Aceh adalah suatu daerah yang
tak kunjung padam di dera konflik, mulai perang dengan Belanda masa kerajaan
Darussalam dulu, sampai dengan perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan
Pemerintah Republik Indonesia, bahkan sampai sekarang masyarakat Aceh masih
merasakan trauma konflik, padahal sudah berjalan 10 tahun penandatangan MoU
Helsynki, mulai takut kekebun sendiri sampai merasa takut melihat orang-orang
yang berseragam loreng dengan menenteng senjata.
Bermacam tragedi terjadi pasca
MoU, mulai pengeroyokan, peneroran, penculikan, sampai pembunuhan, konflik
terjadi antar partai menjelang pemilihan, antar kelompok, bahkan dalam satu
kelompok pun kadang terjadi api didalam sekam, tak terasa namun sudah menjadi
beberapa kubu demi jabatan dan kekuasaan.
Penculikan yang berakhir
dengan pembunuhan dua anggota Intel Kodim 0103 Aceh Utara, juga meninggalkan
rasa ketakutan dan was-was bagi masyarakat, terlebih mereka yang menetap di pelosok,
baik yang menetap di Nisam Antara atau Kutamakmur.
Isu akan terjadi konflik baru
menjadi pembicaraan disetiap masyarakat, mulai dirumah, meunasah, warung kopi
sampai dengan tempat-tempat berkumpul masyarakat. Operasi Militer seolah sudah
didepan mata, dan ini akan membangkitkan kenangan silam yang begitu memilukan,
namun Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Agus Kriswanto menegaskan tidak ada
Operasi Militer di Aceh Utara.
Mulai perluasan zona perburuan
kelompok bersenjata di Aceh Utara oleh 400 personel TNI sampai dengan dengan
perintah tangkap pelaku penembakan intel oleh Gubernur Aceh memberi dampak
negatif bagi rakyat Aceh Utara, yang berujung dengan perintah ronda malam oleh
Bupati bagi masyarakat sipil di Aceh Utara.
Keluhan dari masyarakat pun timbul
bermacam-macam, pertanyaan demi pertanyaan mereka saling melemparnya walau tak
ada suatu jawaban, karna tampuk pemerintahan pada Bapak Bupati. “Apa yang kita
jaga? Siapa yang kita jaga? Sudah kita pilih mereka menjadi pemimpin kita, kok
kita yang disuruh jaga? Kejadian di Aceh Utara itu kriminal biasa atau ancaman
negara sehingga kita diwajibkan jaga malam?.
Rakyat Butuh di Jaga Bukan
Menjaga
Program jaga malam yang
dicanangkan Bupati Aceh Utara beberapa hari yang lalu yang disampaikan melalui
muspika per Kecamatan telah mengukir cerita baru bagi masyarakat, sebagian
masyarakat merasa risih dan
berspetakulasi, namun ada juga sebagian dari mereka yang merasa senang, baik
bisa melakukan kegiatan malam atau sekedar main domino.
Namun sebagai masyarakat yang
sering kita katakan sebagai tuan bahkan raja bagi mereka, malah seringkali
menjadi pelayan bagi mereka yang kita gaji dengan uang rakyat. Bupati,
Walikota, Gubernur bahkan dewan adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat,
mereka diharapkan menjadi wakil rakyat yang selalu memperjuangkan kepentingan
rakyat, memberi kenyamanan dan kesejahteraan rakyat, mereka harus memberikan
pelayanan prima bagi masyarakat, bukan masyarakat yang dikorbankan untuk
berjaga semalam suntuk demi kenyaman mereka.
Kalau memang negara ini sedang
kacau, Provinsi ini sedang huru hara, Kabupaten ini sedang terjadi kriminal,
kan masih ada pihak keamanan yang mempunyai perlengkapan lengkap untuk menjaga
dan mengatasinya, apalagi negara kita ini negara yang memiliki militer terbanyak
di Asia. Seandainya mereka yang berperan dalam bidang keaman sudah kewalahan
karena negara sedang di ancam keutuhannya, ya boleh-boleh saja rakyat sipil
dilibatkan, semestinya pemerintah itu terlebih dahulu memikirkan keselamatan
dan kenyamanan masyarakatnya, bukan langsung dijadikan garda depan sebagai
tameng yang cuma beralatkan kentongan dan tongkat kecil.
