Monday, November 9, 2020

AJARAN-AJARAN TAREKAT DI ACEH

 Nur Haina

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Pertumbuhan Tarekat

Ajaran Islam dibawa oleh Nabi Muhammad yang pada masa awal dilaksanakan secara murni. Keika Rasulullah wafat, cara beramal dan beribadah para sahabat dan tabi’in masih tetap memelihara dan membina ajaran Rasul, disebut amalan salaf al-shalih.

Pada abad pertama Hijriyah mulai ada perbincangan tentang teologi dilanjutkan mulai ada formalisasi syariah. Abad kedua Hijriyah mulai muncul tasawuf. Tasawuf terus berkembang dan meluas dan mulai terkena pengaruh luar. Salah satu pengaruh luar adalah filsafat, baik filsafat Yunani, India maupun Persia. Muncullah sesudah abad ke-2 Hijriyah golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqarrub kepada Alla. Para sufi kemudian membedakan pengertian – pengertian syariah,tarekat,hakikat dam makrifat. Menurut mereka syariah itu untuk memperbaiki amalan-amalan lahir, tarekat untuk memperbaiki amalan-amalan batin [hati], haqiqat untuk mengamalkan segala rahasia Allah baik zat, sifat maupun perbuatanNya.[[1]]  Orang yang telah sampai ketingkat makrifat dinamakan wali. Kemampuan luar biasa yang dimilikinya disebut karamat atau supranatural, sehingga dapat terjadi pada dirinya hal-hal luar biasa yang tidak terjangkau oleh akal, baik dimasa hidupmaupun sesudah meninggal. Syaikh Abdul Qadir Jaelani [ 471-561/1078-1168] menurut pandangan sufi adalah wali tertinggi disebut quthub al auliya [wali quthub].

Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumny. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Setiap tarekat mempunyai syaikh, kaifiyah zikir dan upacara-upacara ritual masing-masing. Biasanya syaikh atau mursyid mengajar murid-muridnya diasrama latihan rohani yang dinamakan rumah suluk atau ribath.

Mula-mula muncul tarekat Qadariyah yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir di Asia Tengah Tibristan tempat kelahiran dan operasionalnya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India,Tiongkok. Muncul pula Tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul Tarekat Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria. Tarekat-tarekat itu kemudian berkembang dengan cepat melalui murid-murid yang diangkat menjadi khalifah, mengajarkan dan menyebarkan ke negeri-negeri Islam, bercabang dan beranting sehingga banyak sekali.

Organisasi tarekat pernah mempunyai pengaruh yang sangat besar di dunia islam. Sesudah khalifah Abbasiyah runtuh oleh bangsa Mongol tahun 1258 M, tugas memelihara kesatuan Islam dan menyiarkan Islam ke tempat-tempat yang jauh beralih ke tangan kaum sufi, termasuk ke Indonesia.[[2]] Ketika berdiri Daulah Usmaniyah, peranan tarekat [Bahtesyi] sangat besar baik dalam bidang politik maupun militer. Demikian juga di Afrika Utra, peranan Tarekat Sanusiyah sangat besar terutama di negeri Aljazair dan Tuniia, sedangkan di Sudan berpengaruh Tarekat Syadzaliyah. Khusus di Indonesia, pengembagan Islam pada abad ke-16 dan selanjutnya, sebagian besar adalah atas usaha kaum sufi sehingga tidak heran apabila pada waktu itu pemimpin-pemimpin spiritual Islam di Indonesia bukanlah ahli syariah melainkan syaikh tarekat.[[3]]

Ada sebuah teori yang diyakini banyak sejarawan bahwa Islam mulai berakar di Nusantara dibawah perjuangan para sufi pengembara yang sering disebut sebagai “pedagang setengah hati”. Para sufi yang juga merangkap pedagang berhasil membumikan Islam Nusantara setidaknya pada abad ke-13-14. Tepatnya setelah kehancuran Baghdad pada tahun 1258 yang menyebabkan dunia intelektual terpuruk kehilangan jati dirinya.[[4]]

