Monday, November 9, 2020

PERKEMBANGAN TASAWUF DI FASE MODERN

 NANDA WATI

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Tasawuf Positif (Tasawuf Modern)

Dari sejarahnya, Sufisme masuk pada tahap yang lebih dalam, dan lebih dari syari’ah. Dia merupakan perjalanan lebih lanjut dari syari’ah, bukan semata lahiriyah saja, tapi juga batiniyah. Ciri khas pada sufisme adalah pada yang batiniyah itu. Artinya yang disentuh di dalam tasawuf adalah aspek-aspek hubungan batin manusia dengan Tuhan, ketimbang ritualnya. Tapi, ini bukan berarti Tasawuf meninggalkan sisi ritual. Kita sering menyebutnya dengan istilah tasawuf positif.

 

Tasawuf Positif atau tasawuf modern merupakan tasawuf yang bersikap positif terhadap kehidupan duniawi, yang dibuktikan dengan melibatkan diri dalam kegiatan duniawi, seperti  ; bisnis, pemerintahan, politik, pendidikan, dan lain-lain. Dengan kata lain, tasawuf positif ini menghendaki manusia taat beribadah kepada Allah tetapi aktif pula dalam berbagai kegiatan duniawi.

Kemudian tasawuf positif tidak mengabaikan syari’ah. Tasawuf dan syariah tidak saling menolak, tetapi memperkuat satu sama lain, sehingga tidak ada tasawuf tanpa syari’ah dan tidak ada syari’ah tanpa tasawuf. Dalam tasawuf positif akhlak merupakan sasaran menjalani kehidupan sufisfik, yakni orang yang mempraktikkan kehidupan sufisfik selalu mengontrol nafsunya, sehingga menjadi orang yang sabar, bebas dari dengki, iri, dendam, kemarahan yang tidak pada tempatnya, nafsu serakah, dan lain-lain.

Akhirnya, tasawuf positif mementingkan amal saleh sebagai bagian dari akhlak sosial dan bukan hanya akhlak individual. Ini berbeda dengan tasawuf selama ini yang kadang-kadang dianggap sebagai anti sosial, karena mengajarkan

Tasawuf Di Era Modern

Tasawuf  di era modern ini, ditempatkan sebagai cara pandang yang rasional sesuai dengan nalar normatif dan nalar humanis-sosiologis. Kepekaan sosial, lingkungan (alam) dan berbagai bidang kehidupan lainnya adalah bagian yang menjadi ukuran bahwa tasawuf di era modern itu tidak sekedar pemenuhan spiritual, akan tetapi lebih dari itu yaitu mampu membuahkan hasil bagi yang ada di bumi ini.

Menurut Bagir tasawuf itu bukan barang mati. Sebab tasawuf itu merupakan produk sejarah yang seharusnya dikondisikan sesuai dengan tuntutan  dan perubahan zaman. Penghayatan tasawuf bukan untuk diri sendiri, seperti yang kita temui di masa silam. Tasawuf di era modern adalah alternatif yang mempertemukan jurang kesenjangan antara dimensi ilahiyah dengan dimensi duniawi. Banyak orang yang secara normatif (kesalehan individu) telah menjalankan dengan sempurna, tetapi secara empiris (kesalehan sosial) kadang-kadang belum tanpak ada. Dengan demikian lahirnya tasawuf di era modern diharapkan menjadi tatanan kehidupan yang lebih baik.

Rasulullah dalam kehidupan beliau telah menggambarkan sebagai orang sufi yang sangat sederhana,  beliau menjauhkan dirinya dari kehidupan mewah, yang merupakan amalan zuhud dalam ajaran Tasawuf. Beliau sering melakukan khalwat di Jabal Nur untuk mendapatkan petunjuk dari tuhan-Nya. Berulangkali Nabi menempuh kehidupan yang seperti itu, dengan bekal yang sangat terbatas; berupa roti kering, buah-buahan dan air putih, yang menggambarkan kesederhanaan seorang sufi.

Di Jabal Nur, Nabi mengasingkan dirinya (‘uzlah) dan hidup sendirian (infirad) dari masyarakat Quraisy yang semakin hari semakin rusak akhlaknya. Ditempat itu, beliau ingin bertemu dengan tuhan-Nya (liqa) dan memohon petunjuk-Nya serta mencari kehidupan yang berbeda dengan kehidupan Quraisy yang setiap saat melakukan dosa. Akhirnya datanglah malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu Allah yang mengandung petunjuk dan ajaran, yang selanjutnya disampaikan kepada umat manusia, agar terhindar dari jalan yang sesat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.

Setelah Nabi resmi diangkat menjadi Rasul, ia mulai melaksanakan tugasnya, dengan menanamkan keimanan dan akhlaq mulia kepada masyarakat Quraisy. Meskipun nabi sebagai kepala pemerintahan, ia masih tetap memiliki kehidupan yang sederhana, sebagaimana yang diriwayatkan oleh para Sahabatnya, bahwa dirumah beliau hanya terdapat selembar tikar dan makanan yang sederhana. Dan kadang-kadang juga Nabi dan keluarganya berpuasa karena tidak ada makanan di rumahnya.

Beberapa sahabat yang tergolong sufi di abad pertama, dan berfungsi sebagai Maha guru bagi pendatang dari luar kota Madinah, yang tertarik kepada kehidupan sufi antara lain:

Abu Bakar As-Siddiq; wafat tahun 13 H.

Sebagai saudagar yang kaya raya ketika masih berada di Makkah. Namun ketika hijrah ke Madinah harta kekayaannya habis karena disumbangkan untuk kepentingan tegaknya agama Allah, sehingga ia dan keluarganya mengalami kemiskinan dalam hidupnya.

Umar bin Khattab; wafat tahun 23 H.

Sebagai orang yang tinggi kasih sayangnya terhadap sesama manusia. Dan ketika menjadi Khalifah, beliau selalu mengadakan pengamatan langsung terhadap keadaan rakyatnya. Suatu ketika Umar mendapatkan seorang ibu yang berpura-pura memasak untuk menenangkan tangis anak-anaknya yang sangat lapar. Ketika umar menyelidikinya, ia malihat bahwa yang di masak itu adalah batu, maka beliau bertanya kepada ibu itu, mengapa ibu tidak memasak roti, hanya memasak batu? Jawab si ibu, saya tidak mempunyai gandum. Seketika itu pula Umar pulang dengan cepat mengambil gandum di Baitul Mal kemudian ia sendiri yang memikulnya untuk diberikan kepada ibu yag miskin tadi. Inilah sikap Tawadhu’ Umar sebagi seorang sufi dan yang senang hidup dalam kemiskinan sebagai halnya Abu Bakar.

Utsman bin Affan; wafat tahun 35 H.

Meskipun ia diberi kelapangan rizki oleh Allah, namun ia selalu ingin hidup yang sederhana. Sedangkan harta kekayaannya yang berlimpah ruah, selalu dijadikan sarana untuk menolong orang-orang miskin. Hal ini tergambar pada dirinya bahwa ia termasuk sufi, karena beliau tidak tertarik kepada kekayaan atau kesenangan duniawi.

Ali bin Abi Thalib; wafat tahun 40 H.

Beliau juga termasuk orang yang senang hidup sederhana, dalam suatu riwayat, bahwa ketika sahabat lain berkata kepadanya, mengapa Khalifah senang memakai baju itu? Padahal baju itu sudah robek-robek, Ali menjawab, aku senang memakainya agar menjadi tauladan kepada orang banyak sehingga mereka mengerti bahwa hidup sederhana itu merupakan sikap yang mulia. Maka sikap dan pernyataan inilah yang menandakan diri beliau sebagai seorang sufi.

