Thursday, November 12, 2020

ALIRAN-ALIRAN TAKEKAT YANG BERKEMBANG MASA KINI DI ACEH

 Ihdina Kamisyah

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.Latar Belakang

Pada mulanya seseorang berfilsafat untuk mengetahui makna segala sesuatu secara mendalam terhadap sebuah eksistensi baik alam diri maupun Tuhan dengan cara baik bertanya pada dirinya maupun orang lain.Namun seiring perkembangan zaman pemikiran melalui filsafat tentang eksisitensi Tuhan tidak sepenuhnya memberikan jawaban,bagaimana hakekat diri dengan Tuhan,bagaimana mencapai derajat untuk mengetahui segala hal tentang Tuhan,sehingga para ulama sufi mencari sebuah jalan lain untuk mencari eksistensi itu,yaitu dengan tarekat.

Tarekat yang berarti jalan spiritual(yang digunakan oleh para sufi) yang berisikan amalan-amalan ibadah dan lainnya tentang nama-nama Allah dan sifat-Nya dengan pemahaman yang mendalam memberikan ruang baru bagi masyarakat untuk semakain mengenal Allah.

B.Rumusan Masalah

1.Apakah pengertian Tarekat Syattariyah dan bagaimana sejarah pendiriannya?

2.Apakah pengertian Tarekat Qadiriyah dan pelajaran yang ada di dalamnya?

3.Apakah pengertian Tarekat Naqsyabandiyah dan ajaran yang ada di dalamnya?

C.Tujuan Pembahasan

1.Untuk mengetahui pengertian Tarekat Syattariyah dan sejarahnya

2.Untuk mengetahui pengertian Tarekat Qadiriyah dan pelajaran yang ada di dalamnya

3.Untuk mengetahui pengertian Tarekat Naqsybandiyah dan ajaran yang ada di dalamnya

1

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.Tarekat Syattariyah

 

Tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang paling populer di Aceh, terutama pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah pimpinan Ratu/Sultanah. Hal ini tidak lain karena pengaruh dari seorang ulama besar asal Singkil yang bernama Abdurrauf AsSingkili. Beliau menghabiskan masa 19 tahun di Jazirah Arab untuk belajar berbagai macam ilmu agama Islam, terutama hukum Islam dan tasawuf. Ia berangkat dari Aceh ke Arabiyah sekitar tahun 1642 M/1042 H dan menghabiskan waktu 19 tahun di sana untuk belajar aneka macam ilmu keislaman. Di Madinah, Abdurrauf belajar kepada Ahmad alQushashi sampai sang guru meninggal dunia pada tahun 1071 H/1660 M, dan juga kepada khalifah dari al-Qusyasyi yakni Ibrahim al-Kurani. Dari al-Qushashi ia belajar ilmu-ilmu tasawuf dan ilmu yang terkait lainnya. Sebagai tanda selesainya dari pelajarannya dalam

ilmu mistis, al-Qushashi menunjuknya sebagai khalifah dalam tarekat Syattariyah dan tarekat Qadiriyah. Perjalannya ke Arab memang tercatat dengan baik. Dalam catatannya ia mengatakan telah mengunjungi berbagai negeri dan menjumpai banyak sekali ulama untuk belajar ilmu agama. Setelah sekian lama ia juga menghabiskan waktu untuk mengajarkan ilmu agama Islam dalam berbagai kesempatan. Namun dari sekian banyak gurunya di sana ada dua orang gurunya yang paling berpengadalam berbagai ilmu keislaman, yakni AlKurani dan al-Qusyasyi. Dari dua orang guru ini pula beliau mendapatkan ijazah beraneka ragam ilmu tarekat kepadanya, seperti Qadiriyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, dan tentu saja tarekat Syattariyah. Namun diantara sekian banyak tarekat yang diterima dari gurunya, Abdurrauf nampaknya hanya mengembangkan satu tarekat saja di Aceh, yaknitarekat Syattariyah.[1]

