Guru adalah orang yang profesinya mengajar, yaitu mengajari setiap
orang yang mau belajar tentang apa yang belum ia ketahui menjadi tahu dan
memahaminya. Mengajar adalah
membimbing siswa atau lainnya tentang bagaimana
belajar. Mengajar berarti mengatur dan menciptakan kondisi yang ada
dilingkungan anak didik sehingga dapat melakukan kegiatan belajar. Secara
sederhana, mengajar bertujuan untuk menyampaikan ilmu pengetahuan dan melatih
pola piker anak-anak didik.
Proses belajar mengajar merupakan
proses menciptakan generasi yang berilmu dengan menghilangkan sifat jahil yang
ada pada mereka dan juga proses membentuk akhlakul karimah sehingga generasi
memiliki karakter yang baik seperti yang diharapkan oleh bangsa dan negara.
Guru yang mengajar itu ada guru yang
dibayar oleh pemerintah secara mencukupi dan ada guru yang dibayar oleh
instansi dengan jerih seadanya dan ada guru yang ikhlas mengajar tanpa dibayar
oleh siapapun dan tidak memungut biaya dari anak didiknya. Mereka semua
bertujuan untuk menciptakan generasi bangsa yang handal.
Proses lahirnya generasi yang handal
sekarang ini yang menjabat atau bekerja dimana pun tidak terlepas oleh peran
guru, walau kadang ketika mereka telah sukses melupakan guru.
Presiden, menteri, polisi, TNI,
Jaksa, Gubernur dan lainnya mereka yang telah suskses sekarang ini tidak
terlepas dari peran guru ketika mereka masih meneguk pendidikan dibangku
sekolah.
Guru bukanlah orang hebat, namun
guru adalah sebab lahirnya generasi-generasi yang hebat sekarang, generasi yang
mampu menaklukkan perkembangan dunia ini.
Tanpa rasa pamrih dan dengan penuh
ikhlas, guru mengajar dengan sepenuh hati demi perbaikan pendidikan pada
generasi, kadang harus mengorbankan anaknya dan keluarganya demi mendidik anak
bangsa.
Stop Diskriminasi Guru
Dalam mendidik anak bangsa, banyak
tantangan yang didapatkan guru, mulai dari gaji yang sebagian seadanya, sarana
dan prasarana yang tidak mencukupi, medan yang dilalui setiap hari yang becek
saat hujan dan berdebu saat kemarau, akhlak siswa yang merajalela bahkan mereka
sering dijerat dengan pelanggaran HAM karena mencubit atau memukul siswa untuk
takdib (saya tidak mempungkiri ada guru yang kejam).
Padahal sebelum lahirnya
undang-undang perlindungan anak, guru dan dosen telah terlebih dahulu
dilindungi dengan undang-undang. “Pasal 39 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen yang menyebutkan bahwa perlindungan hukum mencakup dari tindak
kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak
adil dari pihak peserta didik, orang
tua peserta didik, masyarakat, birokrasi atau pihak lain”.
Proses mengadabkan (ta’dib)
yang dilakukan oleh guru adalah murni untuk pembentukan akhlak anak didik,
walau kadang sampai dengan berbentur fisik. Tak ada seorang guru pun yang berencana
dari rumahnya saat mengajar untuk memukul atau membunuh siswa, namun hal
demikian kadang terjadi diluar kesadaran guru karena ulah siswa yang semakin
menjadi.
Pertama guru mengingatkan dengan
kata-kata dan nasehat, namun sebagian siswa melawan sehingga terjadi bentakan
atau sampai tejadi benturan fisik, karena masalah adab dan tingkah laku siswa
sekarang semakin menjadi ketika mereka semakin dimanjakan oleh oleh
undang-undang perlindungan anak. Bukan berarti guru harus atau wajib menghukum
siswa dengan fisik dan guru tidak pernah bersalah.
Di dalam Islam proses pendidikan itu
bertahap, dari menasehati baik-baik dengan kata, kemudian berkata sedikit tegas
sampai pada tingkan memukul (dharb) untuk mengadabkan, dan memukul itu
ditempat yang tidak membawaki cedera siswa atau yang dapat meruntuhkan derajat
siswa.
Seorang guru yang memukul siswa ditempat yang dapat membawa cedera
siswa atau pun menghilangkan derajat siswa pun harus kenakan sanki disiplin
guru, dari nasehat dari kepala sekolah atau teguran sampai dengan komite dan
dinas terkait. Jangan hanya masalah gara-gara guru mengambil handphone atau
merazia kedisiplinan siswa pun dilapor kepolisi dan ditangani polisi. Ini
sungguh sangat miris, padahal polisi dan lainnya mereka jadi demikian karena
guru.
