Monday, February 24, 2020

Bolehkah Memakan Ikan Asin Yang Diasinkan Tanpa Membuang Najis?

Ikan asin adalah ikan yang diasinkan, yaitu dengan cara dibubuhi asin kemudian dijemur dalam terik matahari sampai kering.

Cara pengasinan dan pengeringan ikan tersebut ada 2 cara, yaitu dengan cara membubuhi garam sedangkan ikan tersebut masih dalam keadaan utuh dan belum dibuang najis/kotoran/tahi didalam perutnya.

Didalam kitab Mathla'al Badrain wa Majma'ul Bahrain karangan Muhammad bin Ismail Daud Fatani, bahwa tiap-tiap ikan yang ditaruhkan garam padanya pada hal tiada dibuangkan najis yang didalam perutnya, najis ia intaha, dan dengan dia diketahui akan haram memakan fasikh (ikan asin) yang ma'ruf seperti barang yang tersebut dalam Hasyiah Bujairimi pada kitab Ath'amah dan makruh makan ikan yang dibakar dahulu dari pada disucikan perutnya dan makan ikan yang busuk dagingnya. (Mathla'al Badrain wa Majma'ul Bahrain, karangan Syeh Muhammad bin Ismail Daud, hal. 87).

Didalam pembahasan di atas, tidak disebutkan secara spesifik tentang cara memakan ikan asin yang diasinkan dengan cara dibuang najisnya, apakah langsung dimakan atau pun setelah dicuci secara syar'i.

Apakah memakan setelah dicuci secara syar'i tetap haram memakannya atau sebelum dicuci secara syar'i?

Sedangkan didalam kitab I'anathuth Thalibin juzu' 1 halaman 109 dijelaskan:
Dan halal memakan ulat yang dimakankan beserta buah-buahan atau ulat didalam cuka walaupun bangkainya najis, karena bangkai ulat tersebut tidak menajiskan buah-buahan atau cuka, karena sukar memeliharanya, juga dalam hal ini tidak wajib membasuh mulut bekasan memakan ulat tersebut. Di naqal dalam kitab Jawahir dari pada Sahabat, bahwa tidak boleh memakan ikan yang diasinkan yang tidak dicabut kotoran dalam perutnya. Dhahir dari pada pembahasan dibelakang bahwa tiada beda diantara ikan besar dan ikan kecil, tetapi Nawawi dan Rafi'i membolehkan memakan ikan yang kecil walau tiada dibersihkan kotoran dalam perutnya, karena sukar membersihkannya. (I'anathuththalibin juz 1, hal. 109, karangan Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi as-Syafi’I).

Didalam pembahasan ini pun tidak dijelaskan secara rinci tentang tidak boleh memakan ikan asin yang diasinkan tanpa dibuang najisnya terlebih dahulu, apakah tidak boleh memakannya dalam keadaan tidak disucikan secara syar'i atau bukan.

Namun didalam I'anathuth Thalibin masih juz 1 halaman 114 dijelaskan:
Mutanajis yang hukmiyah seperti terkena kencing yang sudah kering dan tidak diperdapatkan sifat najis lagi memada menyucikannya dengan cara mengaliri air diatasnya sekali. Dan jika ada biji_bijian atau daging yang direbus dengan najis atau pakaian yang dicelupkan dengan najis maka sucilah batinnya dengan mengaliri air diatas dhahirnya. (I'anathuththalibin juz 1, hal. 114, karangan Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi as-Syafi’I).

Ibnu Hajar dan Ibnu Ziyad, Muhammad Ramli, dan lainnya mereka sepakat tentang kesucian sesuatu didalam perut ikan yang kecil, baik itu darah dan kotorannya, dan boleh memakan ikan beserta apa yang ada didalam perutnya tersebut. dan juga minyak yang digunakan untuk mnggoreng ikan tersebut tidak bernajis dan tidak mengnajiskan ikan. kemudian Muhammad Ramli mengatakan hukum ini berlaku juga untuk ikan yang besar.  menurut i'tamad Ibnu Hajar dan Ibnu Ziyad tentang tidak dimaafkan sesuatu yang ada didalam perut ikan yang besar, karena tidak musyakkah (payah) untuk mengeluarkan kotoran dan darah dalam perut ikan yang besar. (Syeh Ahmad bin Umar Asy Syatiri, Bughyatul Mustarsyidin, Juz, 1, hal. 337).

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat difahami maka ikan yang diasin secara tidak dibuang najisnya, maka haram memakannya bila tidak dibuang najisnya, namun bila sudah dibuang najisnya dan disucikan secara syar'i bisa dimakannya. bila ikan yang diasinkan dan sudah disucikan awalnya, maka tidak ada yang perlu dibahas kembali.

Wallahua'alam bishshawab

0 komentar:

Post a Comment