Secara teoritis, proses asimilasi antara nilai tasawuf dengan kebudayaan setempat tidak mengalami kesulitan yang berarti karena keduanya mempunyai titik singgung yang sama yaitu pada ajaran asketisme dan sinkretisme. Hal ini karena sebelum Islam dating, tradisi-tradisi Hindu-Budha di Nusantara seudah kental dengan nilai-nilai tersebut, sehingga prasyarat kultural bagi pertemuan slam yang bercorak tasawuf dengan tradisi lokal. Inilah sebuah proses yang oleh Kunowijoyo disebut sebagai “Indonesianisasi”.[[5]]

Momentum yang paling mungkin terjadinya tarekat dapat dilacak pada abad ke-18 ketika barbagai tarekat telah memperoleh pengikut yang tersebar luas di Nusantara.[[6]] Namun demikian perlu dicatat bahwa abad-abad Islamisasi di Asia Tenggara berbarengan dengan masa merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Dengan demikian, kalau Islam di Nusantaara berkembang secara massif pada abad ke-13 dan 14, kita bias berasumsi bahwa corak Islam yang berkembang saat itu adalah corak Islam sufi.

Melalui penelusuran syair-syair Hamzah Fansuri, Martin Van Bruneissen juga berkesimpulan bahwa Hamzah Fansuri adalah orang Melayu yang dapat diketahui secara pasti menganut tarekat Qadiriyah.[[7]] Dengan penemuan ini dapat dipastikan bahwa tarekat Qadariyah adalah tarekat pertama yang sampai ke Nusantara. Ada indikasi kuat tarekat ini bertahan di Aceh sepeninggal Hamzah. Ketika Yusuf Makasari singgah di Aceh dalam perjalannyadari Sulawesi ke Mekkah, sekitar tahun 1645, dia masuk tarekat Qadiriyah.[8] Melalui karya Syekh Yusuf Makasar Safinat-al-Najat, data mengenai silsilah tarekat al-Raniri dapat diketahui. Al-Raniri merupakan penganut tarekat Rifa’iyah yang diinisiasi oleh gurunya Ba syaiban, ternyata dia juga mempunyai silsilah tarekat Aydarusiyah dan Qadiriyah[8].

Mulai abad ke-18 murid-murid Jawi di Haramain sangat tertarik kepada pelajaran yang dikembangkan oleh seorang Ulama sufi yang sangat kharismatik, Muhammad Abd al-Karim al-Saman [1718-1775] di Madinah. Al-Saman dibaiat menjadi pengikut berbagai tarekat disamping Khalwatiyah [terutama Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Syadziliyah]. 

Hingga sekarang terdapat pusat-pusat terekat di jawa seperti Jombang, Mreggen Dema, Popongan Klaten, Pekalongan, Cirebon dan Tasikmalaya. Tarekat-tarekat di wilayah-wilayah tersebut juga mengalami perubahan melalui penggabungan ajaran-ajaran terekat yang berlainan. Maka muncullah diwilayah ini tarekat-tarekat gabungan seperti Qadariyah Naqsabandiya, Khalidiyah dan lain-lain.

2.2. Tarekat yang berkembang di Aceh

2.2.1. Tarekat Naqsybandiyah

Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah[[9]] adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi[[10]] , dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari.[[11]] Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syaikh yang menunjukan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya dengan gembira. Ia belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun.

Kemudian ia belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari. Kulal inilah ia pertama belajar tarekat yang didirikannya. Selain itu Naqsyabandi pernah belajar juga pada seorang arif bernama al-Dikkirani selama sekitar satu tahun. Ia pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun. Tarekat Naqsyabandiyah yang menyebar di nusantara berasal dari pusatnya di Mekkah yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar di sana dan oleh para Jemaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini ke seluruh pelosok nusantara.

