Wednesday, February 5, 2025

ABU H. ABDUL GHAFFAR (ABU LHOKNGA)



Ulama Kharismatik Aceh dan murid terakhir Syaikh Mahmud Blang Pidie.


Beliau merupakan generasi terakhir dari murid Abu Syaikh Mud Blang Pidie. Abu Ghaffar belajar kepada Syaikh Mud pada rentang waktu 1959 sampai 1964. Karena tahun 1966 Abu Syaikh Mahmud wafat. 


Abu Syaikh Mud adalah Ulama Besar Aceh yang berasal dari Lhoknga, menuntut ilmu pada awalnya pada Syaikh Haji Hasan Krueng Kalee di Dayah Krueng Kalee, dan mematangkan keilmuannya di Madrasah Irsyadiah Yan Kedah Malaysia, kepada Ulama besar Aceh yang juga guru Abu Krueng Kalee yaitu Teungku Chik Muhammad Arsyad Diyan rentang waktu 1920-1926 M. 


Pada tahun 1927 Abu Syaikh Mud diminta oleh Ulee Balang Kuta Batee Blang Pidie Teuku Sabi untuk menjadi Ulama dan pengayom agama masyarakat Blang Pidie dan sekitarnya. Pada tahun 1928, mulailah Abu Syaikh Mud membangun sebuah lembaga pendidikan yang dikenal dengan Dayah Bustanul Huda Blang Pidie yang dahulunya berada di seputaran Mesjid Jamik Baitul 'Adhim Blang Pidie.


Kehadiran Abu Syaikh Mud memiliki arti yang signifikan dalam jaringan Ulama Aceh kontemporer, mengingat para Ulama Aceh generasi sesudahnya kebanyakan adalah murid dari Abu Syaikh Mud termasuk Abu Abdul Ghaffar Lhoknga yang dikenal dengan Abu Lhoknga. 


Di antara para Ulama dan lulusan Dayah Bustanul Huda periode awal adalah: Abuya Syaikh Muda Waly, Abu Calang Teungku Muhammad Arsyad, Nek Abu Haji Adnan Mahmud Bakongan, Abuya Jailani Musa Kota Fajar, Abu Ibrahim Woyla, Abuya Abdul Hamid Kamal, Abuya Haji Bilal Yatim, Abu Imam Syamsuddin Sangkalan, Abu Haji Abdul Ghaffar Lhoknga, dan para Ulama lainnya. 


Dapat disimpulkan, selain Abu Krueng Kalee dan Abuya Muda Waly, maka Abu Syaikh Mud adalah salah satu Syeikhul Masyaikh Ulama Aceh Kontemporer. 


Kedatangan Abu Ghaffar Lhoknga untuk memperdalam Ilmunya kepada Abu Syaikh Mud sangat beralasan, mengingat beliau sebelumnya telah belajar di Banda Aceh tepatnya Ulee Lheue selama delapan tahun kepada Ulama yang bernama Teungku Haji Makam rentang waktu 1951 sampai 1958.


Karena di tahun 1959 beliau merantau ke Kabupaten lainnya, dan belajar kepada Abu Syaikh Mud yang juga aslinya berasal dari Lhoknga. Selain kepada Abu Syaikh Mud, Abu Ghaffar Lhoknga disebutkan dalam nadzam yang disusun oleh Abuya Jamaluddin Waly, juga termasuk salah satu Ulama yang pernah menimba ilmu di Dayah Darussalam Labuhan Haji. 


Karena diantara figur kharismatik Ulama dari Lhoknga selain Abu Ghaffar adalah Abu Gurah yang berasal dari Peukan Bada dan keduanya adalah murid dari Abuya Syaikh Muda Waly Al-Khalidy. 


Setelah menimba ilmu di berbagai tempat, Abu Ghaffar Lhoknga pada usianya 31 tahun mulai berkiprah secara luas di kampung halamanya Lhok Kruet Lhoknga Aceh Besar. Beliau sebagai Ulama, Imum Chik dan pemimpin dayah. Semenjak tiba di desanya, beliau secara tulus dan sungguh-sungguh mengabdi kepada masyarakatnya. 


Tidak terhitung banyaknya masyarakat yang didik oleh beliau di berbagai majelis taklim yang berpusat di Banda Aceh dan Aceh Besar. 

Menurut salah satu muridnya Teungku Abdul Wahid, bahwa dalam berbagai pengajian, Abu Ghaffar mengajarkan kitab-kitab melayu jawo kepada murid-muridnya. 


Di antara kitab-kitab jawo yang sering digunakan sebagai rujukan dalam pengajian Abu Ghaffar adalah kitab Tafsir, kitab Tasawuf, dan kitab Tauhid. Untuk kitab tafsir biasanya beliau memakai kitab Tafsir Tarjumanul Mustafid yang ditulis oleh Syaikh Abdurrauf As-Singkili atau Teungku Syiah Kuala. 


Kitab Tarjumanul Mustafid sendiri dibagian-bagian tertentu memiliki titik kerumitan tersendiri, apalagi bila menyangkut pembahasan Qira’at yang terdapat di dalamnya. Demikian pula kitab tasawuf Siyarus Salikin, walaupun jawo tetapi dibanyak tempat riwayat-riwayat hadisnya tidak berbaris dan terkadang butuh pemahaman yang mendalam. 


Namun Abu Ghaffar Lhoknga sebagai Ulama yang alim, sangat lihai dalam memaknai dan menjelaskan maksud dari pengarang kitab-kitab tersebut. 


Penulis melihat murid-murid para Ulama tempo dulu seperti Abu Ghaffar Lhoknga atau Teungku Sulaiman Nur Abdya yang juga lulusan Dayah Darussalam Labuhan Haji kelahiran awal tahun tiga puluhan, walaupun mereka para Ulama tersebut terkadang tidak terlalu lihai dalam kitab-kitab Arab, namun mereka memiliki keputusan hukum yang mantap dan pasti yang diterima dari para guru mereka secara bersanad. 


Sehingga sampai kapanpun, dari segi orisinilitas dan keaslian ilmu mereka lebih terjaga. Penulis sendiri pernah bertanya beberapa pertanyaan secara berkala dari Al-Marhum Teungku Sulaiman Nur secara bertahun-tahun, dan jawaban beliau adalah apa yang beliau dengarkan dari gurunya, tidak berubah walaupun satu baris. Artinya melekat ilmu yang dimiliki para Ulama tersebut lebih lama. 


Semasa hidupnya, Abu Ghaffar juga seorang guru Thariqat Haddadiyah dan yang diijazahkan oleh gurunya Abu Syekh Mud dari jalur Abu Haji Hasan Krueng Kalee. Sehingga di berbagai pengajiannya, beliau mengajarkan bacaan surat Yasin secara bersanad, doa-doa dan berbagai hizib yang pernah beliau perolehan dari para gurunya itu. 


Abu Ghaffar juga seorang Ulama yang zuhud dan qana'ah dalam hidupnya. Banyak pelajaran berharga yang dipetik dari kehidupan Ulama kharismatik itu. Dan salah satu bentuk kecintaannya kepada Rasulullah SAW, di antara banyak hal lainnya adalah beliau selalu memakai serban. 


Bahkan ada keharuan yang beliau rasakan ketika Maulana Habib Umar mengecup keningnya pada sebuah pertemuan Ulama. Setelah berbagai kontribusi untuk masyarakatnya, dalam usia 81 tahun wafatlah Ulama yang bertuah tersebut.