Tempat Quran - bermakna bahwa al-Quran tanpa sandaran tidak akan bisa kita pelajari, sandarannya adalah para guru.
Tulisan Al-Alif - bermakna nama Balai Pengajian
Gampong Lhokjok - Desa tempat berdirinya Balai Pengajian
Tempat Quran - bermakna bahwa al-Quran tanpa sandaran tidak akan bisa kita pelajari, sandarannya adalah para guru.
Tulisan Al-Alif - bermakna nama Balai Pengajian
Gampong Lhokjok - Desa tempat berdirinya Balai Pengajian
1. Apa yang anda ketahui tentang kitab Insan Kamil?
2. Bagaimana Tahawufnya al Jilli
3. Apa yang anda ketahui tentang tashawufnya kelompok Majlis Pengkajian Tauhid Tashawuf (MPTT) yang didirikan oleh Abuya Amran Waly Al Khalidi?
1. Apa yang anda ketahui tentang kitab Insan Kamil?
2. Bagaimana Tahawufnya al Jilli
3. Apa yang anda ketahui tentang tashawufnya kelompok Majlis Pengkajian Tauhid Tashawuf (MPTT) yang didirikan oleh Abuya Amran Waly Al Khalidi?
Jawablah pertanyaan dibawah ini:
1. Sebutkan macam-macam tarekat di Indonesia
2. Sebutkan nama-nama tokoh/pelopor tarekat tersebut
3. Jelaskan aliran apa yang terkandung dalam tarekat tersebut
4. Aliran tarekat yang jenis bagaimanakah yang bertentangan dengan Imam Al Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi
Jawablah pertanyaan dibawah ini:
1. Sebutkan macam-macam tarekat di Indonesia
2. Sebutkan nama-nama tokoh/pelopor tarekat tersebut
3. Jelaskan aliran apa yang terkandung dalam tarekat tersebut
4. Aliran tarekat yang jenis bagaimanakah yang bertentangan dengan Imam Al Ghazali dan Imam Junaid Al Baghdadi
Buatlah ringkasan tentang tashawuf di Indonesia menurut anda,
1) Kapan masuknya
2) Dengan cara apa masuknya
3)Siapa tokohnya
4) Anda mengikuti tashawuf siapa?
Buatlah ringkasan tentang tashawuf di Indonesia menurut anda,
1) Kapan masuknya
2) Dengan cara apa masuknya
3)Siapa tokohnya
4) Anda mengikuti tashawuf siapa?
Tashawuf Akhlaqi (Sunni)
¨Tashawuf akhlaqi yang berfokus pada perbaikan akhlak dan budi pekerti, berupaya mewujudkan perilaku
yang baik (mahmudah) serta menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela
(mazmumah).
¨Tashawuf akhlaqi ini disebut
juga dengan tashawuf sunni.
Tingkatan dalam tashawuf ini terdiri dari:
•
Takhalli
•
Tahalli
•
Tajalli
Takhalli (mengosongkan)
¨Takhalli adalah tahapan pertama yang dilakukan para sufi untuk membersihkan
(melepaskan) diri dari perilaku buruk, seperti: berbuat maksiat, hubbuddunia,
su-udhan, ujub, hasad, riya, ghazab, takabur, dll.
Takhalli (mengosongkan)
¨Takhalli adalah tahapan pertama yang dilakukan para sufi untuk
membersihkan (melepaskan) diri dari perilaku buruk, seperti: berbuat maksiat,
hubbuddunia, su-udhan, ujub, hasad, riya, ghazab, takabur, dll.
Tahalli (mengisi)
¨Tahalli adalah mengisi/berpakaian jiwa dengan akhlak baik, seperti:
sabar, ikhlas, ridha, taubat, dan lainnya
Tajalli
¨Tajalli merupakan tahap terakhir yaitu tersingkapnya nur ghaib.
¨Pada tahap ini para sufi benar-benar menanam rasa cinta kepada Allah
Swt di dalam hatinya.
¨Tujuannya agar perilaku baik pada tahap tahalli tidak luntur.
