Sunday, January 29, 2017

Menatap Wajah Aceh Pasca MoU



Aceh adalah suatu daerah yang tak kunjung padam di dera konflik, mulai perang dengan Belanda masa kerajaan Darussalam dulu, sampai dengan perang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia, bahkan sampai sekarang masyarakat Aceh masih merasakan trauma konflik, padahal sudah berjalan 10 tahun penandatangan MoU Helsynki, mulai takut kekebun sendiri sampai merasa takut melihat orang-orang yang berseragam loreng dengan menenteng senjata.

Bermacam tragedi terjadi pasca MoU, mulai pengeroyokan, peneroran, penculikan, sampai pembunuhan, konflik terjadi antar partai menjelang pemilihan, antar kelompok, bahkan dalam satu kelompok pun kadang terjadi api didalam sekam, tak terasa namun sudah menjadi beberapa kubu demi jabatan dan kekuasaan.

Penculikan yang berakhir dengan pembunuhan dua anggota Intel Kodim 0103 Aceh Utara, juga meninggalkan rasa ketakutan dan was-was bagi masyarakat, terlebih mereka yang menetap di pelosok, baik yang menetap di Nisam Antara atau Kutamakmur.

Isu akan terjadi konflik baru menjadi pembicaraan disetiap masyarakat, mulai dirumah, meunasah, warung kopi sampai dengan tempat-tempat berkumpul masyarakat. Operasi Militer seolah sudah didepan mata, dan ini akan membangkitkan kenangan silam yang begitu memilukan, namun Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Agus Kriswanto menegaskan tidak ada Operasi Militer di Aceh Utara.

Mulai perluasan zona perburuan kelompok bersenjata di Aceh Utara oleh 400 personel TNI sampai dengan dengan perintah tangkap pelaku penembakan intel oleh Gubernur Aceh memberi dampak negatif bagi rakyat Aceh Utara, yang berujung dengan perintah ronda malam oleh Bupati bagi masyarakat sipil di Aceh Utara.

Keluhan dari masyarakat pun timbul bermacam-macam, pertanyaan demi pertanyaan mereka saling melemparnya walau tak ada suatu jawaban, karna tampuk pemerintahan pada Bapak Bupati. “Apa yang kita jaga? Siapa yang kita jaga? Sudah kita pilih mereka menjadi pemimpin kita, kok kita yang disuruh jaga? Kejadian di Aceh Utara itu kriminal biasa atau ancaman negara sehingga kita diwajibkan jaga malam?.

Rakyat Butuh di Jaga Bukan Menjaga

Program jaga malam yang dicanangkan Bupati Aceh Utara beberapa hari yang lalu yang disampaikan melalui muspika per Kecamatan telah mengukir cerita baru bagi masyarakat, sebagian masyarakat  merasa risih dan berspetakulasi, namun ada juga sebagian dari mereka yang merasa senang, baik bisa melakukan kegiatan malam atau sekedar main domino.

Namun sebagai masyarakat yang sering kita katakan sebagai tuan bahkan raja bagi mereka, malah seringkali menjadi pelayan bagi mereka yang kita gaji dengan uang rakyat. Bupati, Walikota, Gubernur bahkan dewan adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat, mereka diharapkan menjadi wakil rakyat yang selalu memperjuangkan kepentingan rakyat, memberi kenyamanan dan kesejahteraan rakyat, mereka harus memberikan pelayanan prima bagi masyarakat, bukan masyarakat yang dikorbankan untuk berjaga semalam suntuk demi kenyaman mereka.

Kalau memang negara ini sedang kacau, Provinsi ini sedang huru hara, Kabupaten ini sedang terjadi kriminal, kan masih ada pihak keamanan yang mempunyai perlengkapan lengkap untuk menjaga dan mengatasinya, apalagi negara kita ini negara yang memiliki militer terbanyak di Asia. Seandainya mereka yang berperan dalam bidang keaman sudah kewalahan karena negara sedang di ancam keutuhannya, ya boleh-boleh saja rakyat sipil dilibatkan, semestinya pemerintah itu terlebih dahulu memikirkan keselamatan dan kenyamanan masyarakatnya, bukan langsung dijadikan garda depan sebagai tameng yang cuma beralatkan kentongan dan tongkat kecil.