Pada Juli 2010, Rahman, seorang guru
di sebuah SD di Banyuwangi, Jawa Timur, harus berurusan dengan pengadilan
setelah memukul anak didiknya menggunakan penggaris dan dituntut 5 bulan
penjara, padahal awalnya simurid tersebut menendang temannya, (ww.brilio.net: 4 Kasus sepele guru vs murid yang berakhir
miris, bikin geram deh!).
Maret 2012 pak Aop Saopudin guru
SDN Penjalin Kidul V, Majalengka Jawa Barat harus berurusan dengan hukum karena
melakukan razia rambut gondrong dan merapikan empat siswa yang gondrong, (ww.brilio.net: 4 Kasus sepele guru vs murid yang berakhir miris, bikin
geram deh!).
Nurmayani guru Biologi SMPN 1
Bantaeng Sulawesi Selatan, dipenjara karena mencubit murid didiknya, padahal
mereka awalnya bermain air di kelas kemudian dipanggil keruang BK, (ww.brilio.net: 4 Kasus sepele guru vs murid yang berakhir miris, bikin
geram deh!).
Muhammad Arsal guru Agama Islam
di SMP Negeri 3 Bantaeng juga harus masuk jeruji besi karena mencubit siswa
untuk emndendanya, (ww.brilio.net: 4 Kasus sepele guru vs murid yang berakhir
miris, bikin geram deh!).
Dan masih banyak lagi kejadian seperti ini negara kita dan di Aceh
pun tidak bisa kita pungkiri.
Bagaimanakah Seharusnya Guru Itu?
Sikap serba salah sering menggeluti jiwa guru yang sedang mengajar,
karena mereka pada suatu sisi dituntut siswa itu harus bisa dan harus berakhlak
mulia sedangkan siswa bersama guru itu cuma 6 jam saja, selebihnya mereka
bersama orang tua dan lingkungannya.
Siswa yang berwatak baik, penurut dan berakhlak mulia (dibentuk
dari rumahnya) mungkin tidak ada masalah pada saat mendidikanya, seperti
sekolah-sekolah modern yang menyeleksi siswa dengan ketat, namun bagi sekolah
yang menerima siapaun muridnya? Yang padahal si siswa tersebut memang dari
rumahnya sudah bermasalah.
Siswa yang bermasalah juga membutuhkan pendidikan, karena keburukan
akhlak ia pada saat pancaroba itu tidak selamanya abadi sampai tua, banyak
mereka yang berubah baik saat sudah dewasa, namun sungguh sangat disayangkan
bila mereka tidak diberi kesempatan untuk meneguk pendidikan pula.
Artinya guru juga juga akan berinteraksi dengan siswa-siswa
bermasalah yang kadang mereka dari keluarga broken home, kebiasan dikeluarga
sering membantah dan lainnya. Ini tentu saja tidak akan menghasilkan proses
belajar mengajar yang efektif, adem dan damai. Tentu saja ada gesekan-gesekan
saat menerapkan disiplin dan mengadabkan mereka.
Karena tidak semua siswa itu patuh dan taat, maka ketika terjadi
gesekan fisik antara guru dan siswa, setidaknya tidak langsung berurusan dengan
pihak hukum, namun meninjau kembali apa penyebabnya, bagaimana akhlak siswa
itu, bagaimana sikap guru itu atau sudah seringkah guru itu memukul atau sudah seringkah
siswa itu membuat masalah dan setidaknya memeriksanya sampai kekeluarga dan
lingkungannya.
Ruang lingkup pendidikan itu punya ranah sendiri, dan tujuannya pun
bukan untuk mencedrai tapi untuk mendidik, maka perlakukanlah mereka yang
terlibat dalam ranah pendidikan itu dengan baik dan bijak. Tak mungkin seorang
guru secara langsung mengeluarkan siswa bermasalah disekolahnya dengan catatan
merah begitu juga dengan guru, tak sepantasnya ketika ada guru yang nakal dan
berperilaku tidak baik langsung harus bermalam dijeruji.
Proseslah alam pendidikan itu secara pendidikan, karena negara kita
adalah negara kesatuan yang menganut sifat kekeluargaan. Dan siapapun yang ada
sekarang sebagai pengambil keputusan tidak terlepas dari jasa guru. Lihatlah
seberepa sejahtera guru itu dari anak-anak yang mereka didik sekarang, mereka
yang dididik lebih sejahtera, lebih berpangkat dari guru yang mengajari mereka
dulu, oleh sebab itu perlakukanlah mereka selayaknya guru walau mereka tidak
diperjuangkan kesejahteraannya.
“Orang hebat bisa melahirkan beberapa karya bermutu, tapi guru yang
bermutu dapat melahirkan ribuan orang hebat, selamat hari guru, teruslah
menjadi guru wahai guruku, engkau adalah guruku dunia akhirat walau kadang
engkau di dhalimi”.