Makalah Syahrul Septianda
BAB l
PENDAHULUAN
A.Latar
Belakang
Penyebaran
Islam yang berkembang secara spektakuler di indonesia berkat peranan dan
kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan yang diakui oleh hampir
mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap
kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang.
Terdapat
kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti, orientalis, dan cendikiawan
Indonesia bahwa tasawuf adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara
luas.
B.Rumusan
Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia ?.
2.
Siapa saja tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia?.
C.Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan tasawuf di Indonesia.
2. Untuk mengetahui para tokoh-tokoh tasawuf
di Indonesia.
BAB ll
PEMBAHASAN
A.Sejarah Perkembangan Tasawwuf Di Indonesia.
Membahas perkembangan tasawuf di
Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses Islamisasi di kawasan ini. Sebab,
penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para ‘ulama sufi.
Dari sekian banyak
naskah lama yang berasal dari Sumatera, baik yang ditulis dari bahasa Arab dan
bahasa Melayu, berorientasi sufisme[1]. Hal ini menunjukkan bahwa
pengikut tasawuf merupakan unsur yang sangat dominan dalam masyarakat pada masa
itu.
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai,
kawasan Pasai menjadi titik sentral penyebaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara
Pulau Jawa. Islam tersebar di ranah Minangkabau atas upaya Syaikh Burhanuddin
Ulakan (w. 1693 M), murid Abdur Rauf Assingkili (singkil), yang terkenal dengan
Syaikh Tarekat Syattariyyah.
Ulama’-ulama’ besar yang muncul kemudian
di daerah ini, pada umumnya berasal dari didikan Syaikh
Ulakan, seperti Tuanku Nan Ranceh, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Pasaman, Tuanku
Lintau dan lain-lain.
Penyebaran Islam ke Pulau
Jawa, juga berasal dari kerajaan Pasai, terutama atas jasa Maulana
Malik Ibrahim, Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoro yang ketiganya adalah abituren[2]
Pasai. Melalui keuletan itulah berdiri kerajaan Islam Demak yang kemudian
menguasai Banten dan Batavia melalui Syarif Hidayatullah.
Perkembangan Islam selanjutnya
digerakkan oleh Wali Songo atau Wali Sembilan. Sebutan itu sudah
cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai pada
derajat “Wali”. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan
mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi
itulah mereka mendapat gelar Susuhunan yang biasa
disebut Sunan.[3]
[1]
B.Tokoh
– Tokoh Tasawuf Di Indonesia
1. Hamzah Fansuri (wafat. 1016 H/1607 M)
Nama Hamzah Fansuri di Nusantara bagi
kalangan ulama’ dan sarjana penyelidik keislaman tak asing lagi. Hampir semua penulis sejarah Islam
mencatat bahwa Syaikh Hamzah Fansuri dan muridnya Syaikh Syamsuddin
Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham dengan Hallaj[4]. Paham hulul,
ittihad, mahabbah dan lain-lain adalah seirama. Syaikh Hamzah Fansuri
diakui sebagai salah seorang pujangga Islam yang sangat populer pada zamannya,
hingga kini namanya menghiasi lembaran-lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan
Indonesia.
Pemikiran Al-Fansuri tentang tasawuf
banyak dipengaruhi Ibn Arabi dalam paham wahdah wujudnya.
Diantara ajaran Al-Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan
penciptaan. Menurutnya wujud itu adalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari
wujud yang satu ini ada yang berupa kulit (kenyataan lahir) dan ada yang berupa
isi (kenyataan batin).[2]
Selain hakikat wujud dan penciptaan,
Al-Fansuri berpendapat bahwa Allah adalah Dzat yang Qadim, sebab
Allah adalah yang Pertama dan Pencipta alam semesta. Allah lebih dekat daripada
leher manusia sendiri dan Allah tidak bertempat sekalipun sering dikatakan
bahwa Allah ada dimana-mana.[3]
2. Nuruddin Ar-Raniri (w. 1068/1658 M)
Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah
kota pelabuhan tua di kota Gujarat, India. Nama lengkapnya adalah Nuruddin
Muhammad bin Hasanjin Al-Hamid As-Syafi’i Ar-Raniri.
Menurut catatan Azyumardi Azra, Ar-Raniri merupakan tokoh pembaharuan di Aceh.
