Tuesday, November 10, 2020

SEJARAH DAN KONSEP ALIRAN TASAWUF FALSAFI

 SUKMA WATI

BAB II

PEMBAHASAN

 

     A.    Pengertian dan Perkembangan Tasawuf falsafi

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya.[1][1]

Tasawuf falsafi secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam Islam untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf  bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.[2][2]

Menurut at-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dalam khazanah Islam sejak abad keenam Hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal setelah seabad kemudian. Sejak saat itu, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga filsuf, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti dari Yunani, Persia, India, dan agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama apabila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjelaskan kepada kita kegigihan para tokoh tasawuf jenis ini dalam mengompromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi filsafat, tetapi menyesuaikan maknanya dengan ajaran tasawuf yang mereka anut.[3][3]

 

Perbedaan ajaran tasawuf sunni dengan tasawuf falsafi adalah sebagai berikut:

1.      Tasawuf sunni bersumber dari keterangan-keterangan yang termaktub dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Ajaran tasawuf ini mengajarkan umat Islam untuk memiliki akhlak yang telah diajarkan dalam al-Qur’an dan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Sedangkan ajaran tasawuf falsafi berasal dari pemikiran filsafat yang berkembang baik sebelum maupun setelah Islam. Sedangkan pada tasawuf falsafi mengajarkan ajaran-ajaran yang merupakan perpaduan antara tasawuf dengan filsafat. Ajaran tasawuf falsafi misalnya al-Baqa’ dan al-Fana’ adalah ajaran Abu Yazid al-Bisthami yang mengajarkan bersatunya antara zat makhluk dengan tuhannya. Ajaran ini dipengaruhi oleh filsafat Plotinus.

2.      Ajaran Tasawuf sunni berisi ajaran yang tidak menyimpang dari al-Qur’an dan al-Hadits. Semua ajarannya sesuai dengan kedua nash tersebut, sedangkan ajaran tasawuf falsafi mempunyai kecenderungan menyimpang dari keterangan yang terdapat dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut. Kaum sufi mengeluarkan kata-kata yang dikenal dengan syahadat, yaitu perkataan aneh kaum sufi yang diucapkan dalam keadaan tidak sadar. Sekedar contoh syahadat adalah perkataan Abu Yazid al-Bisthami yang mengeluarkan “Aku Adalah Allah, tidak Ada Tuhan Selain Aku”.

3.      Tasawuf sunni mengajarkan adanya “ketidaksamaan” antara makhluk dengan Allah, ajaran tasawuf sunni menekankan kepada adanya ketidak-satuan Allah dengan ciptaannya. Ketika seorang sufi mencapai derajat yang tertinggi ia hanya akan mencapai derajat musyahadah dan mukasyafah, yaitu ajaran yang menegaskan adanya kemampuan kaum sufi untuk menyaksikan kekuasaan Allah dengan terbukanya tabir antara dia dengan allah sementara itu tasawuf falsafi mengajarkan adanya “kesatuan” Allah dengan mahluknya dengan ajaran Ittihad dan al-Hulul.

4.      Memperhatikan keseimbangan antara hakikat dengan syariat. Karena ajaran tasawuf sunni berdasarkan ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan al-Hadits. Mereka selalu menekankan akan pengamalan ajaran-ajaran tasawuf mereka dengan ajaran syariat yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Fenomena ini setidaknya dikemukakan oleh Imam Malik: “Barang siapa berilmu fiqh tapi tidak bertasawuf, maka sungguh ia telah fasik dan barang siapa yang bertasawuf tapi tidak berilmu fiqh maka sungguh ia zindiq, dan barang siapa berilmu fiqh dan bertasawuf, maka sungguh ia adalah yang tepat”. Sedangkan tasawuf falsafi mengenal apa yang disebut“nihilisme syari’at”, yaitu suatu bentuk ajaran yang menegaskan syari’at sebagai bentuk penolakan terhadap “hakikat” dan keberadaan benda-benda. Keyakinan ini mengajarkan bahwa syari’at hanya berlaku kepada seseorang yang berkeyakinan bahwa dirinya “berbeda” dari tuhannya, sehingga bagi mereka yang telaah melepaskan dari keyakinaan itu, tak perlu melaksanakan ajaran syari’at.[4][4]

 

 

     B.     Tokoh-tokoh Tasawuf Falsafi dan Konsep Ajarannya

Diantara tokoh-tokoh tasawuf falsafi adalah Ibnu Arabi, al-Jili, Ibnu Sab’in, dan Ibnu Masarrah.

1. Ibnu Arabi

a.biografi Ibnu Arabi

Nama lengkap Ibnu Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin

Abdullah ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara,

Spanyol, tahun 560 H, dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuan.

Namanya biasa disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu Bakar

Ibnu al-Arabi, seorang qadhi dari Sevilla yang wafat pada tahun 543 H. Di

Sevilla (Spanyol), ia mempelajari al-Qur’an, al-Hadits, serta fiqh pada

sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yaitu Ibnu Hazm

azh-Zhahiri.

