Wednesday, October 28, 2020

Perkembangan Pemikiran Tasauf Dalam Islam

 

Kehidupan spiritual sejatinya merupakan fase dimana manusia berotasi pada eksistensi dirinya, dimana fokus utama terletak pada dimensi spiritualnya dan nafs, ruh, qalb adalah sasaran dari kontemplasi tersebut (Dr. Isa Abduh Ahmad Isma’il Yahya, Hakikat al-Insan, Dar al-Ma’arif, tp, tt, hal. 85), yang lebih dikenal dengan asketisme (Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal. 93-94).

 

Kehidupan asketis tidak dapat dipisahkan dari literatur dalam tradisi Islam, dimana dapat dijumpai sejumlah dalil-dalil dalam al-Qur’an maupun Hadits.

a.jpg

a.jpg

Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah Zat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui

a.jpg

Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.

 

a.jpg

(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang jauh antara dia dengan (hari) itu. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya. Allah Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.

a.jpg

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.

 

Sebagai salah satu dimensi keagamaan yang muncul di tengah agama dan peradaban lainnya, sufisme dalam Islam juga tidak luput dari keterpengaruhan tersebut.

 

Mulai konsep-konsep ketuhanan Neo-Platonisme Yunani sampai tradisi gnostik dan asketik yang berkembang di agama-agama Yahudi, Nasrani, Zoroaster, Hindu dan sebagainya, kemudian dengan dominasi warna Islamlah Sufisme berkembang. (Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Kelantan Malaysia: Pustaka Aman Press, 1977), hal. 67-78).

 

Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah popular di kalangan masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan lanjutan dari gaya keberagaman para zahid dan ‘abid, kesalehan yang mengelompok di serambi mesjid Madinah. (Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf li al- Mazhab Ahl al-Tasawwuf, (Beirut Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah,, 1993), hal. 15).

 

Pada periode ini sudah mulai berkembang perbincangan tentang pada derajat fana dan ittihad.

 

Bersamaan dengan itu, tampillah para penulis tasawuf terkemuka, seperti al-Muhasibi (w.234 H), al-Harraj (w. 277H) dan al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H)

 

Fase Yunani

Neoplatonisme dibangun oleh Plotinus (204-70 SM) yang merupakan filosof besar fase terakhir Yunani.

 

Neoplatonisme merupakan rangkaian terakhir dari fase Helenisme Romawi, yaitu suatu fase pengulangan ajaran Yunani yang lama, jadi aliran ini masih berkisar pada filsafat Yunani, yang teramu dalam mistik (tasawuf Timur), dan juga digabung dengan berbagai aliran lain yang mendukung. (Wikipedia)

 

Fase Arab Pra Islam

Bangsa Arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian ahli syair. Yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mendorong menuju keutamaan, dan menjauhkan diri dari kerendahan yang terkenal pada zaman mereka.  (H.A. Mustofa, 1999: 46)

 

Fase Islam

Sufisme  dalam Islam sudah dikenal sejak 2 Hijrah, yaitu dengan adanya para Zahid dan Abid di Serambi Mesjid Madinah. (Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf li al- Mazhab Ahl al-Tasawwuf, (Beirut Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah,, 1993), hal. 15).

 

Tokoh populer yang dapat mewakili kelompok ini dapat ditunjuk Hasan al-Bashri (w. 110H), melalui doktrin al-zuhd, al-khauf dan al-raja’.

 

Selain tokoh ini, juga Rabiah al-Adawiyah (w.185H) dengan ajaran populernya al-mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w.200H) dengan konsepsi al-syauq. (Julian Baldick, Mystical Islam; An Introduction to Sufism, (London: I.B. Tauris & Co Ltd., 1989,) , hal. 33).

 

Kemudian, Harits al-Muhasibi (w.234 H) dengan konsep ihya atsar al-salaf yang dipelopori orang Syiah.

 

Kemudian, Dzu al-Nan al-Mishri (w.245H) dengan konsepsi metodologi spiritual menuju Allah, yakni al-maqamat yang secara parallel berjalan bersama al-hal yang bersifat psiko-gnostik.

 

Kemudian, Surri al-Saqathi (w. 253H), yaitu yang mempelopori ajaran ‘Uzlah, karena ingin keluar dari radikalisme kaum Khawarij.

 

Kemudian, Abu Yazid al-Busthami (w.260H) melangkah lebih maju dengan doktrin al-ittihad melalui al-fana.

 

Kemudian, al-Harraj (w. 277H)  dengan konsep  al Hulul.

 

Kemudian, al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H) dengan konsep Syariah, tharikat dan hakikat untuk mencapai Ma’rifah.

 

Kemudian, al-Ghazali (w.503H) dengan konsep alma’rifat

 

Ibn Arabi (w.638H), dengan konsep al Ma’rifah  Wahdatul Wujud (berbeda dengan Al ghazali).

0 komentar:

Post a Comment