Ia mulai melancarkan pembaharuan Islamnya setelah mendapat pijakan yang kuat di
istana Aceh. Pembaharuan utamanya adalah pemberantas aliran Wujudiyah yang
dianggap sebagai aliran sesat.[4]
Menurut Ar-Raniri ajaran Wujudiyah yang
bepusat pada Wahdah Al-Wujud, yang disalah artikan kaum Wujudiyah dengan
arti kemanunggalan Allah SWT dengan alam. Menurutnya, pendapat Al-Fansuri
tentang Wahdah Al-Wujud dapat membawa pada kekafiran. Ia berpandangan bahwa jika
benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah
Tuhan begitupun sebaliknya, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan
manusia, keburukan maupun kebaikan, Allah SWT turut ikut serta
melakukannya. Jika demikian, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan.
Diantara karya-karya yang
pernah di tulis oleh Ar-Raniri dalam bahasa melayu di antaranya adalah:
1) Ash-Shirat
Al-Mustaqim.
2) Butan
Ash- Shalatin.
3) Asrar
Al-Insan fi Ma’rifah Ar-Ruh wa Ar-Rahman.
4) Akhbar Al-
Akhirah fi Ahwal Al-Qiyamah
5) Rafiq
Al-Muhammadiyyah fi Thariq Ash-Syufiyyah.
6) Aqa’id
Ash-Shufiyyah Al-Muwahhidin.
7) Durrah Al-Fara’idh
bi Syarh Al-Aqa’id.
8) Syifa’
Al-Qulub.[5]
3. Syaikh Abdur Rauf As-Sinkili (1024-1105 H)
Abdur Rauf As-Sinkili adalah seorang
ulama’ dan mufti besar kerajaan Aceh pada abad ke-17 (1606-1637 M). Nama
lengkapnya adalah Syaikh Abdur Rauf bin ‘Ali Al-Fansuri. Sejarah mencatat bahwa
beliau adalah murid dari dua ulama’ sufi yang menetap di Mekah dan
Madinah. Ia sempat menerima bai’at Tarekat Syattariyah,
disamping ilmu-ilmu sufi yang lain termasuk sekte[5]
dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungannya dengannya.[6]
Syaikh Abdur Rauf juga menolak
paham Wujudiyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan
dan hamba. Pemahaman Abdur Rauf terhadap konsep martabat tujuh terletak pada
posisi Tuhan terhadap ciptaan-Nya. Ia lebih menekankan aspek transendensi[6]
Tuhan terhadap ciptaan-Nya daripada aspek imanensi sebagai paham kaum Wujudiyah.[7]
4. Syaikh Yusuf Al-Makasari (1037-1111 H/1627-1699 M)
Syaikh Yusuf Al-Makasari adalah
seorang sufi agung yang berasal dari Sulawesi dan dilahirkan pada tanggal 18
Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M. Dalam salah satu
karangannya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab “Al-Makasari”,
yaitu nama kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang). Dalam tempo relatif singkat, ia tamat
mempelajari Al-Qur’an 30 Juz. Setelah benar-benar lancar tentang Al-Qur’an dan mungkin termasuk seorang
penghafal, ia melanjutkan untuk mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain,
seperti ilmu nahwu, ilmu bayan, ilmu sharraf,
ilmu mantiq, ilmu badi’, ilmu balaghah dan ilmu
tasawuf.[8]
Salah satu ajaran Yusuf Al-Makasari
dalam tasawuf yakni pendapatnya mengenai insan kamil[7]
dan proses penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba
walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada
diri hamba-Nya. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan
hawa nafsu harus dimatikan. Sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju Tuhan dan
gejolak hawa nafsu harus dikendalikan melalui tertib hidup dan disiplin diri
atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia. Berkenaan
dengan cara-cara menuju Tuhan, ia membaginya dalam tiga tingkatan,[9] yaitu:
a.
Akhyar (orang-orang
terbaik)
Yakni dengan memperbanyak shalat, puasa, membaca
Al-Qur’an, menunaikan ibadah haji dan berijtihad dijalan Allah.
b.
Mujahad Asy-Syaqa’ (orang-orang yang berjuang melawan
kesulitan)
Yakni latihan batin yang keras untuk melepaskan
perilaku buruk, menyucikan pikiran dan batin dengan memperbanyak amalan batin
dan melipatgandakan amalan-amalan lahir.
c.