Setelah berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia

dan kawasan Islam bagian barat. Diantara deretan guru-gurunya, tercatat

nama-nama, seperti Abu Madyanal-Ghautsat-Talimsari dan Yasmin

Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya banyak

memengaruhi ajaran Ibnu Arabi. Dikabarkan, ia pun pernah berjumpa dengan

Ibnu Rusyd, filsuf muslim dan tabib istana dinasti berbar dari Alomohad, di

Kordova. Ia pun dikabarkan mengunjungi al-Mariyyah yang menjadi pusat

madrasah Ibnu Masarrah, seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan

memperoleh banyak pengaruh di Andalusia.

b.Ajaran-ajaran Tasawufnya

Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdad al-wujud (kesatuan wujud).

Meskipun demikian, istilah wahdad al-wujud yang dipakai untuk menyebut

ajaran sentralnya, tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah,

tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya

tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang telah berjasa dalam

mempopulerkannya ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif.

 

Di samping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdad

al-wujud  untuk menyebut ajaran sentral Ibnu Arabi, mereka berbeda pendapat

dalam menformulasikan pengertianwahdad al-wujud.

Menurut Ibnu Taimiyyah, wahdad al-wujud adalah penyamaan tuhan dan

alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wahdad

al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al

wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin al-wujud yang dimiliki

oleh mahluk. Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdad

al-wujud juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan,

tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.[5][5]

 

           2. Abdul Karim  Al-Jili

a.Riwaya Hidup

Nama lengkapnya adalah Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili. Ia lahir pada tahun

1365 M di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafat

pada tahun 1417 M. Nama al-Jili diambil dari tempat kelahiranya di Gilan.  Ia

adalah seorang sufi yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak

banyak diketahui oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan

bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. Kemudian

belajar tasawuf dibawah bimbingan Abdul Qadir al-Jailani, seorang pendiri

dan pemimpin Tarekat Qadiriyah yang sangat terkenal. Disamping itu,

berguru pula pada Syekh Syarafddin Isma’il bin Ibrahim al-Jabarti di Zabith

(Yaman) pada tahun 1393-1403 M.[6][6]

b.Ajaran-ajaran Tasawufnya

Ajaran tasawuf al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia

sempurna). Menurut al-Jili, insan kamiladalah nuskhah atau copy Tuhan,

seperti disebutkan dalam hadits yang artinya:

“Allah menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman”

 

Hadits lain menyebutkan yang artinya:

“Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya”

Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat  seperti hidup, pandai,

mampu berkehendak, mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun

memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses-proses yang terjadi setelah ini ada

setelah Tuhan menciptakan substansi,huwiyah Tuhan dihadapkan dengan

huwiyah Adam, aniyah-Nyadisandingkan dengan aniyah Adam, dan Dzat

Nya dihadapkan pada Dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan

Tuhan dalam segala hakikat-Nya.Melalui konsep ini, kita memahami bahwa

Adam dilihat dari sisi penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil

dengan segala kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama

ilahiah.

           3.      Ibnu Sab’in

a.Riwayat Hidup

Nama lengkap Ibnu Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn

Nashr, seorang sufi dan juga filsuf dari Andalusia. Dia terenal di Eropa karena

jawaban-jawabannya atas pernyataan Frederik II, penguasa Sicilia. Dia

dipanggil Ibnu Sab’in dan diberi gelar Quthbuddin, tetapi kadang-kadang, ia

dikenal pula dengan Abu Muhammad. Dia dilahirkan tahun 614 H (1217-

1218M) di kawasan Murcia.[7][7]

Ibnu Sab’in tumbuh dewasa dalam keluarga bangsawan. Ayahnya adalah

penguasa kota kelahirannya. begitu juga, dengan nenek moyangnya, yang juga

dari kalangan para penguasa. Menurut sebagian penulis biografinya, Ibnu

Sab’in hidup dalam suasana penuh kemuliaan dan kecukupan. Kemudian, dia

menjauhi kesenangan hidup, kemewahan, dan kepemimpinan duniawi, dan

seterusnya hidup sebagai asketis ataupun sufi yang banyak mempunyai murid.

 

 

 

b.Ajaran-ajaran Tasawufnya

Ibnu Sab’in adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf

filosofis, yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial

pahamnya sederhana saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata.

Adapun wujud lainnya hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud

wujud yang lain itu hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu.

Dengan demikian, wujud dalam kenyataannya hanya satu persoalan yang

tetap.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Tasawuf falsafi secara sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam islam untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf  bercorak falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda untuk direnangi.

Seorang sufi yang di anggap sebagai perintis tasawuf falsafi adalah Ibn Masarrah (w.319 atau 931) yang hidup di andalusia. Sekaligus dia dapat di anggap sebagai filosof sufi pertama dalam dunia Islam.

Tokoh kedua yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsafi adalah Suhrawardi al-Maqtul, sufi yang di bunuh di Aleppo pada tahun 587 atau 1191, karena pandangannya yang telah keluar dari Islam menurut ulama fuqaha. Suhrawardi juga seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina.

Tasawuf falsafi di nusantara di pelopori oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari pulau Andalas (Sumatra) pada abad ke 17 M.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

[1][1]Rosihun Anwar, Akhlak Tasawuf, Terj.  (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 277.

[2][2]Mohammad  Muchlis Solihin, Akhlak & Tasawuf Dalam Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila, 2014),  hlm. 131.

[3][3]Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf , (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 277.

[4][4]Mohammad Muchlis Solihin, Akhlak & Tasawuf, hlm. 135.

[5][5]M.sholihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf, hlm. 174-184.

[6][6] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal 281-285

[7][7] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 268-289.

 

0 komentar:

Post a Comment