1. Apakah yang dimaksud dengan tashawuf falsafi?
2. Siapakah tokoh-tokoh tashawuf falsafi?
3. Apa yang anda ketahui tentang tashawuf falsafi?
4. Kenapa tashawuf falsafi sangat dipertentangkan di khalayak ramai?
1. Apakah yang dimaksud dengan tashawuf falsafi?
2. Siapakah tokoh-tokoh tashawuf falsafi?
3. Apa yang anda ketahui tentang tashawuf falsafi?
4. Kenapa tashawuf falsafi sangat dipertentangkan di khalayak ramai?
1. Apa yang anda ketahui tentang tashawuf akhlaqi dan amali?
2. Siapakah tokoh² tashawuf akhlaqi dan amali?
3. Apa tanggapan anda tentang tashawuf akhlaqi dan amali?
¨ Ittihad
Ittihad adalah
suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan;
suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satunya lagi dengan
katakata: Hai Aku.
(Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 43)
Pencetus konsep al-ittihad adalah Abu Yazid al-Busthami. Nama lengkapnya adalah Thaifur Ibn Isa ibnu
Sarusyan. Dia berasal dari Bustham. Kakeknya, Sarusyan sebelum masuk Islam adalah
seorang pemeluk agama Majusi yang selanjutnya masuk Islam. Abu Yazid meninggal tahun 261
H (ada juga yang berpendapat dia meninggal th. 264 H).
(A.R. Badawi, Syathahat al-Sufiyah, an-Nahdhah al-Misriyah
1949)
Untuk sampai ke
Ittihad, seorang Sufi harus sampai pada tahap fana dan baqa.
Fana berarti hancur, sirna dan lenyap, sedangkan baqa keadaan
dari sesuatu yang tidak berakhir.
Untuk sampai ketahap fana harus memiliki 4 ini:
1. Al Sukr
2. Al Syathahat
3. Zawal al Hujab
4. Glalbat al
Syuhud
5. Al Sukr
Al Sukar
didahului oleh fase Ghaibah yaitu suatu keadaan pertengahan antara hubb dan
fana‟. Al-Sukkar tidak bisa dicapai kecuali orang yang dalam keadaan
“mencintai” (“mawajid”).
(Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah
al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 244)
q Al Syathahat
¨ Al Syathahat
adalah gerakan yaitu: gerakan rahasia dari orang yang sangat cinta, lalu
mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang aneh bagi pendengarnya, sehingga tidak ada
orang yang dapat memahami ungkapan itu kecuali orang yang diberikan kemuliaan
dan pemahaman yang luas.
¨ (Ibn Qayyim
al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 246)
¨ Zawal al Hujab
Zawal al Hujab
adalah suatu keadaan seorang sufi tidak ada lagi yang diinginkan kecuali Allah.
(Ibn Qayyim
al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 248)
q Ghalbat al
Syuhud
Ghalbat al
Syuhud Ini merupakan tempat di atas tempat, dan waktu diatas waktu, disini
tidak lagi menanyakan kenapa dan
bagaimana. Hal ini terjadi ketika perasaan, kesadaran dan penyaksian seorang
sufi sampai kepada puncak fana‟, lalu dia lupa dirinya dan tidak ada selain
Allah, sekiranya ditanya: dari mana? Dan hendak kemaan? Tidak ada jawaban kecuali
“Allah.
(Ibn Qayyim
al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 257)
¨ Ungkapan Abu
Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang
terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya
yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka
sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa
besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular
keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun
terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab
manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.
(Fariduddin
al-Aththar, hal. 140 dala Abu at-wafa
at-Ghanimi, haL.116 )
¨ Ungkapan Abu
Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang
terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya
yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka
sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa
besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular
keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun
terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab
manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.
(Fariduddin
al-Aththar, hal. 140 dala Abu at-wafa
at-Ghanimi, haL.116 )
¨ Ungkapan Abu
Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang
terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya
yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka
sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa
besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular
keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun
terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab
manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.
(Fariduddin
al-Aththar, hal. 140 dala Abu at-wafa
at-Ghanimi, haL.116 )
¨ Ungkapan Abu
Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang
terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya
yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka
sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa
besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular
keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun
terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab
manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.
(Fariduddin
al-Aththar, hal. 140 dala Abu at-wafa
at-Ghanimi, haL.116 )
Yang perlu diingat:
Fana itu adalah sifatnya makhluk, sedangkan baqa itu
merupakan sifatnya Khaliq.
Jadi sungguh berlebihan ketika mengatakan makhluk itu telah
baqa sepertinya baqanya Khaliq, karena Khaliq itu bersalahan dengan makhluk.