2.2.2. Tarekat Syattariyah

Tarekat Syattariyah merupakan salah satu jenis tarekat terpening dalam proses islamisasi di dunia Melayu-Indonesia-sejauh ini diketahui bahwa persebarannya berpusat pada satu tokoh utama, yakni Abdurrauf al-Sinkili di Aceh. Melalui sejumlah muridnya, ajaran  tarekat Syattariyah kemudian tersebar keberbagai wilayah di dunia Melayu-Indonesia.[[12]]

2.2.3. Tarekat Haddadiyah

Tarekat yang pendiriannya dinisbatkan pada seorang wali quthub besar yaitu Abdullah bin Alwi aI-Haddad. Nasabnya bersambung sampai ke Rasulullah saw.

Adapun garis keturunannya sebagai berikut : Abdullâh bin Alwi bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullâh bin Muhammad al-Haddad bin Alwi bin Ahmad bin Abi Bakar bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullâh bin Ahmad bin Abdurrahman bin Alwi pamannya Faqih al-Muqaddam bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Abdullâh bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib Krw.

Beliau dilahirkan pada malam Senin tanggal 5 Shafar 1044 H. di kota Tarim Hadramaut Yaman. Ia menghafaI Alquran lalu mencari ilmu pembersih hati dan berguru pada para `ulamâ’ besar. Sejak kecil matanya sudah buta, namun Allah Swt. menggantinya dengan sinar mata hati yang justru melebihi penglihatan mata biasa. Ia belajar ilmu fikih kepada Syaikh al-Qadhi Sahal bin Ahmad bin Hasan. Ia hafal kitab al-Irsyad atau sering membaca kitab al-Irsyad di hadapan gurunya.

Allah Swt. telah memberinya hafalan, pemahaman dan pemikIran yang sangat luar biasa. Ia berkata: “Di waktu kecil, setiap hari aku melaksanakan shalat di masjid Bani Alawi sebanyak 200 rakaat. Aku memohon kepada Allah SWT. agar diberi maqâm Habib Abdullâh al-Idrus”. Allah Swt. telah mengabulkan permohonannya itu.

Al-Haddad sering berziarah ke pemakaman Zambal, Furaith serta Akdar yang merupakan pemakaman para Habaib di Hadramaut.

Al-Haddad berguru dan memperoleh mandat (ijazah) Tarekat dari Sayyid Muhammad bin Alwi Makkah dari Imam Abdullâh bin Ali dari Sayyid Abdullâh al-Idrus dari Sayyid Umar bin Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Abdullâh al-Idrus dari ayahnya Alwi dan Alwi dari saudaranya Abu Bakar al-Idrus dari ayahnya al-Idrus al-Kabir dari Syaikh Ali dari puteranya Syaikh Abi Bakar as-Sakran dan juga dari pamannya yaitu Syaikh Umar al-Mukhdhar dari ayah mereka Imam AbDurrahman as-Segaf dari ayahnya Syaikh Maula ad-Dawilah dari ayahnya Syaikh Ali dan pamannya Syaikh Abdullâh bin Syaikh Alawi dari ayahnya Syaikh al-Faqih al-Muqaddam dari ayahnya Syaikh Alawi bin al-Faqih dari kakeknya dan terus ke Sayyidina Ali bin Abi Thalib Krw. (Ghayah al-Qashd wa al-Murad, juz 1, halaman: 219).

Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi bin Alawi mengisahkan bahwa Abdullâh al-Haddad berkata: “Sebagian murid-muridku ada yang memintaku mencatat sanad-sanadku, padahal aku memiliki kurang lebih seratus orang guru, seorang guru saja di antara mereka akan sulit mencari tandingannya karena hebatnya dalam urusan tarekat. Aku telah memperoleh mandat dari mereka menurut masing-masing pangkatnya”.

Dan Abdullâh al-Haddad berkata: “Aku tak pernah melakukan sesuatu kecuali atas petunjuk dari Allah SWT. atau Nabi SAW. atau al-Fagih al-Muqaddam Muhammad bin Ali ba Alawi”.

