Monday, November 2, 2020

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN ILMU TASAWUF DI INDONESIA

 Makalah Syahrul Septianda

BAB l

PENDAHULUAN

 

A.Latar Belakang

Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di indonesia berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang.

Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti, orientalis, dan cendikiawan Indonesia bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas.

 

B.Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah  perkembangan tasawuf di Indonesia ?.

2. Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia?.

 

C.Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui sejarah  perkembangan tasawuf di Indonesia.

2. Untuk mengetahui para tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia.

 


BAB ll

PEMBAHASAN

 

A.Sejarah Perkembangan Tasawwuf Di Indonesia.

Membahas perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses Islamisasi di kawasan ini. Sebab, penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para ‘ulama sufi. Dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari Sumatera, baik yang ditulis dari bahasa Arab dan bahasa Melayu, berorientasi sufisme[1]. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf merupakan unsur yang sangat dominan dalam masyarakat pada masa itu.

Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyebaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di ranah Minangkabau atas upaya Syaikh Burhanuddin Ulakan (w. 1693 M), murid Abdur Rauf Assingkili (singkil), yang terkenal dengan Syaikh Tarekat Syattariyyah.

Ulama’-ulama’ besar yang muncul kemudian di daerah ini, pada umumnya berasal dari didikan Syaikh Ulakan, seperti Tuanku Nan Ranceh, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Pasaman, Tuanku Lintau dan lain-lain.

Penyebaran Islam ke Pulau Jawa,  juga berasal dari kerajaan Pasai, terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro yang ketiganya adalah abituren[2] Pasai. Melalui keuletan itulah berdiri kerajaan Islam Demak yang kemudian menguasai Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah.

Perkembangan Islam selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Sebutan itu sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada derajat “Wali”. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi itulah mereka mendapat gelar Susuhunan yang biasa disebut Sunan.[3] [1]


B.Tokoh – Tokoh Tasawuf Di Indonesia

1. Hamzah Fansuri (wafat. 1016 H/1607 M)

Nama Hamzah Fansuri di Nusantara bagi kalangan ulama’ dan sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam mencatat bahwa Syaikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syaikh Syamsuddin Sumatrani  termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Hallaj[4].  Paham hulul, ittihad, mahabbah dan lain-lain adalah seirama. Syaikh Hamzah Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya, hingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia.

Pemikiran Al-Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibn Arabi dalam paham wahdah wujudnya. Diantara ajaran Al-Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya wujud itu adalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari wujud yang satu ini ada yang berupa kulit (kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi (kenyataan batin).[2]

Selain hakikat wujud dan penciptaan, Al-Fansuri berpendapat bahwa Allah adalah Dzat yang Qadim, sebab Allah adalah yang Pertama dan Pencipta alam semesta. Allah lebih dekat daripada leher manusia sendiri dan Allah tidak bertempat sekalipun sering dikatakan bahwa Allah ada dimana-mana.[3]

2. Nuruddin Ar-Raniri (w. 1068/1658 M)

Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di kota Gujarat, India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Hasanjin Al-Hamid As-Syafi’i Ar-Raniri. Menurut catatan Azyumardi Azra, Ar-Raniri merupakan tokoh pembaharuan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaharuan Islamnya setelah mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh. Pembaharuan utamanya adalah pemberantas aliran Wujudiyah yang dianggap sebagai aliran sesat.[4] 

Menurut Ar-Raniri ajaran Wujudiyah yang bepusat pada Wahdah Al-Wujud, yang disalah artikan kaum Wujudiyah dengan arti kemanunggalan Allah SWT dengan alam. Menurutnya, pendapat Al-Fansuri tentang Wahdah Al-Wujud dapat membawa pada kekafiran. Ia berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan begitupun sebaliknya, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, keburukan maupun kebaikan, Allah SWT turut ikut serta melakukannya. Jika demikian, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan.

Diantara karya-karya yang pernah di tulis oleh Ar-Raniri dalam bahasa melayu di antaranya adalah:

1)   Ash-Shirat Al-Mustaqim.

2)    Butan Ash- Shalatin.

3)   Asrar Al-Insan fi Ma’rifah Ar-Ruh wa Ar-Rahman.

4)   Akhbar Al- Akhirah fi Ahwal Al-Qiyamah

5)   Rafiq Al-Muhammadiyyah fi Thariq Ash-Syufiyyah.

6)   Aqa’id Ash-Shufiyyah Al-Muwahhidin.

7)   Durrah Al-Fara’idh bi Syarh Al-Aqa’id.