Semoga perintah jaga malam
yang sedang dicanangkan Pemerintah Aceh Utara dan telah disampaikan kepada
setiap Geuchik melalui Muspika setempat dalam Kabupaten tersebut dikaji ulang,
kalau cuma beralasankan tragedi Nisam sebagai pendongkrak jaga malam, ini
sungguh tidak etis, karena kejadian di Nisam Antara itu kriminal biasa yang
juga terjadi di Kabupaten lain dan bukan ancaman keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Implementasi MoU dan
Kriminalisasi
Membaca isi dari MoU Helsynki
sungguh menggetarkan jiwa, dan membuat provinsi-provinsi lain di seluruh
Indonesia menjadi cemburu, pasalnya isi dari MoU tersebut mampu mengangkatkan
derajat, meningkatkan perekonomian masyarakat Aceh, bahkan menjadikan Aceh
laksana Brunei Darussalam, tak ada lagi rakyat yang melarat, masyarakat digaji,
listrik tak pernah padam, dan jalan yang ke lorong-lorong di aspal, inilah yang
terngiang dalam benak kita saat membayangkan Aceh laksana Brunei Darussalam.
Namun apa realitanya? Sudah 10
tahun penendatangan MoU, masyarakat masih seperti dulu, tidak banyak yang
berubah, jalan masih banyak yang tidak layak digunakan, perekonomian masyarakat
masih terjepit, walau sebagian dari mereka sudah menjadi kolongmerat, yang dulu
bermata hitam kini menjadi bermata biru (istilah untuk hartawan), tapi itu pun
tak sampai 5 % dari masyarakat Aceh.
Dana Reintegrasi yang
dijanjikan kepada seluruh mantan GAM sebagai modal untuk memulai hidup baru pun
tak terealisasi sepenuhnya, padahal dari pendataan GAM pun tidak seperti
dilapangan, saat konflik dulu hampir 80 % masyarakat Aceh terlibat, bahkan
mereka saling membahu untuk bekerja sama untuk Aceh, namun yang didaftar
sebagai penerima dana Reintegrasi cuma 3000 orang saja.
“Direktur AJMI, Agusta
Mukhtar dalam rilis yang diterima Serambi, Rabu (1/4), lebih lanjut menulis,
reintegrasi yang dijalankan Pemerintah Aceh selama ini hanya terkesan bagi-bagi
uang bagi kelompok tertentu dan sebagian masyarakat. Pemerintah Aceh tidak
melihat apa sebenarnya kebutuhan masyarakat secara ril pascakonflik yang telah
terjadi berkepanjangan di Aceh”, (Serambi Indonesia, 2 April 2015).
Untuk membuat Aceh aman,
tentram, dan damai dengan menjadikan rakyat sejahtera, fasilitas pendidikan,
kesehatan dan infrastrukutur yang baik, menggalakkan pendidikan agama bagi
anak-anak Aceh dan memperhatikan tempat-tempat pengajian dengan sempurna, mulai
fisilitas dan jerih para ustaz/ulama, guree, pengajar, karena Aceh
adalah tanahnya para pejuang, ulama dan Serambi Mekkah, maka ciptakan nuansa
agama dalam segala hal, bukan membiarkan masyarakatnya lepas dan bebas, seolah
agama adalah tanggungjawabnya para teungku dan ulama.
Juga yang perlu diperhatikan
agar kedamaian Aceh tetap terbina selamanya, jangan pernah mendustakan nikmat, peugah
lagei buet dan pubuet lagei haba, dan jangan pernah ada dusta diantara kita
(sesama rakyat Aceh) dan diantara mereka (Pemerintah Pusat).
“Dan (ingatlah juga),
tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka
Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih", (Q. S. Ibrahim: 7).
0 komentar:
Post a Comment