Dan untuk contoh-contoh perilaku bertasawuf dari tokoh-tokoh ulama sufi thabi’in antara lain:

Al-Hasan Al-Basry; hidup tahun 22 H-110 H.

Ia mendapatkan ajaran Tasawuf dari Hudhaifah bin-Yaman, sehingga ajaran itu mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Maka ia dikenal sebagai ulama sufi yang sangat dalam ilmunya tentang rahasia-rahasia yang terkandung dalam ajaran Islam, dan sangat menguasai ilmu batin.

Ilmu yang didapatkan dari gurunya selalu diajarkan kepada murid-muridnya yang bertebaran di kota Basrah. Iapun dikeal sebagai orang yang pertama kali menggunakan Masjid Basrah sebagai madrasah (tempat mengajarkan ilmu agama)

Dalam mengamalkan ajaran zuhud, ia berpendapat bahwa kita harus lebih dahulu memperkuat perasaan tawakkal kepada Allah, khauf (takut) terhadap siksaan-Nya dan raja’ (mengharapkan) karunia-Nya. Kemudian kita harus meninggalkan kenikmatan dunia, karena hal itu merupaka hijab (penghalang) dari keridaan Allah SWT.

Ada beberapa pernyataan (kata-kata hikmah) yang pernah dilontarkan kepada murid-muridnya;

Perasaan takut yang mengarah kepada perasaan tentram, lebih baik daripada perasaan tentram yang akan menimbulkan perasaan takut.

Tafakur membawa kita kepada kebaikan yang akan dikerjakannya. Menyesal atas kesalahan, berarti kita sadar dan akan meninggalkannya. Barang yang bersifat fana (binasa) tidak dapat mengalahkan barang baqa (tetap), meskipun yang fana itu lebih banyak daripada yang baqa. Maka jagalah dirimu dari sesuatu yang menjadi tipuan bagimu.

Orang yang beriman selalu berduka cita, karena ia hidup antara dua ketakutan;yakni mengenang dosanya yang telah lalu dengan segala ganjarannya kelak, serta takut ketika memikirkan dosa yang mungkin akan diperbuatnya.

Akhir kehidupan dunia merupakan awal kehidupan akhirat di kubur.

Rabi’ah Al-Adawiyah; wafat tahun 185 H.

Manusia harus sadar bahwa kematin sedang menghadangnya, hari kiamat akan menepati janjinya dan hambanya akan dihadapakn kepada pengadilan di akhirat.

Ia terkenal sebagai ulama sufi wanita yang mempunyai banyak murid dari kalangan wanita pula. Kalau Al-Hasan menganut zuhud dengan menonjolkan falsafah tawakal, khauf dan raja’, maka Rabi’atul Adawiyah menganut zuhud dengan menonjolkan falsafah hubb (cinta) dan shauq (rindu) kepada Allah.

 

Salah satu pernyataannya yang melukiskan falsafah hubb dan shauq yang mewarnai kehidupannya adalah: ”Saya tidak menyembah Allah karena takut kepada neraka-Nya, dan tidak pula tamak untuk mendapatkan syurga (karena hal itu) akan menjadikan saya seperti pencari imbalan yang berakhlak buruk. (ketahuliah), bahwa saya menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya”.

Sufyan bin Said Al-Thury;hidup tahun 97 H -161 H.

Ia dilahirkan di Kufah, kemudian meninggal di Basrah. Dan beliau termasuk salah seorang ulama sufi yang dikagumi, karena kezuhudan serta kealimannya.

Masa hidupnya diisi dengan pengabdian secara Tasawuf, dan aktif mengajarkan ilmu yang ada padanya. Iapun selalu menyeru kepada sesama Ulama’ agar menjauhkan dirinya dari godaan dunia yang sering membawa manusia lupa mengabdikan dirinya kepada Tuhan. Salah satu kata hikmahnya yang melukiskan bahaya yang menimpa ulama, bila menyenangi kehidupan dunia, berbunyi: “Apabila ulama yang rusak; maka siapakan yang akan memperbaikainya dan kerusakan mereka karena kecenderungannya kepada kehidupan dunia”.

Pendirian beliau sangat teguh dan tidak mau mendekati penguasa, tetapi suatu ketika, ia dipanggil menghadap oleh Khalifah Al-Mansur untuk mempertanggung jawabkan sikapnya terhadap penguasa. Ia tetap lantang pembicaraannya di hadapan khalifah sehingga orang menganggap bahwa ia pasti dipenjara, tetapi hal itu tidak terjadi baginya.

Beliau pernah ditanya oleh seorang yang mengatakan: jika sufi berkhalwat (menyepi) untuk beribadah kepada Allah, apakah yang akan dimakannya? Beliau menjawab: orang yang takut kepada Allah, tidak akan khawatir apapun yang menimpanya. Dan seorang sufi, hanya berusaha sendiri untuk biaya hidupnya, sekedar memperkuat pisiknya beribadah kepada Tuhan-Nya. Seorang tidak boleh memberatkan orang lain, termasuk tidak mengemis makanan dan menumpang tempat tinggal.

Memahami Dunia Tasawuf

Tasawuf pada dasarnya merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengetahui tingkah laku nafsu dan sifat-sifat nafsu, baik yang buruk maupun yang terpuji. Karena itu kedudukan tasawuf dalam Islam diakui sebagai ilmu agama yang berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam. Dimana secara filsafat sufisme itu lahir dari salah satu komponen dasar agama Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Kalau iman melahirkan ilmu teologi (kalam), Islam melahirkan ilmu syari’at, maka ihsan melahirkan ilmu akhlaq atau tasawuf. (Amin Syukur, 2002:112).

Meskipun dalam ilmu pengetahuan wacana tasawuf tidak diakui karena sifatnya yang Adi Kodrati, namun eksistensinya di tengah-tengah masyarakat membuktikan bahwa tasawuf adalah bagian tersendiri dari suatu kehidupan masyarakat; sebagai sebuah pergerakan, keyakinan agama, organisasi, jaringan bahkan penyembuhan atau terapi. (Moh. Soleh, 2005: 35)

Tasawuf atau sufisme diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tasawuf begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar. Maka kehadiran tasawuf di dunia modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-orang yang semula hidupnya glamour dan suka hura-hura menjadi orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Proses modernisasi yang makin meluas di abad modern kini telah mengantarkan hidup manusia menjadi lebih materealistik dan individualistic. Perkembangan industrialisasi dan ekonomi yang demikian pesat, telah menempatkan manusia modern ini menjadi manusia yang tidak lagi memiliki pribadi yang merdeka, hidup mereka sudah diatur oleh otomatisasi mesin yang serba mekanis, sehingga kegiatan sehari-hari pun sudah terjebak oleh alur rutinitas yang menjemukan. Akibatnya manusia sudah tidak acuh lagi, kalau peran agama menjadi semakin tergeser oleh kepentingan materi duniawi (Suyuti, 2002: 3 – 5).

Menurut Amin Syukur, tasawuf bagi manusia sekarang ini, sebaiknya lebih ditekankan pada tasawuf sebagai akhlak, yaitu ajaran-ajaran mengenai moral yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh kebahagiaan optimal. Tasawuf perilaku baik, memiliki etika dan sopan santun baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun terhadap Tuhannya (Syukur, 2003:3).

Menurut Omar Alishah, yang menjadi salah satu ajaran penting dalam tasawuf adalah pemahaman tentang totalitas kosmis, bumi, langit, dan seluruh isi dan potensinya baik yang kasar mata maupun tidak, baik rohaniah maupun jasmaniah, pada dasarnya adalah bagian dari sebuah sistem kosmis tunggal yang saling mengait, berpengaruh dan berhubungan. Sehingga manusia mempunyai keyakinan bahwa, penyakit atau gangguan apapun yang menjangkiti tubuh kita harus dilihat sebagai murni gejala badaniah ataupun kejiwaan manusiawi, sehingga seberapapun tingkatan keparahannya akan tetap dapat ditangani secara medis (medical care) (Alishah, 2002:11).

