Syarat Tidur yang tidak Membatalkan Wudhu ada empat :
Tentang tidur sebagai pembatal wudhu. Ulama bersepakat bahwa hilang akal termasuk pembatal wudhu.
Para ulama madzhab Syafi'i menilai tidur, mabuk, pingsan, dan gila sebagai perkara yang menghilangkan akal. Cuma tingkatan hilangnya akal ini berbeda, kalau gila tingkatannya irtifa', kalau mabuk, pingsan, maka dengan inghimar, dan tidur dengan istitar sebagaimana dalam Minhajul Qawim dan Busyrol Karim.
(الثاني: زوال العقل) أي التمييز إما بارتفاعه (بجنون أو) انغماره بنحو صرع أو سكر أو (إغماء) ولو ممكنًا (أو) استتاره بسبب (نوم)
Tetapi tetap ulama menyatakan 4 itu sebagia perkara yang sama² menghilangkan akal. Bisa dicek dalam redaksi para ulama.
Seperti redaksi Imam Nawawi dalam Minhaj yang mengatakan tidur sebagai bagian dari hilang akal yang membatalkan wudhu, dan diantara kondisi hilang akal yang ada banyak, hanya mengecualikan 1 praktek yang tidak membatalkan wudhu, yaitu hilang akal dalam kondisi tidur yang menetap.
الثاني: زوال العقل إلا نوم ممكن مقعده.
(fokusnya : sama² hilang akal, tapi tidur menetap dikecualikan pada masalah batal wudhunya).
Begitu pula redaksi Syaikh Zakaria Al-Anshari dalam Manhajut Thullab dan Fathul Wahhab, Syaikh Ahmad Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu'in, Imam Syairozi dalam At-Tanbih, dan yang lainnya.
Jadi, tidur fix hilang akal,
Tapi kenapa tidak membatalkan wudhu kalau duduk menetap?
Karena ada hadits yang menyatakan demikian. Sampai² Imam Syafi'i mengatakan seandainya tidak ada hadits (yang menyatakan tidur duduk tidak membatalkan), maka beliau akan mewajibkan wudhu bagaimanapun kondisi hilangnya akal (termasuk tidur).
لولا الخبر لأوجبت الطهارة بأي حالاته زال عقله
Haditsnya sebagaimana disebutkan Imam Syafi'i dalam Musnadnya :
66 - أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْتَظِرُونَ الْعِشَاءَ فَيَنَامُونَ أَحْسَبُهُ قَالَ: قُعُودًا حَتَّى تَخْفِقَ رُءُوسُهُمْ، ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلا يَتَوَضَّئُونَ.
67 - أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ يَنَامُ قَاعِدًا، ثُمَّ يُصَلِّي وَلا يَتَوَضَّأُ.
68 - أَخْبَرَنَا الثِّقَةُ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا وَجَبَ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ، وَمَنْ نَامَ جَالِسًا فَلا وُضُوءَ عَلَيْهِ.
Maka hadits² ini dan yang senada memberi batasan dari kemutlakan hadits yang menyatakan tidur membatalkan wudhu secara mutlak, yaitu tidur dalam posisi duduk menetap tidak membatalkan wudhu.
Sebagaimana dalam Syarh Musnad Syafi'i karya Imam Rofi'i:
ويتبين به وبما في معناه حمل الأخبار المطلقة في النوم على النوم على غير هيئة القعود.
Hadits yang menyatakan tidur mutlak membatalkan wudhu :
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لاَ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ.
وِكَاءُ السَّهِ الْعَيْنَانِ، فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
Di hadits ini tidur dikatakan mutlak membatalkan wudhu.
Kemudian,
Sampai sini didapat keterangan bahwa hilang akal dengan berbagai tingkatannya membatalkan wudhu. Namun pada masalah tidur ada satu praktek yang tidak batal wudhu karena ada realita dalam hadits yang menyatakan demikian.
Akhirnya para ulama' mencari dasar alasan kenapa wudhu tidak batal sebab duduk.
Ulama kita menyatakan tidur duduk ini beda dengan tidur tidak duduk, beda dengan pingsan, gila dan hilang akal yang lainnya.
Ketika tidur duduk masih terasa kalau keluar sesuatu dari dubur. Sedangkan tidur tidak duduk, atau kondisi pingsan, gila, ini semua tidak terasa saat keluar sesuatu dari dubur. Dengan bukti ketika tidur dibangunkan bisa bangun, ketika diteriaki bisa bangun. Dan ini tidak bisa terjadi pada masalah mabuk, pingsan ataupun gila.
وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ الْحَدِيثِ فَهُوَ أَنَّهُ مَحْمُولٌ عَلَى نَوْمِ غَيْرِ الْمُمَكِّنِ وَهَذَا يَتَعَيَّنُ الْمَصِيرُ إلَيْهِ لِلْجَمْعِ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ: وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْإِغْمَاءِ فَالْفَرْقُ ظَاهِرٌ لِأَنَّ الْمَغْمِيَّ عَلَيْهِ ذَاهِبُ الْعَقْلِ لا يحس بشئ أَصْلًا وَالنَّائِمُ يُحِسُّ وَلِهَذَا إذَا صِيحَ بِهِ تَنَبَّهْ
Tapi ini juga masih problem, pingsan dikatakan batal mutlak karena pasti tidak merasakan apapun ketika keluar sesuatu. Sedangkan orang tidur duduk masih bisa merasakan. Problemnya gimana? Yaitu misal orang pingsan yang disumbat jalan belakangnya sampai menutup potensi keluar sesuatu dari dubur, wudhu tetep batal.
(و) ثَانِيهَا (زَوَال عقل) أَي تَمْيِيز بجنون أَو سكر أَو إِغْمَاء وَلَو خَفِيفا أَو شرب دَوَاء أَو غيبوبة حَال ذكر أَو نَحْو ذَلِك. وَلَا فرق فِي ذَلِك بَين المتمكن وَغَيره
Problem juga misal tidur nyenyak banget sampai ngorok, apa tetep kerasa kalau keluar? Bahkan disebutkan bahwa tidur 2 haripun kalau menetap tidak batal.
Akhirnya gimana? Ya kembali lagi ke nash. Kembali lagi karena realitanya dalam hadits memang tidur dengan duduk tidak membatalkan wudhu, maka ya tidur dengan duduk tidak membatalkan wudhu.
خَالَفْنَا ذَلِكَ فِي النَّوْمِ بِالنُّصُوصِ الَّتِي جَاءَتْ وَبَقِيَ مَا عَدَاهَا عَلَى مُقْتَضَاهُ
لولا الخبر لأوجبت الطهارة بأي حالاته زال عقله
Untuk bahas² fikih kemarin yg dapat 50k ustadz Abd Rohim Bushiry (silahkan kirim nomornya di inbox) yang jawabannya :
لولا النص لقلت بالبطلان
Imam Syafi'i sendiri yang mengatakan sedemikian, seandainya tidak ada nash "sahabat melakukan sholat habis bangun tidur ممكن مقعده على الأرض tampa wuduk terlebih dahulu" maka niscaya saya akan mengatakan bahwa tidur sedemikian tetap membatalkan wuduk karena zawalul aqli
Beliau juga menyertakan referensi dari kitab Nushratul Qaulain.
Dr Kyai M Syihabuddin Dimyati
0 komentar:
Post a Comment