Wanita adalah insan yang sangat mulia
dimuka bumi ini, didalam Islampun wanita di abadikan dalam Quran dengan nama
surat “An Nisa’”, dan wanita sangat berperan dalam keluarganya, maju dan
mundurnya usaha dalam suatu keluarga tergantung bagaimana motivasi yang
diberikan oleh istrinya.
“Seseorang datang menghadap Rasulullah saw. dan
bertanya: Siapakah manusia yang paling berhak untuk aku pergauli dengan baik?
Rasulullah saw. menjawab: Ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah
saw. menjawab: Kemudian ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah
saw. menjawab: Kemudian ibumu. Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah
saw. menjawab lagi: Kemudian ayahmu”. (Shahih Muslim).
Kodrat adalah kekuasaan Tuhan, manusia
tidak akan mampu menetang dirinya sebagai makhluk hidup, (Kamus Bahasa
Indonesia). Sedangkan dalam pengertian lain definisi kodrat adalah suatu
ketentuan yang tersemat dalam diri seorang/sesuatu hal yang tidak dapat di
kendalikan oleh manusia karena itu merupakan hukum yang bersumber dari Allah subhanahu wata'ala, (Desir Syair
Rindu).
Namun seorang wanita yang melakukan
sesuatu perbuatan dan itu tidak sesuai dengan harapan Hadits Rasulullah Saw,
apakah itu tidak melanggar kodrat? Apakah kodrat hanya didefinisikan secara
jasmaniah saja tanpa termasuk ruanglingkupnya kajian moral dan sosial sesuai
ketentuan Hadist?
Wanita
Dalam Pandangan Islam
Dalam Islam tidak pernah dibayangkan
adanya pengurangan hak wanita atau penzhaliman wanita demi kepentingan
laki-laki karena Islam adalah syariat yang diturunkan untuk laki-laki dan
perempuan. Namun Islam mengatur wanita dalam tatanan yang sempurna, sehingga
apapun yang dilakukan oleh wanita jangan sampai mengurangi derajat dan
martabatnya dalam agama.
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau
putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan
mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”, (Q. S An Nur:
31).
Islam sangat menjaga kemulian
wanita, sehingga wanita tidak dibiarkan apabila keluar dari rumahnya dalam
keadaan memperlihatkan perhiasannya, karena perhiasan itu adalah sesuatu yang
sangat istimewa baginya, bahkan dari situlah lelaki dapat mengukur sampai
dimana keshalihah seorang wanita dan tentang kadar imannya.
Selain berdausa menurut pandangan
Islam, wanita yang berpakaian tidak menutupi auratnya dapat membawa bahaya bagi
dirinya, apalagi yang memakai kalung emas dan gelang emas, ini sangat menarik
perhatian pencopet dan perampok, bahkan wanita yang menampakkan auratnya akan
mempengaruhi lelaki-lelaki jahil untuk mengganggunya bahkan memperkosanya.
Hai
Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang,
(Q. S Al Ahzab: 59).
Emansipasi
Wanita dan Naruninya
Memaknai refleksi kelahiran RA Kartini
yang diperingati setiap tanggal 21 April sebagai tokoh nasional yang dikenal
sangat getol memperjuangkan gerakan emansipasi wanita di Indonesia, sepintas
lalu merupakan dogma yang nyaris tanpa kritik sejak memoar beliau tertuang
dengan tinta emas dalam lembaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya
wanita, pria bahkan waria pun sampai detik ini meyakini derap kemajuan
emansipasi wanita Indonesia dicapai berkat gerakan emansipasi yang dipelopori
RA Kartini, apa lagi dengan karyanya yang sangat masyhur “ Habis Gelap, Terbitlah Terang”.
Jika emansipasi dikonstruksikan sebagai
konsep penyetaraan hak dan kedudukan antara pria dan wanita untuk berperan
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, maka sesungguhnya hal seperti itu
sudah terjadi dan melembaga jauh sebelum era Kartini. Kita tentu masih ingat
kalau Majapahit sebagai kerajaan yang pernah menguasai hampir seluruh kawasan
Asia Tenggara hingga ke Formosa dibagian utara dan Madagaskar di barat,
ternyata dalam silsilah kerajaan Majapahit pernah diperintah dua perempuan
masing-masing “Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M”. dan Kusuma Wardhani
(1389-1429) M.
Kalau penyetaraan segala hak yang ingin
disamakan antara wanita dan lelaki, maka sungguh itu tidak akan pernah bisa,
wanita mempunyai keterbatasan-keterbatasan yang membedakan dirinya dengan
lelaki, mulai tingkat menjadi imam shalat sampai dengan memanjat kelapa. Apapun
yang telah di atur didalam Quran dan hadits, itulah kodratnya.
Hari ini seorang wanita dibolehkan
memakai celana pendek, berpakaian ketat, pakai jeans dan kerja dari pagi sampai
larut malam, dinas keluar kota berbulan-bulan tanpa didampingi muhrim karena
emansipasi, tapi apakah nurani mu wahai wanita yang taat kepada Allah dan Rasul
Nya sanggup menerimanya?
Apakah nuranimu akan berkata “ya” dan
“inilah yang terbaik bagi anakku” yang mereka keluar kota berbulan-bulan dengan
rekan sekantornya, dengan tanpa bersalah mereka menggunakan celana pendek
keluar kota bahkan ke mall, apakah nurani mu wahai wanita yang bersifat “ibu”
mampu menerimanya dengan hati nuranimu?
"Sesungguhnya sebilangan ahli neraka ialah perempuan-perempuan yang
berpakaian tapi telanjang yang condong pada maksiat dan menarik orang lain
untuk melakukan maksiat. Mereka tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium
baunya." (Riwayat Bukhari dan Muslim).
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir
melakukan safar (bepergian) selama satu hari satu malam yang tidak disertai
mahramnya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
0 komentar:
Post a Comment