¨Cara tahalli yaitu dengan muhasabah (merenungi semua dosa), muraqabah
(merasa jiwa selalu diawasi Allah), Tafakkur (merenungi kekuasaan Allah), serta
berzikir.
Tokoh Sufi Akhlaqi
Berkembang pada abad ke 2 Hijrah
¨Abu Hasan Basri (21 H – 110 H)
¨Imam Abu Hanifah
¨Junaid Al Baghdadi
¨Al Qusyairi (376 H – 465 H)
¨As Sarri As Saqeti
¨Al Harawi
Tokoh Sufi Akhlaqi
Berkembang pada abad ke 2 Hijrah
¨Abu Hasan Basri (21 H – 110 H)
¨Imam Abu Hanifah
¨Junaid Al Baghdadi
¨Al Qusyairi (376 H – 465 H)
¨As Sarri As Saqeti
¨Al Harawi
Abad ke 5 Hijrah
¨Al Ghazali (450 H – 505 H)
¨Al Harawi dan Al Qusyairi mulai mengadakan pembaharuan dengan
mengembalikan dasar-dasat tashawuf sesuai Al Quran dan As Sunnah
Abad ke 5 Hijrah
¨Al Ghazali (450 H – 505 H)
¨Al Harawi dan Al Qusyairi mulai mengadakan pembaharuan dengan
mengembalikan dasar-dasat tashawuf sesuai Al Quran dan As Sunnah
Tashawuf Amali
¨Tashawuf amali yang berfokus pada menekankan terhadap cara-cara
mendekatkan diri kepada Allah Swt, baik melalui amalan dhahiriyah atau pun
bathiniyah.
¨Tashawuf amali ini merupakan ajaran yang di anut oleh pengikut tarekat
(ashhabut thuruq).
Tashawuf amali ini meliputi:
1. Syariat
2. Thariqat
3. Hakikat
4. Ma’rifah
Syariat
¨Syariat merupakan sesuatu yang berhubungan dengan amalan lahiriyah
yang mengatur segala urusan hukum.
¨Landasannya adalah Al Quran, Hadits, Ijma’ dan Qias
Thariqat
¨Thariqat berarti jalan yang ditempuh oleh para sufi untuk mencapai
tujuan sedekat mungkin dengan Allah Swt.
¨Thariqat merupakan jalan yang berpangkal pada syariat, jadi syariat
adalah jalan utama dan thariqat adalah anak jalan.
¨Syariat merupakan pangkal dari suatu ibadah, maka sebelum melalui
jalan thariqat harus melewati jalan syariat.
Hakikat
¨Hakikat sebagai aspek yang berkaitan dengan amal bathiniah, meruapakan
amalan yang paling dalam dan merupakan akhir perjalanan yang ditempuh para
sufi.
Ibarat
¨Kalau diibarat dengan menanam pohon, pertama menanam benih (syariat),
kemudian menyiraminya sampai tumbuh bercabang dan berbuah (thariqat), merawat
agar memperoleh buah yang ranum (hakikat)
Ma’rifah
¨Ma’rifah adalah mengenal rahasia-rahasia Allah dan aturan-aturan Nya
yang melingkupi seluruh yang ada (Imam Al Ghazali).
¨Seperti ibadahnya seorang hamba karena dirinya sebagai hamba bukan
karena harapan fahala atau surga.
Tokoh Tashawuf Amali
¨Hasan Al Basri (21 H – 110 H)
¨Rabi’ah Al Adawiyah (96 H – 185 H)
¨Dzun Nun Al Misri (180 H – 246 H)
Tashawuf Falsafi
¨Tashawuf falsafi adalah tashawuf yang menggabungkan antara visi mistik
dan visi yang rasional.
¨Tashawuf falsafi ini adalah kajian terhadap tuhan, manusia dan
sebagainya dengan menggunakan metode rasio atau akal.
Objek Kajian Tashawuf Falsafi
1. Latihan yang bersifat kebathinan atau rohaniah dengan menggunakan
rasa, intuisi (kemampuan memahami sesuatu tanpa pemahaman rasional),
introspeksi diri dengan tingkatan maqam, hal dan rasa.