Pendapat Alishah tersebut senada dengan apa yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an, bahwa setiap kali terjalin komunikasi dengannya seseorang akan memperoleh energi spiritual yang menciptakan getaran-getaran psikologi pada aspek jiwa raga, ibarat curah hujan membasahi bumi yang kemudian menciptakan getaran-getaran duniawi dan menyebabkan tanaman tumbuh subur. Sesuai dengan firman Allah yang tertera dalam QS. Al-Hajj: 5

 

فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ (الحج: 5)

Artinya      : “ketika kami turunkan hujan di atasnya ia pun bergerak dan subur mengembang menumbuhkan berbagai tanaman indah (berpasang-pasangan) (QS; Al-Haj: 5).

 

Tasawuf Sebagai Terapi

Omar Alishah dalam bukunya “Tasawuf Sebagai Terapi” menawarkan cara Islami dalam pengobatan gangguan kejiwaan yang dialami manusia, yaitu dengan cara melalui terapi sufi. Terapi tasawuf bukanlah bermaksud mengubah posisi maupun menggantikan tempat yang selama ini di dominasi oleh medis, justru cara terapi sufi ini memiliki karakter dan fungsi melengkapi. Karena terapi tasawuf merupakan terapi pengobatan yang bersifat alternatif. Tradisi terapi di dunia sufi sangatlah khas dan unik. Ia telah dipraktekkan selama berabad-abad lamanya, namun anehnya baru di zaman-zaman sekarang ini menarik perhatian luas baik di kalangan medis pada umumnya, maupun kalangan terapis umum pada khususnya. Karena menurut Omar Alisyah, terapi sufi adalah cara yang tidak bisa diremehkan begitu saja dalam dunia terapi dan penanganan penyakit (gangguan jiwa), ia adalah sebuah alternatif yang sangat penting. (Alishah, 2004;5)

Tradisi sufi (tasawuf) sama sekali tidak bertujuan mengubah pola-pola terapi psikomodern dan terapi medis dengan terapi sufis yang penuh dengan spiritual, sebaliknya apa yang dilakukan Omar justru melengkapi dan membatu konsep-konsep terapi yang telah ada dengan cara mengoptimalkan peluang kekuatan individu seseorang untuk menyembuhkan dirinya, beberapa tehnik yang digunakan Omar Alishah dalam upaya terapeutik yang berasal dari tradisi-tradisi tasawuf antara lain yaitu tehnik “transmisi energi dan tehnik metafor” (Alishah, 2002:151).

Dengan demikian, terapi tasawuf atau sering juga disebut dengan penyembuhan sufis adalah penyembuhan cara islami yang dipraktekkan oleh para sufi ratusan tahun lalu. Prinsip dasar penyembuhan ini adalah bahwa kesembuhan hanya datang dari Allah Yang Maha penyembuh, sedangkan para sufi sebagai terapis hanya bertindak sebagai perantara.(Najar, 2004: 195).

Peranan Tasawuf Dalam Kehidupan Modern

Di era globalisasi (zaman modern) ini adalah beberapa masalah yang muncul dalam masyarakatnya, yaitu:

Desintegrasi ilmu pengetahuan

Kehidupan modern, antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi dibidang ilmu pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan mempunyai cara pandang sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika seseorang menghadapi masalah, lalu ia pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, politisi, sosiologi, ahli biologi, psikolog, etnologi, dan ekonom. Mereka akan memberikan jawaban yang berbeda-beda dan terkadang saling bertolak belakang, hal ini pada akhirnya dapat membingungkan manusia.

Kepribadian yang terpecah

Karena kehidupan manusia modern jauh dari nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak maka kepribadian manusia akan terpecah.

Penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi

Sebagai akibat dari terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikatan spiritual maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya. Misalnya kemampuan membuat senjata yang diarahkan untuk tujuan penjajahan bangsa lain.

Pendangkalan iman

Sebagai akibat lain dari pola piker keilmuwan tersebut, khususnya ilmu- ilmu yang hanya mengakui fakta-fakta yang bersifat empiris, dapat menyebabkan iman manusia menjadi dangkal.

Pola hubungan materialistik

Semangat persaudaraan dan rasa saling tolong menolong yang didasarkan atas panggilan iman sudah tidak tampak lagi.

Menghalalkan segala cara Sebagai akibat dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistik, manusia dengan mudah dapat menggunakan prinsip menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan.

Stress dan frustasi

Kehidupan modern yang demikian kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh pikiran, tenaga, dan kemampuannya. Mereka terus bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Akibatnya jika terkena problem yang tidak dapat dipecahkan dirinya, ia akan stress dan frustasi.

Kehilangan harga diri dan masa depan

Terdapat sejumlah orang salah memilih jalan kehidupan. Masa mudanya dihabiskan untuk memperturutkan hawa nafsu dan segala cara telah ditempuhnya.

Pada abad XXI ini, penghayatan orang terhadap tasawuf dituntut lebih humanistik, empirik, dan fungsional dari yang sebelumnya. Penghayatan terhadap ajaran islam, bukan hanya reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap hidup manusia didunia ini baik berupa moral, spiritual, ekonomi, sosial dan sebagainya. Dan ketika tasawuf menjadi ‘pelarian’ dari dunia yang ‘kasat mata’ menuju dunia yang spiritual, bisa dikatakan sebagai reaksi dan tanggung jawab sosial, yakni kewajiban dalam melaksanakan tugas dan merespons terhadap masalah-masalah sosial.

Saat ini manusia berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat modern, atau sering pula disebut sebagai masyarakat yang sekuler. Pada umumnya, hubungan antara anggota masyarakat atas dasar prinsip-prinsip fungsional pragmatis. Mereka merasa bebas dan merasa lepas dari kontrol agama dan pandangan dunia metafisis.

 

Dalam masyarakat modern yang cenderung rasionalis, sekuler dan materialis, ternyata tidak menambah kebahagiaan dan ketentraman hidupnya. Berkaitan dengan itu, Sayyid Hossein Nasr, menilai bahwa akibat masyarakat modern yang mendewakan ilmu pengetahuan dan teknologi, berada dalam wilayah pinggiran eksitensinya sendiri. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat barat yang telah kehilangan visi keahlian. Hal ini menimbulkan kehampaan spiritual, yang berakibat banyaknya dijumpai orang yang stress dan gelisah akibat tidak mempunyai pegangan hidup.

Kegelisahan masyarakat modern itu antara lain disebabkan oleh perasaan takut kehilangan apa yang dimiliki, timbulnya rasa takut masa depan yang tidak disukai, merasa kecewa dengan hasil kerja yang tidak mampu memenuhi harapan dan kepuasan spiritual, dan karena dirinya banyak melakukan pelanggaran dan dosa. Untuk itu Hossein Nasr menawarkan alternative, agar mereka mau mendalami dan menjalankan tasawuf karena tasawuf dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan spiritual mereka. Disini tanggung jawab tasawuf bukan melarikan diri kehidupan nyata ini, akan tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai dengan nilai-nilai ruhaniah, sebab dalam tasawuf selalu dilakukan zikir kepada Allah sebagai sumber gerak, sumber norma, sumber motivasi, dan sumber nilai.

Kehadiran tasawuf dapat melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa istiqomah yaitu jiwa yang selalu diisi dengan nilai-nilai ilahiah. Ia selalu mempunyai pegangan dalam hidupnya. Keadaan demikian menyebabkan ia tetap tabah dan tidak mudah terhempas oleh cobaan yang akan membelokkannya kejurang kehancuran. Dengan demikian, stress, putus asa dan lainnya akan dapat dihindari.

