Pitria Jayanti
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Zuhud
Secara
harfiah zuhud berarti bertapa di dalam dunia. Sedangkan menurut istilah yaitu
bersiapsiap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban
semampunya dan menyingkir dari dunia
yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin. Makna dan hakikat zuhud banyak
diungkap kan pada Al-Qur’an, Al Hadits dan ucapan para ulama. Misalnya surat
Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini: "Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah
kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang
disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong lagi membanggakan
diri."
Ayat
di atas tidak menyebutkan kata zuhud secara langsung, tetapi mengungkapkan
tentang makna & hakikat zuhud.
Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang sementara dan hakikat akhirat yang kekal. Kemudian
menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih ampunan dari Allah dan surga-Nya di akhirat.
Imam
Ahmad menafsirkan tentang sifat zuhud yaitu tidak panjang angan-angan dalam kehidupan dunia. Beliau melanjutkan,
orang yang zuhud ialah orang yang bila dia berada di pagi hari dia berkata "Aku khawatir tidak bisa menjumpai
waktu sore hari". Maka dia segera memanfaatkan
waktunya untuk beramal dan beribadah sebaik-baiknya.
Tanda-tanda
Zuhud, Ada tiga tanda kezuhudan yang
harus ada pada batin seseorang:
a. Pertama, tidak bergembira dengan apa
yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Sebagaimana firman Allah: “Supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”
(alHadid:23)
b. Kedua, sama saja disisinya orang yang
mencela dan orang yang mencacinya. Yang pertama merupakan tanda zuhud dalam harta sedangkan yang kedua merupakan tanda zuhud
dalam kedudukan.
c. Ketiga, hendaknya ia bersama Allah dan
hatinya lebih banyak didominasi oleh lezatnya ketaatan, karena hati tidak dapat terbebas sama sekali dari cinta; cinta
dunia atau cinta Allah. Kedua cinta ini di
dalam hati seperti air dan udara yang ada di dalam gelas. Apabila air
dimasukkan kedalam gelas maka udara
pun akan keluar. Keduanya tidak dapat bertemu. Setiap orang yang akrab dengan
Allah pasti ia akan sibuk dengan-Nya
dan tidak akan sibuk dengan selain-Nya. Oleh karena itu dikatakan sebagian mereka, “Kepada apa zuhud itu membawa
mereka?” dijawab, “Kepada keakraban dengan Allah.” Sedangkan keakraban dengan dunia dan keakraban dengan Allah tidak
akan pernah bertemu.
Jadi
tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan,
kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan, karena adanya dominasi keakraban dengan
Allah. Dari tanda-tanda ini tentu muncul beberapa tanda yang lainnya.
B.
Wara’
Wara’
mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yang syubhat
dan meninggalkan yang haram. Lawan dari wara' adalah syubhat yang berarti tidak
jelas apakah hal tersebut halal atau haram. "Sesungguhnya yang halal itu
jelas & yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia
tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama
& kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang
haram" (HR Bukhari & Muslim).
Contoh:
Seseorang meninggalkan kebiasaan mendengarkan & memainkan musik karena dia tahu
bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yang mengatakan halal dan ada
yang mengatakan haram.
Tingkatan
Wara’ diantaranya :
a. Tingkatn pertama, wara’ al-‘udul (wara’
orang-orang yang memiliki kelayakan moralitas) yaitu setiap hal yang oleh fatwa
harus diharamkan diantara hal yang masuk kedalam kategori haram mutlak yang
bila dilanggar maka pelanggarannya dinilai melakukan kefasikan dan kemaksiatan.
b. Tingkatan kedua, contohnya adalah setiap
syubhat yang tidak wajib dijauhi tetapi dianjurkan untuk dijauhi. Sedangkan apa
yang wajib untuk dijauhi maka dimasukkan kedalam yang haram. Diantaranya apa yang
dibenci untuk dijauhi karena bersikap wra’ darinya merupakan wara’ orang-orang
yang was-was. Setiap orang yang tidak mau berburu karena takut jika buruan itu
telah lepas dari seseorang yang telah menangkap dan memilikinya. Ini adalah
was-was, sedangkan apa yang dianjurkan untuk dijauhi tetapitidak wajib adalah
yang disabdakan Nabi saw: “Tinggalkanlah apa yang merugikanmu kepada apa yang
tidak merugikanmu.”
c. Tingkatan ketiga, wara’ al-Muttaqin.
Sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi saw: “Seorang hamba tidak akan mencapai
derajat mutaqin sehingga dia meninggalkan apa yang tidak berdosa karena takut
terhadap apa yang berdosa.” Umar ra berkata: “Kami dahulu meninggalkan Sembilan
per sepuluh barang yang halal karena takut terjerumus kedalam yang haram.” Setiap
barang halal yang tidak terlepas dari kekhawatiran maka ia adalah halalyang
baik pada tingkat ketiga. Yakni setiap hal yang pelaksanaannya tidak
dikhawatirkan membawa kepada kemaksiatan sama sekali.
d. Tingkatan keempat, wara’ash-shiddiqin.