Objek Kajian Tashawuf Falsafi
2. Kajian tentang hakikat dari sifat-sifat Tuhan, malaikat, ‘arasy,
kursi, wahyu, kenabian, roh, hakikat dari alam ghaib, yaitu dengan zikir.
Objek Kajian Tashawuf Falsafi
3. Peristiwa yang luar biasa, yaitu kejadian yang terdapat di alam ini
atau kosmos yang mempengaruhi kekeramatan.
Objek Kajian Tashawuf Falsafi
4. Pengungkapan teori dengan istilah yang filofis, yang hanya dimengerti
oleh para tokoh tashawuf filsafi tersebut.
(Ibnu Khaldun, Ma’rifat)
Intinya, ciri-ciri tashawuf falsafi adalah menggabungkan antara
pemikiran atau rasional dengan perasaan (dzuq).
Tokoh Tashawuf Falsafi
qMuhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath Tha’i Al Haitami (Ibnu
Arabi) (560 H – 638 H)
qAbdul Karim Al Jilli (1365 H – 1417 H)
qAbdul Haq Ibnu Ibrahim Muhammad Ibnu Nash (Ibnu Sab’in) (614 H -
Apakah pengertian tarekat menurut Al Jarjani?
Apakah pengertian tarekat menurut Zainuddin?
Apakah pengertian tarekat menurut Al Kurdi?
Apakah pengertian tarekat menurut Mahmud Khalifa?
Apakah pengertian tarekat menurut Amir Al Najr?
Kapankah tarekat masuk ke Aceh?
Sebutkan negara asal setiap tarekat dan tokohnya
Apakah pengertian tarekat menurut Alwi Shihab?
Apakah pengertian tarekat menurut FKI Tarta Lirbiyo?
Apakah pengertian tarekat menurut Harun Nasution?
Kapan tarekat masuk ke Indonesia?
Sebutkan tokoh-tokoh tarekat
Pitria Jayanti
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Zuhud
Secara
harfiah zuhud berarti bertapa di dalam dunia. Sedangkan menurut istilah yaitu
bersiapsiap di dalam hatinya untuk mengerjakan ibadah, melakukan kewajiban
semampunya dan menyingkir dari dunia
yang haram serta menuju kepada Allah baik lahir maupun batin. Makna dan hakikat zuhud banyak
diungkap kan pada Al-Qur’an, Al Hadits dan ucapan para ulama. Misalnya surat
Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini: "Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti)
ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu. Berlomba-lombalah
kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang
disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya
kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi
Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong lagi membanggakan
diri."
Ayat
di atas tidak menyebutkan kata zuhud secara langsung, tetapi mengungkapkan
tentang makna & hakikat zuhud.
Ayat ini menerangkan tentang hakikat dunia yang sementara dan hakikat akhirat yang kekal. Kemudian
menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih ampunan dari Allah dan surga-Nya di akhirat.
Imam
Ahmad menafsirkan tentang sifat zuhud yaitu tidak panjang angan-angan dalam kehidupan dunia. Beliau melanjutkan,
orang yang zuhud ialah orang yang bila dia berada di pagi hari dia berkata "Aku khawatir tidak bisa menjumpai
waktu sore hari". Maka dia segera memanfaatkan
waktunya untuk beramal dan beribadah sebaik-baiknya.
Tanda-tanda
Zuhud, Ada tiga tanda kezuhudan yang
harus ada pada batin seseorang:
a. Pertama, tidak bergembira dengan apa
yang ada dan tidak bersedih karena hal yang hilang. Sebagaimana firman Allah: “Supaya kamu jangan berduka cita
terhadap apa yang luput dari kamu dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”
(alHadid:23)
b. Kedua, sama saja disisinya orang yang
mencela dan orang yang mencacinya. Yang pertama merupakan tanda zuhud dalam harta sedangkan yang kedua merupakan tanda zuhud
dalam kedudukan.
c. Ketiga, hendaknya ia bersama Allah dan
hatinya lebih banyak didominasi oleh lezatnya ketaatan, karena hati tidak dapat terbebas sama sekali dari cinta; cinta
dunia atau cinta Allah. Kedua cinta ini di
dalam hati seperti air dan udara yang ada di dalam gelas. Apabila air
dimasukkan kedalam gelas maka udara
pun akan keluar. Keduanya tidak dapat bertemu. Setiap orang yang akrab dengan
Allah pasti ia akan sibuk dengan-Nya
dan tidak akan sibuk dengan selain-Nya. Oleh karena itu dikatakan sebagian mereka, “Kepada apa zuhud itu membawa
mereka?” dijawab, “Kepada keakraban dengan Allah.” Sedangkan keakraban dengan dunia dan keakraban dengan Allah tidak
akan pernah bertemu.
