Bulan Ramadhan sudah diambang detik penghabisan, dari sepuluh pertama yaitu rahmat, sepuluh pertengan yaitu maghfirah dan sekarang berada di beberapa malam terakhir yaitu ‘itqu minannar.
Setiap malam
dan hari Ramadhan mempunyai hikmah dan kelebihan yang berlipat ganda, baik itu
sepuluh pertama, sepuluh pertengahan maupun sepuluh yang terakhir.
“Setiap
kebaikan akan dibalas sepuluh kelipatan bahkan sampai dengan tujuh ratus
kelipatan kecuali puasa, maka puasa itu untuk Ku dan Aku yang akan membalasnya”,
(Hadits Qudsi, Riwayat Malik dalam kitab Muwatha dan Bukhari dalam kitab
Puasa).
Ini menjelaskan
bahwa tentang puasa tidak ada seorang pun dapat menilainya, karena puasa itu
antara hamba dan Khaliq, tentang bagaimana kualitas puasa seseorang hanya
dirinya dan Allah sajalah yang mengetahuinya.
Bahkan orang
yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan sungguh-sungguh karena Allah Swt, ia
tidak mengharap apa pun dari selain Allah, selain di ampuni semua dosanya juga
akan dijauhkan dirinya dari api neraka.
“Barang
siapa berpuasa satu hari dijalan Allah, niscaya Allah akan menjauhkan dari
padanya neraka Jahannam sejauh seratus tahun perjalanan”, (H. R. Nasa-i).
Intinya, segala
sesuatu yang diperbuat oleh orang yang berpuasa di bulan Ramadhan itu tidak ada
yang sia-sia, bahkan tidurnya pun bernilai ibadah.
“Diam orang
yang berpuasa adalah tasbih, tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadat, doanya
orang yang berpuasa adalah mustajabah dan amalannya orang yang berpuasa akan
berlipat ganda”, (H. Takhrij Dailami).
Apalagi
ditambah dengan qiyamul lail, yaitu melaksanakan shalat terawih, membaca quran,
berdoa, berzikir kepada Allah serta berselawat kepada Rasulullah, ditambah
dengan majlis-majlis ilmu.
Ruh Qiyamul
Lail
Setiap ibadah
yang dilakukan itu tidak pernah terlepas dari tuntunan syar’i bahkan dalam
melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan sekalipun.
Shalat terawih
yang dilaksankan dalam bulan Ramadhan merupakan bagian dari qiyamul lail dan
ini punya tata cara sesuai imam mazhab.
Dalam
melaksanakan shalat terawih bukan saja melihat kuantitas tapi butuh juga
kualitas, begitu juga sebaliknya, ini sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah
Saw.
Shalat malam
Ramadhan Rasulullah itu sarat dengan ruhnya, sehingga bukan saja sudah shalat
namun mengandung kualitas yang sangat sempurna.
Jadi, kalau
kita hanya melihat saja kuantitas yaitu jumlah rakaat tidak melihat kualitas
maka sungguh kita belum melaksanakan qiyamul lail sebagai Rasulullah saw laksanakan,
apalagi dengan rakaat yang sedikit dan waktu shalat yang ringkas, maka disini
para sahabat menambah jumlah rakaat untuk menutupi kualitas yang tidak maksimal
sebagaimana Rasulullah Saw laksanakan.
Keadaan shalat
malam Ramadhan Nabi, sedikit rakaat dan sangat lama shalatnya, Nabi shalat
sebelas rakaat (asal) atau tiga belas rakaat (Qalilun Nadir), tapi dengan
jumlah rakaat ini sangat lamalah shalat beliau, bahkan hampir-hampir semalam
penuh Rasulullah Saw shalat qiyamul lail.
Para sahabat
menyebutkan: “orang-orang yang shalat bersama Rasulullah Saw pada malam
Ramadhan yaitu qiyam yang sangat lama dan panjang yaitu sampai dengan waktu
sahur”.
Shalat malam
Ramadhan orang-orang Salaf itu, yaitu banyak rakaatnya dan pendek shalatnya, ini
yang dikerjakan para Sahabat Rasulullah saw. Karena mereka takut terjadi
kepayahan dan kesulitan kepada manusia untuk qiyam shalat dengan waktu yang
lama, maka mereka meringankan dengan memendekkan qiyam saat shalat, kemudian
menggantikannya dengan banyak rakaat, yaitu dengan melaksanakan shalat dua
puluh rakaat atau tiga puluh enam rakaat.
Sedangkan
shalat malam Ramadhan orang Khalaf itu sedikit rakaatnya dan pendek shalatnya,
dan ini tidak memperhatikan bagaimana kualitas shalat Rasulullah Saw, hanya
melihat jumlah rakaatnya saja. Dan ini keadaan yang tidak baik, karena
bertentangan dengan maksud syariat.
Intinya
Rasulullah Saw shalat malam Ramadhan bukan saja dilihat dari kuantitas tapi
juga dari kualitas, yang shalatnya sampai dengan waktu sahur walau hanya
sebelas rakaat.
Kemudian para
imam Mazhab pun menentukan jumlah rakaat shalat malam Ramadhan sebagaimana yang
telah dikerjakan oleh para sahabat Rasulullah Saw untuk mendapatkan kuantitas
dan kualitas ruh qiyamul lail.
Imam Malik
berpendapat bahwa jumlah shalat terawih itu dua puluh rakaat dan tiga puluh
enam rakaat untuk ahli Madinah, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat
terawih itu dua puluh rakaat, Imam Syafii berpendapat bahwa jumlah rakaat
shalat terawih itu dua puluh rakaat dan Imam Ahmad bin Hanbal juga berpendapat
bahwa jumlah shalat terawih itu dua puluh rakaat.
Dimanakah Ruh
Qiyamul Lail Itu?
Ruh qiyamul
lail itu ketika melaksanakan qiyamul lail sebagaimana maksud dan tujuan
Syariat. Rasulullah telah mencontohkan bagaimana kualitas shalat beliau walau
rakaatnya sedikit namun shalat beliau itu sampai dengan waktu sahur, dan para sahabat
telah memperbanyak rakaatnya untuk menutupi tidak panjangnya qiyam sebagaimana
qiyam Rasulullah Saw.
Shalat terawih
itu merupakan syariat yang diperintahkan untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan
nya. Maka sesungguhnya shalat itu merupakan hubungan terbesar antara hamba dan
Tuhan nya.
Maka ketika
kita tidak mampu mengikuti kualitas shalat Rasulullah Saw, maka jangan hanya
mengambil rakaatnya saja, namun kembalilah sebagaimana yang telah dipraktekkan
para sahabat bahkan itu sepakat para Imam Mazhab.
Intinya, ruh
qiyamul lail itu adalah ibadah yang dilakukan oleh hamba dengan kualitas
sebaik-baiknya untuk dipersembahkan kepada Tuhan nya kemudian fahala tersebut
diberikan kembali kepada si hamba.
Shalat, membaca
Quran, zikir, berdoa dan berselawat itu dilakukan dengan penuh keikhlasan dan
itu merupakan perwujudan ibadah hamba dengan Tuhan nya dan tidak membutuhkan
penilaian dari sesama hamba.
Biarkan setiap
hamba itu khusyuk dengan munajahnya dalam menghidupkan qiyamul lail untuk
mendapatkan kualitas terbaik sehingga qiyamul lailnya memiliki ruh yang hidup,
bukan sekedar gerakan atau bacaan.
0 komentar:
Post a Comment