Itulah sumbangan positif yang dapat digali dan dikembangkan dari ajaran tasawuf. Untuk itu, dalam mengatasi problematika kehidupan masyarakat modern saat ini, akhlak tasawuf harus dijadikan salah satu alternatif terpenting. Ajaran tasawuf perlu disuntikkan kedalam seluruh konsep kehidupan. Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, sosial, politik, kebudayaan perlu dilandasi dengan ajaran tasawuf.

Hal Yang Terkandung Dalam Tasawuf Positif

Secara terperinci, ada delapan doktrin yang bisa dipahami dalam tasawuf positif ini, yaitu :

Allah sebagai perwujudan jalal dan jamal

Doktrin ini dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa Allah memiliki dua sifat agung yang saling melingkupi, yakni jalal yang berarti keagungan, kehebatan, dan kedahsyatan yang membuat kita takut dan taat kepada Allah, dan jamal yang berarti indah, cantik dan mempesona, sehingga menimbulkan cinta kepada Allah.

insan kamil sebagai wujud manusia multidimensi

Tasawuf menghendaki manusia taat beribadah kepada Allah, tetapi aktif pula dalam berbagai kegiatan duniawi.

Dunia dalam eskatologi islam

Banyak orang yang cenderung memandang dunia dan akhirat secara dikotomis. Bagi mereka, jalan yang perlu ditempuh untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat adalah dengan menjauhkan diri (bahkan menyangkal) kehidupan dunia.

Tasawuf positif percaya bahwa kehidupan dunia merupakan bagian dari fitrah eksistensi manusia. Disisi lain, ia justru merupakan sarana menuju kebahagiaan akhirat. Cara manusia hidup didunia akan menentukan kehidupannya di akhirat. Tasawuf percaya bahwa dunia adalah bagian penting eksistensi manusia sebagai hamba Allah.

Hikmah sebagai alternatif terhadap sufisme anti-intelektual

Tasawuf percaya bahwa rasionalitas dan intelektualitas adalah sendi pencarian kebenaran, termasuk didalamnya kebenaran spiritual.

Pribadi Nabi Muhammad SAW. Rasulullah SAW adalah pribadi yang mengutamakan kedekatan dan hubungan cinta antara manusia dengan Allah. Namun, pada saat yang sama, ia melakukan transformasi dalam masyarakat dalam bidiang sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.

Syariat sebagi unsur integral tasawuf

Tasawuf dan syariat tidaklah saling menolak, tetapi memperkuat satu sama lain, sehingga tidak ada tasawuf tanpa syariat dan tidak ada syariat tanpa tasawuf.

Alam semesta sebagai tanda-tanda Allah

Tasawuf yang harus diberdayakan dalam kehidupan sosial justru harus memahami bahwa alam dipenuhi tanda-tand atau ayat-ayat Allah. Sains merupakan alat untuk memahami tanda-tanda alam dan juga merupakan upaya mencapai kebenaran hakiki.

Akhlak sebagai sasaran tasawuf

Seorang sufi dalam tasawuf sosial adalah orang yang bisa mengandalikan diri, tasawuf adalah jalan yang akan mentransformasikan diri sang sufi dari modus eksistensi manusia kebanyakan menjadi manusia yang dihiasi oleh akhlak islam yang mulia. Inilah titik tolak bagi individu sufi untuk menjalankan fungsi profetisnya.

Amal saleh sebagai fungsi profetis tasawuf

Amal saleh bisa didefenisikan sebagai setiap perbuatan dalam memperbaiki lingkungan hidup kita. Melakukan amal saleh adalah sama dengan melakukan islah atau reformasi. Tasawuf dalam kehidupan sosial melihat amal saleh sebagai satu-satunya tolak ukur bagi keberhasilan seseorang dalam menjalani tasawuf.

 

Pengertian Tasawuf.

Pengertian Tasawuf Secara Bahasa Dan Istilah

Tasawuf berasal dari bahasa Arab yaitu: “at-Tashawwufu” (اَلتَّصَوُّفُ) yang artinya berbulu yang banyak; yakni menjadi sufi itu ciri khas pakaiannya adalah selalu terbuat dari bulu domba (wol).

Menurut keyakinan Jurji Zaidan, bahwa ada hubungan kata arab ”shuufi” dengan kata Yunani ”Shopia”, yang berarti ”kebijaksanaan”.

Dari segi Linguistik (kebahasan) tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana, Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.

Adapun pengertian Tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat tergantung kepada sudut pandang yang digunakanya masing-masing.

Jika manusia dipandang sebagai makhluk yang terbatas, maka Tasawuf adalah upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.

Jika manusia dipandang sebagai makhluk yang harus berjuang, maka Tasawuf adalah upaya memperindah diri dengan akhlaq yang bersumber dari ajaran Islam dalam rangka mendekatkan dirti kepada Allah SWT.

Jika manusia dipandang sebagai makhluk yang bertuhan maka Tasawuf adalah Kesadaran Fitrah (Ke Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.

Dengan demikian Tasawuf pada intinya adalah; Upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah Swt. Dan atau Kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.

 

Pengertian Tasawuf Menurut Para Ahli Tasawuf:

Muhammad Amin Al-Kurdy: Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridaan Allah dan meninggalkan laranganNya menuju kepada perintahNya.

Imam Al Ghozali mengemukakan pendapat Abu Bakar Al Kattany: Tasawuf adalah budi pekerti; barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam Tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan nur (petunjuk) Islam. Dan ahli Zuhud yang jiwanya menerima (perintah) untuk melakukan beberapa akhlaq (terpuji), karena mereka telah melakukan suluk dengan nur (petunjuk) imannya.

Mahmud Amin Al Nawawy mengemukakan pendapat Al Junaid Al Baghdady: Tasawuf adalah memelihara (meggunakan) waktu (lalu), ia berkata: Seorang hamba tidak akan menekuni (amalan Tasawuf) tanpa aturan tertentu, (menganggap) tidak tepat (ibadahnya) tanpa tertuju kepada tuhannya dan merasa tidak berhubungan (dengan TuhanNya) tanpa menggunakan waktu (untuk beribadah kepadaNya).

Al Suhrawardi mengemukakan pendapat Ma’ruf Al Karakhy: Tasawuf adalah mencari hakikat dan meniggalkan sesuatu yang ada ditangan makhluk (kesenangan duniawi)

Al-Junaid Al-Baghdadi (W. 279H/910M), Sebagai Bapak Tasawuf Moderat; Tasawuf adalah keberadaan bersama Allah tanpa adanya penghalang

Abu Al-Qasim Al-Qusyairi (W. 465h/1073m): Tasawuf adalah ajaran yang menjabarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan sahwat, dan menggindari sikap meringankan ibadah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tasawuf adalah cara mensucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Jadi unsur utama tasawuf adalah penyucian diri, dan targetnya adalah keselamatan dan kebahagiaan.

 

Asal-Usul Tasawuf

Asal usul tasawuf dapat dipahami dari uraian berikut:

 

Shafa (suci). Karena kesucian batin dan kebersihan tindakannya.

Shaff (barisan). Karena para Sufi memiliki iman kuat, jiwa yang bersih dan senantiasa memilih barisan terdepan dalam sholat berjamaah.

Shaufanah, yakni sejenis buah-buahan kecil berbulu dan banyak tumbuh dipadang pasir jazirah Arabia.  Nama ini digunakan karena banyak sufi yang memakai pakaian berbulu yang terbuat dari bulu domba kasar.

