Bumi adalah
suatu planet yang dihuni oleh berbagai macam makhluk hidup dan makhluk mati,
ada yang namanya manusia, hewan, dan tumbuhan.
Salah satu
makhluk penghuni bumi ini adalah manusia, yang mana manusia itu adalah makhluk
yang paling sempurna, yaitu memiliki akal dan hawa nafsu.
“Sesungguhnya
kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”, Q. S At Tien:
4).
Namun
kadangkala, manusia itu sendiri tidak pernah tau kalau dia itu makhluk yang
sempurna dan makhluk yang paling baik Allah ciptakan, sehingga jangankan untuk
mengenal Tuhan, mengenal dirinya saja ia tidak tau.
“Sungguh telah
Kami muliakan anak cucu Adam dan telah Kami angkut mereka di daratan dan
dilautan dan Kami beri rezeki mereka dengan yang biak-baik dan telah Kami
lebihkan mereka dari semua ciptaan Kami dengan banyak kelebihan”, (Q. S. Al
Isra’: 70).
Manusia dari
sisi agama
Manusia adalah “hayawanun
nathiqun”. Hayawanun adalah mutaharrikun
biquah (yang bergerak dengan kekuatan), sedangkan Nathiqun adalah mutafakkirun
bi iradah (yang berfikir dengan kehendak). Jadi manusia itu makhluk yang
bergerak dengan menggunakan kekuatan kemudian ia mampu berfikir dengan kehendaknya.
Manusia dari
sisi definisi ini masih sangat umum, sehingga sebahagian mereka mendefinisi
manusia itu lebih khusus dan lebih menjurus kepada hakikat diciptakan manusia
itu sendiri.
“Manusia itu
dua macam, yaitu ‘Alimun wa Muta’allimun (orang yang mengajar dan orang
yang belajar), (‘Alim Muta’allim).
Dalam definisi
ini, setiap makhluk yang sudah dikategorikan manusia, namun mereka tidak
menganggap mereka sebagai manusia, karena kehidupan yang dijalani oleh mereka
jauh dari hakikat diciptakan mereka, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman
kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia
dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Maka apabila
Aku Telah menyempurnakan kejadiannya, dan Telah meniup kan kedalamnya ruh
(ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”, (Q. S Al Hijr:
28-29).
Kita tidak akan
bisa tunduk dan bersujud kepada Allah SWT bila tidak mempunyai ilmu agama, dan
ini yang membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Nilai
ketaatan dan ibadaha manusia itu diukur dari seberapa besar pehamannya tentang
agama, apakah dia itu cuma mengikuti (ta’liq) buta, atau berdasarkan ilmu. Karena bentuk
perhambaan manusia tidak akan diterima oleh Allah SWT bila ia tidak memiliki
ilmu agama.
“Dari Ummul mukminin, Ummu 'Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu 'anha, ia
berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu
dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak", (Bukhari
dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim :
“Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia
tertolak”).
Manusia dari
sisi sosial
Manusia juga
makhluk hidup yang sangat keterkaitan dengan kehidupan sosial, bahkan manusia
itu adalah pemeran utama dalam hubungan sosial.
Sebagai makhluk
sosial manusia mempunyai dorongan atau motif untuk mengadakan hubungan dengan
dirinya sendiri, sedangkan sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan
untuk mengadakan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan sosial.
Dengan adanya dorongan atau motif sosial pada manusia, maka manusia akan
mencari orang lain untuk mengadakan hubungan atau untuk mengadakan interaksi.
Dengan demikian maka akan terjadilah interaksi antara manusia satu dengan
manusia yang lain.
“Dia-lah Allah,
yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui
segala sesuatu”, (Q. S Albaqarah: 29).
“Sesungguhnya
kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu amat zalim dan amat bodoh”, (Q. S Al ahzab: 72)
Ini membuktikan
begitu berperannya manusia dalam kehidupan didunia ini, selain manusia itu
adalah khalifah juga ia penanggung jawab atas apa yang tejadi didunia ini,
karena manusia itu memiliki nafsu dan akal yang mempengaruhi hubungan
sosialnya.
Kemampuan dan
kebiasaan manusia berkelompok ini disebut juga dengan zoon politicon. Istilah
manusia sebagi zoon politicon pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles yang
artinya manusia sebagai binatang politik. Manusia sebagai insan politik atau
dalam istilah yang lebih populer manusia sebagi zoon politicon, mengandung
makna bahwa manusia memiliki kemampuan untuk hidup berkelompok dengan manusia
yang lain dalam suatu organisasi yang teratur, sistematis dan memiliki tujuan
yang jelas, seperti negara. Sebagai insan politik, manusia memiliki nilai-nilai
yang bisa dikembangkan untuk mempertahankan komunitasnya.
Kita sebagai
manusia harus tau peran manusia itu sendiri, baik dari segi agama atau sosial,
sehingga kita benar-benar dikategorikan manusia yang hakiki, bukan manusia cuma
berwajah manusia.
0 komentar:
Post a Comment