Jadi
tanda zuhud adalah tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan,
kemuliaan dan kehinaan, pujian dan celaan, karena adanya dominasi keakraban dengan
Allah. Dari tanda-tanda ini tentu muncul beberapa tanda yang lainnya.
B.
Wara’
Wara’
mengandung pengertian menjaga diri atau sikap hati-hati dari hal yang syubhat
dan meninggalkan yang haram. Lawan dari wara' adalah syubhat yang berarti tidak
jelas apakah hal tersebut halal atau haram. "Sesungguhnya yang halal itu
jelas & yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia
tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama
& kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang
haram" (HR Bukhari & Muslim).
Contoh:
Seseorang meninggalkan kebiasaan mendengarkan & memainkan musik karena dia tahu
bahwa bermusik atau mendengarkan musik itu ada yang mengatakan halal dan ada
yang mengatakan haram.
Tingkatan
Wara’ diantaranya :
a. Tingkatn pertama, wara’ al-‘udul (wara’
orang-orang yang memiliki kelayakan moralitas) yaitu setiap hal yang oleh fatwa
harus diharamkan diantara hal yang masuk kedalam kategori haram mutlak yang
bila dilanggar maka pelanggarannya dinilai melakukan kefasikan dan kemaksiatan.
b. Tingkatan kedua, contohnya adalah setiap
syubhat yang tidak wajib dijauhi tetapi dianjurkan untuk dijauhi. Sedangkan apa
yang wajib untuk dijauhi maka dimasukkan kedalam yang haram. Diantaranya apa yang
dibenci untuk dijauhi karena bersikap wra’ darinya merupakan wara’ orang-orang
yang was-was. Setiap orang yang tidak mau berburu karena takut jika buruan itu
telah lepas dari seseorang yang telah menangkap dan memilikinya. Ini adalah
was-was, sedangkan apa yang dianjurkan untuk dijauhi tetapitidak wajib adalah
yang disabdakan Nabi saw: “Tinggalkanlah apa yang merugikanmu kepada apa yang
tidak merugikanmu.”
c. Tingkatan ketiga, wara’ al-Muttaqin.
Sebagaimana ditegaskan oleh sabda Nabi saw: “Seorang hamba tidak akan mencapai
derajat mutaqin sehingga dia meninggalkan apa yang tidak berdosa karena takut
terhadap apa yang berdosa.” Umar ra berkata: “Kami dahulu meninggalkan Sembilan
per sepuluh barang yang halal karena takut terjerumus kedalam yang haram.” Setiap
barang halal yang tidak terlepas dari kekhawatiran maka ia adalah halalyang
baik pada tingkat ketiga. Yakni setiap hal yang pelaksanaannya tidak
dikhawatirkan membawa kepada kemaksiatan sama sekali.
d. Tingkatan keempat, wara’ash-shiddiqin.
Halal disisi mereka adalah setiap hal yang dalam sebabsebabnya tidak didahului
oleh kemaksiatan, tidak dipergunakan untuk kemaksiatan, dan tidak pula
dimaksudkan untuk melampiaskan kebutuhan baik sekarang ataupun dimasa yang akan
dating , tetapi dimakan semata-mata karena Allah dan untuk memperkuat ibadah
kepada-Nya dan mempertahankan kehidupan karena-Nya.
Ini
adalah tingkatan orang-orang yang bertauhid (Muwahhidin) yang telah terhindar
dari tuntutan nafsu mereka.
C.
