Aqidah adalah urusan-urusan
yang harus dibenarkan oleh hati dan diterima dengan rasa puas serta terhujam
kuat dalam lubuk jiwa yang tidak dapat digoncangkan oleh badai syubhat
(keraguan). Dan juga ada yang mengartikannya, aqidah adalah sesuatu yang
mengharapkan hati membenarkannya, yang membuat jiwa tenang tentram kepadanya
dan yang menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan, (Aqidah
Akhlak).
Untuk mendapatkan ketegaran
hati dalam mempercayai sesuatu itu membutuhkan proses dan pengetahuan yang kuat
tentang agama, dan ini tak mungkin didapati dengan berpangku tangan atau
sekedar taqlid (mengikuti) buta, mengikuti tanpa tau sumber dan
pengetahuan tentang apa yang diikuti.
Menanam aqidah anak
Islam sangat memberikan
tumpuan terhadap pendidikan akidah dalam pembangunan manusia. Buktinya dapat
dilihat apabila 56% daripada zaman penurunan wahyu, yaitu meliputi 13 tahun
penyebaran dakwah di Mekah adalah tertumpu kepada pembinaan umat di bidang
akidah. Maka tidak jarang kita temui contoh atau penekanan-penekanan pengajaran
yang disampaikan oleh Allah melalui wahyunya.
“Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini
Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi
saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap Ini (keesaan Tuhan)", (Q. S Al A’raf: 172).
Anak-anak adalah generasi
penerus bangsa dan agama, mereka akan menjadi calon orang tua, pemimpin negara
atau pemimpin agama, ditangan merekalah semuanya bisa terjadi, baiknya suatu
agama dan negara kelak kalau mereka memperoleh pendidikan yang baik sejak dini,
begitu juga sebaliknya.
Dalam proses memperoleh
pendidikan kepada anak-anak, ini tidak terlepas dari keluarga dan masyarakat,
keluargalah sebagai penentu pertama tentang pengetahuan anak terhadap pemahaman
aqidah yang benar sesuai dengan mazhab dan pendapat ahli sunnah waljama’ah.
Berbicara penanaman aqidah
anak ini juga sangat terkait dengan keteguhan aqidah orang tuanya, kepercayaan
yang bagaimana orang tuanya bina selama ini maka kepercayaan itulah yang akan
di anut oleh anak, orang tua yang menganut pemahaman Maturidiyah atau
Asy’ariyah yang baik, maka anaknya pun akan mengikuti pemahaman tersebut, dan
ini tidak terlepas dari pengetahuan tafshiliyah tentang aqidah, karena
aqidah bukanlah hal fanatik buta, yang mengikutinya tanpa mengetahuinya secara
dalil naqliyah atau ‘aqliyah.
Menurut para Imam Mazhab pun,
kita tidak diperbolehkan untuk fanatik buta, yaitu mengikuti suatu pendapat
tanpa mengetahui secara ilmiah dan dalil-dalilnya, ini Imam Asy Syafi’i, Imam
Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hambal mereka sependapat tentang
larangan fanatik buta.
“Semua permasalahan yang
sudah disebutkan dalam Hadits yang sahih dari Rasulullah dan berbeda dengan pendapat
saya, maka saya rujuk dari pendapat itu ketika saya masih hidup ataupun sudah
mati”, Imam Asy Syafi’i.
“Saya hanyalah manusia
biasa, mungkin salah dan mungkin benar. Maka perhatikanlah pendapat saya, jika
sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah maka ambillah. Jika tidak sesuai dengan
keduanya maka tinggalkanlah”, Imam Malik.
“Tidak halal bagi siapapun
mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana kami mengambilnya”, dalam
riwayat yang lain “haram bagi siapapun yang tidak mengetahui dalil yang saya
pakai untuk berfatwa dengan pendapat saya. Karena sesungguhnya kami adalah
manusia, perkataan yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk
(tinggalkan), Imam Abu Hanifah.
“Janganlah kalian taqlid kepada saya, dan
jangan taqlid kepada Malik, Asy Syafi’i, Al Auza’i, ataupun (Sufyan) Ats
Tsauri. Tapi ambillah (dalil) dari mana mereka mengambilnya., Imam Ahmad
bin Hambal.