ليس كمثله شيء
Junaid al Banghdadi mengatakan :
“Abu Yazid
sekalipun agung kondisinya dan tinggi isyaratnnya, tidaklah keluar dari kondisi
permulaannya, dan darinya belum pernah aku mendengar sepatah kata pun yang menunjukkan
pada kesempurnaan dan akhir.
(al-Sarraj
al-Thusi hal .479
dalam Abu al-Wafa 2003 hal. 119)
Menurut Abu al
Wafa, pendapat Junaid ini mempunyai makna bahwa al Busthami termasuk para sufi
yang tidak bisa mengendalikan diri, serta orang yang tunduk pada intuisi.
Dengan sendirinya hal itu membuat mereka tetap dalam keadaan
permulaan, dan tidak bisa
menjadi panutan bagi sufi-sufi lain.
(al-Sarraj
al-Thusi hal .479
dalam Abu al-Wafa 2003 hal. 119)
¨ Hulul
Kata
Hulul berasal dari halla, yahullu, hululan. Kata ini memiliki arti
menempati, mistis, berinkarnasi.
(Depag RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1993, hal. 339)
¨ Hulul juga bermakna
penitisan Tuhan ke makhluk atau benda.
(lhsan Ilahi
Dhahir, Sejarah Hitam Tasawuf (terjemah), Jakarta, 2001, hal. 242)
¨ Secara harfiah
hulul mengandung arti bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu
yang telah lenyap sifat kemanusiaannya melalui fana.
(Abdu Qadir
Mahmud, al-falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, hal.337)
¨ Abu Nasr al-Tusi
Hulul adalah
faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan
(Abu Nasr
al-Tusi, al-Luma‟, al-Qahirah, Dar al-Kitabah alHaditsah, 1960)
¨ AI-Hallaj adalah ulama tasawuf yang pertama kali mencetuskan konsep Hulul. Ia berpendapat bahwa
Allah mempunyai dua sifat dasar (nature), yaitu ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut). Teorinya ini
dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul at-Tawasin
(Harun
Nasution, Filsafat dan mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang 2006, hal. 71)
¨ Kalangan ahli
Sufi berbeda pendapat dalam menyikapi
fenomena al-Hallaj, ada yang pro ada yang kontra. Yang pro diantaranya
abul abbad bin atha‟, Abu abdillah Muhammad Khafif, Abul
qasim al-Junaid dan Ibrahim Nashru Abadzy.
¨ Sedangkan yang kontra diantaranya yang pernah menjadi gurunya seperti al-Junaid
al-baghdadi. abul-Husain an-Nury, Amr al-Makky, abu baker al-Fuwathi.
(Ali Ibnu
Anjab al-Sal, Akhbar al-Hallaj (Kairo tt. Tanpa penerbit), hal
10-11. Lihat Abu at-Wafa, hal. 122)
¨ Pengertian Maqam
¨ Maqam adalah
hasil usaha manusia dengan kerja keras dan keluhuran budi pekerti yang dimiliki
hamba tuhan yang dapat membawanya kepada usaha dan tuntunan dari segala
kewajiban (Al Qusyairi).
(Al Qusyairi,
Risalah Al Qusyairiyah Fi ‘Ilmi at Tashawuf))
مقام العبد يدى
الله فيما يقام فيه من العبادات والمجاهدات والرياضات والنقطاع الى الله
“Kedudukan hamba dihadapan Allah yang diperoleh melalui kerja
keras dalam ibadah, kesungguhan melawan hawa nafsu, latihan-latihan kerohanian
serta menyerahkan seluruh jiwa dan raga semata-mata untuk berbakti kepada Nya
().
Abu Nashr al Sarraj al Thusi, Al Luma’)
Al Qusyairi membagi maqam kepada 7 maqam, yaitu:
1. Taubat
2. Wara’
3. Zuhud
4. Tawakkal
5. Sabar
6. Ridha
At Thusi maqam kepada 7 maqam, yaitu:
1. Taubat
2. Wara’
3. Zuhud
4. Faqir
5. Sabar
6. Tawakal
7. Ridha
Al Ghazali membagi maqam kepada 10 maqam, yaitu:
1. Taubat
2. Sabar
3. Syukur
4. Raja’
5. Khauf
6. Zuhud
7. Mahabbah
8. Asyiq (Pecinta)
9. Unas
10.
Ridha
Ahwal
ما يحل به القلوب
او تحل به القلوب من صفاء الاذكار وليس الحال من طريق المجاهدات والعبادات
والرياضات كالمقامات التى ذكرنا وهي مثل المراقبة والقرب والحب والخوف والرجاء
والشوق والانس والطماءنينة والمشاهد واليقين وغير ذلك
Hal kondisi jiwa yang diperoleh dari kesucian jiwa.