Setelah pulang ke Aceh, beliau langsung menjadi orang penting di kerajaan Aceh

Darussalam. Saat ia pulang kerajaan masih belum memiliki seorang pengganti Nuruddin Ar-Raniry yang telah kembali ke India karena kalah debat dengan Saiful Rijal dalam pembahasan wahdatul wujud.[2] Sementara kita juga belum mendapatkan informasi yang cukup tentang sosok Saiful Rijal, apakah ia mendapatkan kedudukan sebagai Syaikhul Islam setelah mengalahkan Nuruddin ataukah ia kembali ke daerah asalnya, Sumatera Barat. Namun yang pasti ketika Abdurauf diangkat menjadi Syaikhul Islam, sumber sejarah tidak menyebut kalau ia menggantikan seseorang dikerajaan Aceh. Ini berarti di sana memang sedang tidak ada orang yang menduduki jabatan Syaikhul Islam menggantikan Nuruddin Ar-Raniry.

 

Sejarah mencatat kalau Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan yang sangat

komit dan tergila-gila dengan tasawuf. Sehingga banyak istilah dalam pemerintahan dan tata kota menggunakan istilah tasawuf. ai penghadapan istana sultan dinamai dengan Darul Kamal, sungai di taman istana bernama Darul ‘Isyki, benteng istana disebut Kota Khalwat,  dan bahkan kapal kerajaan yang digunakan raja untuk pesiar atau me- ngunjungi daerah jauh dinamakan Mir’atus Safa (cermin kesufian).[3]Oleh sebab itu mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan tasawuf dan tarekat bukanlah hal yang tabu dan asing dalam masyarakat Aceh saat itu.

 

Setelah ia mendapatkan kedudukan sebagai Syaikhul Islam dalam kerajaan Aceh ia

mulai mendirikan lembaga pendidikan agama Islam. Dalam banyak literatur ia mendirikan lembaga tersebut di pinggir laut di kuala Krueng Aceh. Ini pula yang menyebabkan ia dikenal dengan panggilan Teungku Syiah Kuala. Posisi kerjaan Aceh yang sangat populer dan dikunjungi banyak orang pada masa itu menjadikan ia muali dikenal ke berbagai daerah di Nusantara.

 

Ia juga mempopulerkan tarekat Syattariyah. Posisi Aceh sebagai salah satu pusat

pendidikan Islam di Nusantara menyebabkan lembaga pendidikannya dikunjungi oleh berbagai pelajar dari dunia Melayu dan Jawa untuk mendalami ilmu agama Islam. Konon inilah yang menyebabkan Aceh dianggap sebagai “Serambi Mekkah” di mana setiap orangyang hendak belajar ke Mekkah singgah sementara di Aceh untuk menambah perbekalannya dan untuk mendapatkan pelajaran awal tentang agama Islam dan bahasa Arab. Sehingga saat ia nantinya tiba di Makkah, maka ia sudah menguasai dasar-dasar pengetahuan keislaman dan memiliki kemampuan bahasa Arab sebagai media komunikasi dalam menuntut ilmu. Namun demikian tidak jarang orang merasa apa yang dipelajari di Aceh sudah cukup bagianya dan tidak perlu pergi ke Arab. Mereka menghabiskan beberapa tahun di Aceh, belajar agama, menulis buku, lalu kembali ke daerahnya untuk mengajarkan agama Islam yang sudah dikuasainya.

 

Sejauh catatan para sarjana hingga saat ini ada beberapa orang ulama yang belajar

pada Abdurrauf dan kemudian menjadi ulama di daerah mereka. Antara lain Syaikh

Burhanuddin Ulakan yang mengembangkan tarekat Syattariyah di Sumatera Barat,

terutama di daerah Pariaman saat ini. Berkat jasa Ulakan, tarekat Syattariyah menjadi salah satu tarekat yang sangat berpengaruh di Sumatera Barat. Da pulau Jawa tarekat ini dikembangkan oleh muridnya bernama Abdul Muhyi dari Paminjahan. Ia belajar dan menetap di Aceh selama beberapa tahun sebelum melanjutkan perjalanannya ke Makkah,

ia juga masih singgah di Aceh setelah pulang dari Makkah. Baru dari sana ia pulang ke Jawa dan mengembangkan tarekat ini di kampung halamannya. Sementara di daerah semenanjung Melayu tarekat ini dikembangkan oleh muridnya Abdul Malik bin Abdullah. Berkat sajanya pula tarekat ini berkembang di banyak kawasan di Malaysia sekarang hingga daerah Patani, Thailand.[4]

