Nur Haina
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sejarah
Pertumbuhan Tarekat
Ajaran Islam dibawa oleh Nabi
Muhammad yang pada masa awal dilaksanakan secara murni. Keika Rasulullah wafat,
cara beramal dan beribadah para sahabat dan tabi’in masih tetap memelihara dan
membina ajaran Rasul, disebut amalan salaf al-shalih.
Pada abad pertama Hijriyah mulai ada
perbincangan tentang teologi dilanjutkan mulai ada formalisasi syariah. Abad
kedua Hijriyah mulai muncul tasawuf. Tasawuf terus berkembang dan meluas dan
mulai terkena pengaruh luar. Salah satu pengaruh luar adalah filsafat, baik
filsafat Yunani, India maupun Persia. Muncullah sesudah abad ke-2 Hijriyah
golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk
taqarrub kepada Alla. Para sufi kemudian membedakan pengertian – pengertian
syariah,tarekat,hakikat dam makrifat. Menurut mereka syariah itu untuk
memperbaiki amalan-amalan lahir, tarekat untuk memperbaiki amalan-amalan batin
[hati], haqiqat untuk mengamalkan segala rahasia Allah baik zat, sifat maupun
perbuatanNya.[[1]] Orang
yang telah sampai ketingkat makrifat dinamakan wali. Kemampuan luar biasa yang
dimilikinya disebut karamat atau supranatural, sehingga dapat terjadi pada
dirinya hal-hal luar biasa yang tidak terjangkau oleh akal, baik dimasa
hidupmaupun sesudah meninggal. Syaikh Abdul Qadir Jaelani [ 471-561/1078-1168]
menurut pandangan sufi adalah wali tertinggi disebut quthub al auliya [wali
quthub].
Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13
masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumny.
Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama
pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Setiap tarekat
mempunyai syaikh, kaifiyah zikir dan upacara-upacara ritual masing-masing.
Biasanya syaikh atau mursyid mengajar murid-muridnya diasrama latihan rohani
yang dinamakan rumah suluk atau ribath.
Mula-mula muncul tarekat Qadariyah
yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir di Asia Tengah Tibristan tempat
kelahiran dan operasionalnya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab
Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India,Tiongkok.
Muncul pula Tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul Tarekat
Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria.
Tarekat-tarekat itu kemudian berkembang dengan cepat melalui murid-murid yang
diangkat menjadi khalifah, mengajarkan dan menyebarkan ke negeri-negeri Islam,
bercabang dan beranting sehingga banyak sekali.
Organisasi tarekat pernah mempunyai pengaruh
yang sangat besar di dunia islam. Sesudah khalifah Abbasiyah runtuh oleh bangsa
Mongol tahun 1258 M, tugas memelihara kesatuan Islam dan menyiarkan Islam ke
tempat-tempat yang jauh beralih ke tangan kaum sufi, termasuk ke Indonesia.[[2]] Ketika
berdiri Daulah Usmaniyah, peranan tarekat [Bahtesyi] sangat besar baik dalam
bidang politik maupun militer. Demikian juga di Afrika Utra, peranan Tarekat
Sanusiyah sangat besar terutama di negeri Aljazair dan Tuniia, sedangkan di
Sudan berpengaruh Tarekat Syadzaliyah. Khusus di Indonesia, pengembagan Islam
pada abad ke-16 dan selanjutnya, sebagian besar adalah atas usaha kaum sufi
sehingga tidak heran apabila pada waktu itu pemimpin-pemimpin spiritual Islam
di Indonesia bukanlah ahli syariah melainkan syaikh tarekat.[[3]]
Ada sebuah teori yang diyakini
banyak sejarawan bahwa Islam mulai berakar di Nusantara dibawah perjuangan para