Tawakkal
Tawakal
berasal dari kata at tawakul yang di bentuk dari kata wakala, artinya
menyerahkan, mempercayai, atau mewakilkan, bersandar kepada dinding. Tawakal
secara istilah adalah rasa pasrah hamba kepada allah swt yang di sertai dengan segala
daya dan upaya mematuhi, setia dan menunaikan segala pertintahNya.
Ciri-ciri
tawakal :
a. Mujahadah, artinya sungguh-sungguh dalam
melakukan suatu pekerjaan tidak asal asalan. Contohnya, sebagai pelajar,
belajarlah sungguh sungguh agat dapat memperoleh prestasi yang baik.
b. Doa, artinya walaupun kita sudah
melakukan upaya mujahadah (sungguh-sungguh) kita pun harus tetap berdoa memohon
kepada Allah.
c. Syukur, artinya apabila menemukan
keberhasilan kita harus mensyukurinya. Prinsip ini perlu kita punya. Jika
tidak, kita akan menjadi orang yang sombong atau angkuh (kufur nikmat).
d. Sabar, Artinya tahan uji menghadapi
berbagai cobaan termasuk hasil yang tidak memuaskan (kegagalan). Sabar tidak
berarti diam dan meratami kegagalan, tetapi sabar adalah instropeksi dan
bekerja lebih baik agar kegagalan tidak terulang
D.
Sabar
Sabar
berarti tabah dalam menghadapi segala kesulitan tanpa ada rasa kesal dan
menyerah dalam diri. Dalam hal ini
tidak hanya mengekang keinginan nafsu dan amarah tetapi juga mampu menahan terhadap penyakit fisik.
Sabar juga dapat dipahami sebagai sikap tabah, tekun dan tangguh dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai
problema hidup. Tidak ada orang yang
sukses tanpa kesungguhan dan keuletan serta ketangguhan untuk meraihnya. Dengan sikap sabar,
seseorang tidak mudah putus asa, tidak cepat menyerah ketika belum berhasil. Bahkan seorang yang memiliki sikap sabar
tidak larut dalam kesedihan ketika
terkena musibah, ia akan cepat bangkit untuk menatap masa depan yang lebih
cerah.
E.
Ridha
Kata
ridha berasal dari bahasa Arab yang makna harfiahnya mengandung pengertian
senang, suka, rela, menerima dengan sepenuh hati, serta menyetujui secara
penuh. Ridha secara bahasa menerima dengan suka hati, Adapun ridha secara
istilah diartikan sikap menerima atas pemberian dan anugerah yang diberikan
oleh Allah dengan di iringi sikap menerima ketentuan syariat Islam secara
ikhlas dan penuh ketaatan, serta menjauhi dari perbuatan buruk(maksiyat), baik
lahir ataupun bathin.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Seperti
yang telah dijelaskan di atas bahwa maqomat ialah tingkatan atau stasiun dari maqom
-maqom yang ditempuh para sufi. Maqom ialah tingkatan seorang hamba
dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan
latihan-latihan (riyadhah) jiwa yang dilakukannya. Dikalangan para sufi urutan
maqom berbeda-beda. Sebagian
merumuskan maqom dengan sederhana, sebagian ada yang mendetail untuk merumuskannya. Sedangkan apa yang dirumuskan oleh Al Ghozali lebih sedikit lagi.
Ia merumuskan maqom seperti
berikut:zuhud, tobat, sabar, syukur, khauf, dan raja’ tawakkal, mahabbah, ridha
ikhlas, muhasabah, dan muroqobah.
sementara itu, Asy-Skuhrawardi dalam bukunya Al Awarif Al- Ma’arif merumuskan maqam, sebagai berikut: tobat wara’, zuhud,
sabar, faqr, syukur, khauf, tawakkal,
dan ridha.
Pada
hakikatnya sama, berbagai macam maqom yang ditempuh oleh para sufi memang berbeda, namun satu tujuannya ialah
untuk menjadikan satu raganya disisi Allah SWT. Mendekatkan diri serta menikmati ketentraman bersama Allah.
Daftar Pustaka
Prof.
Dr. Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemikirannya, Jakarta: Pustaka Panjimas,
1983.
