Ketika alam begitu gersang, moral dan
aqidah makin terkikis, keganasan nafsu mengusai manusia, ketika itu syahwat
hayawani lebih dominan, maka bebiadaban makin merajalela.
Tak terelakkan, hasrat biologis hewani
mengancam generasi, predator seks berada dimana-mana, dirumah, dipesantren,
disekolah, diyayasan, dikantor, bahkan sampai di TK yang didomisili anak-anak
yang belum tau tentang seks itu, mereka menjadi korban keganasan manusia
berhati syaithan.
Anaknya sendiri yang sepatutnya
dingayomi, malah digauli tanpa perasaan bersalah, bahkan yang lebih kejam,
janin anakknya yang telah dihamilinya berkali-kali, dimakan sendiri, laksana
anjing pemangsa yang telah gila.
“Lagi
pula anak itu kini sedang hamil enam bulan. Ini kehamilannya yang kelima karena
ulah ayahnya,” ungkap Kepala Bidang (Kabid) Perlindungan Perempuan dan Anak
Pijay, Dra Rosmiati, menjawab Serambi di Hotel Hermes Palace Banda Aceh”, (Serambi
Indonesia, Jum’at, 09/05/15).
Kebejatan predator seks berhati binatang
bukan saja sampai disitu, namun ia tega memakan ari-ari dari janin yang ia
gugurkan dengan mentah, laksana iblis memakan tumbalnya, ya lebih layak dikatan
iblis berwujud manusia.
“Bukan
saja tega menghamili anak kandungnya sampai lima kali, Sai (55), warga Gampong
Cot Meukaso, Kecamatan Trienggadeng, Pidie Jaya (Pijay), juga dikabarkan tega
menggugurkan kandungan anaknya itu sebanyak empat kali.
Setelah
menggugurkan kandungan anaknya, Sai biasanya melakukan ritual yang tak lazim,
yakni memakan mentah-mentah plasenta (ari-ari) janin yang merupakan benihnya
itu”,(Serambi
Indonesia, Jum’at, 09/05/15).
Beberapa
Catatan Hitam Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual bukanlah sesuatu yang
baru dinegara kita, namun hampir diseluruh pelosok negeri ini terjadi,
pelecehan seksual didalam angkot yang menjadi predator seks para supir dan
kernet angkot, bahkan pernah menjadi korban, korban melompat dari angkot karena
akan diculik untuk diperkosa.
“Angkot
ternyata masih menjadi tempat mengerikan bagi kaum hawa. Annisa Azward (20),
mahasiswi Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia meregang nyawa setelah loncat
dari angkot. Diduga Annisa nekat berbuat itu karena takut diculik oleh sopir”, (Mardeka.Com,
Senin, 11 Februari 2013).
Kasus pelecehan seks ini juga bukan saja
dialami anak yang normal, namun juga dialami oleh anak yang tuna rungu, seolah
predator seks adalah iblis yang tak kenal bulu dan siapa tempat pelampiasan
birahinya.
“Seperti fenomena gunung es, kasus pelecehan dan
kekerasan seksual terus bermunculan. Di Jakarta Timur, dilaporkan dugaan
pelecehan seksual menimpa 9 orang anak. Parahnya, pelaku ternyata anak 13
tahun, berinisial A.
Asusila bocah tuna rungu itu terungkap saat korban,
kakak beradik AB (5) dan AS (7), menonton berita tentang paedofil di Sukabumi,
Jawa Barat, Emon. Kepada ibunya, AB lalu menanyakan apa yang dimaksud dengan
sodomi”, (Liputan6.Com, 9 Mei 2014).
Masih di Jakarta
Timur, juga seorang guru di Sekolah Dasar setempat juga melampiaskan seksual
kepada siswanya, anehnya, seolah perbuatan biadab ini tidak guru lain yang
mengetahuinya, dan yang kesekian kalinya predator seks merusak ranah
pendidikan.
“Kasus dugaan pelecehan seksual kembali
terjadi. Kali ini menimpa siswi Kelas III SD di Pondok Rangon, Jakarta Timur
berinisial W. Dia diduga dilecehkan oleh gurunya di toilet sekolah”, (Liputan6.Com, 8 Mei 2014).
Seolah lengkap
sudah apa yang terjadi dinegeri kita ini, bukan saja mahasiswi, anak SMA, SMP,
SD, siswa pre-school
Jakarta International School (JIS), Cilandak, Jakarta Selatan juga menjadi
korban kebiadaban nafsu iblis yang dimiliki pengajar disana, hampir semua media
mengabarkan hal itu, Indonesia menangis, para orang tua tak dapat bicara, hanya
air mata yang berkata, seolah tiada lagi tempat yang nyaman bagi anak-anaknya,
merek dan lebel yang international, namun tak ada sedikitpun ruang lingkup yang
memberi kenyaman kepada anak-anak mereka.