sufi pengembara yang sering disebut sebagai “pedagang setengah hati”. Para sufi
yang juga merangkap pedagang berhasil membumikan Islam Nusantara setidaknya
pada abad ke-13-14. Tepatnya setelah kehancuran Baghdad pada tahun 1258 yang
menyebabkan dunia intelektual terpuruk kehilangan jati dirinya.[[4]]
Secara teoritis, proses asimilasi
antara nilai tasawuf dengan kebudayaan setempat tidak mengalami kesulitan yang
berarti karena keduanya mempunyai titik singgung yang sama yaitu pada ajaran
asketisme dan sinkretisme. Hal ini karena sebelum Islam dating, tradisi-tradisi
Hindu-Budha di Nusantara seudah kental dengan nilai-nilai tersebut, sehingga prasyarat
kultural bagi pertemuan slam yang bercorak tasawuf dengan tradisi lokal. Inilah
sebuah proses yang oleh Kunowijoyo disebut sebagai “Indonesianisasi”.[[5]]
Momentum yang paling mungkin
terjadinya tarekat dapat dilacak pada abad ke-18 ketika barbagai tarekat telah
memperoleh pengikut yang tersebar luas di Nusantara.[[6]] Namun
demikian perlu dicatat bahwa abad-abad Islamisasi di Asia Tenggara berbarengan
dengan masa merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Dengan
demikian, kalau Islam di Nusantaara berkembang secara massif pada abad ke-13
dan 14, kita bias berasumsi bahwa corak Islam yang berkembang saat itu adalah
corak Islam sufi.
Melalui penelusuran syair-syair
Hamzah Fansuri, Martin Van Bruneissen juga berkesimpulan bahwa Hamzah Fansuri
adalah orang Melayu yang dapat diketahui secara pasti menganut tarekat
Qadiriyah.[[7]] Dengan
penemuan ini dapat dipastikan bahwa tarekat Qadariyah adalah tarekat pertama
yang sampai ke Nusantara. Ada indikasi kuat tarekat ini bertahan di Aceh sepeninggal
Hamzah. Ketika Yusuf Makasari singgah di Aceh dalam perjalannyadari Sulawesi ke
Mekkah, sekitar tahun 1645, dia masuk tarekat Qadiriyah.[8] Melalui karya
Syekh Yusuf Makasar Safinat-al-Najat, data mengenai silsilah tarekat al-Raniri
dapat diketahui. Al-Raniri merupakan penganut tarekat Rifa’iyah yang diinisiasi
oleh gurunya Ba syaiban, ternyata dia juga mempunyai silsilah tarekat
Aydarusiyah dan Qadiriyah[8].
Mulai abad ke-18 murid-murid Jawi di Haramain sangat
tertarik kepada pelajaran yang dikembangkan oleh seorang Ulama sufi yang sangat
kharismatik, Muhammad Abd al-Karim al-Saman [1718-1775] di Madinah. Al-Saman
dibaiat menjadi pengikut berbagai tarekat disamping Khalwatiyah [terutama
Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah].
Hingga
sekarang terdapat pusat-pusat terekat di jawa seperti Jombang, Mreggen Dema,
Popongan Klaten, Pekalongan, Cirebon dan Tasikmalaya. Tarekat-tarekat di
wilayah-wilayah tersebut juga mengalami perubahan melalui penggabungan
ajaran-ajaran terekat yang berlainan. Maka muncullah diwilayah ini
tarekat-tarekat gabungan seperti Qadariyah Naqsabandiya, Khalidiyah dan
lain-lain.
2.2. Tarekat yang berkembang di Aceh
2.2.1. Tarekat Naqsybandiyah
Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah[[9]] adalah
seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha al-Din
al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi[[10]] ,
dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara
tempat lahir Imam Bukhari.[[11]] Ia
berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syaikh yang
menunjukan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah
ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya
dengan gembira. Ia belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18
tahun.
