Rapat Paripurna DPR RI untuk menentukan
hasil voting penentuan mekanisme Pilkada Langsung telah dimenangkan kubu
Koalisi Merah Putih (KMP), Koalisi Merah Putih
sukses merivisi sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) dari langsung
melibatkan rakyat, satu pemilih satu suara, menjadi dikembalikan ke DPRD.
Kemenangan Koalisi Merah Putih memberikan
suatu kebanggaan kepada mantan calon presiden Prabowo Subianto, ungkapan
kebanggaan ini disampaikan oleh Prabowo saat berpidato dalam pembekalan calon
anggota legislatif terpilih yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih di Hotel
Sultan, Jakarta, Jumat (26/09/14). (Serambi Indonesia, 27 September 2014).
“Saya cukup salut, beri penghormatan
tinggi dan bangga atas pelaku Koalisi Merah Putih di parlemen yang gigih, yang
memperlihatkan koalisi riil, nyata, solid”, (Prabowo Subianto, Ketua Umum
Partai Gerindra).
UU
DPRD vs Suara Rakyat
Dengan disahkannya UU tentang Pemilu Kepala
Daerah yang dibawah kekuasaan DPRD, ini jelas telah merenggut dan merampas hak
suara rakyat untuk memilih kepada daerah mereka, dan ini membuktikan bahwa
sistem demokrasi di Indonesia akan punah, dan ini akan menjadi malapetaka besar
dalam keperintahan Indonesia, karena dilihat dari proses dan sistem demokrasi
di Indonesia sudah mulai membaik, apalagi ada beberapa daerah yang telah
mengadopsi sistem demokrasi yang sesuai dengan Syariat Islam.
"Pengesahan RUU Pilkada menandakan
telah berbunyinya lonceng kematian demokrasi. Karena cita-cita reformasi
dikhianati sebagian elite politik yang dilahirkan pada era reformasi,"
kata Ketua Komisi Politik PB HMI-MPO Arfianto Purbolaksono, Sabtu (27/9),
(Republika, 27 September 2014)
Disamping
itu, UU tersebut menghilangkan hak rakyat untuk memilih langsung pemimpin daerahnya
yang selama ini telah kita punya. Disaat animo masyarakat untuk ikut proses
pemilihan umum semakin membaik, sebagian anggota DPR yang notabene adalah wakil
rakyat malah mencabut hak rakyat memilih langsung kepala daerahnya.
pilihan kepala daerah melalui DPRD belum merepresentasikan pilihan rakyat,
karena konstituen mereka belum tentu memiliki pilihan sama bila dalam pemilihan
kepala daerah.
Anto menjelaskan, pemilihan melalui DPRD
akan memiliki beberapa dampak, pertama, penghilangan partisipasi masyarakat
dalam menentukan pemimpinnya, kedua, menguatnya oligarki dalam sistem
politik nasional. Ini karena pemimpin daerah hanya akan ditentukan oleh
segelintir orang, ketiga, akan melanggengkan korupsi yang telah terjadi secara
sistemik," ujarnya. (Republika).
Memang tidak semua provinsi di Indonesia
yang akan memilih kepala daerah mereka melalui DPRD, namun ada empat provinsi
yang masih memilih secara langsung, yaitu Aceh, DKI, Jogja, dan Papua. Dan ini
sebagai lampu hijau bagi mereka, namun ini juga bisa menjadi lampu merah bagi
yang provinsinya memilih kepala daerah melalui DPRD, bahkan salah-salah ini
menjadi konflik baru bagi mereka, karena kecemburuan sosial.
Forum Rektor Indonesia menilai pengesahan
undang-undang tentang pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah memiliki makna berbeda. Bagi pendukung pilkada oleh DPRD, alasannya
untuk efisiensi dan mencegah praktek politik uang.
“Tapi bagi pihak yang mendukung pilkada
langsung, pemilihan pilkada oleh DPRD adalah kemunduran demokrasi,"
kata Ketua Forum Rektor Indonesia Ravik Karsidi di Surakarta, Jumat, 26
September 2014, (Tempo, 26 September 2014).