Prof.
Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani,
1994.
Prof.
Dr. Amin Syukur, MA, Drs. Masharudin. Intelektualisme Tasawuw Studi
Intelektualisme
1. Apakah yang dimaksud dengan tashawuf falsafi?
2. Siapakah tokoh-tokoh tashawuf falsafi?
3. Apa yang anda ketahui tentang tashawuf falsafi?
4. Kenapa tashawuf falsafi sangat dipertentangkan di khalayak ramai?
1. Apa yang anda ketahui tentang tashawuf akhlaqi dan amali?
2. Siapakah tokoh² tashawuf akhlaqi dan amali?
3. Apa tanggapan anda tentang tashawuf akhlaqi dan amali?
¨ Ittihad
Ittihad adalah
suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang sufi telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan;
suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satunya lagi dengan
katakata: Hai Aku.
(Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 43)
Pencetus konsep al-ittihad adalah Abu Yazid al-Busthami. Nama lengkapnya adalah Thaifur Ibn Isa ibnu
Sarusyan. Dia berasal dari Bustham. Kakeknya, Sarusyan sebelum masuk Islam adalah
seorang pemeluk agama Majusi yang selanjutnya masuk Islam. Abu Yazid meninggal tahun 261
H (ada juga yang berpendapat dia meninggal th. 264 H).
(A.R. Badawi, Syathahat al-Sufiyah, an-Nahdhah al-Misriyah
1949)
Untuk sampai ke
Ittihad, seorang Sufi harus sampai pada tahap fana dan baqa.
Fana berarti hancur, sirna dan lenyap, sedangkan baqa keadaan
dari sesuatu yang tidak berakhir.
Untuk sampai ketahap fana harus memiliki 4 ini:
1. Al Sukr
2. Al Syathahat
3. Zawal al Hujab
4. Glalbat al
Syuhud
5. Al Sukr
Al Sukar
didahului oleh fase Ghaibah yaitu suatu keadaan pertengahan antara hubb dan
fana‟. Al-Sukkar tidak bisa dicapai kecuali orang yang dalam keadaan
“mencintai” (“mawajid”).
(Ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah
al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 244)
q Al Syathahat
¨ Al Syathahat
adalah gerakan yaitu: gerakan rahasia dari orang yang sangat cinta, lalu
mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang aneh bagi pendengarnya, sehingga tidak ada
orang yang dapat memahami ungkapan itu kecuali orang yang diberikan kemuliaan
dan pemahaman yang luas.
¨ (Ibn Qayyim
al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 246)
¨ Zawal al Hujab
Zawal al Hujab
adalah suatu keadaan seorang sufi tidak ada lagi yang diinginkan kecuali Allah.
(Ibn Qayyim
al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 248)
q Ghalbat al
Syuhud
Ghalbat al
Syuhud Ini merupakan tempat di atas tempat, dan waktu diatas waktu, disini
tidak lagi menanyakan kenapa dan
bagaimana. Hal ini terjadi ketika perasaan, kesadaran dan penyaksian seorang
sufi sampai kepada puncak fana‟, lalu dia lupa dirinya dan tidak ada selain
Allah, sekiranya ditanya: dari mana? Dan hendak kemaan? Tidak ada jawaban kecuali
“Allah.
(Ibn Qayyim
al-Jauziyah, Raudah al-Muhbbin wa Nuzhat al-Musytaqin, h. 257)
¨ Ungkapan Abu
Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang
terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya
yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka
sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa
besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular
keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun
terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab
manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.
(Fariduddin
al-Aththar, hal. 140 dala Abu at-wafa
at-Ghanimi, haL.116 )
¨ Ungkapan Abu
Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang
terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya
yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka
sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa
besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular
keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun
terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab
manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.
(Fariduddin
al-Aththar, hal. 140 dala Abu at-wafa
at-Ghanimi, haL.116 )
¨ Ungkapan Abu
Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang
terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya
yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka
sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa
besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular
keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun
terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab
manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.