Di antara aurâdnya sehari-hari adalah setelah zhuhur membaca lâ ilâha illaAllah 1000 kali. Dan di setiap bulan Ramadan membaca lâ ilâha illallah setiap hari 2000 kali sehingga genap 70.000 kali pada tanggal 6 Syawwal. Abdullâh aI-Haddad juga juga membaca lâ ilâha illaAllah al-Malik al-Haq al-Mubin setiap hari 100 kali setelah zhuhur.

Ia sering berpuasa, lebih-lebih pada hari baik seperti Senin-Kamis, hari-hari putih yaitu tanggal 13, 14 dan 15, 10 Muharram, 9 Dzulhijjah, 6 hari pada bulan Syawal. Puasa tersebut ia jalani sehingga tidak kuat lagi karena usianya sudah tua.

Ketika dibacakan Hadis Nabi saw. yang berbunyi “Jangan engkau jadikan kuburanku seperti hari raya”, Abdullâh al-Haddad menjelaskan Hadis ini dari berbagai sudut pandang keilmuan. Secara mendalam ia membahas semuanya mulai dari seusai shalat ashar sampai menjelang maghrib. Kemudian ia berkata: “Aku mempunyai beberapa ilmu yang sekIranya aku tunjukan, jangankan manusia, bajuku pun akan mengingkarinya”.

Ia menyandang pangkat wali quthub mulai dari masa mudanya sehingga masa tua dalam rentang waktu ± 60 tahun. Di antara perkataannya adalah: “Dulu aku mencari sesuatu dan sekarang sesuatu mencariku”.

Ia juga berkata: “Pangkatku ini tak seorang pun yang mampu membawanya sendirian. Namun jika kelak aku hampir meninggal, akan aku berikan kepada sekelompok orang.”

Ia wafat pada malam Selasa 7 Dzul Qa’dah tahun 1132 H. dan dimakamkan di saat maghrib karena begitu banyaknya pelayat. Makamnya merupakan tempat yang mustajab untuk memanjatkan do’a dan bermanfaat bagi orang yang kesusahan. Orang yang duduk di sekitar makam akan merasa betah dan tak ingin beranjak karena merasakan kedamaian.[[13]]

Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah seorang ulama besar Ahlusunnah wal jama’ah yang menganut Thariqat Haddadiyah, yakni thariqat yang berpangkal kepada Said Abdullah Ala Hadad. Salah seorang murid Tgk Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee adalah ; Tgk Muhammad Daud Beureueh.

Tengku Haji Muhammad Hasan Krueng Kalee agaknya adalah seorang tokoh ulama yang mampu mensuri-tauladani sirah Rasul tersebut dengan baik. Selain dikenal sebagai ulama sufi perkembangan Tarekat al-Haddadiyah di Aceh, ia juga diakui berperan aktif dalam sejumlah peristiwa politik ulama ini di Aceh sepanjang hidupnya.[[14]]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

1.      Berdasarkan penjelasan di atas   perkembangan Tarekat di Indonesia sekarang tentu tidak lepas dari sumber ajaran Islam bersasal yaitu di jazirah Arab, tempat di mana makhluk ciptaan Allah yang paling mulia diantara seluruh makhluk yaitu Baginda Rasulullah saw.

2.      Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin dengan melalui pensucian rohani dan memperbanyak ibadah. Sedangkan tarekat adalah ajaran-ajaran tasawuf yang merupakan jalan yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri itu kepada Allah.

3.      Pada abad pertama Hijriyah mulai ada perbincangan tentang teologi dilanjutkan mulai ada formalisasi syariah. Abad kedua Hijriyah mulai muncul tasawuf Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya tarekat dapat dilacak pada abad ke-18 ketika barbagai tarekat telah memperoleh pengikut yang tersebar luas di Nusantara.

 

3.2.  Tarekat yang berkembang di Indonesia

·      Tarekat Naqsybandiyah

·      Tarekat Syattariyah

·      Tarekat Haddadiyah

 


 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat [Uraian tentang Mistik], Jakarta: Fa H.M.Tawi & Son, 1966], h. 5

Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan, [Bandung: Rosdakarya, 1999],cet.I, h. 34

A.Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia, [Yogyakarta: Nida, 1971], h. 5.    