(At Thusi)
q Yang Meliputi
ahwal
المراقبة والقرب
والمحبة والخوف والرجاء والشوق والانس والطماءنينة والمشاهدة واليقين
(At Thusi)
¨ Perbedaan
Maqamat dan Ahwal
¨ Maqamat
merupakan tingkat seorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan
laitihan-latihan jiwa yang dilakukannya.
¨ Ahwal suatu
kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba tanpa
adanya usaha atau latihan jiwa.
¨ Perbedaan
Maqamat dan Ahwal
¨ Maqamat
merupakan tingkat seorang hamba di hadapan Tuhannya dalam hal ibadah dan
laitihan-latihan jiwa yang dilakukannya.
¨ Ahwal suatu
kondisi atau keadaan jiwa yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba tanpa
adanya usaha atau latihan jiwa.
¨ Dalam Thariqat
Naqsyabandi dari Mursyid Abu Matang Perlak yang bersanad kepada Abuya
Muhibuddin Wali dan ayah beliau Abuya Muda Wali, maka latihan yang dilakukan
oleh si Salik itu ada beberapa tahapan, yaitu:
¨ Zikir Ismu Zat
(Qalb)
¨ Zikir Lathaif
Sembilan (Qalb, Ruh, Sir, Khafi, Akhfi)
¨ Zikir Lathaif
Sebelas (Qalb, Ruh, Sir, Khafi, Akhfa, Nafsun Nathiqah, Jami’ul A’dha)
¨ Zikir Nafi dan
Itsbat
¨ Zikir Wuquf
(Mengingat Zat Allah yang Wajib Wujud yang bersifat dengan kesempurnaa)
¨ Zikir Muraqabah
Muthlak (Mengingat bahwa Allah Swt menilik kita selamanya)
¨ Zikir Nafi dan
Itsbat
¨ Zikir Wuquf
(Mengingat Zat Allah yang Wajib Wujud yang bersifat dengan kesempurnaa)
¨ Zikir Muraqabah
Muthlak (Mengingat bahwa Allah Swt menilik kita selamanya)
CHAIRINA ULFA
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN TASAWUF
FALSAFI
Tasawuf falsafi adalah
tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional
pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan
terminologi filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para
tokohnya.[1]
Tasawuf falsafi secara
sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam Islam
untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan
filosofis. Keberadaan tasawuf bercorak
falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya
kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi
para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya,
tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda
untuk direnangi.[2]
SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF
FALSAFI
Tasawuf falsafi,
disebut pula dengan tasawuf nazhari, merupakan tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antara visi mistis dan visi rasional sebagai pengasasnya. Berbeda
dengan tasawuf ssalafi (akhlaqi), tasawuf filosofis menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi filosofis tersebut berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya. Tasawuf
filosofis ini mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam
Hijriyah, meskipun para tokohnya bbaru dikenal seabad kemudian. Sejak itu
tsaswuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi
yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.
Pemaduan antara tasawuf
dan filsafat telah membuat ajaran-ajaran tasawuf filosofis bercampur dengan
sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan
agama Nashrani. Namun, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang,
karena para tokohnya ̶ meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan
pengetahuan yang berbeda sejalan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu
itu ̶ tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran-ajarannya, terutama bila
dikaitkan dengan kedudukan mereka sebagai umat Islam. Sikap ini dapat menjawab
pertanyaan mengapa para tokoh tasawuf filosofis begitu gigih mengompromikan
ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar Islam kedalam tasawuf mereka,
serta menggunakan terminologi filsafat yang maknnya telah disesuaikan dengan
ajaran-ajaran tasawuf yang mereka anut.
Para sufi yang juga
filosof pendiri aliran tasawuf filosofis mengenal dengan baik filsafat Yunani
serta berbagai alirannya misalnya Socrates, Plato, Aristoteles, aliran Stoa,
dan aliran Neo Platonisme. Bahkan, mereka cukup akrab dengan filsafat yang
seringkali disebut Hermetisme, yang karya-karyanya banyak diterjemahkan ke
dalam bahsa arab, dan filsafat-filasafat Timur Kuno, baik dari persia maupun
India, serta menelaah filsafat-filsafat para filosof muslim, seperti Al-Farabi,
Ibnu Sina, dan lain-lain.
2.3 TOKOH DALAM ALIRAN TASAWUF FALSAFI
Diantara tokoh-tokoh
tasawuf falsafi adalah Ibnu Arabi, al-Jili, Ibnu Sab’in, dan Ibnu Masarrah.
1. Ibnu Arabi
Nama lengkap Ibnu Arabi
adalah Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin
Abdullah ath-Tha’i
Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara,
Spanyol, tahun 560 H.
