Hakikat
Pemilu
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan
orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu.
Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai
tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks
yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan
seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan'
lebih sering digunakan.
Pemilu merupakan salah satu usaha untuk
memengaruhi rakyat secara persuasif
(tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika,
public relations, komunikasi
massa, lobby dan lain-lain kegiatan.
Meskipun agitasi dan propaganda di Negara
demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak
juga dipakai oleh para kandidat atau politikus selalu komunikator politik.
Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu
juga disebut konstituen, dan kepada
merekalah para peserta pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya
pada masa kampanye. Kampanye
dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.
Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai.
Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang
sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih.
Dan ini yang akan menetukan siapa yang
akan menjabat dan duduk di kursi pemerintahan, baik di legislatif, eksekutif
atau yudikatif.
Pemilu
Sesuai Syariat
Islam adalah agama yang sempurna, bukan
saja masalah tauhid, ibadah, dan tasawuf yang termaktub dalam Islam, namun juga masalah politik di atur
didalamnya, sehingga para politikus mampu memahami dan menjalankan politik
sesuai harapan.
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi wali (Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga
berarti pemimpin, pelindung atau penolong) dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah,
kecuali karena (siasat / politik) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti
dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya
kepada Allah kembali (mu)". (QS. Ali 'Imran, No. Surat: 3, Ayat: 28).
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang kafir menjadi wali (Wali jamaknya auliyaa: berarti teman
yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong) dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Apakah kamu hendak mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksamu)” (QS. An-Nisaa', No. Surat: 4, Ayat: 144).
Pemilu hanyalah cara (uslub), bukan metode
(thariqah). Cara
mempunyai sifat tidak permanen dan bisa berubah-ubah, sedangkan metode bersifat
tetap dan tidak berubah-ubah (An-Nabhani, 1973). Lebih detilnya, cara merupakan
perbuatan cabang (al-fi’il al-furu’) yang tidak
mempunyai hukum khusus, yang digunakan untuk menerapkan hukum umum bagi
perbuatan pokok (al-fi’ill al-ashli).
Demikian pula dalam masalah pemilihan
dan pengangkatan khalifah dalam syariat Islam. Ada metode (thariqah) yang tetap dan
hukumnya wajib; ada pula cara (uslub) yang bisa berubah dan hukumnya mubah.
Dalam hal ini, hanya ada satu metode untuk mengangkat seseorang menjadi
khalifah, yaitu baiat yang hukumnya adalah wajib (Abdullah, 1996: 130-131).
Dalil wajibnya baiat adalah sabda Rasulullah saw.: “Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, maka dia
mati seperti mati Jahiliah”. (Hadis sahih. Lihat: Shahih
Muslim, II/240; Majmu’ Az-Zawaid,
V/223-224; Nayl al-Awthir,VII/183; Fath al-Bari, XVI/240).
Rasulullah saw. mencela dengan keras
orang yang tidak punya baiat, dengan sebutan “mati Jahiliah”. Artinya, ini
merupakan indikasi (qarinah), bahwa baiat itu adalah wajib hukumnya
(Abdullah, 1996: 131).
Adapun tatacara pelaksanaan baiat (kayfiyah ada’ al-bai’ah), sebelum dilakukannya akad baiat,
merupakan uslub yang bisa berbeda-beda dan berubah-ubah
(An-Nabhani, 1973: 92).
Dari sinilah, Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk
memilih khalifah. Sebab, Pemilu adalah salah satu cara di antara sekian cara
yang ada untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalifah yang akan dibaiat.
Namun, dalam pencalonan calon legislatif
inilah yang perlu diseleksi oleh setiap orang atau partai terkait, jangan siapa
saja dicalonkan caleg yang tidak mengetahui ilmu agama yang kuat, ta’at, zuhud, qana’ah, tawaru’, dan
selalu taqarrub kepada Allah Swt, dan
menganggap kursi jabatan yang diperebutkan adalah amanah yang harus
dipertanggung jawabkan kepada manusia dan mahkamah Allah Swt.
Realita
Menjelang Pemilu di Aceh
Sungguh sangat jauh berbeda apa yang
terjadi di Aceh menjelang pemilu April mendatang, dengan apa yang diharapkan
oleh masyarakat dan ini sungguh kadang sangat jauh dengan nilai-nilai agama.
Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengeluarkan Fatwa No. 3 Tahun 2014 yang
mengharamkan pengrusakan atau menghilangkan atribut partai dan peserta
pemilihan umum yang telah mengikuti aturan.
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Teungku Faisal Ali menyatakan, fatwa itu dikeluarkan pihaknya agar warga punya pegangan hukum agama khususnya menjelang pemilu. "Merusak atribut partai yang sah itu hukumnya haram," kata Teungku Faisal Ali kepada wartawan di Banda Aceh, Aceh, Jumat (14/3/2014). - See more at: http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2023131/fatwa-ulama-aceh-haramkan-intimidasi-pada-pemilu#sthash.IrbagSz4.dpuf
Dengan begitu banyaknya kejadian
menjelang pemilu, maka semakin jelas bahwa politik di Aceh sudah sangat sulit
untuk di kontrol, bahkan lahirlah Otk-Otk yang tak bertuan yang setiap saat
memangsa atribut partai lain.
Bila Pemerintah Aceh dan pihak terkait
tidak berlaku adil kepada setiap partai yang akan bersaing April mendatang,
maka sangat ditakutkan di Aceh akan suburnya premanisme, yang akan membuat
keganasan semakin menjadi, mungkin akan terjadi lagi korban jiwa. Pemerintah
harus mengingatnya bahwa pemilu itu pesta rakyat bukan pembunuhan rakyat.
0 komentar:
Post a Comment