Shuffah (serambi tempat duduk). Yakni shuffah Masjid Nabawi di Madinah yang disediakan bagi para tuna wisma dari kalangan muhajirin dimasa Rasulullah S.A.W. para tuna wisma tersebut biasa dipanggil ahli shuffah (pemilik serambi), karena mereka bernaung di serambi masjid.

Shafwah (yang terpilih atau terbaik); sufi adalah orang yang terpilih diantara hamba-hamba Allah SWT.  Karena ketulusan amal mereka kepadaNya.

Theosophi (Yunani: theo :tuhan; shopos: hikmah) yang berarti hikmah atau kearifan ketuhanan.

Shuf (bulu domba); karena para shufi biasa memakai pakaian dari bulu domba yang kasar, sebagai lambang kerendahan hati, untuk menghindari sikap sombong disamping untuk menenangkan jiwa, serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi. Syuhrawardi mengatakan bahwa mereka berkumpul di Masjid Madinah, seperti halnya orang sufi berkumpul di Zawiyah dah Ribath. Mereka tidak bergerak untuk berusaha mencari nafkah dan kebutuhan hidup. Rasulullah sendiri menolong orang banyak untuk memperhatikan dan memberi bantuan kepada mereka.

Menurut Harun Nasution, ada lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu: al‑suffah (ahl al­-suffah), (orang yang ikut hijrah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: hikmat), dan suf (kain wol).

 

Istilah-Istilah Dalam Tasawuf

Al-Maqamat

Al-Maqamat secara bahasa atau etimologi dari bahasa Arab ”maqam” yang berarti “tempat orang berdiri atau pangkal mulia atau kedudukan spiritual”, dan dalam terminologi sufistik al-maqamat berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya. kemudian al-maqamat digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang Sufi untuk berada dekat dengan Allah SWT. Dalam Bahasa Inggris al-maqamat dikenal dengan istilah ”stages” yang berarti ”tangga”.

Menurut Al Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas.

Menurut Abu Nashr Al Sarraj (w. 378 H) al-maqamat adalah kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit hati (mujahadah), latihan-latihan spiritual (riyadhah) dan mengarahkan segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.

 

 Tingkatan Al-Maqamat

Sedikitnya ada tujuh al-maqamat yang harus ditempuh oleh seorang Sufi agar dapat berdekatan dengan Allah. dikalangan para Sufi tidak sama pendapatnya tentang jumlah al-maqamat dalam tasawuf.

Menurut Ibn Qayyim Al Jauziyah (w. 750 H) berpendapat bahwa maqamat terbagi kepada tiga tahapan. Yang pertama adalah kesadaran (dzauq), kedua adalah tafkir (berpikir) dan yang ketiga adalah musyahadah.

Menurut Muhammad Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arufi mazab ahl al Tasawwuf, bahwa al-maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu: al-Taubah, al-Zuhud, al-Shabr, al-Faqir, al-Tawadlu’,al-Taqwa, al-Tawakal, al-Ridha, al-Mahabbah dan al-Ma’rifah.

Menurut Abu Nasr al-Sirraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah al-maqamat hanya tujuh, yaitu: al-Taubah. al-Wara’, al-Zuhud, al-Farq, al-Shabr, al-Tawakkal dan al-Ridla.

Dan menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin mangatakan bahwa al-maqamat itu ada delapan yaitu al-Taubah. al-Wara’, al-Shabr, al- Zuhud, al-Tawakkal, al- Mahabbah, al-Ma’rifah,  dan al-Ridla.

Walaupun ada perbedaan pendapat dalam jumlah maqamat, namun jumlah al-maqamat yang mereka sepakati, adalah: al-Taubah, al-Zuhud, al-Wara’, al-Farq, al-Shabr,  al-Tawakal, al-Ridha. Sedangkan al-Tawadlu’, al-Mahabbah dan al-Ma’rifah tidak disepakati sebagai maqamat.

Al-Taubat: memohon ampun kepada Allah SWT atas segala kesalahan dan dosa-dosa yang telah diperbuat dan berjanji tidak akan mengulangi.

Al-Wara’: meninggalkan segala keraguan antara yang halal dan haram (Syubhat).

Al-Zuhud: pola hidup yang menghindari dan meninggalkan keduniawian karena ibadah kepada Allah SWT, serta lebih mencintai kehidupan akhirat.

Al-Faqr: tidak meminta lebih dari apa yang telah diberikan Allah SWT.

Al-Shabr: dalam menjalankan perintah Allah, dalam menahan diri dari segala perbuatan jahat, dan ketika menerima cobaan dari Allah SWT.

Al-Tawakkal: bersandar atau mempercayakan diri kepada Allah SWT dalam menghadapi segala rintangan.

Al-Ridha: rela menerima segala apa yang telah ditentukan dan ditakdirkan, dan rela berjuang dijalanNya, rela membawa kebenaran, dan berkorban dengan harta, pikiran dan jiwa. Dengan melihat al-maqamat yang harus dilalui oleh seorang Sufi untuk mencapai tujuannya, yakni berada sedekat-dekatnya dengan Allah SWT, maka dapat dipahami bahwa al-maqamat tersebut akan mengantarkan seorang Sufi mempunyai Akhlaqul Karimah yang tinggi.

Al-Ghozali menjelaskan bahwa untuk mencapai akhlaq yang baik, seorang harus dapat mengupayakannya melalui jiwa dan kebiasaannya, terutama dengan menghilangkan hawa nafsu. Hal ini terkait dengan konsep Al-Ghozali tentang kabahagiaan yang dicapai melalui dua hal yaitu perbautan (amali) yakni membersihkan jiwa menghilangkan hawa nafsu yang dapat menimbulkan kesenangan dalam dunia (hub dunya) dan pengetahuan (‘ilmi). Yakni untuk menghasilkan kesempurnaan amal itu sendiri.

Al-Ahwal

Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi diatas, maka ahwal tidak ada perbedaan, yang pada intinya ahwal adalah keadaan rohani seseorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Ahwal berbeda dengan maqam, ahwal tidak menentu datangya, terkadang datang dan pergi begitu cepat, yang disebut lawaih dan ada pula datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih, jika maqam di proleh melalui usaha, sedangkan ahwal diperoleh tidak melalui usaha, akan tetapi rahmat dan anugrah dari Allah. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer.

Dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat dikalangan kaum sufi. Adapun akhwal yang paling banyak disepakati adalah; al-muroqobah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’minah, al musyahadah dan al yaqin.

Tingkatan Al-Ahwal

al-muroqobah

Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.

Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.

al-khauf

Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.

Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:

Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.

Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.

Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.

ar-raja’

Menurut kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu peresaan senang hati menaati sesuatu yang diinginkan dan disenangi.

Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapan benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.

Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:

Cinta kepada apa yang diharapkannya.

Takut bila harapannya hilang.

Berusaha untuk mencapainya.

Raja’ yang tidak di barengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orangyang berharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi dengan rasa tahut akan siksaan Tuhan.

ath-thuma’minah

Thuma’minah adalah rasa tenang, tidak was-was atau khawatir. Seseorang yang telahmencapai thuma’minah, ia telah kuat akalnya, kuat imanya dan ilmunya serta bersih ingatanya.

Thuma’minah dibagi menajadi tingkatan. Pertama, ketenagan bagi kaum awan. Kedua ketenangan bagi orang yang khusus. Ketiga ketenangan bagi orang-orang yang paling khsuus.

Al Usn

Dalam pandangan sufi Usn adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi, dalam keadaan sperti ini sufi merasa tidak ada yang dirasakan, tidak ada yang di ingat, kecuali Allah.