Ahl Ad-Dzikr
Yakni jalan bagi orang yang telah kasyaf untuk
berhubungan dengan Tuhan.
5. Nawawi Al-Bantani (1813-1879 M)
Abu ‘Abd
Al-Mu’thi Muhammad bin ‘Umar bin An-Nawawi Al-Jawi’ dilahirkan pada tahun 1230 H/1813 M di desa Tanara (sekarang masuk wilayah kecamatan Tirtayasa), kabupaten Serang, Jawa Barat, Indonesia. Sebelum melakukan perjalanan ke Mekah, ia
sempat berguru kepada ayahnya sendiri, Kyai H. Umar, seorang penghulu dari
Tanara, ia pun sempat belajar kepada Kyai H. Sahal, seorang ulama’ terkenal di
Banten saat itu.
Pendidikannya kemudian
diteruskan ke Mekah, selama tiga tahun. Ia bermukim di sana dan
pulang ke tanah air dengan khazanah[8]
keilmuan agama yang relatif cukup lengkap untuk menjadi seorang Kyai di
kampungnya. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Snouck, ia merasa belum memenuhi
cita-cita dan harapan masyarakat
Banten secara penuh dan lengkap sehingga ia kembali ke Mekah dan bermukim disana sampai akhir hayatnya,
tahun 1314 H/1897 M. Disana, ia terlibat dalam proses belajar dan mengajar
serta menjadi pengarang dan mencapai kemasyhurannya di dunia Islam, khususnya
di Indonesia.
Pemikirannya dalam
tasawuf, salah satunya tentang tarekat. Ungkapan An-Nawawi yakni: orang-orang
yang mengambil tarekat, jika perkataan dan perbuatannya sesuai dengan syari’at
Nabi Muhamad SAW, maka tarekatnya maqbul. Jika tidak demikian,
mereka akan mencela dzikir Allah seperti pengikut Syaikh Ismail Minangkabau,
mencela orang yang tidak masuk dalam tarekat.[10]
6.
Abd Shamad Al-Palimbani
Abd Shamad Al-Palimbani
adalah seorang ulama’ sufi kelahiran Palembang pada permulaan abad ke-18,
kira-kira tiga atau empat tahun sebelum 1700 M dan meninggal kira-kira tidak
lama setelah tahun 1203 H/1788 M. Ia adalah putra Abdul Jalil bin Syaikh Abdul
Wahhab bin Syaikh Ahmad Al-Mahdani dari Yaman, seorang ulama’ sufi di sana, dan
juga pernah diangkat menjadi mufti besar di Kedah. Ketika berada di Palembang,
Abd Jalil menikah dengan seorang wanita negeri ini, Radin Ranti. Dari
pernikahan ini, lahirlah Abd Shamad Al-Palimbani.[11]
Corak tasawuf
Al-Palimbani adalah menggabungkan unsur-unsur ajaran Al-Ghazali dan Ibn Arabi,
yang diolah dan disajikan dalam satu sistem ajaran tasawuf tersendiri. Ia
menganut paham Ibn Arabi yang memandang manusia secara potensial sebagai
manifestasi Allah yang paling sempurna. Meskipun ditafsirkan sedemikian rupa
agar tidak menimbulkan pengertian phantheistik[9], yang
menganggap bahwa Allah itu adalah alam semesta secara keseluruhan, dan alam
semesta secara keseluruhan adalah Allah.[12]
7. Hamka (1908-1981 M)
HAMKA (Haji Abdul Malik
Karim Amrullah) dilahirkan di Tanah Sirah, Sungai Batang di tepi Sungai
Maninjau, tepatnya pada tanggal 13 Muharram 1362 H, bertepatan dengan 16
Februari 1908 M. Ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah yang termasuk keturunan
Abdul Arief, gelar Tuanku Pariman atau Tuanku Nan Tuo, salah satu pahlawan
Paderi.
Pemikiran tasawuf
menurut HAMKA, salah satunya tentang pengertiannya. Tasawuf pada hakikatnya
adalah usaha yang bertujuan untuk memperbaiki budi dan membersihkan batin.
Artinya, tasawuf adalah alat untuk membentengi dari kemungkinan-kemungkinan
seseorang terpeleset ke dalam lumpur keburukan budi dan kekotoran
batin yang intinya antara lain dengan berzuhud[10] seperti teladan hidup
yang dicontohkan Rasulullah lewat As-Sunnah yang Shahih.[13]
Adapun karya-karya yang pernah di tulis oleh Hamka diantaranya adalah:
1)
Tasawuf Modern.