(Fariduddin
al-Aththar, hal. 140 dala Abu at-wafa
at-Ghanimi, haL.116 )
¨ Ungkapan Abu
Yazid al-Busthami tentang kefanaan dan penyatuannya dengan kekasihnya memang
terasa berlebihan, antara lain sebagaimana ucapannya
yang ganjil: Aku ini Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka
sembahlah Aku. Katanya pula: betapa sucinya Aku, betapa
besarnya Aku”. “Aku keluar dari Abu Yazidku, seperti halnya ular
keluar dari kulitnya, dan pandanganku pun
terbuka, dan ternyata sang pecinta, Yang dicinta, dan cinta adalah satu. Sebab
manusia itu dalam alam penyatuan adalah satu.
(Fariduddin
al-Aththar, hal. 140 dala Abu at-wafa
at-Ghanimi, haL.116 )
Yang perlu diingat:
Fana itu adalah sifatnya makhluk, sedangkan baqa itu
merupakan sifatnya Khaliq.
Jadi sungguh berlebihan ketika mengatakan makhluk itu telah
baqa sepertinya baqanya Khaliq, karena Khaliq itu bersalahan dengan makhluk.
ليس كمثله شيء
Junaid al Banghdadi mengatakan :
“Abu Yazid
sekalipun agung kondisinya dan tinggi isyaratnnya, tidaklah keluar dari kondisi
permulaannya, dan darinya belum pernah aku mendengar sepatah kata pun yang menunjukkan
pada kesempurnaan dan akhir.
(al-Sarraj
al-Thusi hal .479
dalam Abu al-Wafa 2003 hal. 119)
Menurut Abu al
Wafa, pendapat Junaid ini mempunyai makna bahwa al Busthami termasuk para sufi
yang tidak bisa mengendalikan diri, serta orang yang tunduk pada intuisi.
Dengan sendirinya hal itu membuat mereka tetap dalam keadaan
permulaan, dan tidak bisa
menjadi panutan bagi sufi-sufi lain.
(al-Sarraj
al-Thusi hal .479
dalam Abu al-Wafa 2003 hal. 119)
¨ Hulul
Kata
Hulul berasal dari halla, yahullu, hululan. Kata ini memiliki arti
menempati, mistis, berinkarnasi.
(Depag RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta, 1993, hal. 339)
¨ Hulul juga bermakna
penitisan Tuhan ke makhluk atau benda.
(lhsan Ilahi
Dhahir, Sejarah Hitam Tasawuf (terjemah), Jakarta, 2001, hal. 242)
¨ Secara harfiah
hulul mengandung arti bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu
yang telah lenyap sifat kemanusiaannya melalui fana.
(Abdu Qadir
Mahmud, al-falsafah al-Sufiyah fi al-Islam, Beirut: Dar al-Fikr, 1996, hal.337)
¨ Abu Nasr al-Tusi
Hulul adalah
faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan
(Abu Nasr
al-Tusi, al-Luma‟, al-Qahirah, Dar al-Kitabah alHaditsah, 1960)
¨ AI-Hallaj adalah ulama tasawuf yang pertama kali mencetuskan konsep Hulul. Ia berpendapat bahwa
Allah mempunyai dua sifat dasar (nature), yaitu ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut). Teorinya ini
dapat dilihat dalam bukunya yang berjudul at-Tawasin
(Harun
Nasution, Filsafat dan mistisisme dalam Islam. Bulan Bintang 2006, hal. 71)
¨ Kalangan ahli
Sufi berbeda pendapat dalam menyikapi
fenomena al-Hallaj, ada yang pro ada yang kontra. Yang pro diantaranya
abul abbad bin atha‟, Abu abdillah Muhammad Khafif, Abul
qasim al-Junaid dan Ibrahim Nashru Abadzy.
¨ Sedangkan yang kontra diantaranya yang pernah menjadi gurunya seperti al-Junaid
al-baghdadi. abul-Husain an-Nury, Amr al-Makky, abu baker al-Fuwathi.
(Ali Ibnu
Anjab al-Sal, Akhbar al-Hallaj (Kairo tt. Tanpa penerbit), hal
10-11. Lihat Abu at-Wafa, hal. 122)