Sunday, January 29, 2017

Rohingya; Kami Ditampung atau Ditawan

Setelah terapung-apung ditengah laut yang begitu lama, pencari suaka etnis Rohingya-Myanmar kemudian diselamatkan oleh nelayan Aceh yang ada di Aceh Utara Lhokseumawe dan Aceh Timur, yang di Aceh Utara saat itu di tampung di Kuala Cangkoi Kecamatan Lapang, sedangkan yang di Langsa ditampung di pelabuhan Kuala Langsa.

Sebanyak 328 pengungsi Rohingya yang ditempatkan di Kuala Cangkoi kemudian hari Senin 15 Juni 2015 dipindahkan ketempat penampungan baru di Desa Blang Ado Kecamatan Kutamakmur Kabupaten Aceh Utara.

“Sebanyak 328 etnis Rohingya asal Myanmar yang selama ini ditampung di Kamp Desa Kuala Cangkoi, Kecamatan Lapang, Aceh Utara, Senin (15/6) sekitar pukul 14.00 WIB dipindah ke “perkampungan” baru di Desa Blang Ado, Kecamatan Kutamakmur, masih dalam wilayah Aceh Utara. Di lokasi baru mereka ditempatkan di Balai Latihan Kerja (BLK) Pemkab Aceh Utara, samping Shelter yang sedang dirampungkan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dalam area 5 hektare milik Pemkab Aceh Utara”, (Serambi Indonesia, 16 Juni 2015).

Penampungan Baru, Masalah Baru

Sejak etnis Rohingya menempati tempat baru di Balai Kerja Kerja (BLK) 15 Juni lalu awalnya tidak ada masalah, bahkan mereka (etnis Rohingya) merasa aman, tentram dan damai, dan mereka ingin melaksanakan kegiatan di Bulan Ramadhan ini dengan nyaman di tanah Aceh.

“Kami merasa nyaman disini, bisa melaksanakan kegiatan Ramadhan dengan penuh khidmad, tanpa was-was keselamatan jiwa, harta, dan keluarga, terima kasih masyarakat Aceh”, (Husen entis Rohingya).

Melihat area penampungan yang begitu luas, mungkin secara logika menjadi tempat yang nyaman bagi mereka, namun setelah beberapa minggu di penampungan terjadilah perubahan mental dan moral sebagian penghuni pengungsian.

Suasana yang tandus dan gersang, tanpa pepohonan, membuat sebagian mereka merasa jenuh dan semakin bandel, bahkan sebagian mereka ada yang tidak melaksakan puasa Ramadhan, ini disebabkan panasnya kondisi pengungsian, ditambah lagi mereka tidak dibolehkan keluar pengungsian secara bebas seperti saat di Kuala Cangkoi.

Biasanya kalau hari dan malam mereka disibukkan dengan kegiatan olah raga ala kadarnya, main bola kaki apa adanya, main badminton apa adanya, main takraw apa adanya, bahkan mereka kelihatannya sangat profesional dalam main takraw, dan ini termasuk olah raga yang mereka sukai, namun faktor tandus, gersang, dan tidak bisa keluar untuk bergaul dengan masyarakat Aceh pada umumnya menjadi masalah internal, sehingga kadang-kadang kejenuhan itu mereka tampakkan dengan membantah keamanan, berkelahi sesama teman bahkan sampai net takraw pun di robek karena terjadi cekcok.

Sebenarnya kalau melihat kondisi area penampungan yang begitu panasnya, bukan saja mereka yang sudah berminggu-minggu disitu, kita saja sebagai relawan yang bisa keluar masuk sangat gerah dengan kondidi demikian, apalagi kalau siang hari saat menjalankan ibadah puasa.

Padahal kalau melihat begitu banyaknya bantuan untuk mereka dan begitu antusiasnya  masyarakat Aceh untuk mengayomi mereka, kan bisa mereka sekali-kali diajak keluar penampungan, baik dengan buka puasa bersama dengan masyarakat Aceh lainnya di meunasah-meunasah atau dimesjid-mesjid, bahkan dengan shalat terawih di mesjid-mesjid sekitar pengungsian, sehingga kejenuhan yang selama ini mereka rasakan bisa hilang. Sedangkan sistematisnya itu tergantung panitia dan keamanan. Kan boleh dengan membagi mereka beberapa kelompok, dalam satu kelompok itu menempatkan mereka 10 orang ditambah 2 pedamping untuk lebih mudah mengawasi mereka saat buka puasa atau terawih di luar penampungan.

Kalau Pemerintah Aceh Utara membiarkan mereka didalam penampungan selamanya sampai batas akhir mereka menetap di situ, dikhawatirkan akan timbul masalah baru, perkelahian atau pun pembunuhan dan ini bukan lagi sejalan dengan tujuan dasar, yaitu untuk menolong mereka yang terdampar ditengah laut, namun akan mengakibatkan masalah baru bagi mereka.

0 komentar:

Post a Comment