Kehidupan spiritual sejatinya merupakan fase dimana manusia
berotasi pada eksistensi dirinya, dimana fokus utama terletak pada dimensi
spiritualnya dan nafs, ruh, qalb adalah sasaran dari kontemplasi tersebut (Dr.
Isa Abduh Ahmad Isma’il Yahya, Hakikat al-Insan, Dar al-Ma’arif, tp, tt, hal.
85), yang lebih dikenal dengan asketisme (Harun Nasution, Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal. 93-94).
Kehidupan asketis tidak dapat dipisahkan dari literatur dalam
tradisi Islam, dimana dapat dijumpai sejumlah dalil-dalil dalam al-Qur’an
maupun Hadits.
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu
menghadap di situlah Zat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi
Maha Mengetahui
Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu
yang murtad (keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu
kaum, Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah
lembut terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada
celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada
siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.
(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan
(balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu
juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya
ada jarak yang jauh antara dia dengan (hari) itu. Dan Allah memperingatkan kamu
akan diri (siksa)-Nya. Allah Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya.
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya.
Sebagai salah satu dimensi keagamaan yang muncul di tengah
agama dan peradaban lainnya, sufisme dalam Islam juga tidak luput dari
keterpengaruhan tersebut.
Mulai konsep-konsep ketuhanan Neo-Platonisme Yunani sampai
tradisi gnostik dan asketik yang berkembang di agama-agama Yahudi, Nasrani,
Zoroaster, Hindu dan sebagainya, kemudian dengan dominasi warna Islamlah
Sufisme berkembang. (Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf,
(Kelantan Malaysia: Pustaka Aman Press, 1977), hal. 67-78).
Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah popular di
kalangan masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan lanjutan dari
gaya keberagaman para zahid dan ‘abid, kesalehan yang mengelompok di serambi
mesjid Madinah. (Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf li al-
Mazhab Ahl al-Tasawwuf, (Beirut Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah,, 1993), hal.
15).
Pada periode ini sudah mulai berkembang perbincangan tentang
pada derajat fana dan ittihad.
Bersamaan dengan itu, tampillah para penulis tasawuf
terkemuka, seperti al-Muhasibi (w.234 H), al-Harraj (w. 277H) dan al-Junaid
al-Baghdadi (w. 297H)
Fase Yunani
Neoplatonisme dibangun oleh Plotinus (204-70 SM) yang merupakan
filosof besar fase terakhir Yunani.
Neoplatonisme merupakan rangkaian terakhir dari fase
Helenisme Romawi, yaitu suatu fase pengulangan ajaran Yunani yang lama, jadi
aliran ini masih berkisar pada filsafat Yunani, yang teramu dalam mistik
(tasawuf Timur), dan juga digabung dengan berbagai aliran lain yang mendukung. (Wikipedia)
Fase Arab Pra Islam
Bangsa Arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian ahli
syair. Yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mendorong
menuju keutamaan, dan menjauhkan diri dari kerendahan yang terkenal pada zaman mereka.
(H.A. Mustofa, 1999: 46)
Fase Islam
Sufisme dalam Islam
sudah dikenal sejak 2 Hijrah, yaitu dengan adanya para Zahid dan Abid di
Serambi Mesjid Madinah. (Abi Bakr Muhammad Ishaq al-Kalabadzi, Al-Tasawwuf li
al- Mazhab Ahl al-Tasawwuf, (Beirut Libanon: Dar al-Kutb al-Ilmiyyah,, 1993),
hal. 15).
Tokoh populer yang dapat mewakili kelompok ini dapat ditunjuk
Hasan al-Bashri (w. 110H), melalui doktrin al-zuhd, al-khauf dan al-raja’.
Selain tokoh ini, juga Rabiah al-Adawiyah (w.185H) dengan
ajaran populernya al-mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w.200H) dengan konsepsi
al-syauq. (Julian Baldick, Mystical Islam; An Introduction to
Sufism, (London: I.B. Tauris & Co Ltd., 1989,) , hal. 33).
Kemudian, Harits al-Muhasibi (w.234 H) dengan konsep ihya atsar
al-salaf yang dipelopori orang Syiah.
Kemudian, Dzu al-Nan al-Mishri (w.245H) dengan konsepsi
metodologi spiritual menuju Allah, yakni al-maqamat yang secara parallel
berjalan bersama al-hal yang bersifat psiko-gnostik.
Kemudian, Surri al-Saqathi (w. 253H), yaitu yang mempelopori
ajaran ‘Uzlah, karena ingin keluar dari radikalisme kaum Khawarij.
Kemudian, Abu Yazid al-Busthami (w.260H) melangkah lebih maju
dengan doktrin al-ittihad melalui al-fana.
Kemudian, al-Harraj (w. 277H)
dengan konsep al Hulul.
Kemudian, al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H) dengan konsep
Syariah, tharikat dan hakikat untuk mencapai Ma’rifah.
Kemudian, al-Ghazali (w.503H) dengan konsep alma’rifat
Ibn Arabi (w.638H), dengan konsep al Ma’rifah Wahdatul Wujud (berbeda dengan Al ghazali).
0 komentar:
Post a Comment