Umat Islam didunia sekarang
sedang merayakan idul adhha atau hari raya qurban, dimana dalam
setiap setahun sekali raya raya itu datang, baik hari raya idul fitri
atau hari raya idul adhha yang sedang kita jalani.
Walaupun terjadi perbedaan
hari dalam merayakan hari raya idul adhha kali ini, namun ini bukanlah suatu
hal yang fatal yang perlu diperdebatkan, karena masing-masing orang yang akan
berhari raya itu berdasarkan pegangan dan pengetahuannya, dan ini telah
dijelaskan oleh para ulama dan orang-orang yang faham tentang Islam.
Namun yang menjadi persoalan
sekarang bukanlah kapan dan kenapa tidak serentak berhari raya, tetapi apakah
kita semua telah memaknai hari raya itu sesuatu tuntunan dan syariat yang kita
pegangi berdasarkan kiblat fiqiyah?.
Hakikat berhari raya
Dalam berhari raya ini, umat
Islam mempunyai bimbingan dan tuntunan, yaitu sesuai dengan syariat yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Namun menurut penjelasan Anas bin Malik,
orang yang beriman itu bukan saja memiliki dua hari raya, namun mereka
mempunyai lima hari raya.
Pertama, setiap hari yang dilaluinya,
tanpa dicatat darinya satu dosapun, maka itu adalah hari raya. Kedua, pada hari
yang dia keluar dari dunia ini (mati) dengan membawa bekalan iman, syahadah
(dapat mengucap Lailahaillallah)
dan terpelihara dari tipu daya syaitan (husnul khatimah), maka itu adalah
hari raya. Ketiga, hari dia menyeberang Siratal Mustaqim dan dia selamat
dari segala risiko hari qiamat, dan selamat dari pula dari Malaikat Zabaniah,
maka itu adalah hari raya. Keempat, hari dia masuk ke Syurga dan selamat dari
neraka Jahim, maka itu adalah hari raya. Dan kelima, hari dia dapat melihat
wajah Tuhannya, maka itu adalah hari raya. (dipetik dari Abu Laits
As-Samarkandi).
Hari raya merupakan syiar
Islam yang mulia yang memiliki nilai ibadah yang agung. Pada hari itu kaum
muslimin berkumpul, bersuka cita, mengumandangkan takbir dengan kalimat
keagungan Allah. Oleh karena hari raya adalah bagian dari syiar Islam yang
agung ini, maka selayaknya bagi kaum muslimin pun menjalaninya dengan aturan
Allah dan etika yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga amal yang telah kita lakukan selama satu bulan penuh itu tidak hilang
sia-sia. Namun pada hakikatnya umat Islam dalam berhari raya itu harus
mempunyai bekal ilmu yang cukup, bersilaturrahmi, dan hindari kemaksiatan.
Dan juga dalam merayakan hari
raya idul adhha itu dengan melaksanakan qurban, karena qurban itu adalah
sebagai bukti keikhklasan seseorang dalam bertaqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah SWT, karena qurban juga sunnah yang sangat dianjurkan oleh
Rasulullah SAW.
Fenomena perayaan hari raya
Melihat fenomena perayaan hari
raya yang dirayakan oleh umat Islam sekarang, khususnya di Aceh sungguh
sebagian mereka telah melupakan hakikat dan hikmah dari hari raya itu sendiri,
budaya berhari raya telah keluar dari kiblat yang sebenarnya, bahkan kadang
kita telah berkiblat kehari raya yang tidak sesuai dengan budaya Islam itu
sendiri.
Budaya maksiat dan
menghambur-hamburkan uang lebih dominan dalam merayakan hari raya, petasan yang
bermacam modelpun telah menghiasi hari raya umat Islam, yang lebih parah
penjual, pembeli dan yang membakar petasan itu sendiri adalah umat Islam yang
sedang merayakan hari raya, seolah-olah petasan itu menjadi legalitas hari raya
yang dilegalkan.
Ketika itu seolah pemerintah
diam dan pura-pura tidak tau bahkan tidak faham, petasan yang beraneka ragam
pun diperjual belikan didepan umum yang setiap kali dilalu lalangi oleh
masyarakat umum.
Budaya pacaran dan berwisata
riya juga menghiasi perayaan lebaran, seolah seorang ayah telah menyerahkan
anaknya kepada silelaki yang bertudung suci padahal ia laksana buaya yang
sedang mengintai mangsa. Tak terasa semua yang menjadi tabu dalam Islam kini
menjadi pemandangan yang biasa saja dan dipraktekkan dimana saja, tanpa
terhalang waktu dan tempat.
Padahal dalam Islam semuanya
telah diatur, jangankan membawa sang wanita yang belum dinikahinya laksana
barang yang telah usang, menyentuh tangannya saja tidak diperbolehkan, namun
fenomena yang ada di setiap daerah, jarang ada yang selamat darinya kecuali
orang yang dirahmati oleh Allah. Sebagian dari mereka tidak tahu, sebagian yang
lainnya mengetahuinya akan tetapi karena hawa nafsu lebih kuat dari ilmu yang
dimilikinya sehingga ia pun terjerumus ke dalamnya. Padahal Rasulullah telah
bersabda jangan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
“Seandainya kepala
seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu masih lebih baik baginya daripada
menyentuh wanita yang tidak halal baginya”, (Hadits Hasan riwayat
Thabrani).
Fenomena lain yang banyak kita
saksikan di saat hari raya adalah gaya hidup yang sama antara muslim dengan non
muslim baik itu dalam hal berbusana. Hal ini sangatlah nampak ketika hari raya,
terutama kaum muda-mudi. Berpakaian seolah-olah telanjang, dalam bahasa lain
adalah “you can see”, atau berpakaian sangat ketat sehingga
terlihat lekak-lekuk tubuhnya. Begitu pula para wanita berdandan dan
menampakkan kecantikan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya. Adat seperti
inilah yang biasa dilakukan oleh orang kafir, akan tetapi sangat disayangkan
sebagian kaum muslimin meniru gaya mereka.
“Barang siapa menyerupai
suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”, (HR. Ahmad).
“Ada dua golongan manusia
penduduk neraka yang aku belum pernah melihatnya, yaitu: kaum yang memiliki
cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk mencambuk manusia, dan
wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala-kepala
mereka bagaikan punuk-punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga bahkan tidak
akan mendapatkan baunya. Padahal bau surga tercium dari perjalanan sekian dan
sekian”, (HR. Muslim).
Dan pemborosan yang luar biasa
juga terjadi pada saat hari raya, baik dalam menyambut hari raya atau saat
merayakan hari raya, seolah-olah semua legal untuk kita belikan, walaupun itu
merupakan barang yang kadang tidak kita butuhkan.
“Dan janganlah kalian
berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”,
(QS. Al-An’am: 141).
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang
berbuat boros itu adalah saudaranya setan”, (QS. Al-Isro’: 26-27).
Maka fenomena inilah yang
menjadi pertanyaan besar bagi kita sendiri, dan membuat komperasi dengan
hakikat berhari raya. Sudahkah kita berhari raya sesuai sunnah Rasulullah SAW?.
Bila ini masih jauh dari harapan Islam itu sendiri, maka mari kita
menginstropeksikan diri dan kita kembali berkiblat dengan hari raya sesuai
syariat.
Mencerahkan
ReplyDelete