 

2.Tarekat Qadiriyah

 

Tarekat Qadiriyah merupakan tarekat tertua yang didirikan oleh seorang Waliyullah yaitu Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.Beliau memerintahkan kepada muridnya agar senantiasa berdzikir setiap siang dan malam hari,serta setelah siap shalat lima waktu.[5]Pelajaran pada  tarekat Qadariyah sama seperti pelajaran Agama Islam pada umumnya,hanya saja mereka lebih mementingkan kasih sayang terhadap sesama makhluk,rendah hati,dan menghindari fanatisme.[6]Paham Qadariyah sebahagian besar merupakan paham mu’tazilah,yang mana pada paham ini manusia mempunyai kebebasan untuk berkehendak sesuai keinginan hati mereka.Sehingga hal ini juga berdampak pada aliran tarekat itu sendiri,yang mana mereka terlalu menyamakan manusia dengan Tuhan.[7]

 

 

3.Tarekat  Naqsyabandiyah

 

Menurut imam Kota Subulussalam Ahmad Dahlan mengatakan bahwasanya

ajaran Tarekat Naqsyabndiyah pimpinan Abuya H.Qaharuddin adalah ajaran yang sudah ada pada jaman Nabi muhamad dan sampai sekarang masih banyak yang mengamalkannya bentuk ajaran tarekat yang lebih medepankan manusia kepada mendekatkan manusia kepada Allah dan megandung makna yang sangat mamfaat bagi manusia yang bertujuan agar manusia bisa lebih mendekat kan diri kita kepada Allah Swt sesui dengan yang sudah di tetapkan Allah dalam Al-qur’an dan hadis.

Tarekat Naqsyabandiyah ini mempunyai banyak tujuan yang baik dalam

dunia akhirat sehigga mayarakat kota subulussalam sehigga bnyak masyarkakat

mengikuti ajaranya. Tarekat tersebut sangat mudah di pahami oleh sebab itu tarekat

ini bisa mengigatkan kita kematian sehingga manusia bisa menjadi terarah hidupnya pengalammannya  yang sangat sederhana dan lebih mendepankan kepada akhirat dan pengamalan tarekat ini sangat mudah di cerna dalam kehidupan sehari hari dan tarekat ini sangat sederhana dalam mengamalkan ajaran-ajaran yang bisa kita rasakan dalam kehidupan manusia.[8]

Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah kota Subulussalam

1. Berpedoman pada Al-qur’an dan Ijma’ ulama yang bermazahab Syafi dalam

fqih dan bemzahab Asy’ari ( Ahlusunnah Wal Jamaah ) dalam aqidah

2. Tidak boleh bertentangan dengan seluruh ketentua Syariat Islam Tarekat

adalah semata-mata amalan zikurullah untuk mengigat Allah dan

pengamalanyan syariat islam dan sekaligus merupakan amalam tazakyun

Nafs ( penyucian jiwa) cara membuat ahklak menjadi baik.

3. Tali Silsilah memyambungkan kasih sayang atau kekerabatan yang

menhendaki kebaikan.

4. Mursyid adalah seorang pemimpin atau guru dalam sebuah tarekat

5. Kafiat adalah tata cara berzikir.

6. Suluk Itikaf adalah menempuh jalan Allah sebuah jalan yang sungguh nyata 7. zikir adalah beerulang-ulang menyebut nama Allah atau menyatakan la ha (( tiada tuhan selain Allah).