Pemilihan kepala daerah yang melibatkan
wakil rakyat sebagai penentu siapakah yang layak dan cocok menjadi kepala
disuatu daerah dianggap tidak merakyat oleh sebagian masyarakat, karena banyak
wakil rakyat yang tidak merakyat, bahkan setelah terpilih sebagai wakil rakyat
diparlemen, mereka lebih dominan tidak mengenali rakyat lagi, dan ini bisa
mengakibatkan kepala daerah yang mereka pilih adalah sesuai kepentingan mereka
dan kepentingan kelompok partai yang mereka tunggangi.
"Kepentingan yang dilatarbelakangi
kepentingan politik kelompok mengakibatkan situasi politik akan menjadi tidak
sehat. Kami menekankan agar dilakukan rekonsiliasi antarelite dari kedua kubu”,(HMI-MPO,
Republika, 27 September 2014).
Namun hal yang demikian tidak semata semua
kalangan setuju, bahkan mereka yang mengusulkan dan memenangkan pilkada melalui
DPRD menganggap ini yang terbaik, sehingga pemborosan anggaran dan konflik
horizontal dapat tercegah
"Secara sosiologis kami memandang
kalau pilkada langsung berpotensi menimbulkan konflik horisontal sehingga
merusak tatanan sosial dan moral bangsa. Sehingga format ideal bagi kami adalah
pilkada DPRD atau tidak langsung," papar Idrus, (Detik.com, 27
September 2014).
Bahkan, Koordinator KMP Idrus Marham dengan
bangga menjelaskan alur pikir yang menjadi landasan pilihan mereka. Dia
mengatakan bahwa masa transisi harus diakhiri.
"Jadi menurut kami transisi harus
diakhiri. Dengan apa? Dengan penataan sistem politik, yaitu mengembalikan
Pilkada lewat DPRD seperti dulu lagi," ucap Idrus saat berbincang di
Kantor DPP Golkar, Jl Anggrek Neli Murni, Jakarta Barat, Jumat (26/9/2014)
malam, (Detik.com, 27 September 2014).
Presiden Indonesia Susilo Bambang
yudhoyono, memahami berbeda dengan penafsiran Koalisi Merah Putih tentang
fungsi dan tugas DPRD, menurut Susilo Bambang Yudhoyono DPRD merupakan
mandataris rakyat dan rakyat tidak memberi mandat untuk memilih kepala daerah.
"Dan
dalam undang-undang yang mengatur peran, tugas, fungsi dan wewenang, apakah
undang tahun 2004, dan saya pikir Undang-undang Pemda yang baru yang akan
terbit tahun ini juga tidak secara eksplisit memberi kewenangan itu kepada
DPRD. Dari mana power DPRD tiba-tiba memilih gubernur, bupati dan wali kota?
Yang rakyat pahami memilih mereka semua secara langsung," ujar
Presiden SBY dalam wawancara Suara Demokrat bertema 'Tanggapan SBY Atas Hasil
Voting DPR RI Tentang RUU Pilkada' yang diunggah ke YouTube, Jumat (26/9/2014),
(detik.com, 27 September 2014).
Melihat apa yang dikatakan Susilo Bambang
Yudhoyono dengan sikap dirinya dan partainya jauh berbeda saat voting suara
tentang UU pilkada, SBY lebih memilih walk out ketika itu, dan ini
memberi efek yang sangat besar, yaitu hilangnya demokrasi saat pilkada, dan
kemenangan KMB tentang UU pilkada melalui DPRD.
Bahkan, Direktur Eksekutif Lingkar Madani
(Lima) Ray Rangkuti mengatakan, dalang sebenarnya dari aksi walk out tersebut
adalah SBY. Ray menyebut, seharusnya sejak awal dia bisa membatalkan UU Pilkada
lewat Kemendagri yang saat itu membacakan penetapan. Tetapi, hal itu tidak juga
dilakukan SBY.
