Toleransi memiliki beberapa makna sesuai dengan sumber
bacaan, toleransi adalah “kelapangan dada dalam arti suka rukun kepada
siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau
mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain”, (Drs. Dwi Adi K,
Kamus Praktis Bahasa Indonesia). Dan toleransi juga diartikan; 1 sifat atau
sikap toleran: dua
kelompok yg berbeda kebudayaan itu saling berhubungan dengan penuh -;
2 batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3
penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja”, (KBBI).
Di dalam Islam, juga
dikenal istilah toleransi. Toleransi (tasamuh) di dalam Islam hanya berkenaan
dengan masalah – masalah duniawiyyah/masalah kemasyarakatan di dunia saja.
Sedangkan dalam masalah i’tiqad/aqidah Islamiyyah juga dalam masalah syari’ah
tidak diketemukan toleransi di dalamnya. Semua sudah terbingkai rapi dan
teratur di dalam satu aturan / perundang – undangan yang berasal langsung dari
Allah.
Sedangkan kata “tasamuh”
dalam al-Qamus al-Muhith, merupakan derivasi dari kata “samh” yang
berarti “sikap pemurah, penderma, dan gampangan”. Dalam kitab Mu’jam Maqayis
al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata samahah diartikan dengan suhulah
(mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat dengan perkataan Ibnu Hajar
al-Asqalani dalam Fath al-Bari yang mengartikan kata al-samhah dengan
kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat yang berbunyi, Ahabbu
al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah. Perbedaan arti ini sudah barang
tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini dalam kedua bahasa
tersebut (Arab-Inggris), (Salimah Pekan Baru, Facebook).
Dalam pembahasan
Salimah menjelaskan, dalam mengkaji konsep toleransi dalam Islam, merujuk
kepada makna asli kata samahah dalam bahasa Arab (yang artinya
mempermudah, memberi kemurahan dan keluasan), dan bukan merujuk dari arti kata tolerance
dalam bahasa Inggris yang artinya menahan perasaan tanpa protes. Akan tetapi,
makna memudahkan dan memberi keluasan di sini bukan mutlak sebagaimana dipahami
secara bebas, melainkan tetap menggunakan tolok ukur Al-Qur’an dan Sunnah.
Makna toleransi (tasamuh)
adalah mengenai hubungan kehidupan di dunia, ini pun bukan tentang aqidah.
Apabila terjadi penyelewengan aqidah maka ini dikatakan aliran sesat bila
terjadi didalam Islam yang kadangkala menjurus kepada murtad. Rasisme atau
pelecehan bila itu dilakukan oleh agama lain, yang keduanya memiliki ketentuan
yang jelas, bukan memaknai toleransi bagi mereka yang kufur atau murtad dan
bagi mereka yang menghina agama kita.
Jadi, toleransi dalam Islam merupakan pembahasan yang
cukup penting untuk dikaji, karena banyak di kalangan umat Islam yang memahami
toleransi dengan pemahaman yang kurang tepat. Misalnya, kata “toleransi”
dijadikan landasan paham pluralisme yang menyatakan bahwa “semua agama itu
benar”, atau dijadikan alasan untuk memperbolehkan seorang muslim dalam
mengikuti acara-acara ritual non-muslim, atau yang lebih mengerikan lagi, kata
toleransi dipakai oleh sebagian orang ‘Islam’ untuk mendukung eksistensi aliran
sesat dan program kristenisasi baik secara sadar maupun tidak sadar.
Seolah-olah, dengan itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung
kepada kerukunan antar umat beragama, padahal justru akidah Islamlah yang akan
terkorbankan, (Kharis Nugroho, Lc, alumnus Ma’had Tahfidhul Qur’an Isy Karima
Jawa Tengah).
Kerukunan
dalam Islam
Kerukunan dalam bahasa Arab disebut dengan kata tawaafuqun,
tawaddun, ittifaqul kamilati. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kerukunan diartikan dengan kelapangan dada, dalam arti suka rukun kepada
siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirianlain, tak mau
mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan lain. Kerukunan itu adalah satu
tata pikir atau sikap hidup (thalent attitude) yang menunjukkan
kesabaran dan kelapangan dada menghadapi pikiran-pikiran, pendapat-pendapat,
dan pendirian orang. Dalam istilah agama islam,kerukunan itu dinamakan tasamuh,
yaitu membiarkan secara sadar terhadap pikiran atau pendapat orang lain. Orang yang
demikian dinamakan toleran, (Khasanah Islam).
Islam sangat menghargai sesama muslim, bahkan kepada
non muslim, sehingga mereka ada yang dikategorikan dengan si “zimmi”,
yaitu mereka yang non muslim namun tinggal di negara muslim. Dan kepada si “zimmi”
ini mereka diperlakukan hampir sama dengan perlakuan kepada muslim, hanya
beberapa hal yang membedakan mereka dengan muslim.
Islam memerintahkan penganutnya untuk memberikan rasa
aman kepada si zimmi dan si musta’man, agar mereka dapat
merasakan bagaimana aman dan cinta damai nya Islam.
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin
itu meminta perlindungan kepadamu, Maka lindungilah ia supaya ia sempat
mendengar firman Allah, Kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya.
demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak Mengetahui”, (Q. S At
Taubah: 6).
Selain memberikan rasa aman kepada mereka, Islam juga
memberlakukan rasa adil antara orang kafir dan orang muslim, jika mereka berada
ditengah-tengah penerapan hukum Islam.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”, (Q. S Al Maidah: 8).
Bahkan Islam telah memberlakukan orang-orang non
muslim yang tinggal dinegara muslim seperti manusia lainnya, bukan
memberlakukan mereka seperti binatang, bahkan Rasulullah melarang kaum muslimin
berbohong, merampas harta mereka apalagi membunuh membunuh mereka.
“Dan (ingatlah), ketika kami mengambil janji dari
Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat
kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang
miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, Dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”, (Q. S Al
Baqarah: 83).
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahid ia tidak akan mencium bau surga.
Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”, (Hadits).
Ini sebagai bentuk toleransi dan dan kerukunan umat Islam kepada
mereka yang non muslim yang tinggal dinegara muslim, namun hal yang serupa ini
tidak pernah dirasakan saudara kita yang berada dinegara non muslim, jangankan
untuk melaksanakan kegiatan Islam secara massal, kadang untuk menutup aurat dan
mengerjakan ibadah lima waktu saja harus bersembunyi, apalagi untuk mendirikan
mesjid yang besar-besar.
Siapa yang mendiskriminasi siapa, inilah yang perlu kita tanyakan
kepada diri kita dan pemimpin kekuasaan dunia, kenapa kesalahan individu umat
Islam sering dikaitkan dengan kelompok atau organisasi besar dan atas suatu
perintah, dan kenapa saat kesalahan suatu negara non muslim namun mereka
mengatakan itu perbuatan individu bukan atas dasar perintah.
Saat suatu negara menghina Islam dan menghina baginda Rasulullah
SAW dengan membuat karikatur beliau dengan berbagai macam bentuk, penduduk
dunia diam, anehnya negara-negara Islam juga diam membisu, namun saat ada
individu umat Islam yang membalasnya, malah dia di cap sebagai teroris dan
radikal, tiada yang membela dia. Ini yang perlu kita tanyakan tentang keislaman
kepada diri kita.
0 komentar:
Post a Comment