8. Dibaiatkan adalah sumpah setia ketika seorang mursyid berikan janji kepada sang murid.

 

BAB III

PENUTUP

 

A.Kesimpulan

 

Tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang paling populer di Aceh, terutama pada

masa kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah pimpinan Ratu/Sultanah. Hal ini tidak lain karena pengaruh dari seorang ulama besar asal Singkil yang bernama Abdurrauf AsSingkili. Beliau menghabiskan masa 19 tahun di Jazirah Arab untuk belajar berbagai macam ilmu agama Islam, terutama hukum Islam dan tasawuf.

 

Tarekat Qadiriyah merupakan tarekat tertua yang didirikan oleh seorang Waliyullah yaitu Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani.Beliau memerintahkan kepada muridnya agar senantiasa berdzikir setiap siang dan malam hari,serta setelah siap shalat lima waktu.Pelajaran pada  tarekat Qadariyah sama seperti pelajaran Agama Islam pada umumnya,hanya saja mereka lebih mementingkan kasih sayang terhadap sesama makhluk,rendah hati,dan menghindari fanatisme.

 

Ajaran Tarekat Naqsyabndiyah pimpinan Abuya H.Qaharuddin adalah ajaran yang sudah ada pada jaman Nabi muhamad dan sampai sekarang masih banyak yang mengmalkannya bentuk ajaran tarekat yang lebih medepankan manusia kepada mendekatkan manusia kepada Allah dan megandung makna yang sangat mamfaat bagi manusia yang bertujuan agar manusia bisa lebih mendekat kan diri kita kepada Allah Swt sesuai dengan yang sudah di tetapkan Allah dalam Al-qur’an dan hadis.

 

B.Saran

 

Dalam memahami tarekat tidak cukup hany mempelajari sekilas saja.Karena seluk beluk tarekat sangatlah rumit dan penuh dengan teka-teki.Sebab ruang lingkup tarekat adalah spiritual yang tidak bisa di pelajari kecuali dengan pengalaman  batiniyah tersendiri.                                  7                           

                      

DAFTAR PUSTAKA

 

 

[1]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara-Timur Tengah Abad XVI-XVII, Bandung: Mizan, 1997.

 

²Takeshi Ito, “Why did Nuruddin Ar-Raniry leave Aceh in 1054 H?” Bijdragen tot Tall-, Land en Volkenkunde (BKD), 1987, hal. 134

 

³Vladimir I. Braginskyi, Yang indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19 (Seri INIS, #34), Jakarta: INIS, 1998.

 

Herman Syah, “Tiga Tokoh Utama Pendiri Tarekat Syatariyah di Aceh dan Nusantara”, dalam

https://goo.gl/XoXJea

 

Ibid.,112

 

Jaiz,Mendudukkan Tasawuf,....,123

 

Rosihon Anwar dan Abdul Razak,ILMU KALAM,(Bandung:Pustaka Setia,2001),80

 

Masyfuk Zuhri, Studi Islam ( Jakarta : PT grafindo persada, 1993), hlm 54

 

 

 

 



[1]Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Nusantara-Timur Tengah Abad XVI-XVII, Bandung: Mizan,

1997.                                                               

[2] Takeshi Ito, “Why did Nuruddin Ar-Raniry leave Aceh in 1054 H?” Bijdragen tot Tall-, Land en Volkenkunde (BKD), 1987, hal. 134

[3] Vladimir I. Braginskyi, Yang indah, Berfaedah, dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19 (Seri INIS, #34), Jakarta: INIS, 1998.       

          [4] Herman Syah, “Tiga Tokoh Utama Pendiri Tarekat Syatariyah di Aceh dan Nusantara”, dalam

https://goo.gl/XoXJea

 

                    4

[5] Ibid.,112

 

[6] Jaiz,Mendudukkan Tasawuf,....,123

 

[7] Rosihon Anwar dan Abdul Razak,ILMU KALAM,(Bandung:Pustaka Setia,2001),80

 

 

 

 

 

 

 

 

5

[8] Masyfuk Zuhri, Studi Islam ( Jakarta : PT grafindo persada, 1993), hlm 54

 

 

 

 

 

 

6

0 komentar:

Post a Comment