Seseorang yang merasakan Ush dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, hamba yang suka merasakan suka cita berzikir menginggat Allah dan merasakan gelisa disaat lalai. Kedua seorang hamba yang senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan hati, dsb. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak melihat lagi suka cita karena adanya wibawa kedekatan kemuliaan mengagungkan disertai dengan suka cita.

al musyahada

Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Seorang sufi bila sudah mencapai musyahadah apabila sudah bisa merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang telah terjadi, segalanya tercurah pada yang satu yaitu Allah. Dalam keadaan seperti itu seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi seakan akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbul rasa cinta kasih.

Karakteristik Tasawuf

Menurut Analisa Ilmuan Barat (Orientalis), Sebagian peneliti telah berusaha mandefinisikan karakteristik umum yang sama di antara berbagai kecenderungan tasawuf atau mistisisme.

Menurut William James, seorang ahli ilmu jiwa Amerika, mengatakan bahwa kondisi-kondisi mistisisme selalu ditandai oleh empat karakteristik sebagai berikut :

Merupakan suatu kondisi pemahaman (noetic). Sebab, bagi para penempuhnya ia merupakan kondisi pengetahuan serta dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakekat realitas yang baginya merupakan ilham, dan bukan merupakan pengetahuan demonstratif.

Merupakan suatu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan. Sebab ia semacam kondisi perasaan (states of feeling), yang sulit diterangkan pada orang lain dalam detail kata-kata seteliti apa pun.

Merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Yakni tidak berlangsung lama tinggal pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan sangat kuat dalam ingatan.

Merupakan suatu kondisi pasif (passivity). Yakni seorang tidak mungkin menumbuhkan kondisi tersebut dengan kehendak sendiri. Sebab, dalam pengalaman mistisnya, justru dia tampak seolah-olah tunduk di bawah suatu kekuatan supernatural yang begitu menguasainya.

Menurut M.Bucke, terdapat tujuh karakteristik di dalam kondisi mistisisme, yaitu ; Pancaran diri subyektif (subyective light).

Peningkatan moral (moral elevation).

Kecerlangan intelektual (intelektual illumination).

Perasaan hidup kekal (sence of immotality)

Hilangnya perasaan takut mati (loss of fear of death)

Hilangnya perasaan dosa (loss of sense of sin).

Ketiba-tibaan (suddynness).

Karakteristik umum tasawuf atau mistisisme, sebagaimana yang dikemukakan James dan Bucke, dapat dikatakan terdapat pada sebagian besar aliran tasawuf atau mistisisme. Namun, karakteristik yang dikemukakan di atas itu belum lagi lengkap, sebab masih banyak ciri-ciri lainya yang tidak kalah penting yang tidak tercakup disana. Misalnya perasaan tentram, keiklasan jiwa atau penuh penerimaan, perasaan fana penuh dalam realitas mutlak, perasaan pencapaian yang mengatasi dimensi ruang dan waktu, dan lain-lain.

Menurut Bertrand Russell, setelah menganalisa kondisi-kondisi tasawuf atau mistisme, telah berusaha ubtuk membatasi ciri-ciri flosofis tasawuf atau mistisisme kedalam empat karakteristik yang menurutnya akan membedakan tasawuf atau mistisisme dari filsafat-filafat lainya, pada semua kurun-masa dan di seluruh penjuru dunia. Empat karakteristik itu ialah sebagai berikut ;

Keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahaman batin (insight) sebagai metode pengetahuan, sebagai kebalikan dari pengetahuan rasional analitis.

Keyakinan atas ketunggalan (wujud), serta pengingkaran atas kontradiksi dan diferensiasi, bagaimana pun bentuknya.

Pengingkaran atas realitas zaman.

Keyakinan atas kejahatan sebagai sesuatu yang hanya sekedar lahiriah dan ilusi saja, yang dikenakan kontradiksi dan diferensiasi, yang dikendalikan rasio analitis.

 

Pentingnya Tasawuf Dalam Kehidupan Modern

Masyarakat modern adalah himpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan tertentu yang bersifat mutakhir. Masyarakat modern selanjutnya sering disebutkan sebagai lawan dari masyarakat tradisional. Menurut Deliar Noer, ciri-ciri masyarakat modern adalah:

Bersifat rasional, yakni lebih mengutamakan pendapat akal pikiran, daripada pendapat emosi.

Berpikir untuk masa depan yang lebih jauh, tidak hanya memikirkan masalah yang bersifat sesaat, tetapi selalu dilihat dampak sosialnya secara lebih jauh.

menghargai waktu, yaitu selalu melihat bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga.

Bersikap terbuka, yakni mau menerima saran, masukan, baik kriktik, gagasan dan perbaikan dari manapun datangnya.

Berpikir obyektif, yakni melihat segala sesuatu dari sudut fungsi dan kegunaannya bagi masyarakat.

Kehidupan modern timbul dan berkembang pesat di Negara-negara Barat (Amerika Utara dan banyak Negara Eropa). Kehidupan modern disana ditandai dengan kemajuan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan tegnologi, sedangkan dalam bidang keagamaan ditandai dengan gejala-gejala semakin menjauhnya anggota masyarakat dari ajaran akhlaq ilahi.

Menurut Prof. Komaruddin Hidayat, Salah satu ciri masyarakat modern yang paling menonjol ialah sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan yang didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan tegnologi, masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk terhadap kedigdayaan iptek yang berporos pada rasionalita (akal pikiran). Realitas alam raya kini hanya dipahami semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannnya dengan Tuhan. Alam raya dipahami sebagai jam raksasa yang bekerja mengikuti gerak mesin yang telah diciptakan dan diatur sedemikian rupa oleh Tuhan, selanjutnya Tuhan “pensiun” dan tak ada lagi urusannya dengan kehidupan di dunia ini.

Dunia materi dan non-materi dipahami secara terpisah sehinggga dengan cara demikian masyarakat modern merasa semakin otonom dalam arti tidak lagi memerlukan campur tangan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Hasilnya ialah masyarakat modern sangat agresif terhadap kemajuan. Modernisme yang berporos pada rasionalitas, harus diakui, telah mampu menghantarkan manusia pada berbagai prestasi kehidupan materi yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam sejarah umat manusia.

Budaya modern tersebut, dewasa ini, telah tampak pengaruhnya di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, khususnya di masyarakat perkotaan. budaya modern yang kita ambil kulitnya saja dapat megikis budaya kebersamaan sehingga menjadi budaya individualistik yang satu sama lain hanya berkonsentrasi pada pemberdayaan diri tanpa memperdulikan nasib dan kondisi orang lain. Diperparah lagi dengan dominasi rasionalitas manusia modern yang segala sesuatunya hanya diukur dari hal-hal yang bersifat empiris, sehingga tak sedikit manusia modern yang menganut pemahaman bahwa seolah-olah Tuhan itu telah tiada, dalam arti manusia lebih memperturutkan hawa nafsu syetan dari pada memperhatikan bisikan hati yang bersumber dari tuhan.

Cirikhas modern adalah perubahan, dan perubahan itu merupakan gejala harian yang begitu cepat. Karena itu, siapapun harus beradaptasi dengan percepatan perubahan tersebut. Sebagai umat Islam, disamping kita dituntut untuk istiqomah dalam menjalani ajaran Islam, kita juga harus kreatif untuk menagkap setiap makna perubahan tersebut. Iman kita harus stabil tapi didukung oleh pemikiran dan pemahaman yang dinamis, sehingga kita bisa maju besama perkembangan zaman tanpa mengorbankan keImanan, inilah gambaran tentang peran dan fungsi tasawuf yakni penyeimbang dan pengendali dari setiap adanya perubahan.

Kehidupan masyarakat modern yang serba cepat dan cendrung materialistis ini sebenarnya sudah berada pada titik kejenuhan. Pada kendisi yang demikian itulah tasawuf sangat diperlukan dengan banyaknya fenomena kerinduan masyarakat terhadap nilai-nilai spiritual, banyaknya bermunculan majlis dzikir dan kajian-kajian keislaman yang dikelola secara baik oleh para da’i atau tokoh-tokoh Agama Islam.