Kemudian
ia belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal
al-Bukhari. Kulal inilah ia pertama belajar tarekat yang didirikannya. Selain
itu Naqsyabandi pernah belajar juga pada seorang arif bernama al-Dikkirani
selama sekitar satu tahun. Ia pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa
Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun. Tarekat Naqsyabandiyah yang
menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di Mekkah yang dibawa oleh para
pelajar Indonesia yang belajar di sana dan oleh para Jemaah haji Indonesia.
Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini ke seluruh pelosok
nusantara.
2.2.2. Tarekat Syattariyah
Tarekat
Syattariyah merupakan salah satu jenis tarekat terpening dalam proses
islamisasi di dunia Melayu-Indonesia-sejauh ini diketahui bahwa persebarannya
berpusat pada satu tokoh utama, yakni Abdurrauf al-Sinkili di Aceh. Melalui
sejumlah muridnya, ajaran tarekat Syattariyah kemudian tersebar
keberbagai wilayah di dunia Melayu-Indonesia.[[12]]
2.2.3. Tarekat Haddadiyah
Tarekat
yang pendiriannya dinisbatkan pada seorang wali quthub besar yaitu Abdullah bin
Alwi aI-Haddad. Nasabnya bersambung sampai ke Rasulullah saw.
Adapun
garis keturunannya sebagai berikut : Abdullâh bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad
bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullâh bin Muhammad al-Haddad bin Alwi bin Ahmad
bin Abi Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullâh bin Ahmad bin Abdurrahman bin
Alwi pamannya Faqih al-Muqaddam bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin
Alwi bin Abdullâh bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far
ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib Krw.
Beliau
dilahirkan pada malam Senin tanggal 5 Shafar 1044 H. di kota Tarim Hadramaut
Yaman. Ia menghafaI Alquran lalu mencari ilmu pembersih hati dan berguru pada
para `ulamâ’ besar. Sejak kecil matanya sudah buta, namun Allah Swt.
menggantinya dengan sinar mata hati yang justru melebihi penglihatan mata
biasa. Ia belajar ilmu fikih kepada Syaikh al-Qadhi Sahal bin Ahmad bin Hasan.
Ia hafal kitab al-Irsyad atau sering membaca kitab al-Irsyad di hadapan
gurunya.
Allah Swt.
telah memberinya hafalan, pemahaman dan pemikIran yang sangat luar biasa. Ia
berkata: “Di waktu kecil, setiap hari aku melaksanakan shalat di masjid Bani
Alawi sebanyak 200 rakaat. Aku memohon kepada Allah SWT. agar diberi maqâm
Habib Abdullâh al-Idrus”. Allah Swt. telah mengabulkan permohonannya itu.
Al-Haddad
sering berziarah ke pemakaman Zambal, Furaith serta Akdar yang merupakan pemakaman
para Habaib di Hadramaut.
Al-Haddad berguru
dan memperoleh mandat (ijazah) Tarekat dari Sayyid Muhammad bin Alwi Makkah
dari Imam Abdullâh bin Ali dari Sayyid Abdullâh al-Idrus dari Sayyid Umar bin
Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Alwi dan Alwi
dari saudaranya Abu Bakar al-Idrus dari ayahnya al-Idrus al-Kabir dari Syaikh
Ali dari puteranya Syaikh Abi Bakar as-Sakran dan juga dari pamannya yaitu
Syaikh Umar al-Mukhdhar dari ayah mereka Imam AbDurrahman as-Segaf dari ayahnya
Syaikh Maula ad-Dawilah dari ayahnya Syaikh Ali dan pamannya Syaikh Abdullâh
bin Syaikh Alawi dari ayahnya Syaikh al-Faqih al-Muqaddam dari ayahnya Syaikh
Alawi bin al-Faqih dari kakeknya dan terus ke Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw.
(Ghayah al-Qashd wa al-Murad, juz 1, halaman: 219).
Habib Ahmad
bin Zain al-Habsyi bin Alawi mengisahkan bahwa Abdullâh al-Haddad berkata:
“Sebagian murid-muridku ada yang memintaku mencatat sanad-sanadku, padahal aku
memiliki kurang lebih seratus orang guru, seorang guru saja di antara mereka
akan sulit mencari tandingannya karena hebatnya dalam urusan tarekat. Aku telah
memperoleh mandat dari mereka menurut masing-masing pangkatnya”.