H.A.Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah,,Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996, h. 23

H.A.R.Gibb et al. [ed], Shorter Encyclopesia of Islam,[Leiden-New York: E.J.Brill,1991],h.592-594

https://alif.id/read/redaksi/sabilus-salikin-164-tarekat-haddadiyah-b229284p/          

http://irvan-ushuluddin.blogspot.com/2014/06/pengaruh-tasawuf-hasan-krung-kalee.html                                                            

Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Bandung, 1996

Matsuki HS,”Neo Sufisme di Nusantara; Kesinaambungan dan Perubahan “ dalam Ulumul Qur’an,No.6/VII/1997,hal.56.

Sufin,2002 ,tarekat satariah http://www.sufinews.com/ file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah.html diakses pada tgl-22-12-08 jam 21.00



[[1]] Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat [Uraian tentang Mistik], Jakarta: Fa H.M.Tawi & Son, 1966]

[[2]] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, Sejarah Wacana dan Kekuasaan,[Bandung: Rosdakarya, 1999],cet.I, h. 34

[[3]] A.Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia,[Yogyakarta: Nida, 1971], h. 5.

[[4]] Untuk perdebatan teori mengenai masuknya Islam di Nusantara, lihat Azyumardi,Jarngan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII: Melacak Akar –akar Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia,Mizan<Bandung,cet. 4,1998, hal. 35

[[5]]Istilah ini digunakan untuk menunjukan bahwa proses Islamisasi di Indonesia berlangsung melalui proses adaptasi nilai dan tradisi Islam dengan Indonesia.Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Bandung, 1996

[[6]] Matsuki HS,”Neo Sufisme di Nusantara; Kesinaambungan dan Perubahan “ dalam Ulumul Qur’an, No.6/VII/1997,hal.56.

[[7]] Salah satu bait syair tersebut adalah Hamzah nan asalnya Fansuri/Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi/berolehkhilafat ilmu yang ali/daripada Abdul Qadir Jailani, lihat Martin Van Bruneissem, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat,Mizan Bandung, cet. III, 1999, hal. 207

[[8]] Dalam hal ini Martin mengacu pada risalah syekh Yusuf, Safinat al-Najat. Lihat Ibid, hal. 207-208. Untuk selanjutnya penelusuran akar tarekat Nusantara ini periksa penelusuran Mastuki HS. Dalam tulisannya “Neo Sufisme;Kesinambungan dan Perubahan’,Ulumul Qur’an No..6/VII/1997.

[[9]]Diambil dari nama pendirinya Baha al Din Naqsabandi. Dalam dunia tarekat diakui bahwa pendiri tarekat adalah para tokoh yang mensistematiskan ajaran-ajaran, metode,ritus,dan amalan secara eksplisit tarekat tersebut.Tetapi tokoh tersebut  tidaklah dipandang sebagai pencipta tarekat tersebut. Tetapi tokoh tersebut tidaklah dipandang sebagai pencipta tarekat itu, melainkan hanya mengolah ajaran-ajaran yang telah diturunkan kepada mereka melalui garis keguruan terus sampai kepada Nabi sendiri

[[10]] Naqsaband secara harfiah berarti “pelukis,penyulam’penghias”.Jika nenek moyang mereka adalah penyulam, nama itu mungkin mengacu pada profesi keluarga; jika tidak hal itu menunjukan kualitas spiritualnya untuk melukis nama Allah di atas hati seorang murid.

[[11]] H.A.Fuad Said, Hakikat Tarekat Naqsyabandiyah,,Jakarta: Al-Husna Zikra, 1996, h. 23

[[12]] Sufin,2002 ,tarekat satariah http://www.sufinews.com/ file:///H:/Tasawuf/tarekat-syattariyah

[[14]] http://irvan-ushuluddin.blogspot.com/2014/06/pengaruh-tasawuf-hasan-krung-kalee.html

0 komentar:

Post a Comment