Halal disisi mereka adalah setiap hal yang dalam sebabsebabnya tidak didahului
oleh kemaksiatan, tidak dipergunakan untuk kemaksiatan, dan tidak pula
dimaksudkan untuk melampiaskan kebutuhan baik sekarang ataupun dimasa yang akan
dating , tetapi dimakan semata-mata karena Allah dan untuk memperkuat ibadah
kepada-Nya dan mempertahankan kehidupan karena-Nya.
Ini
adalah tingkatan orang-orang yang bertauhid (Muwahhidin) yang telah terhindar
dari tuntutan nafsu mereka.
C.
Tawakkal
Tawakal
berasal dari kata at tawakul yang di bentuk dari kata wakala, artinya
menyerahkan, mempercayai, atau mewakilkan, bersandar kepada dinding. Tawakal
secara istilah adalah rasa pasrah hamba kepada allah swt yang di sertai dengan segala
daya dan upaya mematuhi, setia dan menunaikan segala pertintahNya.
Ciri-ciri
tawakal :
a. Mujahadah, artinya sungguh-sungguh dalam
melakukan suatu pekerjaan tidak asal asalan. Contohnya, sebagai pelajar,
belajarlah sungguh sungguh agat dapat memperoleh prestasi yang baik.
b. Doa, artinya walaupun kita sudah
melakukan upaya mujahadah (sungguh-sungguh) kita pun harus tetap berdoa memohon
kepada Allah.
c. Syukur, artinya apabila menemukan
keberhasilan kita harus mensyukurinya. Prinsip ini perlu kita punya. Jika
tidak, kita akan menjadi orang yang sombong atau angkuh (kufur nikmat).
d. Sabar, Artinya tahan uji menghadapi
berbagai cobaan termasuk hasil yang tidak memuaskan (kegagalan). Sabar tidak
berarti diam dan meratami kegagalan, tetapi sabar adalah instropeksi dan
bekerja lebih baik agar kegagalan tidak terulang
D.
Sabar
Sabar
berarti tabah dalam menghadapi segala kesulitan tanpa ada rasa kesal dan
menyerah dalam diri. Dalam hal ini
tidak hanya mengekang keinginan nafsu dan amarah tetapi juga mampu menahan terhadap penyakit fisik.
Sabar juga dapat dipahami sebagai sikap tabah, tekun dan tangguh dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai
problema hidup. Tidak ada orang yang
sukses tanpa kesungguhan dan keuletan serta ketangguhan untuk meraihnya. Dengan sikap sabar,
seseorang tidak mudah putus asa, tidak cepat menyerah ketika belum berhasil. Bahkan seorang yang memiliki sikap sabar
tidak larut dalam kesedihan ketika
terkena musibah, ia akan cepat bangkit untuk menatap masa depan yang lebih
cerah.
E.
Ridha
Kata
ridha berasal dari bahasa Arab yang makna harfiahnya mengandung pengertian
senang, suka, rela, menerima dengan sepenuh hati, serta menyetujui secara
penuh. Ridha secara bahasa menerima dengan suka hati, Adapun ridha secara
istilah diartikan sikap menerima atas pemberian dan anugerah yang diberikan
oleh Allah dengan di iringi sikap menerima ketentuan syariat Islam secara
ikhlas dan penuh ketaatan, serta menjauhi dari perbuatan buruk(maksiyat), baik
lahir ataupun bathin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Seperti
yang telah dijelaskan di atas bahwa maqomat ialah tingkatan atau stasiun dari maqom
-maqom yang ditempuh para sufi. Maqom ialah tingkatan seorang hamba
dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan
latihan-latihan (riyadhah) jiwa yang dilakukannya. Dikalangan para sufi urutan
maqom berbeda-beda. Sebagian
merumuskan maqom dengan sederhana, sebagian ada yang mendetail untuk merumuskannya. Sedangkan apa yang dirumuskan oleh Al Ghozali lebih sedikit lagi.
Ia merumuskan maqom seperti
berikut:zuhud, tobat, sabar, syukur, khauf, dan raja’ tawakkal, mahabbah, ridha
ikhlas, muhasabah, dan muroqobah.
sementara itu, Asy-Skuhrawardi dalam bukunya Al Awarif Al- Ma’arif merumuskan maqam, sebagai berikut: tobat wara’, zuhud,
sabar, faqr, syukur, khauf, tawakkal,
dan ridha.
Pada
hakikatnya sama, berbagai macam maqom yang ditempuh oleh para sufi memang berbeda, namun satu tujuannya ialah
untuk menjadikan satu raganya disisi Allah SWT. Mendekatkan diri serta menikmati ketentraman bersama Allah.
Daftar Pustaka
Prof.
Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikirannya, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983.
Prof.
Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani,
1994.
Prof.
Dr. Amin Syukur, MA, Drs. Masharudin. Intelektualisme Tasawuw Studi
Intelektualisme
0 komentar:
Post a Comment