8)   Syifa’ Al-Qulub.[5]

 

3. Syaikh Abdur Rauf As-Sinkili (1024-1105 H)

Abdur Rauf As-Sinkili adalah seorang ulama’ dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke-17 (1606-1637 M). Nama lengkapnya adalah Syaikh Abdur Rauf bin ‘Ali Al-Fansuri. Sejarah mencatat bahwa beliau adalah murid dari dua ulama’ sufi yang menetap di Mekah dan Madinah. Ia sempat menerima bai’at Tarekat Syattariyah, disamping ilmu-ilmu sufi yang lain termasuk sekte[5] dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungannya dengannya.[6]

Syaikh Abdur Rauf juga menolak paham Wujudiyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Pemahaman Abdur Rauf terhadap konsep martabat tujuh terletak pada posisi Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Ia lebih menekankan aspek transendensi[6] Tuhan terhadap ciptaan-Nya daripada aspek imanensi sebagai paham kaum Wujudiyah.[7] 

 

4. Syaikh Yusuf Al-Makasari (1037-1111 H/1627-1699 M)

Syaikh Yusuf Al-Makasari adalah seorang sufi agung yang berasal dari Sulawesi dan dilahirkan pada tanggal 18 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M. Dalam salah satu karangannya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab “Al-Makasari”, yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang). Dalam tempo relatif singkat, ia tamat mempelajari Al-Qur’an 30 Juz. Setelah benar-benar lancar tentang Al-Qur’an dan mungkin termasuk seorang penghafal, ia melanjutkan untuk mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain, seperti ilmu nahwu, ilmu bayan, ilmu sharraf, ilmu mantiq, ilmu badi’, ilmu balaghah dan ilmu tasawuf.[8]

Salah satu ajaran Yusuf Al-Makasari dalam tasawuf yakni pendapatnya mengenai insan kamil[7] dan proses penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba-Nya. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan. Sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju Tuhan dan gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tertib hidup dan disiplin diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia. Berkenaan dengan cara-cara menuju Tuhan, ia membaginya dalam tiga tingkatan,[9] yaitu:

 

a.       Akhyar (orang-orang terbaik)

Yakni dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, menunaikan ibadah haji dan berijtihad dijalan Allah.

b.      Mujahad Asy-Syaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan kesulitan)

Yakni latihan batin yang keras untuk melepaskan perilaku buruk, menyucikan pikiran dan batin dengan memperbanyak amalan batin dan melipatgandakan amalan-amalan lahir.

c.       Ahl Ad-Dzikr

Yakni jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk berhubungan dengan Tuhan.

 

5.  Nawawi Al-Bantani (1813-1879 M)

Abu ‘Abd Al-Mu’thi Muhammad bin ‘Umar bin An-Nawawi Al-Jawi’ dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M di desa Tanara (sekarang masuk wilayah kecamatan Tirtayasa)kabupaten Serang, Jawa BaratIndonesia. Sebelum melakukan perjalanan ke Mekah, ia sempat berguru kepada ayahnya sendiri, Kyai H. Umar, seorang penghulu dari Tanara, ia pun sempat belajar kepada Kyai H. Sahal, seorang ulama’ terkenal di Banten saat itu.

Pendidikannya kemudian diteruskan ke Mekah, selama tiga tahun. Ia bermukim di sana dan pulang ke tanah air dengan khazanah[8] keilmuan agama yang relatif cukup lengkap untuk menjadi seorang Kyai di kampungnya. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Snouck, ia merasa belum memenuhi cita-cita dan harapan masyarakat Banten secara penuh dan lengkap sehingga ia kembali ke Mekah dan bermukim disana sampai akhir hayatnya, tahun 1314 H/1897 M. Disana, ia terlibat dalam proses belajar dan mengajar serta menjadi pengarang dan mencapai kemasyhurannya di dunia Islam, khususnya di Indonesia.  

Pemikirannya dalam tasawuf, salah satunya tentang tarekat. Ungkapan An-Nawawi yakni: orang-orang yang mengambil tarekat, jika perkataan dan perbuatannya sesuai dengan syari’at Nabi Muhamad SAW, maka tarekatnya maqbul. Jika tidak demikian, mereka akan mencela dzikir Allah seperti pengikut Syaikh Ismail Minangkabau, mencela orang yang tidak masuk dalam tarekat.[10]

 

6. Abd Shamad Al-Palimbani

Abd Shamad Al-Palimbani adalah seorang ulama’ sufi kelahiran Palembang pada permulaan abad ke-18, kira-kira tiga atau empat tahun sebelum 1700 M dan meninggal kira-kira tidak lama setelah tahun 1203 H/1788 M. Ia adalah putra Abdul Jalil bin Syaikh Abdul Wahhab bin Syaikh Ahmad Al-Mahdani dari Yaman, seorang ulama’ sufi di sana, dan juga pernah diangkat menjadi mufti besar di Kedah. Ketika berada di Palembang, Abd Jalil menikah dengan seorang wanita negeri ini, Radin Ranti. Dari pernikahan ini, lahirlah Abd Shamad Al-Palimbani.[11]

Corak tasawuf Al-Palimbani adalah menggabungkan unsur-unsur ajaran Al-Ghazali dan Ibn Arabi, yang diolah dan disajikan dalam satu sistem ajaran tasawuf tersendiri. Ia menganut paham Ibn Arabi yang memandang manusia secara potensial sebagai manifestasi Allah yang paling sempurna. Meskipun ditafsirkan sedemikian rupa agar tidak menimbulkan pengertian phantheistik[9], yang menganggap bahwa Allah itu adalah alam semesta secara keseluruhan, dan alam semesta secara keseluruhan adalah Allah.[12]

 

7. Hamka (1908-1981 M)

HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) dilahirkan di Tanah Sirah, Sungai Batang di tepi Sungai Maninjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1362 H, bertepatan dengan 16 Februari 1908 M. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah yang termasuk keturunan Abdul Arief, gelar Tuanku Pariman atau Tuanku Nan Tuo, salah satu pahlawan Paderi.