Semoga perintah jaga malam yang sedang dicanangkan Pemerintah Aceh Utara dan telah disampaikan kepada setiap Geuchik melalui Muspika setempat dalam Kabupaten tersebut dikaji ulang, kalau cuma beralasankan tragedi Nisam sebagai pendongkrak jaga malam, ini sungguh tidak etis, karena kejadian di Nisam Antara itu kriminal biasa yang juga terjadi di Kabupaten lain dan bukan ancaman keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Implementasi MoU dan Kriminalisasi

Membaca isi dari MoU Helsynki sungguh menggetarkan jiwa, dan membuat provinsi-provinsi lain di seluruh Indonesia menjadi cemburu, pasalnya isi dari MoU tersebut mampu mengangkatkan derajat, meningkatkan perekonomian masyarakat Aceh, bahkan menjadikan Aceh laksana Brunei Darussalam, tak ada lagi rakyat yang melarat, masyarakat digaji, listrik tak pernah padam, dan jalan yang ke lorong-lorong di aspal, inilah yang terngiang dalam benak kita saat membayangkan Aceh laksana Brunei Darussalam.

Namun apa realitanya? Sudah 10 tahun penendatangan MoU, masyarakat masih seperti dulu, tidak banyak yang berubah, jalan masih banyak yang tidak layak digunakan, perekonomian masyarakat masih terjepit, walau sebagian dari mereka sudah menjadi kolongmerat, yang dulu bermata hitam kini menjadi bermata biru (istilah untuk hartawan), tapi itu pun tak sampai 5 % dari masyarakat Aceh.

Dana Reintegrasi yang dijanjikan kepada seluruh mantan GAM sebagai modal untuk memulai hidup baru pun tak terealisasi sepenuhnya, padahal dari pendataan GAM pun tidak seperti dilapangan, saat konflik dulu hampir 80 % masyarakat Aceh terlibat, bahkan mereka saling membahu untuk bekerja sama untuk Aceh, namun yang didaftar sebagai penerima dana Reintegrasi cuma 3000 orang saja.

Direktur AJMI, Agusta Mukhtar dalam rilis yang diterima Serambi, Rabu (1/4), lebih lanjut menulis, reintegrasi yang dijalankan Pemerintah Aceh selama ini hanya terkesan bagi-bagi uang bagi kelompok tertentu dan sebagian masyarakat. Pemerintah Aceh tidak melihat apa sebenarnya kebutuhan masyarakat secara ril pascakonflik yang telah terjadi berkepanjangan di Aceh”, (Serambi Indonesia, 2 April 2015).

Untuk membuat Aceh aman, tentram, dan damai dengan menjadikan rakyat sejahtera, fasilitas pendidikan, kesehatan dan infrastrukutur yang baik, menggalakkan pendidikan agama bagi anak-anak Aceh dan memperhatikan tempat-tempat pengajian dengan sempurna, mulai fisilitas dan jerih para ustaz/ulama, guree, pengajar, karena Aceh adalah tanahnya para pejuang, ulama dan Serambi Mekkah, maka ciptakan nuansa agama dalam segala hal, bukan membiarkan masyarakatnya lepas dan bebas, seolah agama adalah tanggungjawabnya para teungku dan ulama.

Juga yang perlu diperhatikan agar kedamaian Aceh tetap terbina selamanya, jangan pernah mendustakan nikmat, peugah lagei buet dan pubuet lagei haba, dan jangan pernah ada dusta diantara kita (sesama rakyat Aceh) dan diantara mereka (Pemerintah Pusat).
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih", (Q. S. Ibrahim: 7).


0 komentar:

Post a Comment