Orang tua harus benar-benar
mampu menanam aqidah yang benar kepada anak-anak, karena selain itu tanggung
jawab juga merupakan kewajiban yang pertama, yaitu menanam anak-anaknya dengan
ilmu hal (ilmu yang dibutuhkan sekarang).
“Setiap anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orangtuanya yang menjadikan mereka
Yahudi, Nasrani ataupun Majusi”, Hadits.
“Atau agar kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami Telah mempersekutukan Tuhan
sejak dahulu, sedang kami Ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah
mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami Karena perbuatan orang-orang
yang sesat dahulu?" Dan Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar
mereka kembali (kepada kebenaran)”, (Q. S Al A’raf: 173-174).
Tantangan Aqidah di Era
Globalisasi
Era globalisasi akan ditandai
dengan persaingan ekonomi secara hebat berbarengan dengan terjadinya revolusi
teknologi informasi, teknologi komunikasi, dan teknologi industri. Persaingan
ini masih dikuasai oleh tuga raksasa ekonomi yaitu Jepang dari kawasan Asia,
Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Perkembangan masa yang kian
hari makin maju, dunia teknologi telah merambah hampir seluruh pelosok dunia,
tanpa kecuali Indonesia dan Aceh, pengaruh peradaban modern makin mengintai dan
menerkam anak bangsa agar mereka melupakan budaya, kulture, adat dan
peradabannya.
Kondisi kemajuan teknologi
informasi dan industri di atas yang berlangsung dengan amat cepat dan ketat di
era globalisasi menuntut setiap negara untuk berbenah diri dalam menghadapi
persaingan tersebut. Bangsa yang yang mampu membenahi dirinya dengan
meningkatkan sumber daya manusianya, kemungkinan besar akan mampu bersaing
dalam kompetisi sehat tersebut.
Pendidikan aqidah diharuskan menampilkan dirinya, apakah orang tua akan mampu mendidik dan menghasilkan anak-anak yang berdaya saing tinggi (qualified) atau justru mandul dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan dinamika globalisasi tersebut, atau anak-anak akan menjadi korban dari perkembangan glabalisasi tersebut.
Pendidikan aqidah diharuskan menampilkan dirinya, apakah orang tua akan mampu mendidik dan menghasilkan anak-anak yang berdaya saing tinggi (qualified) atau justru mandul dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan dinamika globalisasi tersebut, atau anak-anak akan menjadi korban dari perkembangan glabalisasi tersebut.
Di era yang semakin maju ini,
semoga mudah anak-anak untuk mendapatkan suatu bacaan tentang pendidikan aqidah
yang sumber bacaannya belum tentu sesuai dengan aqidah yang ia anut, bahkan
kadang kala menetang dengan isi Al Quran dan Hadits.
Bahkan penerapan pendidikan
yang bersifat skulerisme juga sangat mempengaruhi terhadap pendidikan aqidah
anak, dimana dalam pendidikan skuler tersebut anak-anak diajari untuk
memisahkan kehidupan agama dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, pengaruh
aliran-aliran sesat yang sudah membumi di negara kita ini menjadi ancaman serius
terhadap penanaman aqidah kepada anak.
“Ajaran sesat adalah
sebarang ajaran atau amalan yang dibawa oleh orang-orang Islam atau bukan Islam
yang mendakwa bahwa ajaran dan amalan tersebut adalah ajaran Islam atau
berdasarkan kepada ajaran Islam, sedangkan hakikat ajaran dan amalan yang
dibawa itu bertentangan daripada Islam yang berdasarkan Al-Quran dan Al-Sunnah
serta bertentangan dengan Ahli Sunnah Wal jamaah”, (Abdul Fatah Haron
Ibrahim).
Kemajuan zaman dan faham
kebebasan yang dianut suatu daerah menjadi tantangan tersendiri dalam menanam
aqidah kepada anak, dan mengenai hal ini orang tua harus benar-benar mensiasati
anak-anaknya agar benar-benar memiliki pemahaman aqidah yang sesuai dengan
faham Ahli Sunnah Waljama’ah. Dan pemahaman ini tidak akan dimiliki oleh
seorang anak, bila orang tua mereka tidak memberikan anak-anaknya pendidikan
agama yang sempurna.
0 komentar:
Post a Comment