SBY, kata dia, justru pergi ke luar negeri dan pada akhirnya diolok-olok oleh masyarakat Indonesia. Setelah terjadi aksi penolakan masyarakat lewat Twitter, Ray menilai SBY kemudian keluar ke publik dan menyatakan tidak pernah meminta kader Demokrat walk out dari rapat paripurna. Padahal, seorang anggota Fraksi Partai Demokrat menyebutkan keputusan walk out atas persetujuan dari SBY.
"Ketika anda menanyakan siapa
dalangnya, kami dengan tegas menyebut dalangnya adalah anda sendiri. SBY
sendiri dalangnya dengan anaknya Ibas," tegas Ray dalam jumpa pers
Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia 'Menolak UU Pilkada Pengkhianat Demokrasi' di
Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (28/9/2014), (Metro Tv New.com, 28 September
2014).
Nasib
Demokrasi Indonesia
Setelah diputuskan UU Pilkada, dan
pemilihan tumpuk kekuasaan disuatu daerah oleh DPRD, maka rakyat saat pilkada
berlangsung tidak lagi dibutuhkan untuk memberikan suaranya, kalau dulu satu
suara mereka menentukan kepemimpinan lima tahun kedepan, maka sekarang semboyan
ini tidak lagi berlaku, wakil rakyatlah yang akan memilih kepala daerah.
Tentang nasib demokrasi di Indonesia yang
mulai mebaik, banyak fihak yang berasumsi, sebagian mereka mengatakan dengan
pemilihan yang tidak langsung tidak akan menghilangkan nilai demokrasi itu,
bahkan ini adalah nilai demokrasi yang terpimpim.
Berbicara tentang Undang-undang Pilkada
yang baru disahkan oleh DPR RI, maka kita harus kembalikan lagi kepada semangat
dari demokrasi Pancasila itu sendiri. Coba kita bandingkan, yang manakah yang lebih
sesuai dengan demokrasi Pancasila, pemilihan langsung oleh rakyat atau
pemilihan oleh wakil rakyat.
“Jadi akan sangat tidak bijak kalau ada
yang mengatakan bahwa ada kelompok yang merampas hak rakyat karena memilih
pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Justeru menurut penilaian saya, pilkada
langsung atau pilpres langsung justeru menciderai dan mengkhianati konstitusi
kita yaitu UUD 1945”, (Elly Sumantri, Humas DPW PKS Sumsel, PKS Nongsa, 28
September 2014).
Sedangkan mereka yang tidak setuju dengan
pilkada ala DPRD, menganggap ini awal dari kematian demokrasi Indonesia dan
kita yang telah maju telah kembali lagi kemasa orde baru, saat penguasa
berkuasa, kepala daerah dibawah bayang-bayang penguasa dan rakyatlah yang tertindas.
“Pada akhirnya kita kembali ke masa Orde Baru dengan disahkannya UU
Pilkada itu karena kepala daerah akan dipilih melalui parlemen, Saya ini
menjadi gubernur selama dua periode merupakan produk pemilihan langsung oleh
rakyat. Karena ini perintah UU maka kita harus taat asas dan taat hukum untuk
mewujudkannya, Saya tidak mengatakan kita mundur. Tetapi, demokrasi yang
dibangun dengan susah payah mengharuskan kita kembali ke masa Orde Baru” kata di Mamuju, Jumat (26/9), (Matahari Corp, 27
September 2014).
Dengan
demikian, baik dan tidak baiknya pilkada via DPRD, namun yang jelas rakyat
tidak bisa lagi memberikan hak suaranya pada orang yang dia pilih, bahkan boleh
jadi kepala daerah yang ditetapkan DPRD adalah kepala daerah pilihan mereka,
bukan kepala daerah pilihan kebanyakan rakyat. Dan ini sangat bertentangan
dengan harapan masyarakat, yaitu memilih pemimpin dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat.
0 komentar:
Post a Comment