Thursday, December 29, 2022

Orang Yang Meninggal dan Meninggalkan Shalat

             Shalat fardhu merupakan shalat yang diwajibkan kepada setiap orang mukallaf (baligh dan berakal) dalam sehari semalam 5 waktu atau 17 rakaat, jadi tidak ada suatu alasan pun untuk meninggalkannya, walau dalam keadaan sakit parah sekalipun, selama orang tersebut masih memiliki sifat mukallaf.

Barangsiapa yang meninggal dan ada baginya shalat fardhu yang belum dikerjakan semasa hidupnya, niscaya ahli waris tidak wajib mengkadhakannya dan tidak wajib membayar fidiyahnya.

من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه

“Barangsiapa yang meninggal dan kepadanya ada shalat fardhu yang tinggal, niscaya tidak diqadhakan dan tidak dibayar fidiyahkan”.[1]

 - 1

    Namun dalam satu pendapat yang dipegang oleh satu Jama’ah Mujtahidin bahwa shalat fardhu almarhum/almarhumah yang tidak dikerjakan semasa hidupnya maka diqadha oleh keluarganya, ini berdasarkan hadits Bukhari dan lainnya.

      Pendapat Jama’ah Mujtahidin ini juga diambil oleh salah satu jamaah didalam mazhab Syafi’i dan ini pernah dikerjakan oleh Subki untuk sebagian kerabatnya.

     Ibnu Burhan menaqal dari Al-Qadim bahwa sesungguhnya wajib bagi wali untuk mengerjakan shalat almarhum/almarhumah yang tinggal selama hidupnya bila almarhum/almarhumah meninggalkan harta dan ini sama berlaku pada puasa Ramadhan juga.

       Dalam suatu wajah yang berpegang oleh kebanyakan dari sahabat kita bahwa dalam setiap waktu shalat yang ditinggalkan oleh almarhum/almarhumah diberikan makanan kepada fakir atau miskin dalam setiap satu shalat satu mud (7 ons).

     Muhibuthabri mengatakan bahwa setiap ibadah yang dikerjakan oleh keluarga kepada almarhum/almarhumah itu sampai fahalanya, baik itu ibadah wajib atau ibadah sunat.

    Didalam kitab Syarah Al-Mukhtar yang bermazhab ahlisunnah bahwa disebutkan sesungguhnya setiap manusia yang menjadikan semua fahala amalannya dan fahala shalatnya untuk orang lain, niscaya sampai semua fahala tersebut untuk orang lain.

       Didalam hal ini, Imam Hanafi berpendapat bahwa diberikan fidiyah atas shalat almarhum/almarhumah yang tinggal selama hidupnya, apabila almarhum/almarhumah berwasiat demikian sebelum ia meninggal, dan pun Imam Hanafi mengatakan tidak wajib diqadhakan shalat itu.

     Didalam Syarah Dar dan asalnya disebutkan bahwa jikalau seseorang meninggal dan meninggalkan shalat, ia telah berwasiat untuk dibayarkan kafarah shalat, maka pihak keluarga wajib memberikan makanan kepada fakir dan miskin dalam setiap satu shalat itu setengah sha’ (1,4 Kg) dari pada beras seperti pada zakat fitrah.

     Hanyasanya setengah sha’ itu diambilkan dari sepertiga harta peninggalannya. Jikalau almarhum/almarhumah tidak meninggalkan harta, maka untuk membayar kafarah setengah sha’ ini pihak keluarga berhutang, kemudian diserahkan kepada fakir, kemudian fakir menyerahkan kembali kepada keluarga dan keluarga pun menyerahkan kembali kepada fakir, hingga sampailah takaran jumlah sha’ sesuai shalat yang ditinggalkan oleh almarhum/almarhumah.

       Didalam pendapat ini, tidak dibenarkan pihak keluarga untuk mengqadha shalat fardhu almarhum/almarhumah, walau almarhum/almarhumah telah memerintahkan qadha sebelum meninggal. Sebab tidak dibenarkan qadha karena shalat itu merupakan ibadah badaniyah.


[1] Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Fathul Mu’in, Beirut: Darul Fikr, Juz. I, h. 33.

0 komentar:

Post a Comment