Dan
Abdullâh al-Haddad berkata: “Aku tak pernah melakukan sesuatu kecuali atas
petunjuk dari Allah SWT. atau Nabi SAW. atau al-Fagih al-Muqaddam Muhammad bin
Ali ba Alawi”.
Di antara
aurâdnya sehari-hari adalah setelah zhuhur membaca lâ ilâha illaAllah 1000
kali. Dan di setiap bulan Ramadan membaca lâ ilâha illallah setiap hari 2000
kali sehingga genap 70.000 kali pada tanggal 6 Syawwal. Abdullâh aI-Haddad juga
juga membaca lâ ilâha illaAllah al-Malik al-Haq al-Mubin setiap hari 100 kali
setelah zhuhur.
Ia sering
berpuasa, lebih-lebih pada hari baik seperti Senin-Kamis, hari-hari putih yaitu
tanggal 13, 14 dan 15, 10 Muharram, 9 Dzulhijjah, 6 hari pada bulan Syawal.
Puasa tersebut ia jalani sehingga tidak kuat lagi karena usianya sudah tua.
Ketika
dibacakan Hadis Nabi saw. yang berbunyi “Jangan engkau jadikan kuburanku
seperti hari raya”, Abdullâh al-Haddad menjelaskan Hadis ini dari berbagai
sudut pandang keilmuan. Secara mendalam ia membahas semuanya mulai dari seusai
shalat ashar sampai menjelang maghrib. Kemudian ia berkata: “Aku mempunyai
beberapa ilmu yang sekIranya aku tunjukan, jangankan manusia, bajuku pun akan
mengingkarinya”.
Ia
menyandang pangkat wali quthub mulai dari masa mudanya sehingga masa tua dalam
rentang waktu ± 60 tahun. Di antara perkataannya adalah: “Dulu aku mencari
sesuatu dan sekarang sesuatu mencariku”.
Ia juga
berkata: “Pangkatku ini tak seorang pun yang mampu membawanya sendirian. Namun
jika kelak aku hampir meninggal, akan aku berikan kepada sekelompok orang.”
Ia wafat
pada malam Selasa 7 Dzul Qa’dah tahun 1132 H. dan dimakamkan di saat maghrib
karena begitu banyaknya pelayat. Makamnya merupakan tempat yang mustajab untuk
memanjatkan do’a dan bermanfaat bagi orang yang kesusahan. Orang yang duduk di
sekitar makam akan merasa betah dan tak ingin beranjak karena merasakan
kedamaian.[[13]]
Tgk Haji
Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah seorang ulama besar Ahlusunnah wal jama’ah
yang menganut Thariqat Haddadiyah, yakni thariqat yang berpangkal kepada Said
Abdullah Ala Hadad. Salah seorang murid Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee
adalah ; Tgk Muhammad Daud Beureueh.
Tengku
Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu
mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai
ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan
aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang hidupnya.[[14]]
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
1. Berdasarkan
penjelasan di atas perkembangan Tarekat di Indonesia sekarang
tentu tidak lepas dari sumber ajaran Islam bersasal yaitu di jazirah Arab,
tempat di mana makhluk ciptaan Allah yang paling mulia diantara seluruh makhluk
yaitu Baginda Rasulullah saw.
2. Sebagaimana
telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri
kepada Allah sedekat mungkin dengan melalui pensucian rohani dan memperbanyak
ibadah. Sedangkan tarekat adalah ajaran-ajaran tasawuf yang merupakan jalan
yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri itu kepada Allah.
3. Pada
abad pertama Hijriyah mulai ada perbincangan tentang teologi dilanjutkan mulai
ada formalisasi syariah. Abad kedua Hijriyah mulai muncul tasawuf Pada abad
ke-5 Hijriyah atau 13 masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan
kaum sufi sebelumnya tarekat dapat dilacak pada abad ke-18 ketika barbagai
tarekat telah memperoleh pengikut yang tersebar luas di Nusantara.