Setelah berusia 30 tahun, ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan
kawasan Islam bagian barat. Diantara deretan guru-gurunya, tercatat nama-nama,
seperti Abu Madyanal-Ghautsat-Talimsari dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali
dari kalangan wanita).
Ajaran-ajaran
Tasawufnya
Ajaran sentral Ibnu
Arabi adalah tentang wahdad al-wujud (kesatuan wujud).
Meskipun demikian,
istilah wahdad al-wujud yang dipakai untuk menyebut
ajaran sentralnya,
tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah,
tokoh yang paling keras
dalam mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya
tersebut, atau
setidak-tidaknya tokoh itulah yang telah berjasa dalam
mempopulerkannya ke
tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya negatif.
Di samping itu,
meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdad
al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibnu Arabi,
mereka berbeda pendapat
dalam menformulasikan
pengertian wahdad al-wujud.[3]
2. Abdul Karim Al-Jili
Nama lengkapnya adalah
Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili. Ia lahir pada tahun
1365 M di Jilan
(Gilan), sebuah provinsi di sebelah selatan Kasfia dan wafat
pada tahun 1417 M. Nama
al-Jili diambil dari tempat kelahiranya di Gilan. Ia
adalah seorang sufi
yang terkenal dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak
banyak diketahui oleh
para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber mengatakan
bahwa ia pernah
melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M. Kemudian
belajar tasawuf dibawah
bimbingan Abdul Qadir al-Jailani, seorang pendiri
dan pemimpin Tarekat
Qadiriyah yang sangat terkenal. Disamping itu,
berguru pula pada Syekh
Syarafddin Isma’il bin Ibrahim al-Jabarti di Zabith
(Yaman) pada tahun
1393-1403 M.[4]
Ajaran-ajaran
Tasawufnya
Ajaran tasawuf al-Jili
yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia
sempurna). Menurut
al-Jili, insan kamil adalah nuskhah,
seperti disebutkan
dalam hadits yang artinya:
“Allah menciptakan Adam
dalam bentuk yang Maharahman”
Hadits lain menyebutkan
yang artinya:
“Allah menciptakan Adam
dalam bentuk diri-Nya”
Sebagaimana diketahui,
Tuhan memiliki sifat-sifat seperti
hidup, pandai,
mampu berkehendak,
mendengar, dan sebagainya. Manusia (Adam) pun
memiliki sifat-sifat
seperti itu. Proses-proses yang terjadi setelah ini ada
setelah Tuhan menciptakan
substansi, huwiyah Tuhan dihadapkan dengan
huwiyah Adam,
aniyah-Nya disandingkan dengan aniyah Adam, dan Dzat
Nya dihadapkan pada
Dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan dengan
Tuhan dalam segala
hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita memahami bahwa
Adam dilihat dari sisi
penciptaannya merupakan salah seorang insan kamil
dengan segala
kesempurnaannya. Sebab, pada dirinya terdapat sifat dan nama
ilahiah.
3. Ibnu Sab’in
Nama lengkap Ibnu
Sab’in adalah Abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn
Nashr, seorang sufi dan
juga filsuf dari Andalusia. Dia terenal di Eropa karena
jawaban-jawabannya atas
pernyataan Frederik II, penguasa Sicilia. Dia
dipanggil Ibnu Sab’in
dan diberi gelar Quthbuddin, tetapi kadang-kadang, ia
dikenal pula dengan Abu
Muhammad. Dia dilahirkan tahun 614 H (1217-
1218M) di kawasan
Murcia.[5]
Ajaran-ajaran
Tasawufnya
Ibnu Sab’in adalah
seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf
filosofis, yang dikenal
dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial
pahamnya sederhana
saja, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Tasawuf falsafi secara
sederhana dapat di definisikan sebagai kajian dan jalan esoteris dalam islam
untuk mengembangkan kesucian batin yang kaya dengan pandangan-pandangan
filosofis. Keberadaan tasawuf bercorak
falsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang pada awalnya
kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah Islam. Sementara bagi
para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat dan sekaligus menguasainya,
tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnya demikian bening dan begitu menggoda
untuk direnangi.
DAFTAR PUSTAKA
http://ahlaktasawuf2017.blogspot.com/2017/12/tasawuf-falsafi-konsep-dan-tokohnya.html
https://dalamislam.com/landasan-agama/tauhid/tasawuf-falsafi
[1] Rosihun Anwar, Akhlak Tasawuf, Terj. (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 277.
[2] Mohammad Muchlis Solihin, Akhlak & Tasawuf Dalam Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 131.
[3] ]Mohammad Muchlis Solihin, Akhlak & Tasawuf Dalam Wacana Kontemporer Upaya Sang Sufi Menuju Allah (Surabaya: Pena Salsabila, 2014), hlm. 131.
[4] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hal 281-285
[5] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, hlm. 268-289