Hiruk pikuk kehidupan masyarakat Aceh
saat ini, seolah laksana kapal ditengah lautan yang terombang ambing dihempas
ombak, sang nakhoda yang dilanda mabuk membuat kapal tiada arah, para penumpang
makin kebingungan, ada yang ikut (ikutan) mabuk, ada juga yang sadar namun
tidak tau cara mengendalikan sang kapal. Kebanyakan penumpang dan pemeran hanya
pasrah terhadap keadaan.
Isu syariat Islam yang ditaburkan,
seolah Aceh kian kokoh dengan keislaman nya, tertanam dalam benak, Aceh laksana
Mekkah atau Madinah yang nyaman tentram, penduduk yang ahli syariat bertebaran
dimuka bumi Aceh, tidak pernah terdengar pembunuhan, pemerkosaan, pencurian,
narkoba dan lainnya, namun itu cuma sebatas ilusi dibumi bertitel syariat,
namun kenyataannya hampir apa yang kita baca dikoran, kita lihat ditelevisi
bahkan dengan mata sendiri sungguh lain dari ilusi. Kadang kekejaman di Aceh
sudah sampai tahap kritis dan krisis identitas.
Para pelaku kekerasan seolah
terorganisir, sehingga tanpa hari tiada berita yang mencuatkan hati, korupsi
kadang dilakukan berjamaah, seolah shalat yang sedang diimamkan oleh sang
matrealistis dan Kapitalis, praktik judi dan narkoba pun kian merajalela,
bahkan hampir secara terang-terangan itu dilakukan, belum lagi remaja yang
memaknai kebebasan sesuka hati dalam berpakaian dan berhubungan, seolah-olah
itu suatu yang dilegalkan, sang kekasih yang dimabuk cinta disirami birahi
syaithan pun bertaburan, mareka berpasangan ditempat sepi, dipojok, dimobil,
bahkan tanpa merasa bersalah si wanita menyandarkan tubuhnya yang memakai
pakaian ketat kepunggung sang lelaki buaya yang siap memangsanya.
Entah siapa yang bersalah, entah siapa
yang bertanggung jawab terhadap kemungkaran dan kemaksiatan ini, semua seolah
diam membisu. Aceh hari ini tidak menampakkan wajah Aceh yang dahulu, kala
orang mengenang Aceh sebagai tanah aulia tempat lahir para syuhada yang
berperang dengan rencong dan senjata apa adanya melawan penjajah Belanda yang
mencoba merebut Aceh dan merusak Aceh dengan syariat Islamnya.
Konflik yang berkepanjangan, harta,
anggota badan, bahkan nyawa telah banyak yang hilang dan tsunami yang melantak
hampir sepertiga bumi Aceh dan ribuan nyawa melayang pun seolah hanya mitos dan
sandiwara biasa, yang tidak membuat kita makin taat beragama, makin insaf atau
makin menjadi manusia sebagai mana konsep manusia itu sendiri.
“Hai
manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”, (Q. S Al Hujarat: 13).
“Manusia
hidup didunia ini mempunyai tujuan yang jelas, yaitu tercapainya kebahagiaan,
baik didunia maupun diakhirat, sedangkan tujuan akhirnya adalah tercapainya
kebahagiaan akhirat yang puncaknya yaitu dekat dengan Allah dengan cara bertemu
dan melihat Allah yang didalamnya terdapat kenikmatan-kenikmatan yang
menyeluruh yang tidak pernah diketahui manusia ketika didunia. Karena hakikat
manusia itu jiwanya, maka jiwalah yang akan mendapatkan kesenangan dan
penderitaan nanti di akhirat kelak”, (Al Ghazali).
Ketika kegalauan rakyat Aceh yang dia
sendiri tidak pernah tau dengan kegalaun itu, kedangkalan pemahaman agama yang
membuat kita semakin jauh dari jalan tuntutan agama, tapi itu kadang juga tiada
pernah menyadarinya, fatwa demi fatwa terlontar dari mulut bukan seorang mufti
yang membuat kita makin buta, maka saat itulah sang pelita pembuka cahaya dan
pemersatu umat yang kita tunggu, suaramu... fatwamu... dan ajakan mu wahai para
ulama yang membuat kami akan dekat, sehingga kerapuhan dan kebimbangan akan
sirna.
Ulama
Pemersatu Umat
Ulama adalah adalah “pemuka agama atau pemimpin
agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah
sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial
kemasyarakatan”,
(Wikipedia).
Ketika kita sedang bimbang, hati tak
menetu, perasaan cemas dan rasa tidak enak datang, maka kita membutuhkan
bimbingan rohani, pembinaan yang bersifat religi,
akan kita dapat memahami misteri pengganggu hati. Begitu juga saat keterpurukan
mental dan moral merajalela, sang pahlawan tidak bertuan pun berkoar
dimana-mana, mengagungkan diri sendiri dan lupa atas qudrah dan iradah
Tuhannya, maka saat itu sang pencerah ulama mau berbicara dan berfatwa.
Kebengisan satu kelompok kepada kelompok lain yang membuat individu
simpatisan dan pengikutnya ikut murka kepada sesama makhluk demi meraih materi
yang berlimpah, dalih aspirasi rakyat dan kesejahteraan menjadi kunci pencari
dukungan, namun kadangkala melupakan etika dan arahan agama, demi ini rela
mengorbankan itu, demi jabatan rela mengorbankan ukhuwah islamiyah, bahkan
kata-kata kasar pun sering mencuat dari mulut orang yang tak bertanggung jawab,
sang “OTK” kian terkenal walau tanpa sosok yang nyata namun ia telah ada.
Saat ini, masyarakat Aceh seolah krisis
identitas, telah lupa siapa dirinya, telah lupa siapa saudaranya, telah lupa
apa agamanya, terbuai janji manis sipembisik janji, padahal kita dikenal dulu
karena bersatu dan megahnya Islam di Aceh, saat ini kita sangat labil dan latah, “peuneutoh-peunutoh” tak bertuan pun makin berkembang, sehingga
putusan hukum bukan lagi pada mereka yang memahami hukum, seringkali
menghalalkan dan mengharamkan sesuatu demi kepentingan pribadi, padahal Islam
telah memperjelaskannya.
Ketika kita begitu rapuh terbuai, saat
inilah kita membutuhkan peran Ulama pemersatu umat, “Wahai para ulama, berilah wejengan dan peunutoh kepada kami, mari
bersatu dan satukan kami, kami ingin seperti dulu, saat ulama menjadi pegangan
umat, saat ulama menjadi pilar negara, saat ulama secara langsung mengatur
negara, satukanlah kami dalam panji Islam, nasehatilah kami yang telah salah
langkah dan terbuai kemaksiatan berlimpah tahta dan harta, dan perangilah kami
bila kami menjadi orang dhalim setelah dinasehati, agar generasi kita mampu
memahami mana kenebaran dan mana kepentingan”.
Semoga Aceh hari ini dan kelak
benar-benar Aceh yang Islami, tidak pernah mengkafirkan sesama muslim namun
saling menasehati, jangan biarkan Aceh hancur dan ambruk karna moral dan
pemahaman agama yang dangkal, kami
selalu menunggu peranmu wahai ulama, jangan diam lagi, karena kita telah begitu
hancur, kemaksiatan merajalela, kemungkaran dan kedhaliman begitu megah,
seolah-olah kita bukan penghuni Serambi
Mekkah, satukan kami dalam memerangi kemungkaran, kemaksiatan dan
kedhaliman karena engkau adalah pewaris para Nabi. “Ulama adalah pewaris
para Nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda).
0 komentar:
Post a Comment