 komentar:
Post a Comment