Sunnah dan Bid’ah adalah dua buah kata yang selalu diperbincangkan
dalam Islam, bahkan sering terjadi hujjah menghujjah untuk mempertahankan apa
yang dilakukan itu tergolong dalam kategori Sunnah, dan dijauhi dari kategori
Bid’ah.
Sunnah adalah segala yang datang dari Rasulullah SAW, baik
perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir) yang bisa dijadikan dasar
penetapan hukum syara’, (Ushul Fiqh).
“Sesungguhnya telah saya tinggalkan untuk mu dua perkara,
sekali-kali kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang padanya, yakni
kitabullah dan sunnah RasulI”, (Hadits).
Sunnah itu sesuatu yang telah terdapat didalam Al Quran dan Al
Hadits tentang bagaimana cara melakukan suatu ibadah. Karena Rasulullah SAW
telah menegaskan, siapa pun yang berpegang dengan Al Quran dan Hadits, yaitu
memahami isi kandungan, penafsiran, tujuan dan maksud dari Al Quran dan Al
Hadits maka ia tergolong orang-orang yang terpetunjuk.
Namun untuk memahami isi kandungan Al Quran dan Al Hadits secara
langsung tanpa proses pendidikan agama dan perantaraan para Ulama, itu sangat
sulit dan hampir dikatakan mustahil, kecuali mereka yang telah Allah
anugerahkan ilham kepadanya.
Dalam penjelasan para Imam Mazhab pun kadang terjadi perbedaan,
baik perbedaan itu terjadi antara satu mazhab dengan mazhab yang lain, atau pun
perbedaan yang terjadi dalam satu mazhab, sehingga adanya pendapat kuat atau
pendapat lemah, pendapat sahih atau muqabil sahih, pendapat adhhar atau muqabil
adhhar, dan lainnya.
Orang-orang yang mengikuti sunnah dikatakan ahlisunnah, pengertian
ahlisunnah secara umum adalah satu kelompok atau golongan yang senantiasa
komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan jalan para sahabatnya dalam hal aqidah,
amaliyah (fiqh), dan hakikat (tasawuf dan akhlaq). Sedangkan definisi
ahlisunnah secara khusus adalah golongan yang mempunyai I’tiqad/keyakinan yang
searah dengan keyakinan Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Asy’ariyah dan Maturidiyah adalah golongan yang komitmen berpegang
teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. Namun penamaan nama
ahlisunnah pada golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah merupakan pemberian nama
bagian dengan menggunakan namanya kulli dalam pengertian secara umum.
“Pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang
komitmen terhadap ajaran Nabi dan Sahabat kecuali golongan Ahlisunnah wal
Jama’ah, …., (Syaikh Al Baghdadi, Al Farqu bainal Firaq).
Ahlisunnah wal Jama’ah merupakan golongan yang senantiasa mengikuti
tindakan Rasul, Khulafaurrasyidin, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in dan segenap ulama Salaf
As Shalihin.
“Ikutilah tindakan Ku dan tindakan para Khulafaurrasyidin setelah
wafat Ku”, (Hadits).
Bid’ah adalah sesuatu yang baru dalam agama yang tidak pernah ada
pada masa Rasulullah SAW (not: ini terlepas dari pemahaman baik atau pun buruk
menurut pandangan kita).
“Semua perkara baru dalam agama yang menyerupai salah satu dari
bentuk ajaran agama namun sebenarnya bukan termasuk dari bagian agama, baik
dilihat dari sisi bentuknya maupun dari sisi hakikatnya”, (Syaikh Zaruq, Iddah
Al Marid).
Dari Ummul mukminin ummu Abdillah Aisyah R.a berkata bahwa
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan
agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”, (HR. Bukhari dan
Muslim). Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak
sesuai urusan kami, maka dia tertolak”.
Pada riwayat imam muslim diatas disebutkan, “barangsiapa melakukan
suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak” dengan jelas
menyatakan keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik ia ciptakan
sendiri atau hanya mengikuti orang sebelumnya. Sebagian orang yang ingkar (ahli
bid’ah) menjadikan hadits ini sebagai alasan bila ia melakukan suatu perbuatan
bid’ah, dia mengatakan : “Bukan saya yang menciptakannya” maka pendapat tersebut
terbantah oleh hadits diatas.
“Paling bagusnya perkataan adalah kitab Allah dan paling bagusnya
petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW dan paling jeleknya perkara adalah
semua perkara yang baru dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua
bid’ah itu sesat”, (H. R Muslim). Sedangkan Imam Bayhaqi menambahkan “setiap
perkara sesat dimasukkan dalam neraka”.
Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam menggolongkan perkara bid’ah
menjadi lima hukum, yaitu: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah sunnah, bid’ah
makruh, dan bid’ah mubah.
“Perkara baru yang tidak sesuai dengan kitab Al Quran, Sunnah,
Ijma’ dan Atsar sahabat termasuk bid’ah yang sesat, dan perkara baru yang bagus
dan tidak bertentangan dengan pedoman-pedoman tersebut maka termasuk bid’ah
yang terpuji”, (Imam Syafi’i).