Pemikiran tasawuf menurut HAMKA, salah satunya tentang pengertiannya. Tasawuf pada hakikatnya adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki budi dan membersihkan batin. Artinya, tasawuf adalah alat untuk membentengi dari kemungkinan-kemungkinan seseorang terpeleset ke dalam  lumpur keburukan budi dan kekotoran batin yang intinya antara lain dengan berzuhud[10] seperti teladan hidup yang dicontohkan Rasulullah lewat As-Sunnah yang Shahih.[13]

Adapun karya-karya yang pernah di tulis oleh Hamka diantaranya adalah:

1)      Tasawuf Modern.

2)      Falsafah Hidup.

3)      Lembaga Hidup.

4)      Lembaga Budi.

5)      Di bawah Lindungan Ka’bah.

6)      Renungan Tasawuf.

7)      Pelajaran Agama Islam.

8)      Pandangan Hidup Muslim.

9)      Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.

10)  Kedudukan Perempuan Dalam Islam.

11)  Tafsir Al-Azhar.

Prof. Dr. Hamka meninggal pada tahun 1984 di Jakarta, dengan meninggalkan lembaga pendidikan yang di kelolanya, yaitu perguruan Al-Azhar.

 

BAB lll

PENUTUP

 

A.Kesimpulan

Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyebaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di ranah Minangkabau atas upaya Syaikh Burhanuddin Ulakan (w. 1693 M), murid Abd Rauf Singkel, yang terkenal dengan Syaikh Tarekat Syattariyah.

Berikut ini adalah tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia: 

1.Hamzah Fansuri 

2.Nuruddin Ar-Raniri 

3.Syaikh Abdur Rauf As-Sinkili

4.Syaikh Yusuf Al-Makasari

5.Nawawi Al-Bantani

6.Abd Shamad Al-Palimbani

7.Haji Abdul Malik Karim Amrullah.

 

 

B.Saran

Menyadari bahwa makalah ini  masih jauh dari kata sempurna, kami berharap semoga dengan adanya makalah ini menjadikan pembaca lebih mendalami lagi ilmu tasawuf,dan lebih mengenal siapa siapa saja tokoh tasawuf di Indonesia,karena dengan ilmu tasawuf kita dapat beribadah kepada allah dengan sempurna.

 

C.Daftar Pustaka

·        Amin, Samsul Munir. 2015. Ilmu Tasawuf. Edisi ketiga. Jakarta: Amzah.

·        Anwar, Rosihon. 2010. Ilmu Tasawuf. Edisi revisi. Bandung: Pustaka Setia.

·        Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar. 2015. Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi). Edisi kedua. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

 



[1] Sufisme artinya orang sufi/tasawuf,sumber : kamus besar Bahasa indonesia

[2] Abituren artinya lulusan,sumber : kamus besar Bahasa indonesia

[3] Sunan artinya penyebutan nama untuk para wali,sumber : kamus besar bahasa Indonesia

[1] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Edisi revisi, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 338

 

[4] Hallaj adalah seorang ‘ulama sufi yang sangat tekun beribadah sumber : wikepedia

[2].Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum SiregarAkhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi), Edisi kedua(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2015), hlm. 65.

[3] M. Solihin dan Rosihon AnwarIlmu Tasawuf, Edisi pertama, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm247.

[4] M. Solihin dan Rosihon Anwarop.cit.hlm251

 

[5] Sekte adalah kelompok orang yang mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut; mazhab,sumber : kamus besar bahasa Indonesia.

[6] Transidensi adalah cara berpikir tentang hal-hal yang melampaui apa yang terlihat,sumber : kamus besar bahasa Indonesia.

[5] Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 344

[6] M. Solihin dan Rosihon Anwarop.cit., hlm252

[7] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregarop.cit., hlm67

 

[7] Insan kamil artinya manusia yang sempurna sumber : kamus bahasa arab

[8] Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 349

[9] M. Solihin dan Rosihon Anwarop.cit.hlm265

[8] Khazanah artinya yang memiliki sumber : kamus besar bahasa Indonesia

[10] Ibid.hlm266-268

[11] Ibid., hlm255

[9] Phantaestik adalah suatu posisi yang menganggap Universe/Alam Semesta identik dengan keTuhanan,dengan kata lain tuhan adalah alam

[10] Zuhud merupakan suatu sikap terpuji yang disukai Allah SWT

[12] Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregarop.cit., hlm. 68

[13] M. Solihin dan Rosihon Anwarop.cit.hlm269-274

0 komentar:

Post a Comment