2)
Falsafah Hidup.
3)
Lembaga Hidup.
4)
Lembaga Budi.
5)
Di bawah Lindungan Ka’bah.
6)
Renungan Tasawuf.
7)
Pelajaran Agama Islam.
8)
Pandangan Hidup Muslim.
9)
Tenggelamnya Kapal Van der Wijk.
10)
Kedudukan Perempuan Dalam Islam.
11)
Tafsir Al-Azhar.
Prof.
Dr. Hamka meninggal pada tahun 1984 di Jakarta, dengan meninggalkan lembaga
pendidikan yang di kelolanya, yaitu perguruan Al-Azhar.
BAB lll
PENUTUP
A.Kesimpulan
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai
menjadi titik sentral penyebaran agama Islam ke
berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di
ranah Minangkabau atas upaya Syaikh Burhanuddin Ulakan (w. 1693 M), murid Abd
Rauf Singkel, yang terkenal dengan Syaikh Tarekat Syattariyah.
Berikut ini
adalah tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia:
1.Hamzah
Fansuri
2.Nuruddin
Ar-Raniri
3.Syaikh Abdur
Rauf As-Sinkili
4.Syaikh Yusuf
Al-Makasari
5.Nawawi
Al-Bantani
6.Abd Shamad
Al-Palimbani
7.Haji Abdul
Malik Karim Amrullah.
B.Saran
Menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kami berharap
semoga dengan adanya makalah ini menjadikan pembaca lebih mendalami lagi ilmu
tasawuf,dan lebih mengenal siapa siapa saja tokoh tasawuf di Indonesia,karena dengan
ilmu tasawuf kita dapat beribadah kepada allah dengan sempurna.
C.Daftar
Pustaka
·
Amin, Samsul Munir. 2015. Ilmu Tasawuf.
Edisi ketiga. Jakarta: Amzah.
·
Anwar, Rosihon. 2010. Ilmu
Tasawuf. Edisi revisi. Bandung: Pustaka Setia.
·
Nasution, Ahmad Bangun dan Rayani Hanum Siregar.
2015. Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya
Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi). Edisi kedua. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
[1] Sufisme artinya orang
sufi/tasawuf,sumber : kamus besar Bahasa indonesia
[2] Abituren artinya
lulusan,sumber : kamus besar Bahasa indonesia
[3] Sunan artinya penyebutan nama untuk para wali,sumber :
kamus besar bahasa Indonesia
[1] Rosihon
Anwar, Akhlak Tasawuf, Edisi revisi, (Bandung: Pustaka
Setia, 2010),
hlm. 338
[4] Hallaj adalah seorang
‘ulama sufi yang sangat tekun beribadah sumber : wikepedia
[2].Ahmad Bangun Nasution dan Rayani
Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf (Pengenalan, Pemahaman,
dan Pengaplikasiannya
Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi), Edisi kedua, (Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 2015), hlm. 65.
[3] M.
Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Edisi pertama, (Bandung: Pustaka
Setia, 2008),
hlm. 247.
[4] M.
Solihin dan Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 251
[5] Sekte adalah kelompok orang yang mempunyai kepercayaan
atau pandangan agama yang sama, yang berbeda dari pandangan agama yang lebih
lazim diterima oleh para penganut agama tersebut; mazhab,sumber : kamus besar
bahasa Indonesia.
[6] Transidensi adalah
cara berpikir tentang hal-hal yang melampaui apa yang terlihat,sumber : kamus
besar bahasa Indonesia.
[5] Rosihon
Anwar, op.cit., hlm. 344
[6] M.
Solihin dan Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 252
[7] Ahmad
Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, op.cit., hlm. 67
[7] Insan kamil artinya
manusia yang sempurna sumber : kamus bahasa arab
[8] Rosihon
Anwar, op.cit., hlm. 349
[9] M.
Solihin dan Rosihon Anwar, op.cit., hlm. 265
[8] Khazanah artinya yang
memiliki sumber : kamus besar bahasa Indonesia
[10] Ibid., hlm. 266-268
[11] Ibid., hlm. 255
[9] Phantaestik adalah
suatu posisi yang menganggap
Universe/Alam Semesta identik dengan keTuhanan,dengan kata lain tuhan adalah
alam
0 komentar:
Post a Comment