Anehnya, predator seks itu lengkap
dengan segala macam jenis umur, remaja, dewasa, bahkan yang sudah uzur dan
dekat dengan kuburpun menjadi predator, bahkan korbannya pun Balita, seolah
begitu hancurnya moral negeri ini.
“Kekerasan dan pelecehan
seksual terhadap anak terus terjadi. Kali ini balita 2 tahun yang menjadi
korban. Bocah malang itu dilecehkan oleh seorang kakek yang merupakan
pengasuhnya sendiri di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara”, (Liputan 6 SCTV, 06 Mei 2014).
Masih begitu
banyaknya fenomena ini terjadi, ini adalah sebagian kecil gambaran di negara
kita, saat moral menjadi krisis, iman seolah tergadaikan, agama menjadi
formalitas, akhlak dan sikap sangat bertentangan. Entah ini salah siapa, ketika
mayoritas umat Islam di negeri ini, namun negara tidak berhukum dengan Syariat
Islam, seolah kemunafikan terabaikan, dan melaggar HAM menjadi senjata
orang-orang liberalis, kini kita bisa melihat sendiri kebebasan para predator
seks yang hanya dijerat dengan KUHP, padahal mereka adalah para teroris yang
menghancurkan masa depan bangsa, menghancurkan cita-cita anak-anak yang begitu
belia dan polos, padahal mereka adalah tonggak bangsa di masa depan.
Kenapa Predator Seks Begitu Bebasnya
Semakin majunya
teknologi, semakin banyaknya kasus pelecehan seks terjadi, seolah kekerasan
seksual begitu sengitnya bersaing dengan masa, melihat fenomena ini, seolah
tidak ada solusinya bagi negara, padahal hukum demi hukum telah dijatuhkan
kepada pelaku, dan ini menjadi pertanyaan bagi kita, padahal harapan kita
semua, khususnya para orang tua kasus ini setiap tahun menurun, namun
realitanya, inilah pekerjaan bagi kita.
“Sepanjang
perjalanan tahun 2013 lalu, Woman Crisis Centre (WCC) mencatat angka kekerasan
terhadap perempuan masih cukup mendominasi. Kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual
menempati posisi teratas”, (Palembang Pos, 09 Januari 2014).
“Laporan
akhir tahun 2013 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) membawa kabar
duka. Sebanyak 3.023 kasus pelanggaran hak anak terjadi di Indonesia dan 58
persen atau 1.620 anak jadi korban kejahatan seksual”, (Fabian
Januarius Kuwado, Kompas. Com, 10 Mei 2014).
Melihat predator seks semakin hari
semakin subur, seolah kejahatan yang terorganisir atau dibiarkan, padahal
ketentuan hukum begitu jelas, namun tidak memberi efek jera kepada pelaku,
padahal harapannya ini bisa hilang sehingga kenyamanan genarasi terjaga
sehingga generasi bisa menikmati segalanya dengan utuh.
Pasal 287
ayat (1):
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di
luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya tidak jelas,
bahwa ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling
lama sembilan tahun”.
Pasal 292 KUHP:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan
orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun,” (KUHP, pasal 287 dan 292).
Melihat jera
hukuman yang termaktub dalam KUHP,
seolah tidak mempan bagi mereka yang menjadi predator seks, bahkan mereka makin
subur dan merebak keseluruh Indonesia, bukan saja perkotaan, didesa pun sudah
ada, bukan saja di Provinsi sekuler di Aceh yang notabene tengah digalakkan
Syariat Islam pun kian tak teratasi, salah siapakah ini? Apakah kita harus
saling menyalahkan? Atau sistem yang salah sehingga mereka bisa menjamur.
Di dalam Islam,
penzina memiliki dua hukuman, yaitu rajam
(tanam disimpang jalan dan melempar dengan batu sampai mati) dan jilid (cambuk), ini tergantung siapa
pelakunya, kalau ini kita berlakukan sesuai tuntunan, mungkin predator seks itu
tak akan menjamur seperti begini, karena mereka akan berpikir tentang denda
yang didapatnya, dan resikonya adalah mati atau setengah mati. Namun bila cuma mengandalkan
tahanan, itu pun tergantung jumlah tahunnya dan berlaku remisi kepada mereka
dan lainnya, tak ubah seperti memelihara, disatu sisi kita membenci namun
disisi yang lain kita memberikan ruang gerak kepada mereka.
Sekarang saatnya
kita bergerak, menegakkan hukum sesuai syariat, bukan hukum dan syariat kita
politisi demi kepentingan pribadi, kita belum terlambat, masih banyak generasi
yang masih terpelihara dan membutuhkan ketegasan dan kasih sayang kita, kalau
bukan sekarang, kapan akan kita lakukan, apakah sampai anak kita sendiri
menjadi korban?
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”, (Q. S An Nur: 2).
"Tidak
halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang
berzina, orang yang membunuh dan orang yang murtad dan keluar dari
jamaah."
(HR Muttaq 'alaih).
0 komentar:
Post a Comment