Setelah
terapung-apung ditengah laut yang begitu lama, pencari suaka etnis
Rohingya-Myanmar kemudian diselamatkan oleh nelayan Aceh yang ada di Aceh Utara
Lhokseumawe dan Aceh Timur, yang di Aceh Utara saat itu di tampung di Kuala
Cangkoi Kecamatan Lapang, sedangkan yang di Langsa ditampung di pelabuhan Kuala
Langsa.
Sebanyak
328 pengungsi Rohingya yang ditempatkan di Kuala Cangkoi kemudian hari Senin 15
Juni 2015 dipindahkan ketempat penampungan baru di Desa Blang Ado Kecamatan
Kutamakmur Kabupaten Aceh Utara.
“Sebanyak
328 etnis Rohingya asal Myanmar yang selama ini ditampung di Kamp Desa Kuala
Cangkoi, Kecamatan Lapang, Aceh Utara, Senin (15/6) sekitar pukul 14.00 WIB
dipindah ke “perkampungan” baru di Desa Blang Ado, Kecamatan Kutamakmur, masih
dalam wilayah Aceh Utara. Di lokasi baru mereka ditempatkan di Balai Latihan
Kerja (BLK) Pemkab Aceh Utara, samping Shelter yang sedang dirampungkan Aksi
Cepat Tanggap (ACT) dalam area 5 hektare milik Pemkab Aceh Utara”, (Serambi
Indonesia, 16 Juni 2015).
Penampungan Baru, Masalah Baru
Sejak
etnis Rohingya menempati tempat baru di Balai Kerja Kerja (BLK) 15 Juni lalu
awalnya tidak ada masalah, bahkan mereka (etnis Rohingya) merasa aman, tentram
dan damai, dan mereka ingin melaksanakan kegiatan di Bulan Ramadhan ini dengan
nyaman di tanah Aceh.
“Kami
merasa nyaman disini, bisa melaksanakan kegiatan Ramadhan dengan penuh khidmad,
tanpa was-was keselamatan jiwa, harta, dan keluarga, terima kasih masyarakat
Aceh”, (Husen entis Rohingya).
Melihat
area penampungan yang begitu luas, mungkin secara logika menjadi tempat yang
nyaman bagi mereka, namun setelah beberapa minggu di penampungan terjadilah
perubahan mental dan moral sebagian penghuni pengungsian.
Suasana
yang tandus dan gersang, tanpa pepohonan, membuat sebagian mereka merasa jenuh
dan semakin bandel, bahkan sebagian mereka ada yang tidak melaksakan puasa
Ramadhan, ini disebabkan panasnya kondisi pengungsian, ditambah lagi mereka
tidak dibolehkan keluar pengungsian secara bebas seperti saat di Kuala Cangkoi.
Biasanya
kalau hari dan malam mereka disibukkan dengan kegiatan olah raga ala kadarnya,
main bola kaki apa adanya, main badminton apa adanya, main takraw apa adanya,
bahkan mereka kelihatannya sangat profesional dalam main takraw, dan ini
termasuk olah raga yang mereka sukai, namun faktor tandus, gersang, dan tidak
bisa keluar untuk bergaul dengan masyarakat Aceh pada umumnya menjadi masalah
internal, sehingga kadang-kadang kejenuhan itu mereka tampakkan dengan
membantah keamanan, berkelahi sesama teman bahkan sampai net takraw pun di
robek karena terjadi cekcok.
Sebenarnya
kalau melihat kondisi area penampungan yang begitu panasnya, bukan saja mereka
yang sudah berminggu-minggu disitu, kita saja sebagai relawan yang bisa keluar
masuk sangat gerah dengan kondidi demikian, apalagi kalau siang hari saat
menjalankan ibadah puasa.
Padahal
kalau melihat begitu banyaknya bantuan untuk mereka dan begitu antusiasnya masyarakat Aceh untuk mengayomi mereka, kan
bisa mereka sekali-kali diajak keluar penampungan, baik dengan buka puasa
bersama dengan masyarakat Aceh lainnya di meunasah-meunasah atau dimesjid-mesjid,
bahkan dengan shalat terawih di mesjid-mesjid sekitar pengungsian, sehingga
kejenuhan yang selama ini mereka rasakan bisa hilang. Sedangkan sistematisnya
itu tergantung panitia dan keamanan. Kan boleh dengan membagi mereka beberapa
kelompok, dalam satu kelompok itu menempatkan mereka 10 orang ditambah 2
pedamping untuk lebih mudah mengawasi mereka saat buka puasa atau terawih di
luar penampungan.
Kalau
Pemerintah Aceh Utara membiarkan mereka didalam penampungan selamanya sampai
batas akhir mereka menetap di situ, dikhawatirkan akan timbul masalah baru,
perkelahian atau pun pembunuhan dan ini bukan lagi sejalan dengan tujuan dasar,
yaitu untuk menolong mereka yang terdampar ditengah laut, namun akan
mengakibatkan masalah baru bagi mereka.
0 komentar:
Post a Comment