Pemilu yang cuma menghitung hari lagi,
ini pertanda pesta demokrasi akan segara terlaksana di bumi ibu pertiwi ini,
dan semua kalangan yang bersaing dalam pileg 09 April sudah tak sabar menunggu
hasil, apakah ia akan terpilih sebagai salah seorang anggota dewan yang akan
mewakili rakyat menurut tingkatnya masing-masing.
Sebelum hari pencoblosan tiba, setiap
partai telah melalui masa kampanye, berbagai cara dan teknik yang mereka
lakukan, mulai mendaftarkan juru kampanye yang handal sampai dengan
mendatangkan para artis untuk menarik simpatisan masyarakat agar datang ke
kampanyenya.
Pada saat kampanye yang telah berlalu
beberapa hari yang lalu sangat miris kita lihat, bukan saja para juru kampanye
yang menjual janji selangit, seolah-olah ia mampu berbuat sesuatu tanpa
kehendak Allah Swt, penistaan partai yang lain sehingga ada istilah megharamkan
bagi rakyat untuk memilih partai selain partainya, bukan saja masalah ini,
namun para simpatisan yang datang kelapangan kampanye kebanyakan anak-anak yang
belum layak memilih, bahkan kadang mereka lengkap dengan atribut suatu partai.
Arti-artis ternama pun dihadirkan untuk
meramaikan kampanyenya, mulai dari artis dangdutan, rock, bahkan sampai kepada
artis yang goyangannya seperti gergaji atau istilah lain “lagei Murawa ek trieng (seperti Biawak memanjat bambu)”, ini
sungguh fenomena yang tidak mendidik, bahkan anak-anak dibawah umur pun
menikmati goyangan sang artis.
Ini menggambarkan begitu hancurnya
negeri ini dari etika berkampanye, bahkan sebagian orang menjual istilah
demokrasi untuk melegalitaskan apa yang mereka lakukan, padahal hakikat dari
demokrasi itupun bukan kebebasan secara mutlak, namun demokrasi yang baik
adalah demokrasi yang memiliki norma, moral dan akhlak, ini bisa kita kaitkan
dengan daerah tempat kita berkampanye.
Bahkan kebanyakan timses dan simpatisan
partai yang sangat mengagungkan partainya untuk memanfaatkan keluguan anak-anak
untuk mengikuti kampanye, ini kita lihat dari kelengkapan fasilitas anak-anak
dalam memakai baju partai, padahal ini sungguh melanggar undang-undang
perpartaian dalam melibatkan orang-orang yang belum layak berpolitik untuk
mengikuti kampanye partainya.
Dalam Peraturan KPU Nomor 15 pasal 32
ayat 1 dilarang memobilisasi Warga Negara Indonesia (WNI) yang tidak memenuhi
syarat sebagai pemilih. Selain itu, larangan mengajak atau melibatkan anak-anak
dalam kampanye juga diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun
2002 pasal 15, didalamnya disebutkan bahwa anak-anak harus dilindungi dari
keterlibatanpolitik, baik dalam kampanye, pawai, penggunaan atribut, penempelan
poster maupun pengebaran bendera partai.
Melihat fenomena yang terjadi sekarang
dalam dunia perpolitikan, maka orang tua yang memiliki anak yang belum pantas
berpolitik untuk memberi pemahaman tentang parpol dan kampanye kepada mereka,
sehingga anak-anak akan mengetahui tujuan dari politik dan kampanye itu,
sehingga anak-anak bisa membatasi diri untuk terlibat lebih jauh, apalagi
mengetahuinya kalau mereka sedang dimanfaatkan oleh partai politik.
Di Swedia, anak-anak yang masih duduk
dibangku sekolah dasar dibekali dan diajarin tentang politik dan demokrasi,
bahkan demokrasi yang diajarkan langsung kepada praktik demokrasinya. Dalam
pengajaran demokrasi tersebut anak-anak lebih dominan diajarkan untuk saling
menghargai dan menghargai hak dan milik orang lain, sehingga bila sudah besar
nanti mereka akan terpilihara dari perbuatan korupis, (Eddy Fonyodi – mantan
Sekretaris Duta Besar Swedia).
Melihat begitu menyelewengnya
perpolitikan sekarang, maka pendidikan politik sangat dibutuhkan oleh
anak-anak, agar mereka tidak terlibat dalam perpoltikan sesat, dan ini akan
membuat mereke menjadi korban atau tumbal politik yang mereka sendiri tidak
mengetahui apa itu politik yang sebenarnya.
0 komentar:
Post a Comment