Bahkan tidak sedikit kelompok-kelompok tertentu dan umat Islam yang mendirikan lembaga-lebaga ke Islaman yang kental dengan nilai da’wah. Ini menunjukkan bahwa geraka tasawuf kembali dirindukan oleh manusia-manusia modern.

 

 Tahapan-Tahapan Tasawuf

Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebut sebagai “Al-Sa’adah” oleh Al-Ghazali dan “Al-Insanul Kamil” oleh Muhyidin bin Arabiy. Keempat tahapan itu adalah syariat, thariqat, hakikat, dan ma’rifat.

Syariat

Menurut Al Sayyid Bakar Al-Ma’ruf, Syariat adalah perintah-perintah yang telah diperintahkan oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.

Menurut Abu bakar al-Ma’ruf syariat adalah: meliputi segala macam perintah dan larangan Allah SWT. Perintah-perintah itu, disebut sebagai istilah ma’ruf yang meliputi perbuata yang hukumnya wajib atau fardhu, sunnah (mandub), atau mustahab dan mubah (jaiz) atau keharusan. Sedangkan larangan-larangan yang disebut dengan istilah munkarat meliputi perbuatan yang hukumnya haram dan makruh. Hal-hal yang sifatnya ma’ruf dan munkarat, sudah ada petunjuknya dalam Al-Qur’an dan Hadits, tinggal dilaksanakan oleh manusia sesuai dengan petunjuk itu. Keterangan ini diterangkan dalam Al-qur’an yang berbunyi:

 

 Artinya: Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang.

Thariqat

Thariqat dari kata Al-Thariq (jalan) menuju kepada hakikat atau dengan kata lain pengamalan syari’at, yang disebut Al-Jarra atau Al-Amal.

Menurut Syekh Muhammad Amin Al-Kurdy, thariqat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibadah yang sebenarnya tidak boleh dipermudah.

Hakikat

Hakikat dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. ilmu hakikat, adalah ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran.

 

Menurut Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf, Hakikat adalah (suasana kejiawaan) seorang salik (sufi) ketika ia mencapai suatu tujuan sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya.

 

Hakikat yang dicapai oleh sufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, ulama sufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:

 

Ainul Yaqin: tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya.

Ilmul Yaqin: tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.

Haqqul Yaqin: suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani sufi tanpa melihat ciptaan-Nya, sehingga segala tingkah laku dan ucapannya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal.

Ma’rifat

Ma’rifat dari kata “Al-Ma’rifah” berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka ma’rifat berarti mengenal Allah ketika seorang sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf.

 

Menurut Dr. Mustafa Zahri ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.

 

Menurut Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiry yang meneruskan pendapat Abu al-Thayyib Al-Samiri, ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.

 

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat samapai kepada tingkatan ma’rifat. Karena itu, sufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki tanda-tanda tertentu. Menurut Dhun Nun Al-Misri tanda-tanda yang miliki orang yang sudah ma’rifat adalah:

 

Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.

Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.

Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat menilai bahwa seorang sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT. Menurut syekh Muhammad bin Al-Fadal, bahwa ma’rifat yang dimiliki sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan tuhan-Nya.

 

 

CONTOH-CONTOH PERILAKU BERTASAWUF.

 

Tasawuf Dalam Kehidupan Modern

Krisis yang melanda dunia modern atau problematika masyarakat modern

Allah memberikan isyarat lewat firmannya dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum (30): ayat 41:

 

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾

 

Artinya:”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

 

Kehadiran Ilmu pengetahuan dan Teknologi telah menimbulkan beberapa krisis dan problematika yang melanda masyarakat Modern diantaranya adalah:

 

Desintegrasi ilmu pengetahuan.

kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi dibidang ilmu pengertahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma (cara pandang)nya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika seseorang menghadapi masalah lalu ia pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, politisi, sosiologi, ahli biologi, etnologi dan ekonomi misalnya, ia akan memberikan jawaban yang berbeda-beda dan terkadang saling bertolak belakang. Hal ini pada akhirnya dapat membingungkan manusia. Dengan menyempitnya pintu masuk bagi persepsi dan konsepsi spiritual, maka manusia modern semakin berada pada garis tepi, sehingga tidak lagi memiliki etika dan estetika yang mengacu pada spesialisasi, sehingga jikalau semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tali pengikat dan petunjuk jalan yang mengusai semuanya, yang terjadi adalah kian jauhnya manusia dari pengetahuan (kearifan) akan kesatuan alam. Perkembangan semacam ini  diisyaratkan oleh Nas sebagai manusia modern yang memang tangannya dalam kobaran api tetapi dirinya sendiri yang menyalakan ketika dirinya sendiri yang melupakan siapa dia sesungguhnya.

 

Kepribadian yang terpecah (split personalty).

Kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang kering dari nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak, sehingga manusianya menjadi pribadi yang terpecah. Kehidupan manusia modern diatur menurut rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya kini tengah menggelinding proses hilangnya kakayaan rohaniyah, karena dibiarkannya perluasan ilmu-ilmu positif (ilmu yang mengandalkan fakta empirik, obyektif, rasional dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial. Jika proses keilmuan yang berkembang itu tidak berada di bawah kendali agama, maka proses kehancuran pribadi manusia akan terus berjalan. Dengan berlangsungnya proses tersebut, semua kekuatan yang akan mempertinggi derajat manusia itu akan hilang, sehingga bukan hanya kehidupan yang mengalami kemerosotan tetapi juga kecerdasan moral kita.

 

Penyalahgunaan Iptek.

Dengan terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikatan spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatif sebagaimana disebutkan diatas, misalnya; kemampuan untuk membuat senjata yang diarahkan untuk tujuan penjajahan suatu bangsa atau bangsa lain, subversi dan lain sebagainya. Kemampuan dibidang  rekayasa genetika diarahkan untuk jual beli manusia. Kecangihan dibidang tehnologi komunikasi dan lainnya telah digunakan untuk menggalang kekuatan yang menghancurkan moral umat dan sebagainya.

 

Pendangkalan iman.

Hal ini dikarenakan pola pikir para ilmuan yang hanya mengakui fakta yang bersifat empiris. Dan tidak tersentuh oleh informasi yang yang datang dari wahyu, bahkan informasi yang dibawa oleh wahyu menjadi bahan tertawaan dan dianggap sebagai tidak ilmiah dan kampungan.

 

Pola hubungan materialistik.

Pola hubungan masyarakat yang ditentukan oleh seberapa jauh antara yang satu dengan lainnya dapat memberikan keuntungan yang bersifat material.

 

Penghormatan yang diberikan seseorang atas orang lain yang banyak diukur dengan sejauh mana orang tersebut memberikan manfa’at secara material.

 

Semangat persaudaraan dan rasa saling tolong menolong yang didasarkan atas panggilan iman yang sudah tidak nampak lagi, karena memang imanya sudah dangkal.

 

Sehingga Pola hubungannya dengan menempatkan pertimbangan material diatas pertimbangan akal sehat, hati nurani, kamanusiaan dan imannya.

 

Menghalalkan segala cara.

Hal ini disebabkan oleh dangkalnya iman dan pola hidup matrealistik, sehingga manusia dengan mudah dapat menggunakan prinsip menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Jika hal ini terjadi, maka akan terjadi kerusakan akhlaq dalam segala bidang, baik ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.