3.2.
Tarekat yang berkembang di Indonesia
·
Tarekat Naqsybandiyah
·
Tarekat Syattariyah
·
Tarekat Haddadiyah
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu
Tarekat [Uraian tentang Mistik], Jakarta: Fa H.M.Tawi & Son,
1966], h. 5
Azyumardi
Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
[Bandung: Rosdakarya, 1999],cet.I, h. 34
A.Mukti, Alam
Pikiran Islam Modern di Indonesia, [Yogyakarta: Nida, 1971], h.
5.
H.A.Fuad
Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah,,Jakarta: Al-Husna Zikra,
1996, h. 23
H.A.R.Gibb
et al. [ed], Shorter Encyclopesia of Islam,[Leiden-New York:
E.J.Brill,1991],h.592-594
https://alif.id/read/redaksi/sabilus-salikin-164-tarekat-haddadiyah-b229284p/
http://irvan-ushuluddin.blogspot.com/2014/06/pengaruh-tasawuf-hasan-krung-kalee.html
Kuntowijoyo,
Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Bandung, 1996
Matsuki
HS,”Neo Sufisme di Nusantara; Kesinaambungan dan Perubahan “ dalam
Ulumul Qur’an,No.6/VII/1997,hal.56.
Sufin,2002 ,tarekat satariah
http://www.sufinews.com/ file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html diakses
pada tgl-22-12-08 jam 21.00
[[1]]
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu
Tarekat [Uraian tentang Mistik], Jakarta: Fa H.M.Tawi & Son, 1966]
[[2]]
Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan,[Bandung: Rosdakarya, 1999],cet.I, h. 34
[[4]]
Untuk perdebatan teori mengenai masuknya Islam di Nusantara, lihat
Azyumardi,Jarngan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII: Melacak Akar –akar Pembaruan Pemikiran Islam
Indonesia,Mizan<Bandung,cet. 4,1998, hal. 35
[[5]]Istilah
ini digunakan untuk menunjukan bahwa proses Islamisasi di Indonesia berlangsung
melalui proses adaptasi nilai dan tradisi Islam dengan Indonesia.Lihat
Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Bandung, 1996
[[6]]
Matsuki HS,”Neo Sufisme di Nusantara; Kesinaambungan dan Perubahan “ dalam
Ulumul Qur’an, No.6/VII/1997,hal.56.
[[7]] Salah satu bait syair tersebut adalah Hamzah nan asalnya Fansuri/Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi/berolehkhilafat ilmu yang ali/daripada Abdul Qadir Jailani, lihat Martin Van Bruneissem, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat,Mizan Bandung, cet. III, 1999, hal. 207
[[8]]
Dalam hal ini Martin mengacu pada risalah syekh Yusuf, Safinat al-Najat. Lihat
Ibid, hal. 207-208. Untuk selanjutnya penelusuran akar tarekat Nusantara ini
periksa penelusuran Mastuki HS. Dalam tulisannya “Neo Sufisme;Kesinambungan dan
Perubahan’,Ulumul Qur’an No..6/VII/1997.
[[9]]Diambil dari nama pendirinya Baha al
Din Naqsabandi. Dalam dunia tarekat diakui bahwa pendiri tarekat adalah para
tokoh yang mensistematiskan ajaran-ajaran, metode,ritus,dan amalan secara
eksplisit tarekat tersebut.Tetapi tokoh tersebut tidaklah dipandang
sebagai pencipta tarekat tersebut. Tetapi tokoh tersebut tidaklah dipandang
sebagai pencipta tarekat itu, melainkan hanya mengolah ajaran-ajaran yang telah
diturunkan kepada mereka melalui garis keguruan terus sampai kepada Nabi sendiri
0 komentar:
Post a Comment