Meninjau Kembali Amalan Kita
Dalam kehidupan ini, banyak amalan yang kita lakukan, yang semuanya
amalan itu adalah untuk mendapat keridhaan Allah, mulai amalan ibadah wajib
sampai dengan amalan ibadah sunat, namun semua amalan-amalan ibadah tersebut
yang kita lakukan tidak terlepas dari petunjuk-petunjuk yang kita dapat
bersumber dari Al quran dan As Sunnah.
Namun kadang kita dalam memahami Al Quran dan As Sunnah secara
langsung itu tidak mampu, maka dapat mempelajari maksud dan tujuan yang termaktub
didalamnya dengan belajar kitab-kitab para Imam Mazhab yang disyarahkan oleh
para Ulama-ulama pengikut Mazhab yang mu’tabar.
Artinya setiap amaliah yang kita kerjakan itu harus mempunyai
referensi yang jelas, paling tidak bagaimana ibadah itu kita lakukan sesuai
dengan tata cara dan anjuran yang telah termaktub, sehingga seolah-olah kita
bukan mengadakan sesuatu yang baru.
Para Ulama semisal Imam Nawawi, Rafi’i, Syibran Malasi, Ibnu Hajar,
Syaikh Muhammad bin Hajj dan lainnya yang mu’tabar, mereka telah memutala’ah
sedemikian rupa tentang suatu perkara yang terdapat dalam pembahasan Imam
Mazhab, sehingga timbullah Ijma’ dan Qias.
Ijma’ adalah “Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya
Nabi SAW terhadap suatu hukum syar’i”, (Muhammad bin Shaleh, Prinsip Ilmu Usul
Fiqh).
Qias adalah “Menyamakan cabang dengan yang pokok (ashl) di dalam
suatu hukum dikarenakan berkumpulnya sebab yang sama antara keduanya”,
(Muhammad bin Shaleh, Prinsip Ilmu Usul Fiqh).
Dalam hal Qias ini memiliki syarat-syarat, yaitu tidak bertentangan
dengan dalil yang lebih kuat darinya, hukum asalnya tetap dengan Nash atau
Ijma’, pada hukum asalnya terdapat sebab yang diketahui, sebabnya mencakup
makna yang sesuai dengan maknanya, sebabnya tersebut ada pada cabang sebagaimana
sebab tersebut juga ada dalam asal.
Ketika suatu amaliah yang kita kerjakan berdasarkan Qias, maka kita
tidak boleh lagi mengqiaskan diatas qias, karena bertentangan dengan syarat
dalam qias.
Saat terjadi perbedaan cara mengerjakan suatu ibadah dikalangan
umat, yang perbedaan itu memicu kepada konflik dan perpecahan, maka kita harus
kembali kepada sunnah, yaitu sesuai dengan Al Quran, Hadits, Ijma’, atau pun
Qias. Bila masalah tersebut telah dijelaskan didalam kitab-kitab Imam Mazhab
tentang kedua perbedaan tersebut bisa dikerjakan, maka secara bersama-sama
dengan metode musyawarah mengambil model amaliah yang afdhaliyah (berdasarkan
pendapat kuat) dan meninggalkan pendapat lemah.
Kalau perbedaan yang memicu konflik tentang suatu masalah yang
kira-kira masalah tersebut tidak terdapat penjelasan didalam kitab yang
mu’tabar, maka lebih baik kita tinjau kembali, apakah amaliah itu perlu kita
pertahankan atau kita tinggalkan. Karena tujuan dari suatu amaliah adalah
mendapat ridah Allah, mendapat manfaat bagi kita sendiri atau bagi orang lain.
“Paling bagusnya perkataan adalah kitab Allah dan paling bagusnya
petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW dan paling jeleknya perkara adalah
semua perkara yang baru dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua
bid’ah itu sesat”, (H. R Muslim).
Suatu amalan dalam beribadah, bagaimanakah kita kerjakan amalan
tersebut? Apakah kita akan melakukan amalan tersebut sesuai kata teungku/ustaz?
Atau kita kerjakan amalan itu sesuai pemahaman kitab-kitab Imam Mazhab yang
disampaikan oleh teungku-teungku/ustaz?.
“Islam muncul dalam keadaan terasing, dan ia akan kembali dalam
keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan”, (H. R Muslim).
Mari sama-sama kita mengoreksi kembali tentang amaliah kita, semoga
setiap amaliah yang kita kerjakan benar-benar termaktub dalam kitab-kitab ulama
yang mu’tabar tentang tata cara dan metode melakukannya, sehingga amalan kita
itu benar-benar mampu kita pertanggung jawabkan sesuai referensi yang kita
dapat. Dan semoga amalan-amalan itu tidak termasuk didalam katagori yang telah
Rasulullah SAW sampaikan, yaitu sesuatu yang baru yang tidak bersumber dari
kitab Al Quran, Sunnah, Ijma’, dan Atsar Sahabat. Karena sesuatu yang baru
seperti itu digolongkan dalam bid’ah, na’uzubillahi min zalik. Wallahu A’lamu
Bishawab.
0 komentar:
Post a Comment