 

Stress dan Frustasi.

kehidupan yang penuh kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan kemampuannya untuk mengejar target. Mereka terus bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Hasil yang dicapai tak pernah disyukuri dan selalu merasa kuarang. Apalagi jika usaha dan proyeksinya gagal, maka akan dengan mudah ia kehilangan pegangan. Hal ini disebabkan tidak lagi memiliki pegangan iman yang kokoh. Mereka hanya berpegang kepada hal-hal yang bersifat material yang sama sekali tidak dapat membimbing hidupnya. Akibatnya jika menghadapi masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri akan mudah frustasi bahkan stress, jika hal ini terjadi terus-menerus tidak mustahil akan menjadi gila atau hilang ingatan.

 

Kehilangan harga diri dan masa depannya.

Karena terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan. Masa mudanya dihabiskan untuk menuruti hawa nafsu dan segala daya yang ditempuhnya. Sehingga ketika sudah tua renta, fisiknya sudah tidak berdaya, tenaganya sudah tidak mendukung, dan berbagai kegiatan tidak bisa dilakukan, fasilitas dan kemewahan hidup tidak memerlukan lagi. Maka yang dirasa adalah kehilangan harga diri dan masa depannya, kemana ia harus berjalan, ia tidak tahu.

 

Timbulnya tasawuf modern dalam kehidupan modern

Menurut Prof. Hamka, kita bisa berperilaku sufi atau mengikuti sunnah-sunnah yang sudah digariskan oleh Nabi SAW tanpa harus meninggalkan kehidupan modern. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang harus kita teladani dari kehidupan Nabi antara lain:

 

Zuhud

Beliau mengajarkan bahwa kekayaan yang sebenarnya bukanlah kekayaan harta benda melainkan kekayaan rohaniyah. Beliau tidak memiliki harta kekayaan padahal sebenarnya bisa memilikinya jika beliau mau. Beliau tidak tertarik pada harta benda karena memandang nilai rohani lebih tinggi kedudukannya.

 

Hidup sederhana

Dalam kehidupan sehari-hari tercermin kesederhanaan beliau dalam perumahan, pakaian, dan makanan.

 

Dari segi perumahan, Kasur beliau terbuat dari kulit berisi sabut. Bahkan terkadang beliau tidur di atas tikar daun kurma sehingga membekas pada punggungnya. Pernah seorang sahabat melihat kesedehanaan Nabi, sehingga menawarkan kasur yang empuk. Beliau menolaknya dengan berkata, apakah arti kehidupan dunia ini bagiku. Bagiku dunia hanya ibarat seorang  penunggang kuda yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian dia meninggalkannya.

 

Dari segi berpakaian, begitu sederhananya. Aisyah pernah memperlihatkan sehelai pakaian Nabi yang kasar yang dipakai beliau pada deti-detik hayatnya yang terakhir.

 

Dari segi makanan, amat sederhana sekali. Beliau banyak berpuasa dan tidak makan kecuali lapar dan kalaupun makan tidak sampai kenyang.

 

Bekerja keras

Hidup sederhana yang dicontohkan rasul bukan lahir dari kemalasan. Nabi menyuruh bekerja keras untuk memenuhi hajat hidup dan kelebihan rezeki yang diperolehnya dari cucuran keringat itu untuk kepentingan infaq di jalan Allah SWT. Nabi pernah menandaskan: “bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan engkau mati esok hari”.

 

Aktif dalam kemasyarakatan dan amal sosial, Rasulullah terkenal amat pemurah. Beliau berkeinginan keras melayani kepentingan umat dan menolong mereka dari segala kesulitan. Rasulullah SAW. Selalu memperhatikan pelayanan terhadap fakir miskin, anak yatim piatu dan orang-orang lemah.

 

Perbaikan akhlak

Nabi Muhammad SAW. Adalah contoh dari suri tauladan yang paling baik dalam tingkah laku (akhlaq). Beliau selalu memberi dorongan untuk berbuat ikhsan kepada sesama manusia, berbuat baik pada keluarga dan famili, memuliakan tamu dan tetangga. Nabi menjelaskan pada salah satu sabdanya bahwa: “manusia paling baik ialah yang paling baik perangainya.”. Dalam hal ini, yang dituntut bukan hanya tingkah laku lahir saja melainkan juga sikap batin yang selalu terkontrol dan cendrung kepada jalan kebaikan dan kebajikan.

 

Ibadah

Rasulullah adalah ahli ibadah yang paling mulia, bukan saja dalam ibadah wajib, melainkan juga dalam ibadah sunnah. Sebagian malamnya dihabiskan dalam sholat malam (tahajjud), jarang meninggalkan rowatib dan setiap waktu selalu dalam dzikir dan istighfar. Sekalipun beliau sunyi dari dosa, beliau beristigfar tidak kurang dari 70-100 kali sehari.

 

Selain tasawuf modern yang ditawarkan oleh Prof. Hamka, ada tasawuf yang layak dipraktikkan kedalam kehidupan modern, yaitu tasawuf positif. Prinsip tasawuf positif ialah menekankan pentingnya nilai-nilai tasawuf yang positif dan sesuai dengan kehidupan kini. Gagasan  tasaawuf ini berawal dari fakta bahwa citra tasawuf masih berkutar dalam ekses-ekses negative yang berkaitan dengan hal-hal yang mistis sehingga orang modern jarang atau tidak tertarik pada kehidupan tasawuf.

 

Diantara ajaran tasawuf positif yang dikembangkan dalam kehidupan modern adalah:

 

memandang zuhud sebagai prinsip tasawuf yang selaras dengan kewajiban zakat.

Bila ajaran zuhud pada zaman dulu melazimkan sufi untuk meninggalkan kehidupan duniawi yang menjerat nafsu, maka pada zaman kini orang kaya dapat berprilaku zuhud dengan jalan atau cara mengeluarkan zakat dan infaq. Ia masih boleh terikat secara fisik dengan dunia tetapi kehidupan rohaniah selalu terpelihara dari jeratan dan jebakannya. Hartanya akan selalu ia bagi-bagikan kepada kaum fakir yang membutuhkan. Do’anya setiap waktu adalah “ya Allah, jadikanlah aku orang kaya yang selalu berderma. Letihkanlah aku untuk membagi-bagikan titipanMu”.

 

Memahami amal saleh secara luas, tanpa membatasi pada amal-amal yang bersifat agamis.

Misalnya, bekerja secara professional, membuka lapangan pekerjaan bagi pengangguran, dan mewujudkan sistem perbankan yang berkeadilan sosial.

 

Bekerja keras sebagai salah satu cara dalam menerjemahkan kehendak Allah atau menjemput takdir-Nya.

Bekerja dipandang sebagi upaya untuk mengasah potensi diri atau fitrah yang telah Allah anugerahkan kepada setiap insan.

  

Berusaha menintegrasikan nilai-nilai Tasawuf ke dalam dunia modern, seperti ke dalam dunia bisnis, ekonomi, politik, hingga ke dalam teknologi komunikasi.

 

  

BAB III

 PENUTUP

 

Kesimpulan

Tasawuf  di era modern ini, ditempatkan sebagai cara pandang yang rasional sesuai dengan nalar normatif dan nalar humanis-sosiologis.

 

Tasawuf atau sufisme diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tasawuf begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar.

 

Maka kehadiran tasawuf di dunia modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-orang yang semula hidupnya glamour dan suka hura-hura menjadi orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Disamping itu juga, tasawuf modern juga sebagai terapi penyembuhan bagi kegundahan hati dalam merindukan tuhannya.

 

Saran

Penulis menyadari bahwa didalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu demi pemahaman kita bersama, mari kita membaca dari buku-buku lain yang bisa menambah ilmu dan pengetahuan kita tentang tasawuf di era modern dan penulis sangat mengharapkan kritik maupun saran yang sifatnya membangun, dari Dosen Pembimbing dan para pembaca agar untuk berikutnya makalah ini bisa lebih baik lagi.

 

 

0 komentar:

Post a Comment